Pemikiran Politik Babeh Teknologi

Biografi B.J Habibie

 
Prof. DR (HC). Ing. Dr. Sc.h.c. Bacharuddin Jusuf Habibie
atau dikenal sebagai B.J Habibie merupakan pria Pare-Pare (Sulawesi Selatan) kelahiran 25 Juni 1936. Habibie menjadi Presiden ke-3 Indonesia selama 1.4 tahun dan 2 bulan menjadi Wakil Presiden RI ke-7. Habibie merupakan “blaster” antara orang Jawa (ibunya) dengan orang Makasar / Pare-Pare (ayahnya). Agama yang di anut B.J Habibie adalah Islam.
Dimasa kecil, Habibie telah menunjukkan kecerdasan dan semangat tinggi pada ilmu pengetahuan dan teknologi khususnya Fisika. Selama enam bulan, ia kuliah di Teknik Mesin Institut Teknologi Bandung (ITB), dan dilanjutkan ke Rhenisch Wesfalische Tehnische Hochscule – Jerman pada 1955. Dengan dibiayai oleh ibunya, R.A. Tuti Marini Puspowardoyo, Habibie muda menghabiskan 10 tahun untuk menyelesaikan studi S-1 hingga S-3 di Aachen-Jerman.
Berbeda dengan rata-rata mahasiswa Indonesia yang mendapat beasiswa di luar negeri, kuliah Habibie (terutama S-1 dan S-2) dibiayai langsung oleh Ibunya yang melakukan usaha Catering dan Indekost di Bandung setelah ditinggal pergi ayah Habibie sekaligus suaminya (Alwi Abdul Jalil Habibie). Habibie mengeluti bidang Desain dan Konstruksi Pesawat di Fakultas Teknik Mesin. Selama lima tahun studi di Jerman akhirnya Habibie memperoleh gelar Dilpom-Ingenenieur atau diploma teknik (catatan : diploma teknik di Jerman umumnya disetarakan dengan gelar Master / S2 di negara lain) dengan predikat summa cum laude.
Pak Habibie melanjutkan program doktoral setelah menikahi teman SMA-nya, Ibu Hasri Ainun Besari pada tahun 1962. Bersama dengan istrinya tinggal di Jerman, Habibie harus bekerja untuk membiayai biaya kuliah sekaligus biaya rumah tangganya. Habibie mendalami bidang Desain dan Konstruksi Pesawat Terbang. Tahun 1965, Habibie menyelesaikan studi S-3 nya dan mendapat gelar Doktor Ingenieur (Doktor Teknik) dengan indeks prestasi summa cum laude. 

Pengaruh B.J Habibie di Industri Pesawat Terbang
Selama menjadi mahasiswa tingkat doktoral, B.J Habibie sudah mulai bekerja untuk menghidupi keluarganya dan biaya studinya. Setelah lulus, B.J Habibie bekerja di Messerschmitt-Bölkow-Blohm  atau MBB Hamburg (1965-1969 sebagai Kepala Penelitian dan Pengembangan pada Analisis Struktrur Pesawat Terbang, dan kemudian menjabat Kepala Divisi Metode dan Teknologi pada industri pesawat terbang komersial dan militer di MBB (1969-1973). Atas kinerja dan kebriliannya, 4 tahun kemudian, ia dipercaya sebagai Vice President sekaligus Direktur Teknologi di MBB periode 1973-1978 serta menjadi Penasihast Senior bidang teknologi untuk Dewan Direktur MBB (1978 ). Dialah menjadi satu-satunya orang Asia yang berhasil menduduki jabatan nomor dua di perusahaan pesawat terbang Jerman ini.
Sebelum memasuki usia 40 tahun, karir Habibie sudah sangat cemerlang, terutama dalam desain dan konstruksi pesawat terbang. Habibie menjadi “permata” di negeri Jerman dan iapun mendapat “kedudukan terhormat”, baik secara materi maupun intelektualitas oleh orang Jerman. Selama bekerja di MBB Jerman, Habibie menyumbang berbagai hasil penelitian dan sejumlah teori untuk ilmu pengetahuan dan teknologi dibidang Thermodinamika, Konstruksi dan Aerodinamika. Beberapa rumusan teorinya dikenal dalam dunia pesawat terbang seperti “Habibie Factor“, “Habibie Theorem” dan “Habibie Method“.

