Demokrasi dan sirkulasi kekuasaan secara damai


A. Demokrasi Berjalan secara damai
Setiap sistem politik akan mengalami perubahan dari waktu ke waktu, hal ini disebabkan oleh sifat dari sistem politik akan berjalan dinamis sesuai dengan harapan masyarakat pendukungnya (politics community). Demokrasi beranggapan semua orang dinyatakan sama, karena memiliki naluri untuk mendapatkan hak hidup, hak akan rasa aman, hak untuk mendapatkan pekerjaan. Manusia itu sama yang membedakan adalah perannya, ada yang berperan sebagai ustadz, pastur, pendeta, pengusaha, aparat keamanan, birokrat, politis, tukang baso, dan sebagainya. Semua manusia tersebut sama saja, yang membedakan manusia adalah peran yang dijalankannya. Parameter yang digunakan dalam demokrasi tidak melihat perannya, tetapi lebih dilihat pada keberadaan individu sebagai manusia yang dianggap sama dan memiliki martabat yang sama sebagai makhluk ciptaan tuhan.
Sistem politik yang demokratis , bagi segelintir orang menggangap demokratis dianggap sebagai produk yang membahayakan dan menyesatkan manusia. Beberapa aspek yang lain dari berbagai kebijakan politik orde baru menjadikan bangsa  indonesia sulit menjadi masyarakat mandiri, hal ini disebabkan sebagai besar masyarakat indonesia berharap menjadi pegawai negeri, sehingga rasio anatara pengusaha untuk suatu negara maju adalah 20% penduduk sebagai pengusaha.
B. Sirkulasi kekuasaan 
Suatu sistem politik yang pernah diterapkan di dunia ini, baik yang otoriter, monarkhi, dan apalagi demokrasi semuanya mengalami dan kekurangannya. Secara umum peralihan kekuasaan menurut Paul Conn menjelaskan tentang wujud kekuasaan yang ada di masyarakat paling tidak terdapat tiga cara, yakni turun-temurun, pemilihan, dan paksaan. Suatu negara yang menganggap dirinya paling demokratis akan tetapi dalam praktiknya tidak mencerminkan proses dan pola berjalannya demokrasi. Sikap dan perilaku elit merupakan gambaran demokrasi yang berjalan, hal ini ditunjukkan sulitnya pergantian, maka itu akan mengancam bagi tumbuh dan kembangnya salah satu esensi demokrasi.
C. Sirkulasi Kekuasaan di Indonesia
Bung Karno dan Bung  Hatta ditetapkan secara aklamasi oleh sidang yang juga mengesahkan Undang-undang Dasar 1945, untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden. Antara tahun 1945-1949 keadaan Indonesia masih berada dalam suasana darurat. Kita masih terlibat  perang dengan Belanda dan perang dengan kompi-kompi militer yang memberontak termasuk pemberontakan Partai Komunis Indonesia.
D. Demokrasi Versus Status Quo Di Masa Orde Baru
Orde lama dan baru meletakan seorang individu sebagai tokoh utama yang diagungkan karena sudah memberikan jasa yang besar bagi bangsa dan negara, karena itu berkaitan dengan tradisi untuk memilih ketua partai sebagai kepala pemerintahan seperti dalam periode 1950-1959 yang dianggap liberal. Anti terhadap rezim orde baru dan antek-anteknya sering dikumandangkan dengan terminologi reformasi, setiap orang yang dianggap terindikasi bagian dari orde baru merupakan ancaman bagi berlangsungnya proses reformasi. Pengalaman proses demokrasi di indonesia pada masa orde lama dan orde baru boleh disebut sebagai akibat dari peristiwa darurat, soekarno hadir dalam suasana indonesia memasuki reevolasi kemerdekaan dan soeharto atas dasar prestasinya memberantas G.30.S/PKI.
E. Interperensi Demokrasi
Era demokrasi yang  terjadi saat ini harus dipahami secara mendalam,sehingga setiap praktek demokrasi harus berdasarkan pada ketentuan yang termaktub dalam konstitusi. Perebutan kekuasaan dimasyarakat memberikan interpensi tentang dinamika politik dari proses demokrasi yang sedang berlangsung yang menuntut pada “kekuasaan rakyat”. Golongan pro yang umumnya berpendidikan tinggi dan yang terutama menganut pandangan barat.
F. Peluangan Dan Tantangan Demokrasi Di Indonesia
Sistem  politik dimasa orde lama dan orde baru yang  sulit memberikan ruang untuk menciptakan pergantian kepala negara secara teratur. Kekuasaan pemerintah orde lama selama 20 tahun dipimpin oleh seorang kepala negara demikian pula dengan pemerintahan orde baru dipimpin selama 32 tahun oleh seorang kepala negara. Pasca pemilu dimasa orde baru bangsa indonesia sudah memiliki budaya politiknya sesuai dengan perkembangan masyarakatnya. Masyarakat dan rakyat indonesia pada umunya sangat mempercayai seorang pemimpin negara dan memiliki sikaf untuk mengkultuskan individu-individu tertentu.
Bab VI Perubahan Sistem Poltik Indonesia
Suatu negara bangsa yang ada saat ini saling bersentuhan antara satu dengan yang lain, setiap sentuhan dan kontak-kontak dapat menimbulkan pengaruh yang besar. Pengaruh akan tampak pada sistem politik yang dianut dan diterapkan dinegara yang bersangkutan.
Demokrasi sebenarnya hanya merupakan salah satu instrumen untuk mewujudkan kesejahtraan, rasa keadilan, dan kemakmuran. Kemampuan suatu negara bangsa untuk mempertahankan eksistensi dirinya dari berbagai tensi iklim politik internasional menjadi pembeda kekuatan sistem politik yang dianut, kekuatan sistem politik menjawab berbagai persoalan ekonomi yang melanda suatu negara ditentukan oleh kemampuan sistem politik menghadapi lingkungan yang berada disekitarnya.
The extractive capability
Sistem politik yang luwes dan dapat menyesuaikan diri terhadap lingkungan yang mengitarinya adalah sistem politik yang dianggap baik. Sistem politik seperti ini akan mampu memberikan jawaban terhadap persoalan yang dihadapinya dengan memanfaatkan sumber-sumber yang dimilikinya. Jadi apakah pengertian extractive capability atau range performance dari sistem politik dalam mengelola sumber-sumber material dan manusiawi dari lingkungan domestikmaupun lingkungan internasional
The regulative capability
Sistem politik demokratis akan memberikan ruang kepada warga negaranya untuk berpartisipasi dan terlibat dalam penyelenggaraan negara, karena itu banya kepentingan dan tuntutan yang dikehendaki oleh berbagai pihak. Kekuatan politik yang bersifat regulatife berguna untuk mengatur tata hidup dan pola hubungan sedemikian rupa, dengan tujuan adanya keteraturan politik dan sosial.
The distrubutive capability
Aktivitas politik yang berlangsung sisuatu negara akan berhubungan dengan kegiatan lainya, seperti pada kegiatan ekonomi, kecenderugan kegiatan ekonomi akan berlangsung dengan aktivitas politik yang diwujudakan dalam kemampuan distribusi barang dan jasa ditengah-tengah kehidupan masyarakat. Warga negara diberikan kesempatan yang sama untuk melakukan berbagai kegiatan yang berkaitan dengan kebutuhan dan harapannya.kemampuan distributif secara keseluruhan tetap mengarah pada kepentingan dalam mewujudkan stabilitas politik.
The symbolic capability
The symbolic capability atau kemapuan simbolik sebagai instrumen pengikat dan pemersatu seluruh komunitas politik berasal dan tumbuh dari dalam maupun ddari luar sistem politik. Kemampuan simbolik disampin sebagai pengikat, menjadi ciri dari sistem politik dan menjawab seemua persoalan yang dihadapi oleh sistem politik.
The responsive capability
Sistem politik akan selalu memiliki ruang untuk memberikan umpan balik agar tetap berjalan dengan sesuai fungsi dan tujuan yang akan dicapai. Fungsi input, process, dan output merupakan mekanisme yang berjalan dengan sistem politik yang didalamnya sistem politik tertutup, otoriter, maupun tirani.
Domestic and internasional capability
Kemajuan teknologi inforamsi membuat dunia semakin terbuka lebar dalam melakukan interaksi antara masyarakat bangsa didunia. Bangsa yang mampu mengembangkan kemampuan domestik dan internasional akan mampu mengatasi persoalan yang sering dihadapi, dal ini biasanya terjadi dinegara yang sudah sangat stabil.
B. Sistem Politik Indonesia Sudah Berada Dipersimpangan
Ada yang mengatakan, bahwa sistem politik pancasila atau demokrasi pancasila  adalah hasil kompromi dua buah sistem politik demokrasi liberalisme dan dan sistem politik komunsime. Persoalan ekonomi dan politik merupakan dua mata rantai yang tidak bisa dipisahkan antara satu dengan yang lainnya, tetapi merupakan ikatan yang saling pengaruh-mempengaruhi terutama pada sektor makro ekonomi.
C. Perubahan  Sistem Politik Indonesia : Keinginan Rakyat Dan Globalisasi Dunia

