Resume Gerakan Mahasiswa 1974 Dan Gugatan Terhadap Politik Orde Baru


Pasca peristiwa 1966, dalam waktu yang cukup lama gerakan mahasiswa tidak menujukkan gaungnya, antara lai karena pemikiran untuk mengambil pilihan back to campus dan berkonstrentasi dalam kehidupan akademiknya, namun denagn tetap mengawasi berbagai kebijakan pemerintah dalam proses penataan sistem politikm dan pembenahan kehidupan perekonomian negara. Dan berlangsung hingga akhir tahun 1970an  dan akhirnya muncul sebuah generasi mahasiswa agkatan 1974  yang mencoba mengukir sejarah sebagaimana yang pernah dilakoni oleh geneasi mahasiswa agakatan 1966 pendahulunya.
Realitas pebedaan antar gerakan mahasiswa 1966 dan 1974 adalah bahwa generasi 1966 memiliki hubungan earat dengan militer yang bahu-membahu dalam memperjuangkan perubahan dari Orde lama menuju Orde Bau. Untuk generasi 1974 yang dialami adalah konfrontasi dengan militer yang berposisi sebagai pendukung kemapanan. Kejadian ini menimbulkan keretakan atau berakhirnya kerjasama antara mahasiswa dengan militer, yang setelah bekerjasama menumbangkan “musuh bersama” rezim Orde lama dan khususnya kekuatan komunisme/PKI.

Masalah Korupsi dan Politik Pembangunan
Munculnya peristiwa Malari (Malapetaka 15 Januari) tahun 1974 akibat timbulnya gejolak gerakan mahasiswa. Gerakan mahasiswa 1966 muncul berperan sebagai korektor terhadap realitas sosial dan politik yang diakibatkan oleh praktej kekuasaan rezim yang berkuasa, sedangkan gerakan mahasiswa 1974 ditunjukan untuk mengoreksi kebijakan pemerintah Orde baru yang dinilai carut marut dan banyak digerogoti penyakit korupsi
Politik pembangunan Orde baru yang mengutamakan pertumbuhn ekonomi itu berangkat dari asumsi bahwa pemerataan dan keadilan sosial akan terjadi dengan sendirinya setelah pertumbuhan ekonomi yang diharapkan tercapai, yakni melalui mekanisme distribusi model “pentesan kebawah” tetapi asumsi tersebut ternyata tidak tercapai, malahan semakin mencipatakan jurang yang kian melebar, kesenjangan dan ketimpangan ekonomi dimasyarakat. Hal inilah yang mulai disadari sejak aawal tahun 1970-an, sehingga menimbulkan berbagai kritik masyarakat termasuk mahasiswa, terhadap model politik pembangunan yang diterapkan Orde Baru.
Burhan D. Magenda melukiskan bahwa munculnya kekecewaaqn generasi mahasiswa tahun 1970 adalah disebabkan karena mereka mengadapi kenyataan yang membedakan antara ideal dan praktek. perilaku rezim Orde Baru dinila telah mengianati komitmen yang sudah dibangun ketika kerjasama menumbangkan Orde Lama dahulu.
Di awali dengan reaksi terhadap pemerintah tentang kenaikan harga BBM (Bahan Bakar Minyak). Disuarakan mahasiswa adalah tuntutan pemberantasan korupsi aksi protes oleh mahasiswa dijakarta dan bandung ,lahirlah , apa yang disebut “ gerakan mahasiswa menggugat” yang dimotori sejumlah tokoh seperti Arief budiman , syahrir , Victor D , dan Julius Usman . yang program utamanya adalah aksi pengecaman terhadap kenaikan BBM dan Korupsi
 wujud keprihatinan karena ketidak percayaan terhadap langkah pemerintah dalam merespons tuntutan mereka , dalam membahas korupsi , pemuda dan mahasiswa kemudian mengambil inisiatif dalam bentuk yang berpartisipasi kritis yang lebih rill , dengan pembentukan.
Terbentuknya KAK (Komite Anti-Korupsi) ini dapat dilihat dari reaksi kekecewaan mahasiswa terhadap tim-tim khusus yang pernah ada yang  pembentukannya diponsori oleh pemerintah untuk menyelidiki masalah korupsi , kenyataan tim-tim tersebut tidak berjalan sebagai mana yang diharapkan di mata mahasiswa ,mulai TPK , Task Force Universitas Indonesia (UI) samapi komisi keempat.
TPK (Tim Pemberantasan Korupsi) dibentuk bulan desember 1967 dengan ketuanya jaksa agung sugih arto , dibantu anggota yang meliputi unsur wartawan dan kesatuan aksi, Sedangkan komisi empat ,dibentuk oleh presiden soeharto pada tahun 1970 ,dengan diketuai oleh wilopo ,SH (tokoh PNI dan mantan perdana mentri)
Kegagalan tim-tim tersebut terutama adalah disebabkan tidak adanya political will yang sunggung dari pemerintah sendiri untuk memberantas korupsi yang menurut bung hatta saat itu sudah membudaya di kalangan pejabat birokrasi. Juga mengajukan pemikiran tentang perlunya “ Tritura Baru ”. Pertama , pembaharuan yang menyeluruh terhadap struktur politik lama, kedua , penghapusan korupsi dan yang ketiga, tuntutan perlunya meningkatkan pembangunan dan menurunkan harga
Secara keseluruhan aksi-aksi yang dilancarkan mahasiswa yang digambarkan diatas ,menunjukan fakta yang terjadinya kebangkitan kembali dirasakan mahasiswa sebagai gerakan moral dan control kekuasaan rezin ,setelah sempat surut pasca 1966.