B.J Habibie Kembali ke Indonesia
Pada tahun 1968, B.J Habibie telah mengundang sejumlah insinyur  untuk bekerja di industri pesawat terbang Jerman. Sekitar 40 insinyur Indonesia akhirnya dapat bekerja di MBB atas rekomendasi Pak Habibie. Hal ini dilakukan untuk mempersiapkan skill dan pengalaman (SDM) insinyur Indonesia untuk suatu saat bisa kembali ke Indonesia dan membuat produk industri dirgantara dan ketika Presiden Soeharto mengirim Ibnu Sutowo ke Jerman untuk menemui seraya membujuk Habibie pulang ke Indonesia, B.J Habibie langsung bersedia dan melepaskan jabatan, posisi dan prestise tinggi di Jerman. Hal ini dilakukan B.J Habibie demi memberi sumbangsih ilmu dan teknologi pada bangsa ini. Pada 1974 di usia 38 tahun, B.J Habibie pulang ke tanah air. Ia pun diangkat menjadi penasihat pemerintah (langsung dibawah Presiden) dibidang teknologi pesawat terbang dan teknologi tinggi hingga tahun 1978. Meskipun demikian dari tahun 1974-1978, Habibie masih sering pulang pergi ke Jerman karena masih menjabat sebagai Vice Presiden dan Direktur Teknologi di MBB.
Habibie mulai benar-benar fokus setelah ia melepaskan jabatan tingginya di Perusahaan Pesawat Jerman MBB pada  1978. Dan sejak itu, dari tahun 1978 hingga 1997, ia diangkat menjadi Menteri Negara Riset dan Teknologi (Menristek) sekaligus merangkap sebagai Ketua Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). Disamping itu Habibie juga diangkat sebagai Ketua Dewan Riset Nasional dan berbagai jabatan lainnya.
Ketika menjadi Menristek (Menteri Negara Riset dan Teknologi), Habibie mengimplementasikan visinya yakni membawa Indonesia menjadi negara industri berteknologi tinggi. Ia mendorong adanya lompatan dalam strategi pembangunan yakni melompat dari agraris langsung menuju negara industri maju. Habibie mengusulkan beberapa gagasan pembangunan kepada Presiden Soeharto seperti berikut:
1.      Gagasan pembangunan industri pesawat terbang nusantara sebagai ujung tombak industri strategi
2.      Gagasan pembentukan Pusat Penelitan dan Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Puspitek)
3.      Gagasan mengenai Badan Pengkajian dan Penerapan Ilmu Teknologi (BPPT)
Visinya yang langsung membawa Indonesia menjadi negara Industri mendapat pertentangan dari berbagai pihak, baik dalam maupun luar negeri yang menghendaki pembangunan secara bertahap yang dimulai dari fokus investasi di bidang pertanian. Namun, Habibie memiliki keyakinan kokoh akan visinya, dan ada satu “quote” yang terkenal dari Habibie yakni :
“I have some figures which compare the cost of one kilo of airplane compared to one kilo of rice. One kilo of airplane costs thirty thousand US dollars and one kilo of rice is seven cents. And if you want to pay for your one kilo of high-tech products with a kilo of rice, I don’t think we have enough.” (Sumber : BBC: B.J Habibie Profile -1998.)
Kalimat diatas merupakan senjata Habibie untuk berdebat dengan lawan politiknya. Habibie ingin menjelaskan mengapa industri berteknologi itu sangat penting. Dan ia membandingkan harga produk dari industri high-tech (teknologi tinggi) dengan hasil pertanian. Ia menunjukkan data bahwa harga 1 kg pesawat terbang adalah USD 30.000 dan 1 kg beras adalah 7 sen (USD 0,07). Artinya 1 kg pesawat terbang hampir setara dengan 450 ton beras. Jadi dengan membuat 1 buah pesawat dengan massa 10 ton, maka akan diperoleh beras 4,5 juta ton beras.
Pola Pemikiran B.J Habibie disambut dengan baik oleh Pak Soeharto. Presiden Soeharto pun bersedia menggangarkan dana ekstra dari APBN untuk pengembangan proyek teknologi Habibie. Dan pada tahun 1989, Suharto memberikan “kekuasan” lebih pada Habibie dengan memberikan kepercayaan Habibie untuk memimpin industri-industri strategis seperti PINDAD, PAL, dan PT IPTN (PT. Industri Pesawat Terbang Nurtanio). kemudian pada Tanggal 7 Desember 1990 suatu organisasi atau lembaga masyarakat yang baru dibentuk bernama ICMI (Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia) menjadikan B.J Habibie menjadi pimpinan yang pertama organisasi tersebut. ICMI ini bertujuan melahirkan sarjana atau cendikiawan muslim yang berqualitas dalam segala bidang, menyatukan kekerabatan antara umat islam dan membantu menyuarakan keinginan rakyat.

