HUKUM ADAT

HUKUM ADAT DI INDONESIA
           
Hukum adat merupakan hukum asli Indonesia yang tidak terkodifikasi dalam peraturan perundang-undangan nasional. Hukum yang sejak dahulu telah ditaati oleh masyarakat adat di berbagai daerah di Indonesia, dan di akui hingga sekarang sebagai salah satu hukum yang sah, hukum yang sepenuhnya berlaku di Tanah Air. Saat ini, hukum adat masih diterapkan oleh berbagai masyarakat adat Indonesia, hukum yang mengatur perihal warisan adat, perkawinan adat, dan hal-hal lain yang mengatur regulasi dalam suatu budaya kultural. Jenis hukum tertua yang pernah dimiliki oleh Indonesia sampai saat ini masih diterapkan oleh masyarakat, dan diakui oleh negara. Mengapa hukum adat, hukum yang sudah tua masih tetap digunakan oleh masyarakat dan juga diakui oleh pemerintah.

Aneka Hukum Adat  

Hukum Adat berbeda di tiap daerah karena pengaruh :
1.         Agama : Hindu, Budha, Islam, Kristen dan sebagainya. Misalnya : di Pulau Jawa dan Bali dipengaruhi agama Hindu, Di Aceh dipengaruhi Agama Islam, Di Ambon dan Maluku dipengaruhi agama Kristen.
2.         Kerajaan seperti antara lain: Sriwijaya, Airlangga, Majapahit.
3.         Masuknya bangsa-bangsa Arab, China, Eropa.

Pengakuan Adat oleh Hukum Formal
            
Mengenai persoalan penegak hukum adat Indonesia, ini memang sangat prinsipil karena adat merupakan salah satu cermin bagi bangsa, adat merupkan identitas bagi bangsa, dan identitas bagi tiap daerah. Dalam kasus sala satu adat suku Nuaulu yang terletak di daerah Maluku Tengah, ini butuh kajian adat yang sangat mendetail lagi, persoalan kemudian adalah pada saat ritual adat suku tersebut, dimana proses adat itu membutuhkan kepala manusia sebagai alat atau prangkat proses ritual adat suku Nuaulu tersebut. Dalam penjatuhan pidana oleh sala satu Hakim pada Perngadilan Negeri Masohi di Maluku Tengah, ini pada penjatuhan hukuman mati, sementara dalam Undang-undang Kekuasaan Kehakiman Nomor 4 tahun 2004. dalam Pasal 28 hakim harus melihat atau mempelajari kebiasaan atau adat setempat dalam menjatuhan putusan pidana terhadap kasus yang berkaitan dengan adat setempat.
            Dalam kerangka pelaksanaan Hukum Tanah Nasional dan dikarenakan tuntutan masyarakat adat maka pada tanggal 24 Juni 1999, telah diterbitkan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No.5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat.
Peraturan ini dimaksudkan untuk menyediakan pedoman dalam pengaturan dan pengambilan kebijaksanaan operasional bidang pertanahan serta langkah-langkah penyelesaian masalah yang menyangkut tanah ulayat.
            Peraturan ini memuat kebijaksanaan yang memperjelas prinsip pengakuan terhadap "hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat hukum adat" sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 3 UUPA. Kebijaksanaan tersebut meliputi :
1.         Penyamaan persepsi mengenai "hak ulayat" (Pasal 1)
2.         Kriteria dan penentuan masih adanya hak ulayat dan hak-hak yang serupa dari masyarakat hukum adat (Pasal 2 dan 5).
3.         Kewenangan masyarakat hukum adat terhadap tanah ulayatnya (Pasal 3 dan 4)
            Indonesia merupakan negara yang menganut pluralitas di bidang hukum, dimana diakui keberadaan hukum barat, hukum agama dan hukum adat. Dalam prakteknya (deskritif) sebagian masyarakat masih menggunakan hukum adat untuk mengelola ketertiban di lingkungannya.
            Di tinjau secara preskripsi (dimana hukum adat dijadikan landasan dalam menetapkan keputusan atau peraturan perundangan), secara resmi, diakui keberadaaanya namun dibatasi dalam peranannya. Beberapa contoh terkait adalah UU dibidang agraria No.5 / 1960 yang mengakui keberadaan hukum adat dalam kepemilikan tanah.

Penegak hukum adat
            
Penegak hukum adat adalah pemuka adat sebagai pemimpin yang sangat disegani dan besar pengaruhnya dalam lingkungan masyarakat adat untuk menjaga keutuhan hidup sejahtera.
 "Petugas adat dalam memberlakukan hukum adatnya, tidak boleh menyalahi aturan, baik menambah hukum itu maupun menguranginya," pemberlakuan hukum adat tidak bisa seenaknya saja. Tetapi mesti mengikuti aturan yang berlaku di masyarakat adat tersebut. Seperti halnya yang diterapkan di masyarakat Dayak di pulau Kalimantan.

            Setiap hukum adat yang berlaku tidak boleh dilebihkan ataupun dikurangi. Petugas adat tidak bisa begitu saja menyelesaikan suatu perkara adat jika dilakukan dengan cara yang tidak adil.

Begitu pula sanksi yang diberikan. Petugas adat tidak bisa memberikan sanksi sehingga menganiaya terhukum. Falsafah seperti "Pamangkong Ame' Patah, Ular Ame' Tana, Ame' Lamakng", yang berarti "pemukul jangan patah, ular jangan mati, tanah jangan berbekas" mesti dipegang.

Falsafah itu mengandung makna, supaya putusan hukum yang dibuat temenggung atau ketua adat hendaknya membuat sadar bahwa yang bersangkutan bersalah dan patut dihukum. Putusan yang diberikan mesti bersifat mendidik sehingga orang tidak berbuat kesalahan lagi, bukan putusan yang menganiaya.

            Thambun Anyang yang juga Pembantu Rektor II Untan, menyatakan, hukum adat berlaku di setiap komunitas adat. Hukum adat merupakan kebudayaan, sehingga semua masyarakat adat di Indonesia memiliki hukum adat. Berapa pun jumlah etnis yang ada, sama jumlahnya dengan hukum adat yang ada.
            Hukum adat ada yang tertulis dan ada yang hanya tersimpan dalam otak masyarakatnya. "Hukum adat akan tetap bertahan jika masyarakat adat tetap ada," jelasnya.
            Dalam pelaksanaan saat ini, hukum adat telah mengalami proses perubahan. Karena sesuai sifat hukum adat itu sendiri yang dinamis, berubah ke arah yang lebih baik. Semisal dalam pemberian sanksi adatnya.
            Jika dahulu untuk menghukum adat pelanggar atau pelaku perselingkuhan bisa dengan hukum rejam atau ditombak, maka saat ini tidak berlaku lagi. Kebiasaan seperti itu sudah lama ditinggalkan dan tidak boleh dilaksanakan. Begitu pula dengan hukuman mati yang dahulu berlaku, kini sudah ditinggalkan.
Adanya perubahan sanksi hukum adat itu, menurutnya karana masuknya agama yang mengubah pola pikir masyarakat adat.
            Mengenai adanya keinginan menjadikan hukum adat sebagai hukum positif di Indonesia, seperti yang diatur dalam KUHP, menurut Thambun Anyang, pemberlakuan hukum adat mesti disepakati secara bersama-sama. Apalagi jika dalam suatu kelompok masyarakat terdapat lebih dari satu etnis.
            Namun umumnya, menurut ia, hukum adat relevan dilaksanakan di komunitas adat itu sendiri dan komunitas yang mayoritas. Hukum adat Dayak berlaku di komunitas masyarakat Dayak, hukum adat Melayu berlaku di masyarakat Melayu, dan hukum adat Tionghoa berlaku di masyarakat Tionghoa.

            "Hukum adat merupakan sesuatu yang lahir di masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu hukum adat juga disebut hukum rakyat," imbuhnya.
            Dalam masyarakat berlaku falsafah "Dimana bumi dipijak di situ langit dijunjung". Jika dalam suatu wilayah terdapat etnis tertentu yang lebih banyak, maka pelanggar adat dari etnis lain juga dapat dikenakan sanksi adat dari etnis terbanyak.
Namun masyarakat juga dapat bersepakat jika tidak ingin memberlakukan hukum adat dari salah satu etnis.

