KEPRIBADIAN


DEFINISI KEPERIBADIAN
            Para ahli biologi yang mempelajari dan membuat suatu deskripsi mengenai sistem organ suatu jenis atau spesies binatang biasanya juga sekaligus mempelajari kelakuan binatang binatang itu. Bedanya halnya mahluk manusia yang di pelajari secara intensif hingga detail oleh para ahli biologi, dan para dokter. Para ahli anropologi, sosiologi dan psikologi yang mempelajari polapola kelakuan manusia ini juga tidak lagi bicara mengenai pola pola kelakuan atau patterns of behavior dari manusia, tetapi mengenai pola pola tingkah laku, atau pola pola tindakan (patterns of action).
            Kalau definisi umum yang banyak menyerupai arti konsep dalam bahasa sehari-hari tersebut hendak kita pertajam, maka akan timbul bayak kesukaran. Konsep keperibadian itu rupa rupa nya adalah suatu konsep yang demikian luas sehingga merupakan suatu konstruksi yang tidak mungkin di rumuskan. Sedangkan definisi-definisi yang lebih tajam untuk analisis yang lebih mengkhusus dan mendalam, kita serahkan kepada ahli psikologi.
           
UNSUR-UNSUR KEPRIBADIAN
Pengetahuan. Unsur-unsur yang mengisi akal dan alam jiwa seseorang manusia yang sadar, secara nyata terkandungg dalam otaknya. Dalam lingkungan individu itu ada bermacam-macam hal yang dialaminya melalui penerimaan pancainderanya serta alat penerima atau reseptor organismanya yang lain, sebagai getaran eter (cahaya dan warna), getaran akustik (suara), bau, rasa, sentuhan mekanikal (berat-ringan), tekanan termikal (panas-dingin) dan sebagainya, yang masuk ke dalam sel-sel tertentu dibagian-bagian tertentu dari otaknya.
Penggambaran tentang lingkungan dengan fokus kepada bagian-bagian yang paling menarik perhatian seorang individu, seringkali juga diolah oleh suatu proses dalam akalnya yang menghubungkan penggambaran tadi dengan berbagai penggambaran lain sejenis yang pernah diterima dan diprokyesikan oleh akalnya dalam masa yang lalu, dalam ilmu psikologi disebut “apersepsi”.
Penggambaran yang lebih intensif terfokus, yang terjadi karena pemusatan akal yang lebih intensif tadi, dalam ilmu psikologi disebut “pengamatan”. Dengan proses akal itu individu mempunyai suatu kemampuan untuk membentuk suatu penggambaran baru yang abstrak yang sebenarnya dalam kenyataan tidak serupa dengan salah satu dari berbagai macam penggambaran yang menjadi bahan konkret dan penggambaran baru itu. Pengambaran abstrak itu dalam ilmu sosial disebut “konsep”. Penggambaran tentang lingkungannya tadi ada yang ditambah-tambah dan dibesar-besarkan, dan ada yang dikurangi serta dikecil-kecilkan pada bagian-bagian tertentu, yang sebenarnya tidak akan pernah ada dalam kenyataan. Penggambaran baru yang seringkali juga tidak realistik itu dalam ilmu psikologi disebut “fantasi”.
Seluruh penggambaran, apersepsi, pengamatan, konsep, dan fantasi tadi merupakan unsur-unsur “pengetahuan” seseorang individu yang sadar. Unsur-unsur pengetahuan tadi sebenarnya tidak hilang lenyap begitu saja, melainkan hanya terdesak masuk saja kedalam bagian dari jiwa manusia yang dalam ilmu psikologi disebut alam “bawah sadar” (sub-conscious).
Perasaan. Apersepsi seseoran individu yang menggambarkan diri sendiri sedang menikmati segelas Green Spot dingin tadi menimbulkan dalam kesadarannya suatu “perasaan” yang positif, yaitu perasaan nikmat, dan perasaan nikmat itu sampai nyata mengeluarkan air liur. Suatu kehendak juga dapat menjadi sangat keras, dan hal itu sering terjadi apabila hal yang dikehendaki itu tidak mudah diperoleh, atau sebaliknya. Dengan demikian ia mendapat suatu kehendak keras, atau “keinginan”. Suatu keinginan dapat juga menjadi lebih besar lagi sehingga menjadi sangat besar. Suatu perasaan keras itu biasanya disebut “emosi”.
Dorongan Naluri. Kesadaran manusia menurut para ahli psikologi juga mengandung berbagai perasaan lain yan tidak ditimbulkan karena pengaruh pengetahuannya, melainkan karena sudah terkandung dalam organismenya, dan khususnya dalam gen-nya sebagai naluri. Kemauuan yang sudah merupakan naluri pada tiap mahkluk manusia itu, oleh beberapa ahli psikologi disebut “dorongan” (drive). Ada berbagai perbedaan paham antara para ahli psikologi, namun semua seia sekata bahwa ada paling sedikit tujuh macam dorongan naluri, yaitu :
1. Dorongan untuk mempertahankan hidup.
2. Dorongan sex.
3. Dorongan untuk usaha mencari makan.
4. Dorongan untuk bergaul atau berinteraksi dengan sesama manusia.
5. Dorongan untuk meniru tingkah laku sesamanya.
6. Dorongan untuk berbakti
7. Dorongan akan keindahan, dalam arti keindahan bentuk, warna, suara, atau gerak.