Masalah Demokrasi dan Munculnya Golput (Golongan Putih )
Berbagai borok pembangunan dan demoralisasa perilaku kekuasaan rezim orde bar uterus mencuat ,menjelang pemilu 1971 . hal ini disebabkan pemerintah orde baru dibawah tangan soeharto telah melakukan berbagai cara dalam bentuk rekayasa politik ,untuk mempertahankan dan memapankan status quo dengan mengkooptasi kekuatan-kekuatan politik masyarakat antara lain melalui bentuk perundang-undangan , misalnya : melalui undang-undang yang mengatur tentang pemilu , partai politik ,dan MPR/DPRD.
Harapan-harapan mahasiswa setelah runtuhnya orde lama tahun 1966 ,adalah bahwa demokrasi akan tumbuh dan berkembang dibawah orde baru ,tema ini sebenernya berkaitan dengan perubahan struktur politik .ternyata perubahan itu tidaklah terjadi  , melainkan bentuk protes. Deklarasi Golput dicetuskan pada 28 mei1971 sebagai protes terhadap orde baru yang dimotori  ariep budiman , adnan buyung nasution ,imam waluyo , husni umar, Julius usman dan asmara nababan
Yang menurut mereka , mendapat legimilitasi melalui cara refresif dan adanya pembangunan yang justru menimbulkan kesenjangan Sembilan partai politik dan Golongan Karya tidak akan diharapkan sebagai pembawa inspirasai dari rakyat , apalagi dengan keluarnya undang-undang kepartaian , yang melarang kegiatan kepartaian politik sampai kedesa . Yang dinilai oleh mahasiswa hanya melahirkan kultur politik yang tidak mendidik , yang membuat rakyat ditingkat bawah justru menjadi a-politik.

Protes Terhadap pembangunan TMII
          Dalam tahun 1971, mahasiswa juga telah melancarkan berbagai protes terhadap pemborosan anggaran negara yang digunakan untuk proyek-proyek eksekulusif yang dinilai tidak mendesak dalam pembangunan. Proyek pembangunan Taman Mini Indonesia Indah (TMII), proyek swasta yang menghimpun dana sekitar 2,5 juta dollar AS justru di saat Indonesia haus akan bantuan luar negeri.
            Pembangunan TMII menimbulkan kritik berdasarkan 3 pemikiran : pertama, biaya pembangunan yang terlampau mahal, kedua, persolan prioritas, apakah proyek itu lebih mendesak dibandingkan dengan proyek pembangunan yang menyentuh masyarakat ,dan ketiga, mengenai arti pentingnya proyek ini bagi pertumbuhan ekonomi nasional dan kesejahteraan rakyat banyak yang menjadi pusat keprihatinan mahasiswa.