Proses B.J Habibie menjadi Presiden ke-3
Secara materi, Habibie sudah sangat mapan ketika ia bekerja di perusahaan MBB Jerman. Selain mapan, Habibie memiliki jabatan yang sangat strategis yakni Vice President sekaligus Senior Advicer di perusahaan  high-tech Jerman. Sehingga Habibie terjun ke pemerintahan bukan karena mencari uang ataupun kekuasaan semata. akan tetapi lebih kepada rasa nasionalisme yang ada pada dirinya sehingga dia ingin membela negara dengan kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dimilikinya.
Tiga tahun setelah kepulangan ke Indonesia, Habibie (usia 41 tahun) mendapat gelar Profesor Teknik dari ITB. Selama 20 tahun menjadi Menristek, akhirnya pada tanggal 11 Maret 1998, Habibie terpilih sebagai Wakil Presiden RI ke-7 melalui Sidang Umum MPR. Di masa itulah krisis ekonomi (krismon) melanda kawasan Asia termasuk Indonesia. Nilai tukar rupiah terjun bebas dari Rp 2.000 per dolar AS menjadi Rp 12.000-an per dolar. Utang luar negeri  jatuh tempo sehinga membengkak akibat depresiasi rupiah. Hal ini diperbarah oleh perbankan swasta yang mengalami kesulitan likuiditas. Inflasi meroket diatas 50%, dan pengangguran mulai terjadi dimana-mana.
Pada saat bersamaan, kebencian masyarakat memuncak dengan sistem orde baru yang sarat Korupsi, Kolusi, Nepotisme yang dilakukan oleh kroni-kroni Soeharto (pejabat, politisi, konglomerat). Selain KKN, pemerintahan Soeharto tergolong otoriter, yang menangkap aktivis dan mahasiswa yang vokal.
 Sesuatu pun terjadi pada tanggal 12 Mei 1998, tentara menembak 6 mahasiswa di dalam kampus Universitas Trisakti Di Jakarta Pusat di samping jalan bebas hambatan menuju bandara. ada kemungkinan besar bahwa tentara yang menembak mahasiswa tersebut bekerja sendiri dan berusaha memprovokasi terjadinya insiden. apa pun penyebabnya, insiden tersebut telah mendorong kemarahan massa. jalan-jalan utama di sekitar jakarta di tutup agar tentara bisa mengendalikan kembali kota tersebut.
Penjarahan yang dilakaukan masyarakat biasa yang berlangsung selama dua hari setelah itu adalah peristiwa yang mengikuti penembakan enam mahasiswa itu. gedung-gedung di wilayah pecinan seperti glodok dan ancol terbakar. kekerasan yang sama juga terjadi di berbagai kota lainnya.
Yang kemudian disusul oleh gerakan massa seluruh mahasiswa di Indonesia yang kemudian pada 21 Mei 1998 Presiden Soeharto “menyerah” pada keadaan ketika hampir seluruh kekuatan masyarakat menginginkan mundurnya Presiden Soeharto. Usaha terakhir Soeharto untuk mempengaruhi rakyat dengan menyampaikan pernyataan dihadapan pers pada tanggal 19 Mei 1998 bahwa selaku mandataris MPR, presiden akan mereshuffle Kabinet Pembangunan VII dengan membentuk Komite Reformasi, untuk lebih meyakinkan rakyat diprogramkan bahwa tugas komite ini akan segera menyelesaikan UU Pemilu; UU Kepartaian; UU Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPRD; UU Anti Monopoli; UU Anti Korupsi dan hal lainnya yang sesuai dengan tuntutan rakyat. Akan tetapi Soeharto mulai terpojok secara politik karena 14 Menteri sepakat tidak bersedia duduk  dalam Komite Reformasi tersebut. Ke-14 Menteri tersebut adalah Akbar Tanjung, A.M. Hendropriyono, Ginandjar Kartasasmita, Giri Suseno Hadihardjono, Haryanto Dhanutirto, Ny. Justika S. Baharsjah, Kuntoro Mangkusubroto, Rachmadi Bambang Sumadhijo, Rahardi Ramelan, Subiakto Tjakrawerdaya, Sanyoto Sastrowardoyo, Sumahadi, Theo Sambuaga, dan Tanri Abeng.