MATERI DARI UNSUR-UNSUR KEPRIBADIAN
Kepribadian seorang individu, seperti apa yang telah kita pelajari diatas, terisi dengan pengetahuan, khususnya persepsi, penggambaran, apersepsi, pengamatan, konsep, dan fantasi mengenai aneka macam hal yang berbeda dalam lingkungan individu yang bersangkutan. Seorang ahli etnopsikologi, A.F.C. Wallace, pernah membuat suatu kerangka dimana terdaftar secara sistem atikal seluruh materi yang menjadi objek dan sasaran unsur-unsur kepribadian manusia yang pokok, yaitu :
1. Aneka warna kebutuhan organik diri sendiri, aneka warna kebutuhan serta dorongan psikologi diri sendiri, dan aneka warna kebutuhan serta dorongan organik maupun psikologi sesama manusia yang lain daripada diri sendiri.
2. Aneka warna hal yang bersangkutan dengan kesadaran individu akan identitas diri sendiri, atau “identitas aku”, baik aspek fisik maupun psikologinya, dan segala hal yang bersangkutan dengan kesadaran individu mengenai bermacam-macam kategori manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan, benda, zat, kekuatan, dan gejala alam, baik yang nyata maupun yang gaib dalam lingkungan sekelilingnya.
3. Berbagai macam cara untuk memenuhi, memperkuat, berhubungan, mendapatkan, atau mempergunakan, aneka warna kebutuhan dari hal tersebut diatas, sehingga tercapai keadaan memuaskan dalam kesadaran individu bersangkutan.
 ANEKA WARNA KEPRIBADIAN
Aneka Warna Kepribadian Individu. Aneka warna materi yang menjadi isi dan sasaran dari pengetahuan, perasaan, kehendak, serta keinginan kepribadian serta perbedaan kualitas hubungan antara berbagai unsur kepribadian dalam kesadaran individu, menyebabkan adanya beraneka macam struktur kepribadian pada setiap manusia yang hidup dimuka bumi, dan menyebabkan bahwa peribadian tiap individu itu unik berbeda dengan kepribadian individu yang lain.
Ilmu antropologi, dan juga ilmu sosial lainnya seperti sosiologi, ilmu ekonomi, ilmu politik dan lain-lain, tidak mempelajari individu. Ilmu-ilmu itu mempelajari seluruh pengetahuan, gagasan, dan konsep yang umum hidup dalam masyarakat, artinya pengetahuan, gagasan, dan konsep yang dianut oleh sebagian sebesar warga sesuatu masyarakat yang biasanya disebut “adat-istiadat”. Seluruh kompleks tingkah laku umum berwujud pola-pola tindakan yang saling berkaitan satu dengan lain itu disebut sistem sosial (social system). Ilmu antropologi juga mempelajari kepribadian yang ada pada sebagian besar warga sesuatu masyarakat, yang disebut kepribadian umum atau watak umum (modal personality).
Kepribadian Umum. Para ahli antropologi berpendirian bajwa dengan mempelajari adat-istiadat pengasuhan anak yang khas itu akan dapat diduga adanya berbagai unsur kepribadian yang merupakan akibat dari pengalaman-pengalaman sejak masa anak-anak pada sebagian besar warga masyarakat yang bersangkutan.
Kepribadian Barat dan Kepribadian Timur. Dalam banyak tulisan tentang masalah kebudayaan sering dibicarakan soal perbedaan antara kepribadian manusia yang berasal dari kebudayaan Barat, dan kepribadian manusia yang asal dari kebudayaan Timur. Dengan demikian timbul dua konsep yang kontras, yaitu Kepribadian Timur dan Kepribadian Barat. Mereka yang suka mendiskusikan kontras antara kedua konsep tersebut biasanya menyangka bahwa Kepribadian Timur mempunyai pandangan hidup yang mementingkan kehidupan kerohanian, mistik, pikiran prelogis, keramah-tamahan, dan kehidupan kolektif, sedangkan Kepribadian Barat mempunyai pandangan hidup yang mementingkan kehidupan material, pikiran logis, hubungan berdasarkan azas guna, dan individualisme.
Adapun kontras kolektivisme individualisme Timur-Barat nerupakan kontras mengenai orientasi nilai budaya manusia dan dapat dikaitkan dengan konsep tentang Kepribadian Timur-Barat yang pernah dikembangkan sarjana Amerika keturunan Cina, Francis L.K. Hsu, yang mengkombinasikan dalam dirinya suatu keahlian dalam ilmu antropologi, ilmu psikologi, ilmu filsafat serta kesusasteraan Cina Klasik. Dalam sebuah karangannya berjudul Psychological Homeostasis and Jen, yang dimuat dalam majalah American Anthropologist jilid 73, tahun 1971 (hal. 2344), Hsu telah menyatakan pendapatnya bahwa ilmu psikologi yang dikembangkan didalam masyarakat negara-negara Eropa Barat, dimana konsep individu memang mengambil tempat yang sangat penting, biasanya menganalisa jiwa manusia dengan terlampau banyak menekan kepada pembatasan konsep individu sebagai suatu kesatuan analisa tersendiri.
Dengan demikian untuk menghindari pendekatan terhadap jiwa manusia itu. Hanya sebagai suatu objek yang terkandung dalam batas individu yang terisolasi, maka Hsu telah mengembangkan suatu konsepsi bahwa alam jiwa manusia sebagai makhluk sosial budaya itu mengandung delapan daerah yang berwujud seolah-olah seperti lingkaran-lingkaran konsentrikal sekitar diri pribadinya.
Lingkaran no. 7 dan 6 dalah daerah dalam jiwa individu yang oleh para ahli psikologi sisebut daerah “tak sadar” dan “sub-sadar”. Kedua lingkaran itu berada didaerah pedalaman dari alam jiwa individu, dan terdiri dari bahan pikiran dan gagasan yan telah terdesak kedalam sehingga tak disadari oleh individu bersangkutan.
Kemudian ada lingkaran no. 5 yang disebut oleh Hsu “kesadaran yang tak dinyatakan” (unexpressed consciousness). Lingkaran itu terdiri dari pikiran-pikiran dan gagasan-gagasan yang disadari penuh oleh individu bersangkutan, tetapi yang disimpan saja olehnya dalam alam jiwanya sendiri dan tidak dinyatakannya kepada siapapun juga dalam lingkungannya. Ini disebabkan karena ada kemungkinan bahwa : ia takut, ia malu, ia bersalah atau ia tidak dapat menemukan kata-kata atau perumusan yan cocok untuk menyatakan gagasan yang bersanggkutan tadi kepada sesamanya.
Selanjutnya ada lingkaran no. 4 yang oleh Hsu disebut “kesadaran yan dinyatakan” (expressed conscious). Lingkaran ini dalam alam jiwa manusia mengandung pikiran-pikiran, gagasan-gagasan, dan perasaan-perasaan yang dapat dinyatakan secara terbuka oleh individu kepada sesamanya, yang dengan mudah dapat diterima dan dijawab pula oleh sesamanya.
Lingkaran no. 3 yang oleh Hsu disebut “lingkaran hubungan karib”(intimate cosiety) mengandung konsepsi-konsepsi tentang orang-orang, binatang, atau benda-benda yang oleh individu diajak bergaul mesra dan karib, yang bisa dipakai sebagai tempat berlindung dan tempat mencurahkan isi hati apabila sedang terkena tekanan batin atau dikejar-kejar oleh kesedihan serta masalah-masalah hidup yang menyulitkan.
Sikap manusia terhadap orang binatang atau benda-benda dalam lingkaran no. 2 yang dapat kita sebut “lingkungan hubungan berguna” tidak lagi ditandai oleh sikap sayang mesra, melainkan ditentukan oleh fungsi kegunaan dari orang, binatang, atau benda-benda itu bagi dirinya. Lingkaran no. 1 yang dapat disebut “lingkaran huhungan jauh” terdiri dari pikiran dan sikap dalam alam jiwa manusia tentang manusia, benda-benda, alat-alat, pengetahuan, dana dan yang ada dalam kebduayaan dan masyarakatnya sendiri, tetapi yang jarang sekali mempunyai arti dan pengaruh lansung terhadap kehidupannya sehari-hari.
Daerah no. 0, yang disebut “lingkaran dunia luar” terdiri dari pikiran-pikiran dan anggapan-anggapan yang hampir sama dengan pikiran-pikiran yang terletak dalam lingkaran-lingkaran nomor 1, hanya saja bedanya antara yang pertama dan yang kedua ialah bahwa yang pertama terdiri dari pikiran-pikiran dan anggapan-anggapan tentang orang dan hal yan terletak diluar masyarakat dan negara Indonesia, dan ditanggapi oleh individu bersangkutan dengan sikap masa bodoh.
Berdasarkan konsepsi terurai diatas, maka Hsu mengusulkan untuk mengembangkan suatu konsep kepribadian yang lain sebagai tambahan terhadap konsep personality yang telah lama dikembangkan para ahli psikologi Barat itu. Konsep yang dapat dipakai sebagai landasan untuk mengembangkan konsep lain itu menurut Hsu adalah konsep jen dalam kebudayaan Cina. Jen adalah “manusia yang berjiwa selaras, manusia yang berkepribadian”.
Keterangan psikologi dari Hsu ini, yang mencoba melihat perbedaan antara manusia yang hidup dalam lingkungan Kebudayaan Timur dan manusia yang hidup dalam lingkungan Kebudayaan Barat itu, memang mencoba menyelami sumber-sumber inti dari perbedaan itu. Semua perbedaan lahiriah antara kedua tipe manusia itu hanyalah akibat dari perbedaan inti itu.