sistem politik disetiap masyarakat dapat tergambar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang tidak hanya merupakan suatu gagasan semata-mata. Konstitusi merupakan bentuk gambaran dari sistem politik yang dianut oleh suatu negara demokrasi konstitusional, perubahan yang diharapkan sangat disambut dengan antusias dan dibahas dalam sidang-sidang  rapat persiapan kemerdekaan indonesia pada tahun 1945.demokrasi terpimpin yang sebelumnya tidak pernah dikenal dalam kamus politik , kemudian digunakan sebagai instrumen untuk melanggengkan kekuasaannya. Demokrasi konstitusi yang berjalan baik pada masa orde baru berakhir sejak dimulainya fusi beberapa partai politik menjadi tiga partai politik sebagai kontestan pemilu.  

Pemikiran politik Babeh Pembangunan

Biografi Singkat H.M. Soeharto
Jenderal Besar Purnawirawan Haji Muhammad Soeharto, (lahir di Kemusuk, Argomulyo, Yogyakarta, 8 Juni, 1921 – Jakarta, 27 Januari 2008) adalah Presiden Indonesia yang kedua, menggantikan Soekarno. Setelah dirawat selama sekitar 24 hari di rumah sakit, ia meninggal akibat kegagalan multifungsi organ di RS Pusat Pertamina, Jakarta Selatan pukul 13.10 WIB. Secara informal, "Pak Harto" juga dipakai untuk menyapanya.
Ia mulai menjabat sejak keluarnya Supersemar pada tanggal 12 Maret 1967 sebagai Penjabat Presiden, dan setahun kemudian dilantik sebagai Presiden pada tanggal 27 Maret 1968 oleh MPRS.
Soeharto dipilih kembali oleh MPR pada tahun 1973, 1978, 1983, 1988, 1993, dan 1998. Pada tahun 1998, masa jabatannya berakhir setelah mengundurkan diri pada tanggal 21 Mei tahun tersebut, menyusul terjadinya Kerusuhan Mei 1998 dan pendudukan gedung DPR/MPR oleh ribuan mahasiswa. Ia merupakan orang Indonesia terlama dalam jabatannya sebagai presiden.
Soeharto menikah dengan Siti Hartinah ("Tien") dan dikaruniai enam anak, yaitu Siti Hardijanti Rukmana (Tutut), Sigit Harjojudanto, Bambang Trihatmodjo, Siti Hediati Hariyadi (Titiek), Hutomo Mandala Putra (Tommy), dan Siti Hutami Endang Adiningsih (Mamiek).[1]