Penolakan ini melemahkan posisi Soeharto sebagai presiden karena dukungan untuk membentuk Komite Reformasi gagal ditambah lagi banyak desakan yang menganjurkan presiden untuk mundur. Perasaan ditinggalkan, terpukul telah membuat Soeharto tidak punya pilihan lain kecuali memutuskan untuk berhenti. Sehingga pada saat itu Presiden Soeharto (Bapak Pembangunan) mundur dari jabatannya sebagai Presiden, yang kemudian dihari yang sama secara sistem berdasarkan pasal 8 UUD 1945 maka secara otomatis Wakil Presiden B.J Habibie menjadi Presiden ke-3 RI menggantikan Presiden Soeharto.

Presiden Ke-3 dimasa Transisi dari Orde Baru ke Masa Reformasi (1998-1999)
Dilihat dari berbagai sudut, kemunculan B.J Habibie sebagai Presiden RI ke-3 (Bapak Teknologi Indonesia), pada dasarnya tidaklah bisa dikatakan istimewa. kita semua tahu bahwa tangga naik Habibie ke kursi kepresidenan bukan klimaks dari hasil perjuangannya sendiri. bahkan beliau Presiden pertama yang mempunyai latar belakang ilmu pengetahuan dan teknologi. beliau tidak memiliki karismatik seperti kedua presiden sebelumnya. setelah menjadi Presiden Ke-3 pasca penurunan rezim Soeharto, Presiden B.J Habibie disibukan dengan berbagai macam kesulitan diantaranya masalah Politik, Ekonomi, dan Sosial-Budaya, yang ditinggalkan oleh Rezim sebelumnya. Menurut B.J Habibie Negara bekas Orde baru bagaikan Pesawat yang rusak permanen, Dari sini lah mulainya perubahan sistem pemerintahan Otoriter menuju Demokrasi lagi untuk yang kedua kalinya setelah Demokrasi Terpimpin di Masa Orde Lama. dalam menyelesaikan semua permasalahan negara B.J Habibie memakai Konsep the second nature habibie, ini adalah Teori Toleransi Akumulasi Kerusakan atau Accumulated Damage Toleranci Theory (TTAK) yang pada mulanya berkembang dalam dunia ilmu pengetahuan dan teknologi kedirgantaraan. dalam teori tersebut seorang konseptor pesawat udara secara otomatis akan mendiagnosis berbagai potensi kerusakan, baik yang dialami oleh tubuh pesawat maupun mesin kendaraan tercepat itu. dan Pemikirannya itu membuahkan hasil yang positif terbukti sejak Februari 1999, kondisi sosial-politik dan ekonomi indonesia telah berkembang ke arah yang lebih baik.
Langkah-langkah yang dilakukan BJ Habibie di bidang politik adalah:
ü  Memberi kebebasan pada rakyat untuk menyalurkan aspirasinya sehingga banyak bermunculan partai-partai politik baru yakni sebanyak 48 partai politik
ü  Membebaskan narapidana politik (napol) seperti Sri Bintang Pamungkas (mantan anggota DPR yang masuk penjara karena mengkritik Presiden Soeharto) dan Muchtar Pakpahan (pemimpin buruh yang dijatuhi hukuman karena dituduh memicu kerusuhan di Medan tahun 1994)
ü  Mencabut larangan berdirinya serikat-serikat buruh independen
ü  Membentuk tiga undang-undang yang demokratis yaitu :
1.      UU No. 2 tahun 1999 tentang Partai Politik
2.      UU No. 3 tahun 1999 tentang Pemilu
3.      UU No. 4 tahun 1999 tentang Susunan Kedudukan DPR/MPR
ü  Menetapkan 4 ketetapan yang mencerminkan jawaban dari tuntutan reformasi yaitu :
a.       Tap MPR No. VIII/MPR/1998, tentang pencabutan Tap No. IV/MPR/1983 tentang Referendum
b.      Tap MPR No. XVIII/MPR/1998, tentang pencabutan Tap MPR No. II/MPR/1978 tentang Pancasila sebagai azas tunggal
c.       Tap MPR No. XII/MPR/1998, tentang pencabutan Tap MPR No. V/MPR/1978 tentang Presiden mendapat mandat dari MPR untuk memiliki hak-hak dan Kebijakan di luar batas perundang-undangan
d.      Tap MPR No. XIII/MPR/1998, tentang Pembatasan masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden maksimal hanya dua kali periode.