Indonesia

HUKUM ADAT DI INDONESIA

Pengertian Hukum Adat Menurut Para Ahli - Berikut ini informasi seputar pengertian hukum adat menurut para ahli yang mungkin anda cari untuk keperluan pendidikan. Silahkan dibaca pengertian hukum adat menurut para ahli dibawah ini.

Hukum adalah seperangkat norma dan aturan adat atau kebiasaan yang berlaku di suatu wilayah. Istilah “kebiasaan” adalah terjemahan dari bahasa Belanda “gewoonte”, sedangkan istilah “adat” berasal dari istilah Arab yaitu ”adah” yang berarti juga kebiasaan. Jadi istilah kebiasaan dan istilah adat mempunyai arti yang sama yaitu kebiasaan.

Menurut ilmu hukum, kebiasaan dan adat itu dapat dibedakan pengertiannya. Perbedaan itu dapat dilihat dari segi pemakaiannya sebagai perilaku atau tingkah laku manusia atau dilihat dari segi sejarah pemakaian istilahnya dalam hukum di Indonesia.

Sebagai perilaku manusia istilah biasa berarti apa yang selalu terjadi atau apa yang lazim terjadi, sehingga kebiasaan berarti kelaziman. Adat juga bisa diartikan sebagai kebiasaan pribadi yang diterima dan dilakukan oleh masyarakat.

Sejarah perundang-undangan di Indonesia membedakan pemakaian istilah kebiasaan dan adat, yaitu adat kebiasaan di luar perundangan dan adat kebiasaan yang diakui oleh perundangan. Sehingga menyebabkan munculnya istilah hukum kebiasaan / adat yang merupakan hukum tidak tertulis dan hukum yang tertulis. Di Negara Belanda tidak membedakan istilah kebiasaan dan adat. Jika kedua-duanya bersifat hukum, maka disebut hukum kebiasaan (gewoonterecht) yang berhadapan dengan hukum perundangan (wettenrecht).

Istilah hukum adat sendiri berasal dari istilah Arab “Huk’m” dan “Adah”. Kata huk’m (jama’: ahakam) mengandung arti perintah atau suruhan, sedangkan kata adah berarti kebiasaan. Jadi hukum adat adalah aturan kebiasaan.

Di Indonesia hukum adat diartikan sebagai hukum Indonesia asli yang tidak tertulis dalam bentuk perundang-undangan Republik Indonesia yang di sana-sini mengandung unsur agama.

Terminologi “Adat” dan “Hukum Adat” seringkali dicampur aduk dalam memberikan suatu pengertian padahal sesungguhnya  keduanya adalah dua lembaga yang berlainan.

Adat sering dipandang sebagai sebuah tradisi sehingga terkesan sangat lokal, ketinggalan jaman, tidak sesuai dengan ajaran agama dan lain-lainnya. Hal ini dapat dimaklumi karena “adat” adalah suatu aturan tanpa adanya sanksi riil (hukuman) di masyarakat kecuali menyangkut soal dosa adat yang erat berkaitan dengan soal-soal pantangan untuk dilakukan (tabu dan kualat). Terlebih lagi muncul istilah-istilah adat budaya, adat istiadat, dll.

Hukum Adat adalah wujud gagasan kebudayaan yang terdiri atas nilai-nilai budaya, norma, hukum, dan aturan-aturan yang satu dengan lainnya berkaitan menjadi suatu sistem dan memiliki sanksi riil yang sangat kuat. Contohnya sejak jaman dulu, Suku Sasak di Pulau Lombok dikenal dengan konsep Gumi Paer atau Paer. Paer adalah satu kesatuan sistem teritorial hukum, politik, ekonomi, sosial budaya, kemanan dan kepemilikan yang melekat kuat dalam masyarakat .

Istilah-istilah dalam pemahaman adat didasarkan atas level-level  antara lain :

~ Adat adalah hukum dan aturan yang berlaku di masyarakat dibuat atas dasar kesepakatan.

~ Adat yang diadatkan yaitu komunitas yang mempunyai ketentuan-ketentuan hukum telah ditetapkan.

~ Adat yang teradat yaitu jika produk hukum itu sudah menjadi adat kebiasaan masih tetap diberlakukan di tengah masyarakatnya.

~ Adat Istiadat yaitu kebiasaan-kebiasaan secara turun temurun yang didasarkan pada kebiasaan-kebiasaan leluhur (lebih pada ketentuan-ketentuan tata cara ritual) yang kini perlu mengalami perubahan untuk disesuaikan (transformasi) pada era masa kini.

Dalam perkembangannya, hukum adat mengandung dua arti yaitu :

   1. Hukum kebiasaan yang bersifat tradisional disebut juga hukum adat.

Adalah hukum yang dipertahankan dan berlaku di lingkungan masyarakat hukum adat tertentu.

Contoh : hukum adat Batak, hukum adat Jawa, dll.

   2. Hukum kebiasaan.

Adalah hukum yang berlaku dalam kehidupan masyarakat, dalam hubungan pergaulan antara yang satu dan yang lain, dalam lembaga-lembaga masyarakat dan dalam lembaga-lembaga kenegaraan, kesemuanya yang tidak tertulis dalam bentuk perundangan.

Ciri-ciri hukum adat adalah :

   1. Tidak tertulis dalam bentuk perundangan dan tidak dikodifikasi.
   2. Tidak tersusun secara sistematis.
   3. Tidak dihimpun dalam bentuk kitab perundangan.
   4. Tidak tertatur.
   5. Keputusannya tidak memakai konsideran (pertimbangan).
   6. Pasal-pasal aturannya tidak sistematis dan tidak mempunyai penjelasan.

Tiga dimensi hukum adat yang mengatur gerak hidup manusia dimuka bumi ini yaitu :

1. Dimensi Adat Tapsila (Akhlakul Qarimah)
Yaitu dimensi yang mengatur norma-norma dan etika hubungannya dengan lingkungan  sosial budaya, pergaulan alam dan keamanan lahir batin.

2. Dimensi Adat Krama
Yaitu dimensi yang mengatur hukum dalam hubungan perluasan keluarga (perkawinan) yang sarat dengan aturan-aturan hukum adat yang berlaku di masyarakat.

3. Dimensi Adat Pati / Gama
Yaitu dimensi yang mengatur tata cara dan pelaksanaan upacara ritual kematian dan keagamaan sehingga dimensi adat Pati kerap disebut sebagai dimensi adat Gama (disesuaikan dengan ajaran agama masing-masing).

Semua suku bangsa dan etnis di Indonesia memiliki dan terikat secara kultural maupun sosial ekonomi atas aturan dan tatanan nilai tradisional yang mengacu kepada adat dan hukum adat dengan penselarasan hukum-hukum agama atau kepercayaan.

Melihat dalam perspektif keberadaan kelembagaan adat dan hukum adat dalam kesehariannya merupakan bentuk keaslian dari masyarakat setempat yang memiliki asas gotong royong (partisipasi) karena didasarkan atas kebutuhan bersama. Nilai-nilai gotong royong dan semangat kebersamaan ini sesungguhnya merupakan padanan dari cita-cita masyarakat desa yaitu demokrasi, partisipasi, transparansi, beradat dan saling menghormati perbedaan (keberagaman).

Tanpa disadari bahwa nilai luhur dari semua aspek kehidupan telah diatur dengan norma-norma hukum adat yang teradat. Masyarakat adat memiliki tatanan dan lembaga adat dengan berbagai perangkat hukum yang dimiliki dan memiliki eksistensi yang kuat hingga saat ini. Lembaga adat terbukti sebagai lembaga yang menyelesaikan konflik-konflik yang tidak mampu ditangani oleh struktur lembaga formal.

Masyarakat Adat didefinisikan sebagai : Kelompok masyarakat yang memiliki asal-usul leluhur (secara turun-temurun) di wilayah geografis tertentu, serta memiliki sistem nilai, ideologi, ekonomi, politik, budaya, sosial dan wilayah sendiri. Artinya suatu kelompok termasuk dalam masyarakat adat jika dia mempunyai sistem tersendiri dalam menjalankan penghidupan (liveli-hood) mereka, yang terbentuk karena interaksi yang terus menerus di dalam kelompok tersebut dan mempunyai wilayah teritori sendiri, dimana sistem-sistem nilai yang mereka yakini masih diterapkan dan berlaku bagi kelompok tersebut.

Dengan adanya UU No. 5 Thn. 1970 tentang Pemerintahan di Desa membuat sistem pemerintahan adat tergusur dan kehilangan fungsinya. Karena UU tersebut menseragamkan struktur kepemimpinan di desa dengan menempatkan Kepala Desa sebagai pemimpin tertinggi. Padahal Kepala Desa diangkat oleh pemerintah, ketimbang Kepala Adat yang dipilih oleh rakyatnya. Sejak itu lambat laun sistem pemerintahan masyarakat adat kehilangan fungsinya, dimana sekarang sekedar menjadi simbol tanpa kekuasaan yang berarti. Dewasa ini, adat hanya terbatas kepada ritual budaya yang dipertahankan untuk nilai komersil, utamanya untuk mendongkrak sektor pariwisata.

Jauh sebelum Negara Kesatuan Republik Indonesia ini berdiri, harus diakui telah hidup masyarakat dengan wujud kesatuan sosial dengan cirinya masing-masing yang terus-menerus melembaga, sehingga menjadi suatu kebudayaan lengkap dengan tatanan aturan tingkah lakunya. Interaksi yang terus menerus di antara mereka membuat mereka mempunyai sistem politik, sistem ekonomi dan sistem pemerintahan sendiri.

Sistem Kebudayaan yang beraneka itu, ternyata belumlah tuntas dibahas dan dipahami. Sedang pada tatanan lain, adanya kemajemukan sistem budaya di Indonesia ini telah diakui dari semboyan Negara yaitu "BHINNEKA TUNGGAL IKA" yang artinya walaupun beraneka ragam budayanya, tetapi kita adalah satu kesatuan dalam Negara Republik Indonesia.

Namun pada kenyataannya yang terjadi di lapangan berkata lain. Banyak cerita pedih seputar keberadaan masyarakat adat terutama jika berbicara hak dan akses mereka terhadap sumber daya alam. Cerita penggusuran rakyat pribumi dari sumber-sumber kehidupannya menghiasi sejarah pembangunan di negeri ini. Contohnya saja Suku Amungme dan Komoro di Irian akibat eksploitasi pertambangan di tanah mereka, Suku Sakai di Riau karena adanya eksploitasi perminyakan, dan orang-orang Dayak di Kalimantan akibat eksploitasi di sektor kehutanan dan pertambangan.

Sebaiknya sebelum semua menjadi terlambat, perhatian khusus dan penghargaan yang layak bagi masyarakat adat harus segera dimulai, untuk menghindari kisah sedih bangsa Indian di Amerika Utara dan suku Aborigin di Australia tidak terjadi di negeri yang menjunjung tinggi falsafah Pancasila ini.
Adat merupakan pencerminan daripada kepribadian sesuatu bangsa, merupakan salah satu penjelmaan daripada jiwa bangsa yang bersangkutan dari abad ke abad.
Oleh karena itu, maka tidap bangsa didunia ini memiliki adat kebiasaan sendiri-sendiri yang satu dengan yang lainnya tidak sama. Justru oleh karena ketidak samaan itu kita dapat mengatakan bagwa adat itu  merupakan unsur yang terpenting yang memberikan identitas kedpa bangsa yang bersangkutan. Tingkatan peradaban, maupun cara penghidupan yang modern, ternyata tidak mampu menghilangkan adat kebiasaan yang hidup dalam masyarakat; paling-paling yang terlihat dalam proses kemajuan zaman itu adalah, bahwa adat tersebut menyesuaikan diri dengan keadaan dan kehendak zaman, sehingga adat itu menjadi kekal serta tetap segar.
Ditegaskan bahwa Adat merupakan endapan kesusilaan dalam masyarakatm yaitu bahwa : kaidah-kaidah adat itu berupa kaidah-kaidah kesusilaan yang kebenarannya telah mendapat pengakuan umum dalam masyarakat itu. Meskipunm ada perbedaan sifat atau perbedaan corak antara kaidah-kaidah kesusilaan dan kaidah –kaidah hukum, namun bentuk-bentuk perbuatan yang menurut hukum di larang atau disuruh itu adalah menurut kesusilaan bentuk-bentuk yang dibela atau dianjurkan juga, sehingga pada hakikinya dalam patokan lapangan itu juga hukum itu berurat pada kesusilaan. Apa yang tidak dapat terpelihara lagi hanya oleh kaidah kesusilaan, diihtiyarkan pemeliharaannya dengan kaidah hukum.
Melacak asal muasal hukum adat adalah dengan cara memahami akar dimana kaidah-kaidah kesusilaan itu diakui dan diyakini mempunyai daya mengikat dan memaksa bagi masyarakat adat. Dengan demikian kaidah-kaidah kesusilaan atau norma yang mereka yakini tersebut menjadi baku dan kokoh sehingga menjadi hukum adat. Norma dan hukum mempunyai hubungan dengan kesusilaan, langsung atau tidak langsung. Dengan demikian maka dalam sistem hukum yang sempurna tidak ada tempat bagi sesuatu yang tidak selaras atau yang bertentangan dengan kesusilaan. Demikian juga dengan hukum Adat; teristimewa disini dijumpai perhubungan dan persesuaian yang langsung antara hukum dan kesusilaan; pada akhirnya hubunghan antra Hukum dan Adat yaitu sedemikian langsungnya sehingga istilah buat yang di sebut “Hukum Adat” itu tidak dibutuhkan oleh rakyat biasa yang  memahamkan menurut halnya sebutan “Adat” itu, atau dalam artinya sebagai (Adat) sopan-santun atau dalam artinya sebagai hukum.
Hukum adat pada umumnya belum/tidak tertulis dalam lembaran-lembaran hukum. Oleh karena itu para ahli hukum mengatakan “memang hukum keseluruhannya di Indonesia ini tidak teratur, tidak semurna, tidak tegas.  Oleh orang asing hukum adat dianggap sebagai peraturan-peraturan “ajaib” yang sebagian simpang siur.  Karena sulit dimengerti. Dan oleh karena ketidak tahuan itu mereka menyebutnya demikian.
Apabila mau mencermati urat akar hukum adat secara sungguh-sungguh dengan penuh perasaan maka sebenarnya banyak hal yang mengagumkan, yaitu adat-istiadat dahulu dan sekarang, adat-istiadat yang hidup, yang berkembang serta yang berirama.
Memang tidak semua kebiasaan-kebiasaan, tradisi, atau adat itu merupakan hukum. Ada perbedaan antara adat-istiadat/tradisi dengan hukum adat.  Menurut Van Vollen Hoven ahli hukum adat Barat mengatakan hanya adat yang bersaksi memupunyai sifat hukum serta merupakan hukum adat. Sanksinya adalah berupa reaksi dari masyarakt hukum yang bersangkutan. Reaksi adat masyarakat hukum yang bersangkutan ini dalam pelaksanaannya sudah barang tentu dilakukan oelh penguasa masyarakat hukum dimaksud. Penguasa masyarakt hukum yang bersangkutan menjatuhkan sanksinya terhadap si pelanggar peraturan adat, menjatuhkan keputusan hukum. Hukum adat disebut hukum jika ada dua unsur didalamnya.pertama, Unsur kenyataan, bahwa adat itu dalam keadaan yang sama selalu diindahkan oleh rakya. Kedua, Unsur psikologis bahwa terdapat adanya keyakinan pada rakyat, bahwa adat dimasud mempunyai kekuatan hukum dan punya sanksi yang mengikat. Dengan dua unsur diatas ini lah yang menimbulkan kewajiban hukum (opinio yuris neccessitatis)


1. Corak-Corak Hukum Adat Indonesia
Hukum adat kita mempunyai corak-corak tertentu adapun corak-corak yang terpenting adalah :
1. Bercorak Relegiues- Magis :
Menurut kepercayaan tradisionil Indonesia, tiap-tiap masyarakat diliputi oleh kekuatan gaib yang harus dipelihara agar masyarakat itu tetap aman tentram bahagia dan lain-lain. Tidak ada pembatasan antara dunia lahir dan dunia gaib serta tidak ada pemisahan antara berbagai macam lapangan kehidupan, seperti kehidupan manusia, alam, arwah-arwah nenek moyang dan kehidupan makluk-makluk lainnya.
Adanya pemujaan-pemujaan khususnya terhadap arwah-arwah darp pada nenek moyang sebagai pelindung adat-istiadat yang diperlukan bagi kebahagiaan masyarakat. Setiap kegiatan atau perbuatan-perbuatan bersama seperti membuka tanah, membangun rumah, menanam dan peristiwa-pristiwa penting lainnya selalu diadakan upacara-upacara relegieus yang bertujuan agar maksud dan tujuan mendapat berkah serta tidak ada halangan dan selalu berhasil dengan baik.

Arti Relegieus Magis adalah :
ü  bersifat kesatuan batin
ü  ada kesatuan dunia lahir dan dunia gaib
ü  ada hubungan dengan arwah-arwah nenek moyang dan makluk-makluk halus lainnya.
ü  percaya adanya kekuatan gaib
ü  pemujaan terhadap arwah-arwah nenek moyang
ü  setiap kegiatan selalu diadakan upacara-upacara relegieus
ü  percaya adnya roh-roh halus, hatu-hantu yang menempati alam semesta seperti terjadi gejala-gejala alam, tumbuh-tumbuhan, binatang, batu dan lain sebagainya.
ü  Percaya adanya kekuatan sakti
ü  Adanya beberapa pantangan-pantangan.

2. Bercorak Komunal atau Kemasyarakatan
Artinya bahwa kehidupan manusia selalu dilihat dalam wujud kelompok, sebagai satu kesatuan yang utuh. Individu satu dengan yang lainnya tidak dapat hidup sendiri, manusia adalah makluk sosial, manusia selalu hidup bermasyarakatan, kepentingan bersama lebih diutamakan dari pada kepentingan perseorangan..
Secara singkat arti dari Komunal adalah :
ü  manusia terikat pada kemasyarakatan tidak bebas dari segala perbuatannya.
ü  Setiap warga mempunyai hak dan kewajiban sesuai dengan kedudukannya
ü  Hak subyektif berfungsi sosial
ü  Kepentingan bersama lebih diutamakan
ü  Bersifat gotong royong
ü  Sopan santun dan sabar
ü  Sangka baik
ü  Saling hormat menghormati

3. Bercorak Demokrasi
Bahwa segala sesuatu selalu diselesaikan dengan rasa kebersamaan, kepentingan bersama lebih diutamakan dari pada kepentingan-kepentingan pribadi sesuai dengan asas permusyawaratan dan perwakilan sebagai system pemerintahan.
Adanya musyawarah di Balai Desa, setiap tindakan pamong desa berdasarkan hasil musyawarah dan lain sebagainya.

4. Bercorak Kontan :
Pemindahan atau peralihan hak dan kewajiban harus dilakukan pada saat yang bersamaan yaitu peristiwa penyerahan dan penerimaan harus dilakukan secara serentak, ini dimaksudkan agar menjaga keseimbangan didalam pergaulan bermasyarakat.

5. Bercorak Konkrit
Artinya adanya tanda yang kelihatan yaitu tiap-tiap perbuatan atau keinginan dalam setiap hubungan-hubungan hukum tertentu harus dinyatakan dengan benda-benda yang berwujud. Tidak ada janji yang dibayar dengan janji, semuanya harus disertai tindakan nyata, tidak ada saling mencurigai satu dengan yang lainnya.

2. Dasar Hukum Sah Berlakunya Hukum Adat
Dalam Batang Tubuh UUD 1945, tidak satupun pasal yang mengatur tentang hukum adat. Oleh karena itu, aturan untuk berlakunya kembali hukum adat ada pada Aturan Peralihan UUD 1945 Pasal II, yang berbunyi :
“Segala badan Negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini”.
Aturan Peralihan Pasal II ini menjadi dasar hukum sah berlakunya hukum adat. Dalam UUDS 1950 Pasal 104 disebutkan bahwa segala keputusan pengadilan harus berisi alasan-alasannya dan dalam perkara hukuman menyebut aturanaturan Undang-Undang dan aturan adat yang dijadikan dasar hukuman itu. Tetapi UUDS 1950 ini pelaksanaannya belum ada, maka kembali ke Aturan Peralihan UUd 1945.
Dalam Pasal 131 ayat 2 sub b. I.S. menyebutkan bahwa bagi golongan hukum Indonesia asli dan Timur asing berlaku hukum adat mereka, tetapi bila kepentingan sosial mereka membutuhkannya, maka pembuat Undang-Undang dapat menentukan bagi mereka :
1.       Hukum Eropa
2.       Hukum Eropa yang telah diubah
3.       Hukum bagi beberapa golongan bersama dan
4.       Hukum baru yaitu hukum yang merupakan sintese antara adat dan hukum mereka yaitu hukum Eropa.

Pasal 131 ini ditujukan pada Undang-Undangnya, bukan pada hakim yang menyelesaikan sengketa Eropa dan Bumi Putera. Pasal 131 ayat (6) menyebutkan bahwa bila terjadi perselisihan sebelum terjadi kodifikasi maka yang berlaku adalah hukum adat mereka, dengan syarat bila berhubungan dengan Eropa maka yang berlaku adalah hukum Eropa. Dalam UU No. 19 tahun 1964 pasal 23 ayat (1) menyebutkan bahwa segala putusan pengadilan selain harus memuat dasar-dasar dan alasan-alasan putusan itu jug aharus memuat pula pasal-pasal tertentu dari peraturan yang bersangkutan atau sumber hukum tidak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili. UU No. 19 tahun 1964 ini direfisi jadi UU No. 14 tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman karena dalam UU No. 19 tersebut tersirat adanya campur tangan presiden yang terlalu besar dalam kekuasaan yudikatif. Dalam Bagian Penjelasan Umum UU No. 14 tahun 1970 disebutkan bahwa yang dimansud dengan hukum yang tidak tertulis itu adalah hukum adat.
Dalam UU No. 14 tahun 1970 Pasal 27 (1) ditegaskan bahwa hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilainilai hukum yang hidup di masyarakat.
Dari uraian di atas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa yang menjadi dasar berlakunya hukum adat di Indonesia adalah :
1.       Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang menjadi dasar berlakunya kembali UUD 1945.
2.       Aturan Peralihan Pasal II UUD 1945
3.       Pasal 24 UUD 1945 tentang kekuasaan kehakiman
4.       Pasal 7 (1) UU No. 14/ 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman.

3. Sumber-Sumber Hukum Adat
Sumber-sumber hukum adat adalah :
1.       Adat-istiadat atau kebiasaan yang merupakan tradisi rakyat
2.       Kebudayaan tradisionil rakyat
3.       Ugeran/ Kaidah dari kebudayaan Indonesia asli
4.       Perasaan keadilan yang hidup dalam masyarakat
5.       Pepatah adat
6.       Yurisprudensi adat
7.       Dokumen-dokumen yang hidup pada waktu itu, yang memuat ketentuan - ketentuan hukum yang hidup.
8.       Kitab-kitab hukum yang pernah dikeluarkan oelh Raja-Raja.
9.       Doktrin tentang hukum adat
10.   Hasil-hasil penelitian tentang hukum adatNilai-nilai yang tumbuh dan berlaku dalam masyarakat.

4. Pembidangan Hukum Adat
Mengenai pembidangan hukum adat tersebut, terdapat pelbagai variasi, yang berusaha untuk mengidentifikasikan kekhususan hukum adat, apabiladibandingkan dengan hukum Barat. Pembidangan tersebut biasanya dapat diketemukan pada buku-buku standar, dimana sistematika buku-buku tersebut merupakan suatu petunjuk untuk mengetahui pembidangan mana yang dianut oleh penulisnya. Van Vollen Hoven berpendapat, bahwa pembidangan hukum adat, adalah sebagai berikut :
1.       Bentuk-bentuk masyarakat hukum adat
2.       Tentang Pribadi
3.       Pemerintahan dan peradilan
4.       Hukum Keluarga
5.       Hukum Perkawinan
6.       Hukum Waris
7.       Hukum Tanah
8.       Hukum Hutang piutang
9.       Hukum delik
10.   Sistem sanksi.

Soepomo Menyajikan pembidangnya sebagai berikut :
1.       Hukum keluarga
2.       Hukum perkawinan
3.       Hukum waris
4.       Hukum tanah
5.       Hukum hutang piutang
6.       Hukum pelanggaran

Ter Harr didalam bukunya “ Beginselen en stelsel van het Adat-recht”, mengemukakan pembidangnya sebagai berikut :
1.       Tata Masyarakat
2.       Hak-hak atas tanah
3.       Transaksi-transaksi tanah
4.       Transaksi-transaksi dimana tanah tersangkut
5.       Hukum Hutang piutang
6.       Lembaga/ Yayasan
7.       Hukum pribadi
8.       Hukum Keluarga
9.       Hukum perkawinan.
10.   Hukum Delik
11.   Pengaruh lampau waktu

Pembidangan hukum adat sebagaimana dikemukakan oleh para sarjana tersebut di atas, cenderung untuk diikuti oleh para ahli hukum adat pada dewasa ini. Surojo Wignjodipuro, misalnya, menyajikan pembidangan, sebagai berikut :
1.       Tata susunan rakyat Indonesia
2.       Hukum perseorangan
3.       Hukum kekeluargaan
4.       Hukum perkawinan
5.       Hukum harta perkawinan
6.       Hukum (adat) waris
7.       Hukum tanah
8.       Hukum hutang piutang
9.       Hukum (adat) delik
Tidak jauh berbeda dengan pembidangan tersebut di atas, adalah dari Iman Sudiyat didalam bukunya yang berjudul “Hukum Adat, Sketsa Asa” (1978), yang mengajukan pembidangan, sebagai berikut :
1.       Hukum Tanah
2.       Transaksi tanah
3.       Transaksi yang bersangkutan dengan tanah
4.       Hukum perutangan
5.       Status badan pribadi
6.       Hukum kekerabatan
7.       Hukum perkawinan
8.       Hukum waris
9.       Hukum delik adat.



Kepemimpinan Sunda

Bagaimana Substansi Karakteristik Kepemimpinan Ki Sunda
PRASASTI PRABU WASTU KANCANA 1371-1482
(Beliau Raja dari Kerajaan Kawali Galuh yang merupakan kakeknya Prabu siliwangi)
PRASASTI KAWALI : I
(…..Aya ma nu pandeuri, pakena gawe rahayu, pakeun heubeul jaya dina buana)
Artinya :
“….Semoga ada penerus yang lahir kemudian, yang membiasakan diri berbuat kebajikan, agar lama berjaya di dunia.
PRASASTI KAWALI : II
(…Aya ma nu ngeusi bhagya kawali, bari pakena kereta bener, pakeun na (n) jeur na juritan )
Artinya :
Semoga ada penerus negeri kawali dengan kebahagiaan, sambil membiasakan diri berbuat kesejahteraan sejati, agar tetep unggul dalam perang
PRASASTI KAWALI : III
(…Ulah botoh bisi kokoro  )
Artinya :
Janganlah kamu serakah nanti bisa sengsara.
AMANAT GALUNGGUNG
(Amanat Prabuguru Darmasiksa dari kerajaan Saunggalah-
Kerajaan Sunda 1175-1297 M)
1.“…Ketidak pastian dan kesemrawutan keadaan dunia ini disebabkan oleh salah prilaku dan salah tindak dari para orang terkemuka, penguasa, para cerdik pandai dan para orang kaya; kesemuanya salah bertindak termasuk para raja diseluruh dunia
2.“…Cegahlah kabuyutan (tanah airmu) jangan sampai dikuasai orang asing,…(sebab)…”Lebih berharga Kulit Lasun (musang berbau busuk) yang tercampak ditempat sampah daripada putera raja (anak bangsa) yang tidak bisa mempertahankan kesucian dan Keutuhan kabuyutan (wilayah tanah airnya)
(koropak :632, alih bahasa Hidayat Suryalaga : Kasundaan Rawayan jati,  wahana aksara sunda,2003)
SIAPAKAH ORANG SUNDA ITU ?
Menurut Drs.Hidayat Suryalaga terbagi dalam 4 kategori sebagai berikut :
1. SUNDA SUBJEKTIF
(yaitu orang yang merasa dirinya sebagai orang sunda
dan harus mampu berprilaku nyunda)
2. SUNDA OBJEKTIF
(yaitu yang menurut orang lain adalah sunda,
maka orang itu harus berprilaku nyunda)
3. SUNDA GENETIK
(Orang yang Ibu dan bapaknya Sunda,
maka dia harus berprilaku nyunda)
4. SUNDA KULTURAL
(Orang yang salah satu orang tuanya Sunda,
mereka yang terpanggil dan “mikadeudeuh” sunda
serta berusaha berprilaku nyunda)
5. SUNDA MAHIWAL *)
(Orang Sunda yang Ibu bapaknya genetik sunda, hidup ditatar Sunda akan tetapi tidak mencerminkan nilai-nilai kesundaan dan tidak berperilaku nyunda)
*) Tambahan dari hasil analisys dan observasi penyaji
Adat Istiadat, Kebiasaan, Dan Pandangan Hidup Orang Sunda

  1.  PURBASTITI (merupakan istilah sunda kuno untuk istilah adat istiadat, kebiasaan dan hukum)
 2. PURBAJATI (merupakan istilah sunda kuno untuk istilah peraturan kehidupan asli orang sunda yang bersumber dari nilai-nilai masa lampau)
3. RAWAYANJATI (Istilah sunda kuno untuk istilah pandangan hidup orang sunda)
Nilai-Nilai Penting Kehidupan Orang Sunda
1. Ciri-ciri populer tipikal orang sunda : Periang, suka humor, senang berkesenian, tidak pendendam, lemah lembut, sopan, berjiwa kesatria, tidak suka menonjolkan diri dan tenggang rasa
2. Masyarakatnya bersifat terbuka, demokratik, kuat dipengaruhi nilai Islam, santai,terikat kuat dengan tempat kelahirannya, kepatuhan anak pada orang tua sangat tinggi, memiliki kesadaran hubungan darah yang tinggi, berkecenderungan pada bercocok tanam, memiliki pola hubungan bertetangga yang longgar, bercita-cita mewujudkan kehidupan yang seimbang (artinya baik kepentingan pribadi maupun kepentingan kelompok keduanya harus dipenuhi)
3. Kehidupan keluarga sunda bersifat “parental” yaitu menarik garis keturunan dari pihak ibu dan bapak bersama-sama.
4. Ketika meninggal dunia biasanya “berwasiat” untuk dikuburkan ditanah kelahirannya dan sangat bangga jika meninggal di tanah suci mekah.
5. Kehidupan keagamaan dalam masyarakat sunda tampak dalam upacara selamatan yang biasanya berkaitan dengan tahap-tahap lingkaran hidup mulai dari kelahiran, potong rambut, khitanan, perkawinan dan kematian.
Bagaimana Alur Fikir Kepemimpinan Orang Sunda
Alur Fikir
Pandangan Hidup Orang Sunda
1. SIRNANING CIPTA
 Sangat sadar dan mengakui dirinya sebagai Hamba Allah,SWT
2. SIRNANING RASA
 Memiliki kesadaran bahwa dipundaknya terdapat Amanah yang di berikan Alloh,SWT
3.  SIRNANING KARSA
Memiliki kesadaran bahwa tugasnya mensejahterakan kehidupan di bumi
4. SIRNANING KARYA
Harus mampu berperan/memerankan “Tri Tangtu Di Bumi” (Rama, Resi dan Prabu)
RAMA   : Keluarga sejahtera lahir dan
                Bathin.
RESI     : Berilmu, cerdik pandai, alim 
                ulama, dan ilmuwan
PRABU : Pemimpin, birokrat (eksekutif, 
                legislatif dan yudikatif.
5. SIRNANING DIRI
Manusia yang “Nyunda” dicirikan pada dirinya sbb :
1.Pengkuh Agama Islamna
   ( perilakunya nyunda & Religius)
2.Luhung Elmu Pangaweruhna
   (Cerdas dan memiliki daya saing)
3.Jembar Budaya Sundana
   (Tidak tercerabut jati diri dari budayanya)
4.Rancage Gawena
   ( Berperilaku aktif, kreatif dan berprestasi)
5 Hade Hate Kasasama
   (sadar diri, tahu diri dan peka terhadap lingkungannya)

6.SIRNANING HIRUP
Memiliki karakteristik dan sikap hidup untuk bisa hidup nyunda, nyantri dan nyakola :
a.  SILIH ASIH
     (Proses bermasyarakat yang dilandasi kesetaraan, kemitraan dan silaturahmi)
b.  SILIH ASAH
      (Proses saling mencerdaskan akal fikiran untuk peningkatan kualitas SDM)
c.   SILIH ASUH
      (Proses mendudukan seseorang secara proporsional dan profesional berdasarkan moralitas, religi dan prestasi)

7. SIRNANING HURIP
Capaian Kualitas Hidup unggul,indikatornya dicirikan dengan :
CAGEUR   : Sehat lahir bathin untuk mampu  
                            berinteraksi
BAGEUR   : Bermoral dan taat hukum
BENER      : Beriman, jujur, adil, visioner dan 
                            bertanggung jawab
PINTER     : Beretos kerja tinggi, berprestasi dan
                            pro aktif
SINGER     : Terampil dan cepat tanggap
TEGER      : Optimis dan pantang menyerah
WANTER   : Terbuka, kolaboratif dan berani
CANGKER : Kokoh, kuat dan tangguh
8. SIRNANING WUJUD
Orang Sunda yang sudah mampu
berperan, memerankan dan memiliki :

1.      Kualitas keimanan dan ketakwaan unggul
2.      Kualitas pribadinya unggul dan jadi teladan
3.      Kualitas moral peka terhadap manusia lain
4.      Kualitas Moral peka terhadap alam & lingkungannya
5.      Kualitas moral komitmen terhadap waktu
6.      Kualitas kesadaran humaniora atas Logika, Etika dan Estetika yang dikuasainya untuk mendapatkan mardlotilah
9. SIRNANING DUNYA
Manusia Sunda yang memiliki kualitas amal-ibadah dan pengabdian pada sesama
Nyunda (Berbasis nilai unggul kesundaan)
Nyantri (Berlandaskan nilai Religi)
Nyakola ( Mempertimbangkan segala sesuatu dengan penuh kearifan)
Nyantika ( Memperlakukan segala sesuatu secara profesional dan proporsional)
Nyatria ( Berpenampilan tegas, objektif, terbuka, jujur, kompetitif, berani dan sangat bertanggung jawab)