Lahirnya  “TRITURA BARU”
Tahun 1972, ketika harga beras naik, yang pasalnya antara lain akibat dari keteledoran strategi pemerintah dalam pengadaan beras sesudah kemarau panjang, mahasiswa kembali menyelenggarakan aksi. Unjuk rasa diantaranya di kampus UI, yang dibumbui pembacaan sajak W.S Rendra, dimana isu korupsi dalam aksi tersebut juga ikut digulirkan semakin keras.
Gerakan mahasiswa di Jakarta mengajukan isu “ganyang korupsi” sebagai salah salah satu tuntutan “Tritura Baru” yang disampaikan, disamping dua tuntutan lainnya . Bubarkan asisten pribadi dan urunkan Harga, sebuah versi terakhir Tritura yang muncul setelah versi  koran Mahasiswa Indonesia di Bandung sebelumnya, yang dicetuskan di Jakarta oleh para mahasiswa pada tanggal 15 Januari 1974 dikampus UI, salemba.
Munculnya berbagai versi modifikasi konsep “Tritura Baru” yang disuarakan mahasiswa tersebut tanpaknya merupakan sebuah skenario politik dalam pola gerakan mahasiswa,  akan konsep Tritura yang dicetuskan pada 10 Januari 1966, delapan belas tahun silam. 
Rezim Orde Baru telah melakukan praktek korupsi yang amat kronis. Salah satu yang paling menonjol ke permukaan,  adalah korupsi yang terjadi  di tubuh Pertamina yang berlangsung sejak awal Orde Baru. Namun, oleh Rezim Orde Baru, ternyata kasus Pertamina ini tidak pernah secara serius diusut sampai tuntas.
Akumulasi dari kekecewaan terhadap berbagai masalah kebobrokan rezim Orde Baru, itulah yang membuat mahasiswa semakin bersuara vokal dan meluas.

Peristiwa Malari
            Berawal pada malam pergantian tahun 1973 ke 1974, mahasiswa UI mengadakan apel tirakatan tengah malam. Mereka berkumpul seraya mendengarkan orasi Ketua Umum Dewan Mahasiswa UI, Hariman Siregar, yang pada malam itu berpidato berapi-api membakar semangat massa mahasiswa agar peduli dengan nasib rakyat.
            Pada tanggal 10 Januari 1974, mahasiswa melakukan peringatan hari ulang tahun Tritura. Pada hari itu ,ereka menggelar aksi demokrasu di Lapangan Banteng. Dalam aksi mahasiswa hari itu, mereka meneriakkan yel-yel seperti “Stop Pemborosan Pembangunan”, “Turunkan harga”, “Bubarkan Aspri”, dan “Jepang Merusak Indonesia”.
            Rencana rancangan Tanaka, lalu disambut dengan berbagai aksi demontrasi mahasiswa. Isu yang diusung mahasiswa adalah anti modal asing karena dampaknya yang justru dinilai sangat merugikan perekonomian Indonesia.
            Soedjono adalah Asisten pribadi (Aspri) Presiden bidang ekonomi, yang memiliki peran penting dalam berbagai proyek penanaman investasi Jepang di Indonesia. Mahasiswa mencela a]Aspri Soedjono dengan melantunkan lagu “Soedjono Dukun Palsu” mirip dengan lagu tentang “Soebandrio” yang dinyanyikan mahasiswa 1966.
            Tanggal 11 Januari 1974, Presiden Soeharto mencoba bersikap akomodatif terhadap mahasiswa. Presiden dan mahasiswa mengadakan diaog langsung di Binagraha. Namun demikian, hasil pertemuan itu dipandang oleh mahasiswa tidak memuaskan sehingga dalam perkembangan berikut mereka masih tetap melancarkan aksi protes dan unjuk  rasa.
Kedatangan Kepala Pemerintahan  Jepang itu agaknya menjadi titik perhatian mahasiswa, mengingat salah satu isi pokok yang banyak disoroti mahasiswa adalah proyek-proyek pembangunan yang dijalankan oleh Orde Baru yang dinilai terlalu mencerminkan ketergantungan pada modal asing, terutama modal Jepang.
Akhirnya, tibalah klimaks peristiwa 15 Januari. Pada hari itu, sesuai rancangan acara kunjungan kenegaraannya selama di Indonesia, PM  kakuae Tanaka beserta rombongan bertemu dan berunding dengan Soeharto beserta beberapa mentri kabinet Pembangunan II di Istana Negara. Konsentrasi mahasiswa disalemba berjumlah sekitar 1,500 orang, namun ketika berjalan menuju Monas semakin banyak.
Saat itu mahasiswa berpawai antara lain dari kampus UI, Salemba, ke Kampus Trisakti, semntara pada saat yang sama berlangsung pula kerusuhan akibat aksi masa diberbagai penjuru Ibukota Jakarta. Dan akhirnya dimanfaatkan pihak lain yang tidak lagi diketahui identitasnya yang jelas, sehingga berakibat terjadinya kerusuhan disertai pengusakan oleh massa.
Malapetaka 15 Januari, disingkat Malari, demikian kemudian sebutan terkenal yang diberikan orang atas peristiwa tragis hari itu. Malari akhirnya menelan korban baik jiwa maupun materil. Akibat peristiwa itu juga, sekitar 700 orang ditangkap aparat keamanan; namun, sebagian kemudian dibebaskan, sedangkan sisanya 45 orang terus ditahan. Sejumlah koran dan media ibukotapun diberi peringatan, namun sebagian lagi dibreidel oleh pemerintah.