ü  Menentukan 12 Ketetapan MPR antara lain :
1)      Tap MPR No. X/MPR/1998, tentang pokok-pokok reformasi pembangunan dalam rangka penyelematan dan normalisasi kehidupan nasional sebagai haluan negara.
2)      Tap MPR No. XI/MPR/1998, tentang penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme.
3)      Tap MPR No. XIII/MPR/1998, tentang pembatasan masa jabatan presiden dan wakil presiden Republik Indonesia.
4)      Tap MPR No. XV/MPR/1998, tentang penyelenggaraan Otonomi daerah
5)      Tap MPR No. XVI/MPR/1998, tentang politik ekonomi dalam rangka demokrasi ekonomi.
6)      Tap MPR No. XVII/MPR/1998, tentang Hak Asasi Manusia (HAM).
7)      Tap MPR No. VII/MPR/1998, tentang perubahan dan tambahan atas Tap MPR No. I/MPR/1998 tentang peraturan tata tertib MPR.
8)      Tap MPR No. XIV/MPR/1998, tentang Pemilihan Umum.
9)      Tap MPR No. III/V/MPR/1998, tentang referendum.
10)  Tap MPR No. IX/MPR/1998, tentang GBHN.
11)  Tap MPR No. XII/MPR/1998, tentang pemberian tugas dan wewenang khusus kepada Presiden/mandataris MPR dalam rangka menyukseskan dan pengamanan pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila.
12)  Tap MPR No. XVIII/MPR/1998, tentang pencabutan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4). 
Meskipun terdapat berbagai kemajuan dan keberhasilan yang dicapai oleh pemerintahan Habibie. Dimana sejak Kabinet Reformasi Pembangunan dibentuk, seperti penyelenggaraan Sidang Istimewa MPR, penyelenggaraan pemilu dan reformasi di bidang politik, sosial, hukum, dan ekonomi.
Di tengah-tengah upaya pemerintahan Habibie memenuhi tuntutan reformasi, pemerintah Habibie dituduh melakukan tindakan yang bertentangan dengan kesepakatan MPR mengenai masalah Timor-Timur. Pemerintah dianggap tidak berkonsultasi terlebih dahulu dengan DPR/MPR sebelum menawarkan opsi kedua kepada masyarakat Timor-Timur. Dalam jajak pendapat terdapat dua opsi yang ditawarkan di Indonesia di bawah Presiden B.J. Habibie, yaitu: otonomi luas bagi Timor-Timur dan kemerdekaan bagi Timor-Timur.
Akhirnya tanggal 30 Agustus 1999 pelaksanaan penentuan pendapat di Timor-Timur berlangsung aman dan dimenangkan oleh kelompok Pro Kemerdekaan yang berarti Timor-Timur lepas dari wilayah NKRI. Masalah itu tidak berhenti dengan lepasnya Timor-Timur, setelah itu muncul tuntutan dari dunia Internasional mengenai masalah pelanggaran HAM yang meminta pertanggungjawaban militer Indonesia sebagai penanggungjawab keamanan pasca jajak pendapat. Hal ini mencoreng Indonesia di Dunia Internasional.
Selain kasus pelanggaran HAM di Timor-Timur tersebut, terjadi kasus yang sama seperti di Aceh melalui Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Irian Jaya  lewat Organisasi Papua Merdeka (OPM), dengan kelompok separatisnya yang menuntut kemerdekaan dari wilayah Republik Indonesia.
Pada tanggal 1-21 Oktober 1999, MPR mengadakan Sidang Umum. Dalam suasana Sidang Umum MPR yang digelar dibawah pimpinan Ketua MPR Amien Rais, tanggal 14 Oktober 1999 Presiden Habibie menyampaikan pidato pertanggung jawabannya di depan sidang dan terjadi penolakan terhadap pertanggung jawaban presiden sebagai Mandataris MPR lewat Fraksi PDI-Perjuangan, Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa, Fraksi Kesatuan Kebangsaan Indonesia dan Fraksi Demokrasi Kasih Bangsa. Pada umumnya, masalah-masalah yang dipersoalkan oleh Fraksi-fraksi tersebut adalah masalah Timor-Timur, KKN termasukan pengusutan kekayaan Soeharto, dan masalah HAM. Sementara itu, di luar Gedung DPR/MPR yang sedang bersidang, mahasiswa dan rakyat yang anti Habibie bentrok dengan aparat keamanan. Mereka menolak pertanggung jawaban Habibie, karena Habibie dianggap sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari Rezim Orba.