            Di masyarakat adat juga dikenal ketua-ketua adat. Semisal temenggung, patih, penggawa dan demung. Semuanya itu para ketua adat yang berperan dalam memutuskan perkara adat yang sedang terjadi.
            Mereka inilah yang mempertahankan dan melestarikan kebudayaan tersebut. Mereka merupakan pilihan masyarakat adat yang percaya bahwa hukum adat akan berlaku adil ditangan para ketua adat tersebut.
            Sementara mengenai materi sanksi dari hukum adat, sesuai perkembangannya juga telah mengenal pembayaran adat menggunakan uang. Hal itu bisa terjadi mengingat sulitnya untuk mendapatkan barang-barang yang semula menjadi syarat adat seperti tempayan dan hewan.
            Penggunaan uang sebagai alat pembayaran hukum adat dibenarkan asal tidak menyimpang dan sesuai kewajarannya,

Lingkungan Hukum Adat
            Prof. Mr. Cornelis van Vollenhoven membagi Indonesia menjadi 19 lingkungan hukum adat (rechtsringen). Satu daerah yang garis-garis besar, corak dan sifat hukum adatnya seragam disebutnya sebagai rechtskring. Setiap lingkungan hukum adat tersebut dibagi lagi dalam beberapa bagian yang disebut Kukuban Hukum (Rechtsgouw). Lingkungan hukum adat tersebut adalah sebagai berikut.
1.         Aceh (Aceh Besar, Pantai Barat, Singkel, Semeuleu)
2.         Tanah Gayo, Alas dan Batak
1.         Tanah Gayo (Gayo lueus)
2.         Tanah Alas
3.         Tanah Batak (Tapanuli)
1.         Tapanuli Utara; Batak Pakpak (Barus), Batak karo, Batak Simelungun, Batak Toba (Samosir, Balige, Laguboti, Lumbun Julu)
2.         Tapanuli Selatan; Padang Lawas (Tano Sepanjang), Angkola, Mandailing (Sayurmatinggi)
3.         Nias (Nias Selatan)
3.         Tanah Minangkabau (Padang, Agam, Tanah Datar, Limapuluh Kota, tanah Kampar, Kerinci)
4.         Mentawai (Orang Pagai)
5.         Sumatera Selatan
1.         Bengkulu (Renjang)
2.         Lampung (Abung, Paminggir, Pubian, Rebang, Gedingtataan, Tulang Bawang)
3.         Palembang (Anak lakitan, Jelma Daya, Kubu, Pasemah, Semendo)
4.         Jambi (Orang Rimba, Batin, dan Penghulu)
5.         Enggano
6.         Tanah Melayu (Lingga-Riau, Indragiri, Sumatera Timur, Orang Banjar)
7.         Bangka dan Belitung
8.         kalimantan (Dayak Kalimantan Barat, Kapuas, Hulu, Pasir, Dayak, Kenya, Dayak Klemanten, Dayak Landak, Dayak Tayan, Dayak Lawangan, Lepo Alim, Lepo Timei, Long Glatt, Dayat Maanyan, Dayak Maanyan Siung, Dayak Ngaju, Dayak Ot Danum, Dayak Penyambung Punan)
9.         Gorontalo (Bolaang Mongondow, Boalemo)
10.       Tanah Toraja (Sulawesi Tengah, Toraja, Toraja Baree, Toraja Barat, Sigi, Kaili, Tawali, Toraja Sadan, To Mori, To Lainang, Kep. Banggai)
11.       Sulawesi Selatan (Orang Bugis, Bone, Goa, Laikang, Ponre, Mandar, Makasar, Selayar, Muna)
12.       Kepulauan Ternate (Ternate, Tidore, Halmahera, Tobelo, Kep. Sula)
13.       Maluku Ambon (Ambon, Hitu, Banda, Kep. Uliasar, Saparua, Buru, Seram, Kep. Kei, Kep. Aru, Kisar)
14.       Irian
15.       Kep. Timor (Kepulauan Timor, Timor, Timor Tengah, Mollo, Sumba, Sumba Tengah, Sumba Timur, Kodi, Flores, Ngada, Roti, Sayu Bima)
16.       Bali dan Lombok (Bali Tanganan-Pagrisingan, Kastala, Karrang Asem, Buleleng, Jembrana, Lombok, Sumbawa)
17.       Jawa Pusat, Jawa Timur serta Madura (Jawa Pusat, Kedu, Purworejo, Tulungagung, Jawa Timur, Surabaya, Madura)
18.       Daerah Kerajaan (Surakarta, Yogyakarta)
19.       Jawa Barat (Priangan, Sunda, Jakarta, Banten)