Gaya Kepemimpinan Soeharto
            Diawali dengan Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) pada tahun 1966 kepada Letnan Jenderal Soeharto, maka Era Orde Lama berakhir diganti dengan pemerintahan Era Orde Baru. Pada awalnya sifat-sifat kepemimpinan yang baik dan menonjol dari Presiden Soeharto adalah kesederhanaan, keberanian dan kemampuan dalam mengambil inisiatif dan keputusan, tahan menderita dengan kualitas mental yang sanggup menghadapi bahaya serta konsisten dengan segala keputusan yang ditetapkan.
Gaya Kepemimpinan Presiden Soeharto merupakan gabungan dari gaya kepemimpinan Proaktif-Ekstraktif dengan Adaptif-Antisipatif, yaitu gaya kepemimpinan yang mampu menangkap peluang dan melihat tantangan sebagai sesuatu yang berdampak positif serta mempunyal visi yang jauh ke depan dan sadar akan perlunya langkah-langkah penyesuaian.
Tahun-tahun pemerintahan Suharto diwarnai dengan praktik otoritarian di mana tentara memiliki peran dominan di dalamnya. Kebijakan dwifungsi ABRI memberikan kesempatan kepada militer untuk berperan dalam bidang politik di samping perannya sebagai alat pertahanan negara. Demokrasi telah ditindas selama hampir lebih dari 30 tahun dengan mengatasnamakan kepentingan keamanan dalam negeri dengan cara pembatasan jumlah partai politik, penerapan sensor dan penahanan lawan-lawan politik. Sejumlah besar kursi pada dua lembaga perwakilan rakyat di Indonesia diberikan kepada militer, dan semua tentara serta pegawai negeri hanya dapat memberikan suara kepada satu partai penguasa Golkar.[2]
Bila melihat dari penjelasan singkat di atas maka jelas sekali terlihat bahwa mantan Presiden Soeharto memiliki gaya kepemimpinan yang otoriter, dominan, dan sentralistis. Sebenarnya gaya kepemimpinan otoriter yang dimiliki oleh Almarhum merupakan suatu gaya kepemimpinan yang tepat pada masa awal terpilihnya Soeharto sebagai Presiden Republik Indonesia. Hal ini dikarenakan pada masa itu tingkat pergolakan dan situasi yang selalu tidak menentu dan juga tingkat pendidikan di Indonesia masih sangat rendah. Namun, dirasa pada awal tahun 1980-an dirasa cara memimpin Soeharto yang bersifat otoriter ini kurang tepat, karena keadaan yang terjadi di Indonesia sudah banyak berubah. Masyarakat semakin cerdas dan semakin paham tentang hakikat negara demokratis. Dengan sendirinya model kepemimpinan Soeharto tertolak oleh kultur atau masyarakat. Untuk tetap mempertahkan kekuasaannya Soeharto menggunakan cara-cara represif pada semua pihak yang melawannya.
Pada masa Orde baru, gaya kepemimpinannya adalah Otoriter/militeristik. Seorang pemimpinan yang otoriter akan menunjukan sikap yang menonjolkan “keakuannya”, antara lain dengan ciri-ciri :
  1. Kecendurangan memperlakukan para bawahannya sama dengan alat-alat lain dalam organisasi, seperti mesin, dan dengan demikian kurang menghargai harkat dan maratabat mereka.
  2. Pengutamaan orientasi terhadap pelaksanaan dan penyelesaian tugas tanpa mengaitkan pelaksanaan tugas itu dengan kepentingan dan kebutuhan para bawahannya.
  3. Pengabaian peranan para bawahan dalam proses pengambilan keputusan.

Sesuai dengan masalah dan tujuan yang penulis angkat, pengukuran gaya kepemimpinan Presiden Soeharto di sini diukur dari aspek-aspek: (1) Status kepemimpinan dan kekuasaan; (2) Orientasi pada hubungan; (3) Orientasi pada tugas; (4) Cara mempengaruhi orang lain, dan (5) Kepribadian. Maka hasil analisis menunjukkan kecenderungan-kecenderungan sebagai berikut.
Status kepemimpinan dan kekuasaan
Presiden Soeharto digambarkan sebagai seorang Kepala Negara dibanding sebagai pemimpinan organisasi lainnya. Di media ia hampir tidak pernah ditampilkan sebagai seorang individu atau pribadi[3]. Kecenderungan ini secara jelas terlihat dari frekuensi kemunculan berita yang menunjukkan status Presiden Soeharto ketika menyampaikan pesan-pesan politik adalah sebagai Kepala Negara. Posisi berikutnya menunjukkan status Presiden Soeharto sebagai Kepala Pemerintahan, pemimpin dan juga sebagai  Ketua Dewan Pembina Golkar.
Presiden Soeharto cenderung digambarkan sebagai seorang pemimpin yang menjadi pusat kekuasaan pemerintah dan negara. Media cenderung menggambarkan Presiden Soeharto sebagai pemimpin yang lebih suka berada  di lokasi pusat kekuasaan, di Jakarta sebagai ibukota negara. Meskipun ia sering  melakukan perjalanan dinas dan pribadi/keluarga, baik di dalam maupun di luar negeri, media lebih sering menyajikan liputan tentang aktivitas komunikasi yang dilakukan Presiden Soeharto di Jakarta.
Penggambaran media yang demikian diperkuat dengan penggambaran bahwa ketika di Jakarta Presiden Soeharto lebih sering berada di Istana Negara atau Istana Merdeka dibanding tempat-tempat lainnya yang dapat berfungsi sebagai simbol kekuasaan dirinya sebagai pemimpin tertinggi dalam organisasi pemerintahan, negara,  dan organisasi-organisasi lainnya. Bahkan, ia juga digambarkan sebagai pemimpin yang lebih sering berada di Istana dibanding di  Bina Graha, kantor atau tempat ia biasanya bekerja.
Orientasi pada hubungan
Dilihat dari orientasinya pada pemeliharaan hubungan, Presiden Soeharto cenderung ditampilkan sebagai seorang pemimpin yang otoriter, atau dalam istilah Likert (1961) disebut “exploitative-authoritative”, kurang demokratis. Hasil analisis menunjukkan, dari periode ke periode berita yang beredar menunjukkan isi pesan Presiden Soeharto berfungsi menghibur, memberikan dorongan dan bimbingan serta mengundang kritik konstruktif sebagaimana umumnya pemimpin yang demokratis jumlahnya relatif kecil.
Kecuali pada periode awal kekuasaannya, Presiden Soeharto dalam berita suratkabar juga cenderung ditampilkan sebagai pemimpin yang mengutamakan hubungan dengan lembaga pemerintah yang dipimpinnya dibanding dengan lembaga-lembaga politik lainnya. Beliau lebih sering menyampaikan pesan-pesan politik kepada para pejabat pemerintah, seperti menteri, gubernur, bupati, walikota, dan pegawai negeri, dibanding kepada ketua dan anggota DPR / MPR, ketua MA, Hakim Agung, pimpinan dan anggota ABRI, ketua dan anggota Parpol, serta pimpinan dan wartawan media massa. Proporsi berita yang menunjukkan Presiden Soeharto menyampaikan pesan-pesan kepada masyarakat (termasuk para tokoh dan kalangan perguruan tinggi), dan kepada mereka yang duduk di lembaga eksekutif lebih besar dibanding proporsi berita yang menunjukkan ia menyampaikan pesan-pesan kepada pihak lainnya.
Presiden Soeharto juga cenderung ditampilkan sebagai seorang pemimpin yang lebih reaktif dibanding proaktif. Ia lebih sering memberikan tanggapan atau respon terhadap pernyataan orang lain dibanding menunjukkan gagasan/pemikirannya sendiri. Pesan-pesan verbal sebagaimana tercakup dalam ucapan atau pernyataan yang disampaikan Presiden Soeharto kepada berbagai pihak lebih banyak berisi tanggapan dirinya terhadap pertanyaan, opini, sikap, dan perilaku para pejabat dan masyarakat yang dipimpinnya
Selain itu juga  Presiden Soeharto digambarkan sebagai pemimpin yang memiliki fleksibelitas dalam melaksanakan tugas dan fungsi kepemimpinannya. Isi pesan-pesan politiknya dari periode ke periode mengalami pasang-surut. Pada periode awal kepemimpinannya, yakni selama masa  jabatan pertama 1968-1973, dominasi gagasan-gagasan sendiri lebih menonjol dalam pesan-pesan politik Presiden Soeharto. Namun, pada periode pengamalan dan pematangan kepemimpinan, yakni selama masa jabatan kedua sampai kelima 1973-1993, dominasi gagasan-gagasan sendiri semakin menurun, dan kecenderungan ini diimbangi dengan meningkatnya tanggapan atau respon yang ia berikan terhadap gagasan, ucapan, dan tindakan-tindakan orang lain. Sedangkan pada periode puncak dan akhir kepemimpinannya, yakni selama masa jabatan keenam dan ketujuh 1993-1998, isi pesan-pesan politik Presiden Soeharto semakin didominasi oleh tanggapan atau respon yang ia berikan terhadap gagasan, ucapan, dan tindakan-tindakan orang lain.
Orientasi pada tugas
Potret Presiden Soeharto cenderung menunjukkan dirinya sebagai pemimpin yang lebih sering memberikan perhatian sangat umum terhadap lingkup pembangunan nasional. Dalam setiap periode kekuasaannya, ia digambarkan jarang memberi perhatian khusus pada lingkup pembangunan lokal saja atau regional saja. Dilihat dari isi pesan-pesan politiknya, pembangunan yang paling sering dibicarakan oleh Presiden Soeharto adalah pembangunan dalam lingkup nasional. Pembangunan lokal Daerah Tingkat II Kabupaten / Kotamadya dan pembangunan regional Daerah Tingkat I Propinsi relatif jarang dibicarakan oleh pemimpin Orde Baru itu.
Surat kabar juga menggambarkan Presiden Soeharto  sebagai pemimpin yang memberikan perhatian pada pembangunan daerah pedesaan dan perkotaan tanpa membedakan diantara keduanya. Presiden Soeharto jarang membicarakan pembangunan yang orientasinya hanya daerah perkotaan atau hanya daerah perdesaan. Dalam media massa ia lebih sering ditampilkan sebagai pemimpin yang membicarakan tentang pembangunan secara keseluruhan, baik daerah perkotaan maupun daerah perdesaan. Selain itu, ia juga digambarkan sebagai pemimpin yang memberi perhatian umum terhadap pelaksanaan pembangunan wilayah. Ia jarang digambarkan sebagai pemimpin yang memberi perhatian khusus pada pembangunan wilayah Barat saja atau wilayah Timur saja.
Hasil analisis juga menunjukkan, Presiden Soeharto cenderung direpresentasikan sebagai seorang pemimpin yang lebih mementingkan pembangunan ekonomi dibanding pembangunan sektor-sektor lainnya. Baik pada periode awal, periode pengamalan dan pematangan, maupun pada periode puncak dan akhir kepemimpinannya, topik pembangunan yang paling sering dibicarakan oleh Presiden Soeharto adalah ekonomi. Dari sektor-sektor pembangunan yang pernah dibicarakannya, dua sektor yang paling sering dibicarakan Presiden Soeharto adalah sektor Hankam, dan sektor Politik, Aparatur Negara, Penerangan, Komunikasi, dan Media Massa. Topik yang paling jarang dibicarakan pemimpin tersebut adalah topik pembangunan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK).

Cara mempengaruhi orang lain
Presiden Soeharto digambarkan sebagai seorang pemimpin yang otoriter, yang menerapkan gaya kepemimpinan coercive, yang selalu menginginkan agar perintah dan instruksinya dipatuhi orang lain dengan segera. Dalam berita surat kabar Presiden Soeharto cenderung ditampilkan lebih mementingkan keselamatan dan kelangsungan pembangunan nasional. Demikian pentingnya hal itu sehingga bagian besar perintah dan instruksi yang disampaikan Presiden Soeharto kepada orang lain berisi permintaan agar keselamatan dan kelangsungan pembangunan nasional selalu diprioritaskan.
Selain itu, alasan yang juga sering dijadikan landasan argumentasi Presiden Soeharto ketika meminta orang lain untuk mematuhi pesan-pesannya adalah perlunya memelihara persatuan dan kesatuan bangsa, upaya mempertahankan stabilitas politik, upaya menciptakan masyarakat adil dan makmur, upaya membangun kehidupan demokrasi, dan upaya lainnya.
Ketika ia meminta orang lain agar mau mematuhi pesan-pesannya, Presiden Soeharto biasanya memilih kata-kata atau kalimat tertentu. Ia lebih sering menggunakan kata-kata atau kalimat netral dibanding membujuk (persuasive) atau memerintah (instructive atau coercive). Kesan yang dapat ditimbulkan dari cara menyampaikan perintah atau instruksi yang demikian adalah bahwa pada akhirnya perintah atau instruksi Presiden Soeharto diserahkan kepada masing-masing orang untuk menentukan sikap; apakah mematuhi atau tidak mematuhi pesan-pesan itu[4]. Hasil analisis menunjukkan, Presiden Soeharto lebih sering menggunakan kata dan kalimat yang sifatnya netral ketika menyampaikan pesan-pesan politik kepada berbagai pihak.
Meskipun demikian, penjelasan yang disampaikan Presiden Soeharto umumnya hanya berupa penjelasan tentang arti kata / istilah, ungkapan, dan kalimat-kalimat yang diucapkannya. Ia jarang sekali memberikan penjelasan yang bersifat mendorong penggunaan logika agar orang lain secara sadar dan sukarela mau menerima pesan-pesan yang disampaikannya. Kepada orang-orang yang menjadi sasaran pesan-pesannya, ia jarang memberikan contoh-contoh penerapan pesan, menjelaskan manfaat apabila pesan itu diikuti, atau menjelaskan akibat apabila pesan itu tidak diikuti. Tujuan komunikasi yang dilakukan Presiden Soeharto tampaknya hanya agar orang lain menjadi mengetahui, tetapi tidak sampai pada taraf memahami, mencoba, dan memutuskan untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu.
Kepribadian
Menurut penulis Presiden Soeharto adalah seorang pemimpin yang sederhana, tidak suka menonjolkan diri di hadapan orang lain. Ketika berbicara dengan orang lain atau menyampaikan pesan-pesan kepada bawahan atau orang-orang yang dipimpinnya dalam berbagai organisasi, ia tidak suka menunjukkan keberhasilan atau jasa-jasa yang dimilikinya.
Apabila ia berusaha menonjolkan diri sendiri, cara yang digunakan Presiden Soeharto biasanya adalah mengemukakan pengalaman atau jasa-jasa yang pernah diberikannya kepada bangsa dan negara pada masa lalu. Dalam menyampaikan pesan-pesan kepada bawahan dan orang-orang yang dipimpinnya, Presiden Soeharto berusaha menunjukkan jasanya yang besar dalam membela bangsa dan negara Indonesia, berani melawan musuh-musuh negara baik pada masa perjuangan kemerdekaan maupun pada masa pemberontakan G30S/PKI, dan keberhasilannya dalam penyelenggaraan pembangunan nasional.
Keberhasilan dan Kegagalan yang Dihasilkan Dari Gaya kepemimpinan Soeharto       
Orde Baru berlangsung dari tahun 1968 hingga 1998. Dalam jangka waktu tersebut, kepemimpinan mantan Presiden Soeharto telah memberikan berbagaai kemajuan dan juga kemundurun. Hal ini dikarenakan kebijakan yang beliau ambil tergantung kepada gaya kepemimpinan yang beliau anut. Kekurangan dan kelebihan dari gaya kepemimpinan Soeharto yaitu:
Kegagalan Dari Gaya Kepemimpinan Soeharto                  
v  Politik
            Presiden Soeharto memulai "Orde Baru" dalam dunia politik Indonesia dan secara dramatis mengubah kebijakan luar negeri dan dalam negeri dari jalan yang ditempuh Soekarno pada akhir masa jabatannya. Salah satu kebijakan pertama yang dilakukannya adalah mendaftarkan Indonesia menjadi anggota PBB lagi. Indonesia pada tanggal 19 September 1966 mengumumkan bahwa Indonesia "bermaksud untuk melanjutkan kerjasama dengan PBB dan melanjutkan partisipasi dalam kegiatan-kegiatan PBB", dan menjadi anggota PBB kembali pada tanggal 28 September 1966, tepat 16 tahun setelah Indonesia diterima pertama kalinya. Ini merupakan langkah awal dari ketergantungan Indonesia terhadapa modal asing.
            Pada tahap awal, Soeharto menarik garis yang sangat tegas. Orde Lama atau Orde Baru. Pengucilan politik - di Eropa Timur sering disebut lustrasi - dilakukan terhadap orang-orang yang terkait dengan Partai Komunis Indonesia. Sanksi kriminal dilakukan dengan menggelar Mahkamah Militer Luar Biasa untuk mengadili pihak yang dikonstruksikan Soeharto sebagai pemberontak. Pengadilan digelar dan sebagian dari mereka yang terlibat "dibuang" ke Pulau Buru.
            Sanksi nonkriminal diberlakukan dengan pengucilan politik melalui pembuatan aturan administratif. Instrumen penelitian khusus diterapkan untuk menyeleksi kekuatan lama ikut dalam gerbong Orde Baru. KTP ditandai ET (eks tapol). Orde Baru memilih perbaikan dan perkembangan ekonomi sebagai tujuan utamanya dan menempuh kebijakannya melalui struktur administratif yang didominasi militer namun dengan nasehat dari ahli ekonomi didikan Barat. DPR dan MPR tidak berfungsi secara efektif. Anggotanya bahkan seringkali dipilih dari kalangan militer, khususnya mereka yang dekat dengan Cendana. Hal ini mengakibatkan aspirasi rakyat sering kurang didengar oleh pusat. Pembagian PAD juga kurang adil karena 70% dari PAD tiap provinsi tiap tahunnya harus disetor kepada Jakarta, sehingga melebarkan jurang pembangunan antara pusat dan daerah.
            Soeharto siap dengan konsep pembangunan yang diadopsi dari seminar Seskoad II 1966 dan konsep akselerasi pembangunan II yang diusung Ali Moertopo. Soeharto merestrukturisasi politik dan ekonomi dengan dwitujuan, bisa tercapainya stabilitas politik pada satu sisi dan pertumbuhan ekonomi di pihak lain. Dengan ditopang kekuatan Golkar, TNI, dan lembaga pemikir serta dukungan kapital internasional, Soeharto mampu menciptakan sistem politik dengan tingkat kestabilan politik yang tinggi.
v  Eksploitasi sumber daya
            Selama masa pemerintahannya, kebijakan-kebijakan ini, dan pengeksploitasian sumber daya alam secara besar-besaran menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang besar namun tidak merata di Indonesia. Contohnya, jumlah orang yang kelaparan dikurangi dengan besar pada tahun 1970-an dan 1980-an.
v  Diskriminasi terhadap Warga Tionghoa
            Warga keturunan Tionghoa juga dilarang berekspresi. Sejak tahun 1967, warga keturunan dianggap sebagai warga negara asing di Indonesia dan kedudukannya berada di bawah warga pribumi, yang secara tidak langsung juga menghapus hak-hak asasi mereka. Kesenian barongsai secara terbuka, perayaan hari raya Imlek, dan pemakaian Bahasa Mandarin dilarang, meski kemudian hal ini diperjuangkan oleh komunitas Tionghoa Indonesia terutama dari komunitas pengobatan Tionghoa tradisional karena pelarangan sama sekali akan berdampak pada resep obat yang mereka buat yang hanya bisa ditulis dengan bahasa Mandarin. Mereka pergi hingga ke Mahkamah Agung dan akhirnya Jaksa Agung Indonesia waktu itu memberi izin dengan catatan bahwa Tionghoa Indonesia berjanji tidak menghimpun kekuatan untuk memberontak dan menggulingkan pemerintahan Indonesia.
            Satu-satunya surat kabar berbahasa Mandarin yang diizinkan terbit adalah Harian Indonesia yang sebagian artikelnya ditulis dalam bahasa Indonesia. Harian ini dikelola dan diawasi oleh militer Indonesia dalam hal ini adalah ABRI meski beberapa orang Tionghoa Indonesia bekerja juga di sana. Agama tradisional Tionghoa dilarang. Akibatnya agama Konghucu kehilangan pengakuan pemerintah.
            Pemerintah Orde Baru berdalih bahwa warga Tionghoa yang populasinya ketika itu mencapai kurang lebih 5 juta dari keseluruhan rakyat Indonesia dikhawatirkan akan menyebarkan pengaruh komunisme di Tanah Air. Padahal, kenyataan berkata bahwa kebanyakan dari mereka berprofesi sebagai pedagang, yang tentu bertolak belakang dengan apa yang diajarkan oleh komunisme, yang sangat mengharamkan perdagangan dilakukan. Orang Tionghoa dijauhkan dari kehidupan politik praktis. Sebagian lagi memilih untuk menghindari dunia politik karena khawatir akan keselamatan dirinya.
v  Perpecahan bangsa
            Di masa Orde Baru pemerintah sangat mengutamakan persatuan bangsa Indonesia. Setiap hari media massa seperti radio dan televisi mendengungkan slogan "persatuan dan kesatuan bangsa". Salah satu cara yang dilakukan oleh pemerintah adalah meningkatkan transmigrasi dari daerah yang padat penduduknya seperti Jawa, Bali dan Madura ke luar Jawa, terutama ke Kalimantan, Sulawesi, Timor Timur, dan Irian Jaya. Namun dampak negatif yang tidak diperhitungkan dari program ini adalah terjadinya marjinalisasi terhadap penduduk setempat dan kecemburuan terhadap penduduk pendatang yang banyak mendapatkan bantuan pemerintah. Muncul tuduhan bahwa program transmigrasi sama dengan jawanisasi yang disertai sentimen anti-Jawa di berbagai daerah, meskipun tidak semua transmigran itu orang Jawa.
            Pada awal Era Reformasi konflik laten ini meledak menjadi terbuka antara lain dalam bentuk konflik Ambon dan konflik Madura-Dayak di Kalimantan. Sementara itu gejolak di Papua yang dipicu oleh rasa diperlakukan tidak adil dalam pembagian keuntungan pengelolaan sumber alamnya, juga diperkuat oleh ketidaksukaan terhadap para transmigra
v  Semaraknya korupsi, kolusi, nepotisme
v  Pembangunan Indonesia yang tidak merata dan timbulnya kesenjangan pembangunan antara pusat dan daerah, sebagian disebabkan karena kekayaan daerah sebagian besar disedot ke pusat munculnya rasa ketidakpuasan di sejumlah daerah karena kesenjangan pembangunan, terutama di Aceh dan Papua kecemburuan antara penduduk setempat dengan para transmigran yang memperoleh tunjangan pemerintah yang cukup besar pada tahun-tahun pertamanya
v  Bertambahnya kesenjangan sosial (perbedaan pendapatan yang tidak merata bagi si kaya dan si miskin)
v  Kritik dibungkam dan oposisi diharamkan kebebasan pers sangat terbatas, diwarnai oleh banyak koran dan majalah yang dibreidel penggunaan kekerasan untuk menciptakan keamanan, antara lain dengan program "Penembakan Misterius" (petrus)
v  Tidak ada rencana suksesi (penurunan kekuasaan ke pemerintah/presiden selanjutnya)

Keberhasilan yang Dihasilkan Dari Gaya Kepemimpinan Soeharto    
          Walaupun terdapat berbagai kekurangan dari pemerintahan Soeharto tapi tidak dapat dipungkiri bahwa pada masa pemerintahan Soeharto Indonesia menjadi salah satu negara kaya dan disegani negara lain. kelebihan          
1.      Kelebihan sistem Pemerintahan Orde Baru perkembangan GDP per kapita Indonesia yang pada tahun 1968 hanya AS$70 dan pada 1996 telah mencapai lebih dari AS$1.000
2.      Kemajuan sektor migas
                        Puncaknya adalah penghasilan dari migas yang memiliki nilai sama dengan 80% ekspor Indonesia. Dengan kebijakan itu, Indonesia di bawah Orde Baru, bisa dihitung sebagai kasus sukses pembangunan ekonomi.
                        Keberhasilan Pak Harto membenahi bidang ekonomi sehingga Indonesia mampu berswasembada pangan pada tahun 1980-an, menurut Emil Salim, diawali dengan pembenahan di bidang politik. Kebijakan perampingan partai dan penerapan azas tunggal ditempuh pemerintah Orde Baru, dilatari pengalaman masa Orde Lama ketika politik multi partai menyebabkan energi terkuras untuk bertikai.
          Gaya kepemimpinan tegas seperti yang dijalankan Suharto pada masa Orde Baru memang dibutuhkan untuk membenahi perekonomian Indonesia yang berantakan di akhir tahun 1960. Namun, dengan menstabilkan politik demi pertumbuhan ekonomi, yang sempat dapat dipertahankan antara 6%-7% per tahun, semua kekuatan yang berseberangan dengan Orde Baru kemudian tidak diberi tempat.
3.      Swasembada beras
            Seperti pepatah From Zero to Hero itulah kebijakan yang dilakukan oleh HM. Soeharto pada masa pemerintahannya. Saat itu Indonesia menjadi pengimpor beras terbesar didunia, namun oleh Soeharto ini dijadikan motivasi untuk menjadikan Indonesia sebagai lumbung beras dunia. Puncaknya adalah ketika pada 1984 Indonesia dinyatakan mampu mandiri dalam memenuhi kebutuhan beras atau mencapai swasembada pangan. Prestasi itu membalik kenyataan, dari negara agraria yang mengimpor beras, kini Indonesia mampu mencukupi kebutuhan pangan di dalam negeri. Pada tahun 1969 Indonesia memproduksi beras sekitar 12,2 juta ton beras tetapi tahun 1984 bisa mencapai 25,8 juta ton.
4.      Sukses transmigrasi
5.      Sukses Program  KB
6.      Sukses memerangi buta huruf
7.      Sukses swasembada pangan
8.      Pengangguran minimum
9.      Sukses REPELITA (Rencana Pembangunan Lima Tahun)
10.  Sukses Gerakan Wajib Belajar
11.  Sukses Gerakan Nasional Orang-Tua Asuh
12.  Sukses keamanan dalam negeri
13.  Investor asing mau menanamkan modal di Indonesia.
14.  Sukses menumbuhkan rasa nasionalisme dan cinta produk dalam negeri

           


DAFTAR PUSTAKA

Buku
Entman, R.M. & A. Rojecki, The Black Image in the White Mind: Media and Race in America, Chicago: University of Chicago Press, 2000.
Hendel, Tova, Miri Fish & Vered Galon, “Leadership style and choice of strategy in conflict management among Israeli nurse managers in general hospitals”, International Education Journal, Vol. 4 No. 3, 2003, http://www.iej.cjb.net
Kartono, Kartini. ABRI dan Permasalahannya - Pemikiran Reflektif Peranan ABRI di Era Pembangunan (Bandung: Mandar Maju, 1996).
Kartono, Kartini. Pemimpin dan Kepemimpinan. Cetakan Kesembilan  (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001).
Khalili. S. Leadership Style and their Applications in the Iranian Management System. (Tehran: Iran, 1994), hal. 47.
Lewig, K.A. & M.F. Dollard, “Social construction of work stress: Australian newsprint media portrayal of stress at work, 1997-98”, Work & Stress, 2001, vol. 15, No. 2, hal. 179-190.
McQuail, Dennis. Teori Komunikasi Massa, Edisi Kedua (Jakarta: Erlangga, 1996).
Ministry of Health of New Zealand, Suicide and the Media – The reporting and portrayal of suicide in the media. 1999. http://www.moh.govt.nz
Pingree, S., R. Hawkins, M. Butler & W. Paisley, “A scale of sexism”, Journal of Communication, 24, hal. 193-200; R. Kolbe & P. Albanese, “Man to man: a content analysis of sole-male images in male audience magazines”, Journal of Advertising, 25 (4), hal. 1-20.
Rasidi, Zaim. Soeharto Menjaring Matahari ( Bandung: Mizan, 1998).

Website
Roeder, O.G., Anak Desa Biografi Presiden Soeharto, Jakarta: Gunung Agung, Cet.5, 1984.
Husaini, Adian, Soeharto 1988, Jakarta: Gema Insani Press, 1996



[1] Roeder, O.G., Anak Desa Biografi Presiden Soeharto, Jakarta: Gunung Agung, Cet.5, 1984.
[2] “Warisan Soeharto”,http://dte.gn.apc.org/76ais.htm, diakses pada Minggu 12 Desember 2010
[3]       Dalam analisis ini status kepemimpinan Presiden Soeharto dilihat dari ucapan atau pernyataan Presiden Soeharto sendiri mengenai status dirinya, misalnya: “Saya sebagai pribadi ....”, “Saya sebagai Kepala Negara ....”, “Saya sebagai Pimpinan Kabinet .... “, atau “Saya sebagai Mandataris MPR-RI ....”.
[4]       Kumpulan kata atau frasa yang bersifat netral yang sering digunakan pemimpin Orde Baru itu biasanya tidak dikaitkan dengan kata ganti orang, seperti “sebaiknya”, dan “akan lebih baik”, sedangkan yang bersifat membujuk biasanya menggunakan kata ganti orang “kita”, seperti: “.... marilah kita bersama-sama ....”, “.... sebagai bangsa yang besar maka kita  perlu berusaha ....”, dan yang bersifat memaksa biasanya menggunakan kata ganti orang kedua “saudara-saudara”, seperti: “.... saudara-saudara harus ....”. 

Beberapa metodologi dalam psikologi, di antaranya sebagai berikut :


1.       Metodologi Eksperimental
            Cara ini dilakukan biasanya di dalam laboratorium dengan mengadakan berbagai eksperimen. Peneliti mempunyai kontrol sepenuhnya terhadap jalannya suatu eksperimen. Yaitu menentukan akan melakukan apa pada sesuatu yang akan ditelitinya, kapan akan melakukan penelitian, seberapa sering melakukan penelitiannya, dan sebagainya. Pada metode eksperimental, maka sifat subjektivitas dari metode introspeksi akan dapat diatasi. Pada metode instrospeksi murni hanya diri peneliti yang menjadi objek. Tetapi pada instrospeksi eksperimental jumlah subjek banyak, yaitu orang - orang yang dieksperimentasi itu. Dengan luasnya atau banyaknya subjek penelitian maka hasil yang didapatkan akan lebih objektif. Metode penelitian umumnya dimulai dengan hipotesis yakni prediksi/peramalan, percabangan dari teori, diuraikan dan dirumuskan sehingga bisa diujicobakan
2.       Observasi Ilmiah
            Pada pengamatan ilmiah, suatu hal pada situasi-situasi yang ditimbulkan tidak dengan sengaja. Melainkan dengan proses ilmiah dan secara spontan. Observasi alamiah ini dapat diterapkan pula pada tingkah laku yang lain, misalnya saja : tingkah laku orang-orang yang berada di toko serba ada, tingkah laku pengendara kendaraan bermotor dijalan raya, tingkah laku anak yang sedang bermain, perilaku orang dalam bencana alam, dan sebagainya.
3.       Sejarah Kehidupan (metode biografi)
            Sejarah kehidupan seseorang dapat merupakan sumber data yang penting untuk lebih mengetahui “jiwa” orang yang bersangkutan, misalnya dari cerita ibunya, seorang anak yang tidak naik kelas mungkin diketahui bahwa dia bukannya kurang pandai tetapi minatnya sejak kecil memang dibidang musik sehingga dia tidak cukup serius untuk mengikuti pendidikan di sekolahnya. Dalam metode ini orang menguraikan tentang keadaaan, sikap - sikap ataupun sifat lain mengenai orang yang bersangkutan . Pada metode ini disamping mempunyai keuntungan juga mempunyai kelemahan, yaitu tidak jarang metode ini bersifat subjektif . Sejarah kehidupan dapat disusun melalui 2 cara yaitu: pembuatan buku harian dan rekonstruksi biografi
4.      Wawancara
            Wawancara merupakan tanya jawab si pemeriksa dan orang yang diperiksa. Agar orang diperiksa itu dapat menemukan isi hatinya itu sendiri, pandangan-pandangannya, pendapatnya dan lain-lain sedemikian rupa sehingga orang yang mewawancarai dapat menggali semua informasi yang dibutuhkan.Baik angket atau interview keduanya mempunyai persamaan, tetapi berbeda dalam cara penyajiannya. Keuntungan interview dibandingkan dengan angket yaitu:
·         Pada interview apabila terdapat hal yang kurang jelas maka dapat diperjelas
·         interviwer(penanya) dapat menyesuaikan dengan suasana hati interviwee ( responden yang ditanyai)
·         Terdapat interaksi langsung berupa face to face sehingga diharapkan dapat membina hubungan yang baik saat proses interview dilakukan.
·         ada beberapa teknik wawancara yaitu: wawancara bebas, wawancara terarah, wawancara terbuka dan wawancara tertutup
1.      Angket
            Angket merupakan wawancara dalam bentuk tertulis. Semua pertanyaan telah di susun secara tertulis pada lembar-lembar pertanyaan itu, dan orang yang diwawancarai tinggal membaca pertanyaan yang diajukan, lalu menjawabnya secara tertulis pula. Jawaban-jawabannya akan dianalisis untuk mengetahui hal-hal yang diselidiki. Angket ini juga terdapat keuntungan dan kelemahannya.
2.     Pemeriksaan Psikologi
            Dalam bahasa populernya pemeriksaan psikologi disebut juga dengan psikotes Metode ini menggunakan alat-alat psikodiagnostik tertentu yang hanya dapat digunakan oleh para ahli yang benar-benar sudah terlatih. alat-alat itu dapat dipergunakan unntuk mengukur dan untuk mengetahui taraf kecerdasan seseorang, arah minat seseorang, sikap seseorang, struktur kepribadian seeorang, dan lain-lain dari orang yang diperiksa itu. Metode pemeriksaan psikologis lain yang bersifat individual adalah tes proyektif kepribadian yakni seseorang diperlihatkan stimuli ambigu dan ia diminta untuk menceritakannya
3.     Metode Analisis Karya
            Dilakukan dengan cara menganalisis hasil karya seperti gambar - gambar, buku harian atau karangan yang telah dibuat. Hal ini karena karya dapat dianggap sebagai pencetus dari keadaan jiwa seseorang
4.     Metode Statistik
            Umumnya digunakan dengan cara mengumpulkan data atau materi dalam penelitian lalu mengadakan penganalisaan terhadap hasil; yang telah didapat