Mahasiswa Ditunggangi?
            Tersebar tuduhan ditengah masyarakat selain menyebutkan bahwa gerakan mahasiswa mencoba melancarkan makar, juga ada yang menganggap bahwa gerakan mahasiswa 1974 tidak murni, dan dituding ditunggangi oleh pihak lain yang ingin memnafaatkan keadaan.
            Meski demikian, dari dokumen-dokumen pembelaan Hariman siregar dapat disimpulkan bahwa gerakan mahasiswa saat itu terbukti tidak sampai kearah tujuan makar untuk meruntuhkan kekuasaan, tetapi lebih sebagai protes terhadap kebijakan (policy) rezim Orde Baru.
            Menurut pembelaan Hariman siregar, yang dalam peristiwa malari adalah salah seorang tokoh utama dan aktivis mahasiswa yang menggerakan terjadinya aksi unjuk rasa, tuntutan yang disampaikan malari saat itu adalah perubahan strategi pembangunan dan pertumbuhan ekonomi, yang dijalankan pemerintah orde baru. Tujuannya yang sebenarnya ingin dicapai mahasiswa terutama hanya untuk membuat perubahan, tapi bukan menjatuhkan penguasa.
            Pasalnya, tidak ada warisan bersejarah berupa perubahan monumental yang ditinggalkannya, kecuali kiash heroik para tokoh mahasiswa penggeraknya yang sebagian akhirnya dipenjarakan, bersama beberapa kalangan profesional lainnya seperti kalangan pengacara dan wartawan.
            Lagi pula, ada cerita yang lebih buruk malahan, seperti diungkap Jenderal Sumitro yang menjabat Pangkopkantib. Sumitro mengungkapkan fakta mengenai keterlibatan Ali Mortopo dalam memanfaatkan situasi mahasiswa saat itu, dalam konteks mana Ali Moertopo dalam persaingan politik itu justru bermaksud untuk memojokan Soemitro dihadapan Soeharto. Karna terbukti bukan hanya berdampak pada bungkamnya mahasiswa, namun juga mampu memojokan Soemitro hingga akhirnya memundurkan diri sebagai Pangkopkamtib.
            Dari gambaran kasus panetrasi elit kedalam tubuh gerakan mahasiswa dalam peristiwa malari itu, kiranya terpetik pelajaran sebagai introspeksi dan restrospeksi buat gerakan mahasiswa sekarang, mengenai pentingnya untuk menjaga kemurnian perjuangan mereka, agar tak mudah “dinodai” oleh manuver kepentingan aktor-aktor eksternal.

Protes Awal Terhadap Rezim Orde Baru
            Terlepas dari semua distorsi (distortion) mengenai kisah gerakan mahasiswa 1974 itu, harus diakui bahwa perjuangan mereka telah menjadi sebuah episode bersejarah dalam kisah gerakan mahasiswa di Indonesia. Gerakan mahasiswa 1974 telah mencoba melakukan respons terhadap tantangan jamannya. Hal ini mengingat kondisi Indonesia sejak rezim orde baru tampil berkuasa mulai tahun1966 hingga tahun 1974, telah berlangsung praktek kekuasaan yang justru mengabaikan nasib rakyat banyak, pemerataan, keadilan, dan demokrasi, namun kekuatan politik yang ada seolah menutup mata.

Awal pembatasan otonomi kampus  
            Menyusul peristiwa Malari, sebagai reaksi terhadap gerakan mahasiswa 1974, pemerintahpun memberlakukan SK No.028/U/1974 yang pada intinya berisi tentang petunjuk-petunjuk pemerintah dalam rangka pembinaan kehidupan kampus perguruan tinggi.  Melalui SK di tegaskan antara lain mengenai apa yang disebut sebagai kebiatan bersifat politis dimana hal itu –menurut penguasa- harus di laksanakan dengan bimbingan dan atas tanggung jawab pimpinan perguruan tinggi dan berdasarkan penganalisaan secara ilmiah.
            Pada inti nya SK No.028 itu bermaksud membungkam suara kritis mahasiswa dan membatasi aktivitasnya, dengan menentukan bahwa setiap aktivitas kampus harus seijin rektor, otonomi lembaga kemahasiswaan intra universitas dicabut. Karena itu, tidaklah mengherankan jika konsep kebijakan ini dalam penerapannya melahirkan reaksi keras adri mahasiswa.