Kemudian pada tanggal 20 Oktober 1999, Ketua MPR Amien Rais menutup Rapat Paripurna sambil mengatakan, ”dengan demikian pertanggungjawaban Presiden B.J. Habibie ditolak”. Pada hari yang sama Presiden habibie mengatakan bahwa dirinya mengundurkan diri dari pencalonan presiden. Habibie juga iklas terhadap penolakan pertanggung jawabannya oleh MPR. Menyusul penolakan MPR terhadap pidato pertanggung jawaban Presiden Habibie dan pengunduran Habibie dalam bursa calon presiden, memunculkan dua calon kuat sebagai presiden, yaitu Megawati dan Abdurrahman Wahid semakin solid, setelah calon PresidenYusril Ihza Mahendra dari Fraksi Partai Bulan Bintang mengundurkan diri melalui voting, Gus Dur terpilih sebagai Presiden Republik Indonesia keempat dan dilantik dengan Ketetapan MPR No. VII/MPR/1999 untuk masa bakti 1999-2004.
Tanggal 21 Oktober 1999 Megawati terpilih menjadi Wakil Presiden RI dengan Ketetapan MPR No.VIII/MPR/1999 mendampingi Presiden Abdurrahman Wahid. Terpilihnya Abdurrahman Wahid dan Megawati sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia periode 1999-2004 menjadi akhir pemerintahan Presiden Habibie dengan TAP MPR No. III/MPR/1999 tentang Pertanggungjawaban Presiden RI B.J. Habibie.

Pemikiran Politik B.J Habibie
Pada dasarnya Pemikiran politik B.J Habibie berbeda dengan pemerintahan yang pernah ada di Indonesia, B.J Habibie bermodalkan ilmu pengetahuan (Sains) dan teknologi dalam menjalankan pemerintahannya yang singkat, B.J Habibie lebih menonjol kepada kemampuan Teknokrasi dari pada Demokrasi, akan tetapi karena rasa Nasionalismenya yang kuat dan semangatnya dalam membela NKRI, B.J Habibie dapat memanfaatkan ilmu pengetahuan (Sains) dan Teknologi untuk membantu Indonesia dalam masa transisi dari Orde Baru ke Reformasi. Lalu ketika B.J Habibie menjadi Presiden ke-3, dia membuat salah satu konsep yaitu Second Nature Habibie untuk mengatasi krisis yang ditinggalkan Orde baru. Konsep itu berisikan Teori Toleransi Akumulasi Kerusakan atau Accumulated Damage Toleranci Theory (TTAK) dimana dalam teori tersebut seorang konseptor pesawat udara secara otomatis akan mendiagnosis berbagai potensi kerusakan, baik yang dialami oleh tubuh pesawat maupun mesin kendaraan tercepat itu. Artinya B.J Habibie mendefinisikan Negara bekas Orde Baru adalah sebuah pesawat yang rusak, sehingga pesawat itu harus diperbaiki / diganti yang rusaknya maka itu berarti semua sistem yang dianggap tidak sesuai / tidak baik di masa Orde baru maka sistem tersebut harus diganti atau diperbaiki sehingga sesuai dengan yang diinginkan masyarakat, yang menginginkan adanya Demokrasi kembali.

Saya bilang ke Presiden, kasih saya uang 500 juta Dollar dan N250 akan menjadi pesawat yang terhebat yang mengalahkan ATR, Bombardier, Dornier, Embraer dll dan kita tak perlu tergantung dengan negara manapun. Tapi keputusan telah diambil dan para karyawan IPTN yang berjumlah 16 ribu harus mengais rejeki di negeri orang dan gilanya lagi kita yang beli pesawat negara mereka!

sumber :
Ø  Judul Buku  Esai Politik Tentang Habibie dari Teknokrasi ke Demokrasi,
Karya Fachry Ali
Ø  http://www.slideshare.net/sigitw7/masa-pemerintahan-bj-habibie-16727122

0 komentar: