Good Governance


Siradj Hamzah

A. Arti Dan Definisi Good Governance

Istilah Governance menunjukkan suatu proses di mana rakyat bisa mengatur ekonominya, institusi dan sumber-sumber social dan politiknya tidak hany dipergunakan untuk pembangunan, tetapi juga untuk menciptakan integrasi, kohesi dan untuk kesejahteraan rakyat. Dengan demikian, bahwa kemampuan suatu Negara mencapai tujuan Negara sangat tergantung pada kualitas tata kepemerintahan di mana pemerintah melakukan interaksi dengan sector swasta dan masyarakat (Thoha dalam Kurniawan, 2005). Secara konseptual pengertian kata baik (good) dalam istilah kepemerintahan yang baik (good governance) mengandung dua pemahaman, yakni :

  1. Nilai yang menjunjung tinggi keinginan atau kehendak rakyat, dan nilai-nilai yang dapat meningkatkan kemampuan rakyat dalam pencapaian tujuan nasional kemandirian, pembangunan berkelanjutan dan keadilan sosial.
  2. Aspek fungsional dari pemerintah yang efektif dan efisien dalam pelaksanaan tugasnya untuk mencapai tujuan tersebut.

Dalam Kamus bahasa Indonesia good governance diterjemahkan sebagai tata pemerintahan yang baik, namun ada yang menerjemahkan sebagai penyelenggaraan pemerintahan yang baik. Di samping itu, arti yang lain good governance sebagai pemerintahan yang amanah. Jika good governance diterjemahkan sebagai penyelenggaraan pemerintahan yang amanah, maka good governance dapat didefinisikan sebagai penyelenggaraan pemerintahan secara partisipatif, efektif, jujur, adil, transparan dan bertanggungjawab kepada semua level pemerintahan (Effendi dalam Azhari, dkk., 2002: 187).

Definisi good governance menurut ahli dan institusi negara, yakni antara lain :

  1. Kooiman (1993) bahwa governance merupakan serangkaian proses interaksi sosial politik antara pemerintahan dengan masyarakat dalam berbagai bidang yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat dan intervensi pemerintah atas kepentingan-kepentingan tersebut.
  2. World Bank (dalam Mardiasmo, 2002 : 23).ialah suatu penyelenggaraan manajemen pembangunan yang solid dan bertanggung jawab yang sejalan dengan prinsip demokrasi dan pasar yang efisien, penghindaran terhadap kemungkinan salah alokasi dan investasi, dan pencegahan korupsi baik yang secara politik maupun administratif, menjalankan disiplin anggaran serta penciptaan legal dan politicall framework bagi tumbuhnya aktivitas usaha.
  3. United Nations Development Program (UNDP)dalam dokumen kebijakannya yang berjudul “Governance for sustainable human development”, (1997),mendefinisikan kepemerintahan (governance) adalah pelaksanaan kewenangan dan atau kekuasaan di bidang ekonomi, politik dan administratif untuk mengelola berbagai urusan negara pada setiap tingkatannya dan merupakan instrumen kebijakan negara untuk mendorong terciptanya kondisi kesejahteraan, integritas, dan kohesivitas sosial dalam masyarakat. United Nations Development Program (UNDP) juga mendefinisikan good governance sebagai hubungan yang sinergis dan konstruktif di antara negara, sektor swasta dan society.
  4. Lembaga Administrasi Negara (Kurniawan, 2005), mendefinisikan good governance sebagai penyelenggaraan pemerintahan Negara yang solid dan bertanggung jawab, serta efisien dan efektif dengan menjaga “kesinergisan” interaksi yang konstruktif di antara domain-domain Negara, sektor swasta dan masyarakat (society).
  5. Peraturan Pemerintah Nomor 101 tahun 2000, merumuskan arti good governance sebagai berikut : “Kepemerintahan yang mengembangkan dan menerapkan prinsip-prinsip profesionalitas, akuntabilitas, transparansi, pelayanan prima, demokrasi, efisiensi, efektivitas, supremasi hukum dan dapat diterima oleh seluruh masyarakat”.

Good governance dilaksanakan agar kinerja pemerintahan daerah lebih terarah sesuai dengan kemampuan dan kapasitas yang memadai guna mencapai hasil yang lebih baik dan terciptanya struktur pemerintahan yang ideal yang berorientasi pada tujuan pembangunan nasional. Berdasarkan pengertian dan definisi di atas, good governance berorientasi pada :

  1. Orientasi ideal, negara yang diarahkan pada pencapaian tujuan nasional. Orientasi ini bertitik tolak pada demokratisasi dalam kehidupan bernegara dengan elemen konstituennya.
  2. Pemerintahan yang berfungsi secara ideal, secara efektif dan efisien dalam melakukan upaya mencapai tujuan nasional. Orientasi kedua ini tergantung pada sejauhmana pemerintah mempunyai kompetensi, dan sejauhmana struktur serta mekanisme politik serta administratif berfungsi secara efektif dan efisien.

Lembaga Administrasi Negara (2000) menyimpulkan bahwa wujud good governance penyelenggaraan pemerintahan yang solid dan bertanggungjawab, serta efisien dan efektif, dengan menjaga “kesinergisan” interaksi yang konstruktif diantara domain-domain negara, sektor swasta dan masyarakat. Sehingga unsur-unsur dalam kepemerintahan (governance stakeholders) dapat dikelompokan menjadi tiga kategori yaitu :
  1. Pemerintahan (negara)
Negara yang diarahkan pada pencapaian tujuan nasional. Konsepsi pemerintahan pada dasarnya adalah kegiatan kenegaraan, tetapi lebih jauh dari melibatkan pula sektor swasta dan kelembagaan masyarakat madani.
  1. Sektor Swasta
Pelaku sektor swasta mencakup perusahaan swasta yang aktif dalam interaksi dalam sistem pasar, seperti : industri pengolahan perdagangan, perbankan, dan koperasi termasuk kegiatan sektor informal.
  1. Masyarakat Madani
Kelompok masyarakat dalam konteks kenegaraan pada dasarnya berada diantara atau ditengah-tengah antara pemerintah, mencakup baik perseorangan maupun kelompok masyarakat yang berinteraksi secara sosial, politik dan ekonomi.



                                                             B. Prinsip Good Governance


Prinsip dasar yang melandasi perbedaan antara konsepsi kepemerintahan (governance) dengan pola pemerintahan yang tradisional, adalah terletak pada adanya tuntutan yang demikian kuat agar peranan pemerintah dikurangi dan peranan masyarakat (termasuk dunia usaha dan LSM/organisasi non pemerintah) semakin ditingkatkan dan semakin terbuka aksesnya. Rencana Strategis Lembaga Administrasi Negara tahun 2000-2004, disebutkan perlunya pendekatan baru dalam penyelenggaraan negara dan pembangunan dan terarah pada terwujudnya kepemerintahan yang baik yakni “proses pengelolaan pemerintahan yang demokratis, profesional menjunjung tinggi supremasi hukum dan hak asasi manusia, desentralistik, partisipatif, transparan, keadilan, bersih dan akuntabel, selain berdaya guna, berhasil guna dan berorientasi pada peningkatan daya saing bangsa”.

Selain itu, Bhatta (1996) mengungkapkan pula bahwa unsur utama governance, yaitu: akuntabilitas (accountability), transparan (transparency), keterbukaan (opennes), dan aturan hukum (rule of law) ditambah dengan kompetensi manajemen (management competence) dan hak-hak asasi manusia (human right). UNDP (dalam Mardiasmo, 2002) mengemukakan bahwa karakteristik atau prinsip pada pelaksanaan good governance meliputi :

  1. Partisipasi (participation), keterlibatan masyarakat dalam pembuatan keputusan baik secara langsung maupun tidak langsung, melalui lembaga perwakilan yang dapat menyalurkan aspirasinya. Partisipasi tersebut dibangun atas dasar kebebasan berasosiasi dan berbicara serta berpartisipasi secara konstruktif.
  2. Aturan hukum (rule of law), kerangka aturan hukum dan perundang-undangan yang berkeadilan dan dilaksanakan secara utuh, terutama tentang hak asasi manusia.
  3. Transparansi (transparency), transparansi dibangun atas dasar kebebasan memperoleh informasi. Informasi yang berkaitan dengan kepentingan publik secara langsung dapat diperoleh oleh mereka yang membutuhkan.
  4. Daya tanggap (responsivennes), setiap institusi/lembaga-lembaga publik dan prosesnya harus diarahkan pada upaya untuk melayani berbagai pihak yang berkepentingan (stakeholders).
  5. Berorientasi konsensus (Consensus orientation), Pemerintahan yang baik akan bertindak sebagai penengah bagi berbagai kepentingan yang berbeda untuk mencapai konsensus atau kesempatan yang terbaik bagi kepentingan masing-masing pihak, dan jika dimungkinkan juga dapat diberlakukan terhadap berbagai kebijakan dan prosedur yang ditetapkan oleh pemerintah serta berorientasi pada kepentingan masyarakat yang lebih luas.
  6. Keadilan (equity), setiap masyarakat memiliki kesempatan sama untuk memperoleh kesejahteraan dan keadilan.
  7. Efektivitas dan Efisiensi (Efficiency and Effectivennes), setiap proses kegiatan dan kelembagaan diarahkan untuk menghasilkan sesuatu yang benar-benar sesuai dengan kebutuhan melalui pemanfaatan yang sebaik-baiknya berbagai sumber-sumber yang tersedia serta pengelolaan sumber daya publik dilakukan secara berdaya guna (efisien) dan berhasil guna (efektif).
  8. Akuntabilitas (accountability), para pengambil keputusan dalam organisasi publik, swasta, dan masyarakat madani memiliki pertanggungjawaban kepada publik atas setiap aktivitas kegiatan yang dilakukan.
  9. Visi strategis (strategic vision), penyelenggara pemerintahan yang baik dan masyarakat harus memiliki visi yang jauh ke depan agar bersamaan dirasakannya kebutuhan untuk pembangunan tersebut.

Keseluruhan karakteristik atau prinsip good governance tersebut adalah saling memperkuat dan saling terkait serta tidak bisa berdiri sendiri. Sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat empat prinsip utama yang dapat memberi gambaran adminisitrasi publik yang berciri kepemerintahan yang baik yaitu sebagai berikut :

  1. Akuntabilitas, adanya kewajiban bagi aparatur pemeritah untuk bertindak selaku penanggung jawab dan penanggung gugat atas segala tindakan dan kebijakan yang ditetapkannya.
  2. Transparansi, kepemerintahan yang baik akan bersifat transparan terhadap rakyatnya baik ditingkat pusat maupun daerah.
  3. Keterbukaan, menghendaki terbukanya kesempatan bagi rakyat untuk mengajukan tanggapan dan kritik terhadap pemerintah yang dinilainya tidak transparan.
  4. Aturan hukum, kepemerintahan yang baik mempunyai karakteristik berupa jaminan kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat terhadap setiap kebijakan publik yang ditempuh.

Robert Hass (dalam Sedarmayanti, 2000) juga memberi indikator tentang “good governance” yang meliputi lima indikator, antara lain : Melaksanakan hak asasi manusia, Masyarakat berpartisipasi dalam pengambilan keputusan politik, Melaksanakan hukum untuk melindungi kepentingan masyarakat, Mengembangkan ekonomi pasar atas dasar tanggung jawab kepada masyarakat, Orientasi politik pemerintah menuju pembangunan. Indikator good governance yang disampaikan oleh Robert Hass di atas sangatlah ringkas dan padat, namun berorientasi pada tiga elemen pemerintahan yang berpengaruh terhadap penyelenggaraan good governance,yakni pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat. Menurut pendapat Ganie Rochman, good governance memiliki empat unsur utama, yang meliputi accountability, rule of law, informasi dan transparansi (Sadjijono, 2005:195).

Nilai yang terkandung dari pengertian serta karakteristik good governance tersebut di atas merupakan nilai-nilai yang universal sifatnya dan sesuai amanat konstitusi, karena itu diperlukan pengembangan dan penerapan sistem pertanggungjawaban yang tepat, jelas dan nyata sehingga penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan dapat berlangsung secara berdaya guna dan berhasil guna. Kondisi semacam ini ini perlu adanya akuntabilitas dan tersedianya akses yang sama pada informasi bagi masyarakat luas. Hal ini merupakan fondasi legitimasi dalam sistem demokrasi, mengingat prosedur dan metode pembuatan keputusan harus transparan agar supaya memungkinkan terjadinya partisipasi efektif. Di samping itu, institusi governance harus efisien dan efektif dalam melaksanakan fungsi-fungsinya, responsif terhadap kebutuhan masyarakat (Kurniawan, 2005:16).

Penerapan prinsip-prinsip good governance tidak terlepas dari peran masyarakat, dan stakeholder yang berkepentingan (sektor swasta, LSM/NGOs dan elit politik) demi memajukan pembangunan serta pemerintahan daerah yang berguna bagi masyarakat. Dengan demikian, maka wujud good governance adalah pelaksanaan prinsip-prinsip penyelenggaraan pemerintahan daerah yang solid, kondusif dan bertangung jawab dengan menjaga kesinergisan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Terselenggaranya good governance merupakan prasyarat utama untuk mewujudkan aspirasi masyarakat dalam mencapai tujuan dan cita-cita bangsa dan negara. Oleh karena itu, diperlukan pengembangan penerapan sistem pertanggungjawaban yang tepat, jelas, nyata dan legitimate sehingga penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan berlangsung secara berkesinambungan, berdaya guna, berhasil guna, bersih dan bertanggung jawab serta bebas dari KKN.
PENEREPAN PRINSIP-PRINSIP GOOD GOVERNANCE DALAM KAITANNYA KEPUASAN MASYARAKAT TERHADAP PELAYANAN PUBLIK
Konsep good governance ini munculnya karena adanya ketidakpuasan pada kinerja pemerintahan yang selama ini dipercaya sebagai penyelengggara urusan publik. Pendekatan penyelenggaraan urusan publik yang bersifat sentralis, non partisifatif serta tidak akomodatif terhadap kepentingan publik pada rezim-rezim terdahulu, harus diakui telah menumbuhkan rasa tidak percaya dan bahkan antipati pada rezim yang berkuasa. Menurut Edelman, hal seperti ini merupakan era anti birokrasi, era anti pemerintah,Penerapan prinsip-prinsip good governance sangat penting dalam pelaksanaan pelayanan publik untuk meningkatkan kinerja aparatur negara. Hal ini disebabkan karena pemerintah merancang konsep prinsip-prinsip good governance untuk meningkatkan potensi perubahan dalam birokrasi agar mewujudkan pelayanan publik yang lebih baik, disamping itu juga Masyarakat masih menganggap pelayanan publik yang dilaksanakan oleh birokrasi pasti cenderung lamban, tidak profesional, dan biayanya mahal.
Gambaran buruknya birokrasi antara lain organisasi birokrasi gemuk dan kewenangan antar lembaga yang tumpang tindih; sistem, metode, dan prosedur kerja belum tertib; pegawai negeri sipil belum profesional, belum netral dan sejahtera; praktik korupsi, kolusi dan nepotisme masih mengakar; koordinasi, integrasi, dan sinkronisasi program belum terarah; serta disiplin dan etos kerja aparatur negara masih rendah. Pendapat tentang buruknya semua pelayanan yang dilaksanakan birokrasi menurut Pandji Santosa merupakan pengaburan makna birokrasi yang berkembang di masyarakat dan terus berlangsung oleh sikap diam masyarakat. Berbagai kondisi tersebut mencerminkan bad governance dalam birokrasi di Indonesia
Paradigma tata kelola pemerintahan telah bergeser dari government ke arah governance yang menekankan pada kolaborasi dalam kesetaraan dan keseimbangan antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat madani. Pelayanan publik menjadi tolok ukur keberhasilan pelaksanaan tugas dan pengukuran kinerja pemerintah melalui birokrasi.
Menerapkan praktik good governance dapat dilakukan secara bertahap sesuai dengan kapasitas pemerintah, masyarakat sipil, dan mekanisme pasar. Salah satu pilihan strategis untuk menerapkan good governance di Indonesia adalah melalui penyelenggaraan pelayanan publik. Ada beberapa pertimbangan mengapa pelayanan publik menjadi strategis untuk memulai menerapkan good governance.
Pelayanan publik sebagai penggerak utama juga dianggap penting oleh semua aktor dari unsur good governance. Para pejabat publik, unsur-unsur dalam masyarakat sipil dan dunia usaha sama-sama memiliki kepentingan terhadap perbaikan kinerja pelayanan publik. Ada tiga alasan penting yang melatar-belakangi bahwa pembaharuan pelayanan publik dapat mendorong praktik good governance di Indonesia. Pertama, perbaikan kinerja pelayanan publik dinilai penting oleh stakeholders, yaitu pemerintah , warga, dan sektor usaha. Kedua, pelayanan publik adalah ranah dari ketiga unsur governance melakukan interaksi yang sangat intensif. Ketiga, nilai-nilai yang selama ini mencirikan praktik good governance diterjemahkan secara lebih mudah dan nyata melalui pelayanan publik
Fenomena pelayanan publik oleh birokrasi pemerintahan sarat dengan permasalahan, misalnya prosedur pelayanan yang bertele-tele, ketidakpastian waktu dan harga yang menyebabkan pelayanan menjadi sulit dijangkau secara wajar oleh masyarakat. Hal ini menyebabkan terjadi ketidakpercayaan kepada pemberi pelayanan dalam hal ini birokrasi sehingga masyarakat mencari jalan alternatif untuk mendapatkan pelayanan melalui cara tertentu yaitu dengan memberikan biaya tambahan. Dalam pemberian pelayanan publik, disamping permasalahan diatas, juga tentang cara pelayanan yang diterima oleh masyarakat yang sering melecehkan martabatnya sebagai warga Negara. Masyarakat ditempatkan sebagai klien yang membutuhkan bantuan pejabat birokrasi, sehingga harus tunduk pada ketentuan birokrasi dan kemauan dari para pejabatnya. Hal ini terjadi karna budaya yang berkembang dalam birokrasi selama ini bukan budaya pelayanan, tetapi lebih mengarah kepada budaya kekuasaan.
Untuk mengatasi kondisi tersebut perlu dilakukan upaya perbaikan kualitas penyelenggaraan pelayanan publik yang berkesinambungan demi mewujudkan pelayanan publik yang prima sebab pelayanan publik merupakan fungsi utama pemerintah yang wajib diberikan sebaik-baiknya oleh pejabat publik. Salah satu upaya pemerintah adalah dengan melakukan penerapan prinsip-prinsip Good Governance, yang diharapkan dapat memenuhi pelayanan yang prima terhadap masyarakat. Terwujudnya pelayanan publik yang berkualitas merupakan salah satu ciri Good Governance. Untuk itu, aparatur Negara diharapkan melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya secara efektif dan efesien. Diharapkan dengan penerapan Good Governance dapat mengembalikan dan membangun kembali kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.
Berdasarkan Berdasarkan uraian diatas, penulis tertarik membahas persoalan tersebut dalam pembuatan makalah ini penulis beri judul :
PENEREPAN PRINSIP-PRINSIP GOOD GOVERNANCE DALAM KAITANNYA KEPUASAN MASYARAKAT TERHADAP PELAYANAN PUBLIK


A.   Good Governance
Governance, yang diterjemahkan menjadi tata pemerintahan, adalah penggunaan wewenang ekonomi, politik dan administrasi guna mengelola urusan-urusan negara pada semua tingkat. Tata pemerintahan mencakup seluruh mekanisme, proses dan lembaga-lembaga dimana warga dan kelompok-kelompok masyarakat mengutarakan kepentingan mereka, menggunakan hak hukum, memenuhi kewajiban dan menjembatani perbedaan-perbedaan diantara mereka.
Definisi lain menyebutkan governance adalah mekanisme pengelolaan sumber daya ekonomi dan sosial yang melibatkan pengaruh sektor negara dan sektor non-pemerintah dalam suatu usaha kolektif. Definisi ini mengasumsikan banyak aktor yang terlibat dimana tidak ada yang sangat dominan yang menentukan gerak aktor lain. Pesan pertama dari terminologi governance membantah pemahaman formal tentang bekerjanya institusiinstitusi negara. Governance mengakui bahwa didalam masyarakat terdapat banyak pusat pengambilan keputusan yang bekerja pada tingkat yang berbeda
Lembaga Administrasi Negara (2000) memberikan pengertian Good governance yaitu penyelenggaraan pemerintah negara yang solid dan bertanggung jawab, serta efesien dan efektif, dengan menjaga kesinergian interaksi yang konstruktif diantara domain-domain negara, sektor swasta, dan masyarakat
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2000 prinsip-prinsip kepemerintahan yang baik terdiri dari:
1.    Profesionalitas, meningkatkan kemampuan dan moral penyelenggara pemerintahan agar mampu memberi pelayanan yang mudah, cepat, tepat dengan biaya yang terjangkau.
2.    Akuntabilitas, meningkatkan akuntabilitas para pengambil keputusan dalam segala bidang yang menyangkut kepentingan masyarakat.
3.    Transparansi, menciptakan kepercayaan timbal balik antara pemerintah dan masyarakat melalui penyediaan informasi dan menjamin kemudahan di dalam memperoleh informasi yang akurat dan memadai.
4.    Pelayanan prima, penyelenggaraan pelayanan publik yang mencakup prosedur yang baik, kejelasan tarif, kepastian waktu, kemudahan akses, kelengkapan sarana dan prasarana serta pelayanan yang ramah dan disiplin.
5.    Demokrasi dan Partisipasi, mendorong setiap warga untuk mempergunakan hak dalam menyampaikan pendapat dalam proses pengambilan keputusan, yang menyangkut kepentingan masyarakat baik secara langsung maupun tidak langsung
6.    Efisiensi dan Efektifitas, menjamin terselenggaranya pelayanan kepada masyarakat dengan menggunakan sumber daya yang tersedia secara optimal dan bertanggung jawab.
7.    Supremasi hukum dan dapat diterima oleh seluruh masyarakat, mewujudkan adanya penegakkan hukum yang adil bagi semua pihak tanpa pengecualian, menjunjung tinggi HAM dan memperhatikan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.
Karakteristik atau prinsip-prinsip yang harus dianut dan dikembangkan dalam praktek penyelenggaraan kepemerintahan yang baik (good governance) dikemukakan oleh UNDP (1997) yaitu meliputi:
1.    Partisipasi (Participation): Setiap orang atau warga masyarakat, baik laki-laki maupun perempuan memiliki hak suara yang sama dalam proses pengambilan keputusan, baik secara langsung maupun melalui lembaga perwakilan sesuai dengan kepentingan dan aspirasinya masing-masing
2.    Akuntabilitas (Accountability): Para pengambil keputusan dalam sektor publik, swasta dan masyarakat madani memiliki pertanggungjawaban (akuntabilitas) kepada publik, sebagaimana halnya kepada stakeholders.
3.    Aturan hukum (Rule of law): Kerangka aturan hukum dan perundang-undangan harus berkeadilan, ditegakkan dan dipatuhi secara utuh, terutama aturan hukum tentang hak azasi manusia.
4.    Transparansi (Transparency): Transparansi harus dibangun dalam rangka kebebasan aliran informasi. Informasi harus dapat dipahami dan dapat dimonitor.
5.    Daya tangkap (Responsiveness): Setiap intuisi dan prosesnya harus diarahkan pada upaya untuk melayani berbagai pihak yang berkepentingan (stakeholders).
6.    Berorientasi konsensus (consensus Orientation): Pemerintah yang baik akan bertindak sebagai penengah bagi berbagai kepentingan yang berbeda untuk mencapai konsensus atau kesempatan yang terbaik bagi kepentingan yang berbeda untuk mencapai konsensus atau kesempatan yang terbaik bagi kepentingan masing-masing pihak, dan berbagai kebijakan dan prosedur yang akan ditetapkan pemerintah.
7.    Berkeadilan (Equity): Pemerintah yang baik akan memberikan kesempatan yang baik terhadap laki-laki maupun perempuan dalam upaya mereka untuk meningkatkan kualitas hidupnya.
8.    Efektifitas dan Efisiensi (Effectifitas and Effeciency): Setiap proses kegiatan dan kelembagaan diarahkan untuk menghasilkan sesuatu yang benar-benar sesuai dengan kebutuhan melalui pemanfaatan yang sebaik-baiknya dengan berbagai sumber yang tersedia.
9.    Visi Strategis (Strategic Vision): Para pemimpin dan masyarakat memiliki persfektif yang luas dan jangka panjang tentang penyelenggaraan pemerintah yang baik dan pembangunan manusia, bersamaan dengan dirasakannya kebutuhan untuk pembangunan tersebut.

B.     Pelayanan Publik
Pelayanan adalah suatu kegiatan atau urutan kegiatan yang terjadi dalam interaksi langsung antar seseorang dengan orang lain atau mesin secara fisik, dan menyediakan kepuasan pelanggan. Sementara dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dijelaskan pelayana sebagai hal, cara atau hasil pekerjaan melayani. Sedangkan melayani adalah menyuguhi (orang dengan makanan atau minuman; menyediakan keperluan orang; mengiyakan, menerima; menggunakan).
Menurut Undang-undang No. 25 Tahun 2009, Pelayanan publik adalah kegiatan atau rangkaian dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap warga Negara dan penduduk atas barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara publik.
Sementara itu istilah publik berasal dari bahasa inggris public yang berarti umum, masyarakat, negara. Kata publik sebenarnya sudah diterima menjadi bahasa Indonesia baku menjadi publik yang berarti umum, orang banyak, ramai. Padanan kata yang tepat digunakan adalah praja yang sebenarnya bermakna rakyat sehingga lahir istilah pamong praja yang berarti pemerintah yang melayani kepentingan seluruh rakyat.
Oleh karena itu pelayanan publik diartikan sebagai setiap kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah terhadap sejumlah manusia yang memiliki setiap kegiatan yang menguntungkan dalam suatu kumpulan atau kesatuan, dan menawarkan kepuasan meskipun hasilnya tidak terikat pada suatu produk secara fisik.
Lijan Poltak Sinambela mengartikan pelayanan publik sebagai pemberian layanan (melayani) keperluan orang atau masyarakat yang mempunyai kepentingan pada organisasi itu sesuai dengan aturan pokok yang telah ditetapkan. Pelayanan publik adalah pemenuhan keinginan dan kebutuhan masyarakat pada penyelenggaraan negara. Negara didirikan oleh publik atau masyarakat tentu saja dengan tujuan agar dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pada hakekatnya negara dalam hal ini birokrasi haruslah dapat memenuhi kebutuhan masyarakat. Kebutuhan dalam hal ini bukanlah kebutuhan secara individual akan tetapi berbagai kebutuhan yang sesungguhnya diharapkan oleh masyarakat.
Tujuan pelayanan publik adalah memuaskan dan bisa sesuai dengan keinginan masyarakat atau pelayanan pada umumnya. Untuk mencapai hal ini diperlukan kualitas pelayanan yang sesuai dengan kebutuhan dan keinginan masyarakat. Berdasarkan Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No 62 tahun 2003 tentang penyelenggaraan pelayanan publik setidaknya mengandung sendi-sendi :
1.    Kesederhanaan, dalam arti prosedur atau tata cara pelayanan diselenggarakan secara cepat, tidak berbelit-belit, mudah dipahami dan mudah dilaksanakan.
2.    Kejelasan yang mencakup :
a.Rincian biaya atau tarif pelayanan publik.
b.Prosedur/tata cara umum, baik teknis maupun administratif.
3.    Kepastian waktu, yaitu pelaksanaan pelayanan publik harus dapat diselesaikan dalam kurun waktu yang telah ditentukan.
4.    Kemudahan akses, yaitu bahwa tempat dan lokasi serta sarana pelayanan yang memadai, mudah dijangkau oleh masyarakat, dan dapat memanfaatkan teknologi telekomunikasi dan informatika.
5.    Kedisiplinan, kesopanan dan keramahan, yakni memberi pelayanan harus bersikap disiplin, sopan dan santun, ramah serta memberikan pelayanan dengan ikhlas.
6.    Kelengkapan sarana dan prasarana kerja, peralatan kerja dan pendukung lainnya yang memadai termasuk penyediaan sarana teknologi telekomunikasi dan informatika

BAB III
PENGARUH PENERAPAN PRINSIP GOOD GOVERNANCE DALAM   PELAYANAN PUBLIK TERHADAP TINGKAT KEPUASAN MASYARAKAT

A.   Penerapan Prinsip-Prinsip Good Governance dalam Pelayanan Publik.
Upaya untuk menghubungkan tata-pemerintahan yang baik dengan pelayanan publik barangkali bukan merupakan hal yang baru. Namun keterkaitan antara konsep good-governance (tata-pemerintahan yang baik) dengan konsep public service (pelayanan publik) tentu sudah cukup jelas logikanya publik dengan sebaik-baiknya. Argumentasi lain yang membuktikan betapa pentingnya pelayanan publik ialah keterkaitannya dengan tingkat kesejahteraan rakyat. Inilah yang tampaknya harus dilihat secara jernih karena di negara-negara berkembang kesadaran para birokrat untuk memberikan pelayanan yang terbaik kepada masyarakat masih sangat rendah.
Secara garis besar, permasalahan penerapan Good Governance meliputi :
1.    reformasi birokrasi belum berjalan sesuai dengan tuntutan masyarakat;
2.    tingginya kompleksitas permasalahan dalam mencari solusi perbaikan;
3.    masih tingginya tingkat penyalahgunaan wewenang, banyaknya praktek KKN, dan masih lemahnya pengawasan terhadap kinerja aparatur;
4.    makin meningkatnya tuntutan akan partisipasi masyarakat dalam kebijakan publik;
5.    meningkatnya tuntutan penerapan prinsip-prinsip tata kepemerintahan yang baik antara lain transparansi, akuntabilitas dan kualitas kinerja publik serta taat pada hukum;
6.    meningkatnya tuntutan dalam pelimpahan tanggung jawab, kewenangan dan pengambilan keputusan dalam era desentralisasi;
7.    rendahnya kinerja sumberdaya manusia dan kelembagaan aparatur; sistem kelembagaan (organisasi) dan ketatalaksanaan (manajemen) pemerintahan daerah yang belum memadai;
Untuk mengatasi permasalahan tersebut dalam buku van walt yang berjudul changing public services values mengatakan bahwa para birokrat bekerja dalam sebuah bermuatan nilai dan lingkungan yang yang didorong oleh sejumlah nilai. nilai-nilai ini yang menjadi pijakan dalam segala aktivitas birokrasi saat memberi pelayanan publik.
terkait dengan pernyataan tersebut ada beberapa nilai yang harus dipegang teguh para formulator saat mendesain suatu naklumat pelayanan. beberapa nilai yang dimaksud yakni
1.            kesetaraan
2.            keadilan
3.            keterbukaan
4.            kontinyuitas dan regualitas
5.            partisipasi
6.            inovasi dan perbaikan
7.            efesiensi
8.            efektifitas
Dengan metode tersebut  penerapan prinsip good governance dalam pelayanan publik akan berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip good governance yang telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2000.

B.   Pengaruh Penerapan Prinsip Good Governance dalam Pelayanan Publik Terhadap Tingkat Kepuasan masyarakat
Penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan publik menurut paradigma good governance, dalam prosesnya tidak hanya dilakukan oleh pemerintah daerah berdasarkan pendekatan rule government (legalitas), atau hanya untuk kepentingan pemeintahan daerah. Paradigma good governance, mengedepankan proses dan prosedur, dimana dalam proses persiapan, perencanaan, perumusan dan penyusunan suatu kebijakan senantiasa mengedepankan kebersamaan dan dilakukan dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan.
Pelibatan elemen pemangku kepentingan di lingkungan birokrasi sangat penting, karena merekalah yang memiliki kompetensi untuk mendukung keberhasilan dalam pelaksanaan kebijakan. Pelibatan masyarakat juga harus dilakukan, dan seharusnya tidak dilakukan formalitas, penjaringan aspirasi masyarakat (jaring asmara) tehadap para pemangku kepentingan dilakukan secara optimal melalui berbagai teknik dan kegiatan, termasuk di dalam proses perumusan dan penyusunan kebijakan.
Penyelenggaraan pemerintahan yang baik, pada dasarnya menuntut keterlibatan seluruh komponen pemangku kepentingan, baik di lingkungan birokrasi maupun di lingkungan masyarakat. Penyelenggaraan pemerintahan yang baik, adalah pemerintah yang dekat dengan masyarakat dan dalam memberikan pelayanan harus sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Esensi kepemerintahan yang baik (good governance) dicirikan dengan terselenggaranya pelayanan publik yang baik, hal ini sejalan dengan esensi kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah yang ditujukan untuk memberikan keleluasaan kepada daerah mengatur dan mengurus masyarakat setempat, dan meningkatkan pelayanan publik.
Beberapa pertimbangan mengapa pelayanan publik (khususnya dibidang perizinan dan non perizinan) menjadi strategis, dan menjadi prioritas sebagai kunci masuk untuk melaksanakan kepemerintahan yang baik di Indonesia. Salah satu pertimbangan mengapa pelayanan publik menjadi strategis dan prioritas untuk ditangani adalah, karena dewasa ini penyelenggaraan pelayanan publik sangat buruk dan signifikan dengan buruknya penyelenggaraan good governance. Dampak pelayanan publik yang buruk sangat dirasakan oleh warga dan masyarakat luas, sehingga menimbulkan ketidakpuasan dan ketidakpercayaan terhadap kinerja pelayanan pemerintah. Buruknya pelayanan publik, mengindikasikan kinerja manajemen pemerintahan yang kurang baik.
Kinerja manajemen pemerintahan yang buruk, dapat disebabkan berbagai faktor, antara lain: ketidakpedulian dan rendahnya komitmen top pimpinan, pimpinan manajerial atas, menengah dan bawah, serta aparatur penyelenggara pemerintahan lainnya untuk berama-sama mewujudkan tujuan otonomi daerah. Selain itu, kurangnya komitmen untuk menetapkan dan melaksanakan strategi dan kebijakan meningkatkan kualitas manajemen kinerja dan kualitas pelayanan publik. Contoh: Banyak Pemerintah Daerah yang gagal dan/atau tidak optimal melaksanakan kebijakan pelayanan terpadu satu atap, tetapi banyak yang berhasil menerapkan kebijakan pelayanan terpadu satu atap seperti yang dilakukan oleh pemerintah kota solo yang secara tegas memberlakukan kebijakan tersebut misalnya dalam pembuatan KTP yang biasanya dalam pengurusan KTP tersebut membutuhkan waktu sekitar dua minggu, yang dilakukan oleh walikota solo adalah dengan cara mebuat efesien pelayan pembuatan KTP itu hanya dengan satu jam saja.
Walikota Solo  juga menmbuat semacam kartu jaminan kesehatan bagi warga miskin yang sudah terdata secara komputerisasi dan sehingga dalam pelayanan kesehatan tersebut warga di kota Solo tidak lagi harus membuat surat tanda tidak mampu dari RT maupun kelurahannya karena sudag terdata secara baik dan benar[10].
Meningkatnya kualitas pelayanan publik, sangat dipengaruhi oleh kepedulian dan komitmen pimpinan/top manajer dan aparat penyelenggara pemerintahan untuk menyelenggarakan kepemerintahan yang baik. Perubahan signifikan pelayanan publik, akan dirasakan manfaatnya oleh masyarakat dan berpengaruh terhadap meningkatnya kepercayaan masyarakat kepada pemerintah daerah.
Terselenggaranya pelayanan publik yang baik, memberikan indikasi membaiknya kinerja manajemen pemerintahan, disisi lain menunjukan adanya perubahan pola pikir yang berpengaruh terhadap perubahan yang lebih baik terhadap sikap mental dan perilaku aparat pemerintahan yang berorientasi pada pelayanan publik.
Tidak kalah pentingnya, pelayanan publik yang baik akan berpengaruh untuk menurunkan atau mempersempit terjadinya KKN dan pungli yang dewasa ini telah merebak di semua lini ranah pelayanan publik, serta dapat menghilangkan diskriminasi dalam pemberian pelayanan. Dalam kontek pembangunan daerah dan kesejahteraan masyarakat, perbaikan atau peningkatan pelayanan publik yang dilakukan pada jalur yang benar, memiliki nilai strategis dan bermanfaat bagi peningkatan dan pengembangan investasi dan mendorong kegiatan pembangunan yang dilakukan oleh masyarakat luas (masyarakat dan swasta).
Paradigma good governance, dewasa ini merasuk di dalam pikiran sebagian besar stakeholder pemerintahan di pusat dan daerah, dan menumbuhkan semangat pemerintah daerah untuk memperbaiki dan meningkatkan kinerja mamajemen pemerintahan daerah, guna meningkatkan kualitas pelayanan publik. Banyak pemerintah daerah yang telah mengambil langkah-langkah positif didalam menetapkan kebijakan peningkatan kualitas pelayanan publik berdasarkan prinsip-prinsip good governance.
Paradigma good governance menjadi relevan dan menjiwai kebijakan pelayanan publik di era otonomi daerah yang diarahkan untuk meningkatkan kinerja manajemen pemerintahan, mengubah sikap mental, perilaku aparat penyelenggara pelayanan serta membangun kepedulian dan komitmen pimpinan daerah dan aparatnya untuk memperbaiki dan meningkatkan pelayanan publik yang berkualitas.

. Desentralisasi dan Reformasi Pelayanan Publik
Otonomi daerah menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan perundang-undangan. Dengan otonomi daerah berarti telah dipindahkan sebagian besar kewenangan yang tadinya berada di pemerintah pusat kepada daerah otonom, sehingga pemerintah daerah otonom dapat lebih cepat dalam merespon tuntutan masyarakat sesuai dengan kemampuan yang dimiliki. Karena kewenangan membuat kebijakan (perda) sepenuhnya menjadi wewenang daerah otonom, maka dengan otonomi daerah pelaksanaan tugas umum pemerintahan dan pembangunan diharapkan akan dapat berjalan lebih cepat dan lebih berkualitas.
Beberapa aspek yang perlu mendapat perhatian serius dalam pelaksanaan otonomi daerah antara lain pelayanan publik, formasi jabatan, pengawasan keuangan daerah dan pengawasan independen. Yang perlu dikedepankan oleh pemerintah daerah adalah bagaimana pemerintah daerah mampu membangun kelembagaan daerah yang kondusif, sehingga dapat mendesain standar Pelayanan Publik yang mudah, murah dan cepat. Pelayanan publik merupakan bagian dari pemerintahan yang baik (good governance) yang salah satu parameternya adalah cara aparatur pemerintah memberikan pelayanan kepada rakyat. Prinsip good governance bisa terwujud jika pemerintahan diselenggarakan secara transparan, responsif, partisipatif, taat hukum (rule of law), sesuai konsensus, nondiskriminasi, akuntabel, serta memiliki visi yang strategis.
Bila kita mengamati lebih dalam praktik negara atau pemerintah kita terkait dengan pelayanan publik, maka tampak jelas bahwa arah dan kebijakan layanannya tidak pasti. Masyarakat atau rakyat pada dasarnya memiliki hak-hak dasar, yang harus menjadi tanggung jawab pemerintah untuk memenuhinya atau paling tidak terjamin pelaksanaannya. Akan tetapi, dalam realitasnya, banyak arah dan kebijakan layanan publik tidak ditujukan guna peningkatan kesejahteraan publik. Namun sebaliknya, layanan publik mendorong masyarakat atau rakyat untuk “melayani” elit penguasa.
Pemerintah melahirkan berbagai kebijakan dalam bentuk hukum, perundang-undangan, peraturan-peraturan dan lainnya bertalian dengan layanan publik. Berbagai kebijakan itu katanya bermaksud hendak melindungi hak-hak warga negara, meskipun dalam praktiknya banyak yang melanggar kepentingan warga negara, misalnya penggusuran lahan rakyat untuk bangunan super market. Pengalihan fungsi lahan pertanian menjadi lahan perumahan dan industri adalah kebijakan layanan publik yang melanggar hak-hak warga, khususnya kaum tani. Pelayanan publik yang buruk merupakan salah satu bentuk penyimpangan, penyalahgunaan wewenang, dan maladministrasi.
Maladministrasi adalah tindakan atau perilaku penyelenggara administrasi negara dalam pemberian pelayanan publik yang bertentangan dengan kaidah serta hukum yang berlaku. Atau, menyalahgunakan wewenang (detournement de pouvoir) yang menimbulkan kerugian serta ketidakadilan. Prinsip “kalau bisa dipersulit kenapa harus dipermudah” salah satunya juga dimotivasi perilaku mencari keuntungan sesaat kalangan aparatur pemerintah yang bertugas memberikan pelayanan publik. Masyarakat yang tidak tahan diperlakukan demikian oleh pemberi pelayanan publik akhirnya terjebak ikut berbuat tercela dengan memberikan suap kepada aparat selaku pemberi layanan.
Reformasi pelayanan publik ternyata masih tertinggal dibanding reformasi di berbagai bidang lainnya. Sistem dan filsafat yang mendasari pelayanan publik di Indonesia tidak hanya ketinggalan jaman, tetapi juga menghasilkan kinerja dibawah standar dalam masyarakat yang berubah secara cepat. Kita masih jauh tertinggal dibanding Filipina, Malaysia dan Thailand dalam indikator-indikator gabungan kualitas birokrasi, korupsi, dan kondisi sosial ekonomi.
Pendidikan, Kesehatan dan Hukum (administrasi) adalah tiga komponen dasar pelayanan publik yang harus diberikan oleh penyelenggaran negara (pemerintah) kepada rakyat. Hingga saat ini, pelayanan tersebut tampak belum maksimal. Kondisi iklim investasi, kesehatan, dan pendidikan saat ini sangat tidak memuaskan, sebagai akibat tidak jelasnya dan rendahnya kualitas pelayanan yang ditawarkan oleh institusi-institusi pemerintahan. Bahkan muncul berbagai permasalahan; masih terjadinya diskriminasi pelayanan, tidak adanya kepastian pelayanan, birokrasi yang terkesan berbelit-belit serta rendahnya tingkat kepuasan masyarakat. Faktor-faktor penyebab buruknya pelayanan publik selama ini antara lain:
•           Kebijakan dan keputusan yang cenderung menguntungkan para elit politik dan sama sekali tidak pro rakyat.
•           Kelembagaan yang dibangun selalu menekankan sekedar teknis-mekanis saja dan bukan pedekatan pe-martabat-an kemanusiaan.
•           Kecenderungan masyarakat yang mempertahankan sikap nrima (pasrah) apa adanya yang telah diberikan oleh pemerintah sehingga berdampak pada sikap kritis masyarakat yang tumpul.
•           Adanya sikap-sikap pemerintah yang berkecenderungan mengedepankan informality birokrasi dan mengalahkan proses formalnya dengan asas mendapatkan keuntungan pribadi.
Salah satu faktor penyebab utama dari keterpurukan sektor perekonomian adalah masih kuatnya prilaku koruptif di dalam berbagai aspek kehidupan, terutama di sektor birokrasi dengan salah satu fokus utamanya di sektor pelayanan publik. Konsekuensinya, timbullah biaya ekonomi tinggi yang berdampak kepada rendahnya daya saing Indonesia dibandingkan negara berkembang lainnya dalam menarik investasi dan dalam memasarkan komoditinya baik di dalam negeri maupun ke luar negeri. Akibatnya, pertumbuhan ekonomi menjadi terhambat, yang kemudian bermuara pada stagnannya proses peningkatan kesejahteraan rakyat.
Masih kuatnya perilaku koruptif ini salah satunya dibuktikan dengan dari masih rendahnya Corruption Perception Index (CPI) Indonesia tahun 2006 yang dikeluarkan oleh Transparency International Indonesia (TII) , yaitu 2,4 – naik 0,2 point dari CPI tahun 2005. Sensus pegawai negeri yang baru-baru ini dilakukan oleh Badan Kepegawaian Negara (BKN) menunjukkan bahwa ada Penyelanggaraan Pemerintahan kita melibatkan 3,6 juta pegawai negeri, tetapi anggaran negara menunjukan bahwa jumlahnya hanya sedikit kurang dari 4 juta. Dengan kata lain, hampir 400 ribu pegawai negeri yang ada dalam daftar gaji tidak bekerja untuk negara. Kenyataan ini memberikan dasar yang kuat untuk menelaah kembali anggaran kepegawaian, berbagai posisi dan fungsi kepegawaian, serta untuk membangun rencana strategis menghadapi berbagai ketidakwajaran yang ada, yang memperburuk kondisi anggaran dan berpengaruh terhadap pelayanan publik.
Pemerintah perlu menyusun Standar Pelayanan bagi setiap institusi di daerah yang bertugas memberikan pelayanan kepada masyarakat. Deregulasi dan Debirokratisasi mutlak harus terus menerus dilakukan oleh Pemda, serta perlu dilakukan evaluasi secara berkala agar pelayanan publik senantiasa memuaskan masyarakat. Ada lima cara perbaikan di sektor pelayanan publik yang patut dipertimbangkan: Mempercepat terbentuknya UU Pelayanan Publik, Pembentukan pelayanan publik satu atap (one stop services), Transparansi biaya pengurusan pelayanan publik, Membuat Standar Operasional Prosedur (SOP), dan reformasi pegawai yang berkecimpung di pelayanan publik.
Pelaksanaan Otonomi Daerah memungkinkan pelaksanaan tugas umum Pemerintahan dan tugas Pembangunan berjalan lebih efektif dan efisien serta dapat menjadi sarana perekat Integrasi bangsa. Untuk menjamin agar pelaksanaan otonomi daerah benar-benar mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat, maka segenap lapisan masyarakat baik mahasiswa, LSM, Pers maupun para pengamat harus secara terus menerus memantau kinerja Pemda dengan mitranya DPRD agar tidak disalahgunakan untuk kepentingan mereka sendiri, transparansi, demokratisasi dan akuntabilitas harus menjadi kunci penyelenggaraan pemerintahan yang Good dan Clean Government.
Pemerintah memang tidak memiliki paradigma yang jelas dalam soal layanan publik dan mempertahankan birokrasi yang feodal. Transformasi paradigmatik, disain ulang sistem dan organisasi layanan publik harus dilakukan agar pemerintah menjadi handal melakukan kewajiban publiknya. Sejatinya, Excelent Service harus menjadi acuan dalam mendesain struktur organisasi di pemerintah daerah. Bila semua daerah otonom dapat menyelenggarakan pemerintahan secara bersih dan demokratis, maka pemerintah kita secara nasional pada suatu saat nanti akan dapat menjadi birokrasi yang bersih dan profesional sehingga mampu menjadi negara besar yang diakui dunia.
Dunia saat ini telah berada dalam era yang disebut globalisasi, kondisi dimana terjadi perubahan signifikan dalam kehidupan suatu masyarakat yang tidak lagi dapat dibatasi oleh sekedar batas administrasi kewilayahan, karena pesatnya penemuan-penemuan teknologi. Globalisasi dipengaruhi oleh inovasi teknologi di satu sisi dan persaingan dalam era perdagangan bebas di sisi lain”. Sementara W.W. Rostow (1960) dengan teorinya tentang lima tahapan pertumbuhan menunjukkan bahwa suatu komunitas bangsa tingkatan pertumbuhannya dapat dilihat dari sudut pandang ekonomi dalam lima kategori: “It is possible to identify all societies, in their economic dimensions, as lying within one of five categories: the traditional society, the preconditions for take-off, the take-off, the drive to maturity, and the age of high mass-consumption”.
Sejalan dengan pendapat Rostow, era globalisasi saat ini mengindikasikan bahwa masyarakat dunia pada umumnya telah memasuki tahapan the age of high mass-consumption atau tingkatan kelima. Kondisi dimana terjadi pergeseran pada sektor-sektor dominan terhadap kebutuhan barang dan jasa sejalan dengan peningkatan pendapatan masyarakat. Sebagian besar masyarakat telah terpenuhi kebutuhan dasarnya yakni sandang, pangan dan papan serta berubahnya struktur angkatan kerja yang meningkat tidak hanya proporsi jumlah penduduk perkotaan melainkan juga jumlah angkatan kerja yang terampil.
Menghadapi kondisi masyarakat tersebut di atas, maka diperlukan peran administrasi negara dan pemerintahan dalam memberikan pelayanan secara efiktif, efisien dan secara profesional. Tantangan perubahan masyarakat dan tantangan terhadap kinerja pemerintahan selain menghadapi masyarakat yang semakin cerdas dan masyarakat yang semakin banyak tuntutannya/variatif serta memenuhi standar kualitatif sangatlah terbatas, pada akhir kekuasaan Orde Baru pun, birokrasi pernah dikritik habis-habisan oleh kalangan gerakan pro-reformasi. “Birokrasi dianggap sebagai salah satu ”penyakit” yang menghambat akselerasi kesejahteraan masyarakat dan penyelenggaraan pemerintahan yang sehat“ (Edi Siswadi, 2005). Ungkapan klasik dan kritis seperti “kalau bisa dipersulit, kenapa harus dipermudah”, misalnya, berkembang seiring dengan penampakan kinerja aparatur yang kurang baik di mata masyarakat. Ungkapan itu menggambarkan betapa buruknya perilaku pelayanan birokrasi kita yang berpotensi menyuburkan praktik percaloan dan pungutan liar (rent seeking). Kondisi inilah yang sebetulnya memunculkan iklim investasi di daerah kurang kompetitif. Kondisi pelayanan seperti ini perlu segera direformasi guna mewujudkan kinerja birokrasi dan kinerja pelayanan publik yang berkualitas.
Menghadapi kondisi ini maka pemerintah sebagai pelayan publik perlu mengupayakan untuk menekan sekecil mungkin terjadinya kesenjangan antara tuntutan pelayanan masyarakat dengan kemampuan aparatur pemerintah untuk memenuhinya, sebab keterbatasan sarana dan prasarana yang telah ada tidak dapat dijadikan sebagai alasan pembenar tentang rendahnya kualitas pelayanan kepada masyarakat. Kemandirian dan kemampuan yang handal dari pemerintah merupakan syarat tetap terpeliharanya kepercayaan masyarakat kepada pemerintah untuk memenuhi segala kebutuhan pelayanan umumnya.
Dalam kaitan inilah maka pemerintah perlu memiliki semangat kewirausahaan (entrepreneurship). Ide penataan ulang pemerintahan ini sejalan dengan pemikiran dan perkembangan administrasi negara yang berusaha melakukan reinventing government pada awal tahun 1990-an. Salah satu ide pokok dari perubahan administrasi negara tersebut adalah pentingnya “public service” sebagai orientasi dari birokrasi pemerintahan.
Perubahan mendasar dalam struktur birokrasi berlangsung sangat cepat. Semenjak reformasi, pemerintah pusat telah merekonstruksi struktur birokrasi pemerintah daerah dua kali. Masing-masing melalui UU Nomor 22 Tahun 1999 dan UU Nomor 32 Tahun 2004. Penataan birokrasi pemerintah daerah, secara normatif merupakan bagian dari rekayasa sosial guna mengatasi krisis multidimensi yang melanda. Dalam skala kecil atau mikro, hal ini dilakukan untuk kepentingan memulihkan krisis kepercayaan masyarakat terhadap birokrasi. Dalam skala makro untuk menciptakan lingkungan kerja dan budaya organisasi yang sehat dan kondusif, sehingga tingkat kepuasaan masyarakat (customer satisfaction) meningkat dan iklim investasi menyehat (Edi Siswadi, dalam Pikiran Rakyat, 2005).
Untuk mewujudkan tujuan itu, perlu ada penataan administrasi negara dan birokrasi pemerintahan dalam rangka membangun kinerja pemerintahan yang efektif, efisien, dan profesional. Setidaknya, “stempel” yang diberikan masyarakat mengenai buruk dan berbelit-belitnya birokrasi pada pemerintah baik pusat ataupun di daerah dapat dikurangi. Peran administrasi negara dan pemerintahan di masa mendatang dengan melihat beberapa tuntutan masyarakat diatas dengan kondisi pemerintah sebagai pelayan masyarakat saat ini yaitu : (1) Pemerintahan dengan system Birokrasi yang lamban dan terpusat; (2) Pemenuhan terhadap ketentuan dan peraturan (bukannya berorientasi misi); (3) Rantai hierarki/komando yang rigid; maka pemerintah saat ini harus berupaya merubah perannya untuk masa yang akan datang yaitu melalui penerapan konsep Reinventing Government.
Prinsip-prinsip Reinventing Government :
1. Mengarahkan Ketimbang Mengayuh (Steering Rather Than Rowing) Berfokus pada pengarahan, bukan pada produksi pelayanan public. •Memisahkan fungsi ”mengarahkan” (kebijaksanaan dan regulasi) dari fungsi ”mengayuh” (pemberian layanan dan compliance). •Peranan pemerintah lebih sebagai fasilitator dari pada langsung melakukan semua kegiatan operasional; •Metode
-metode yang digunakan antara lain : privatisasi, lisensi, konsesi, kerjasama operasional, kontrak, voucher, insentif pajak, dll. Pemerintah harus menyediakan (providing) beragam pelayanan publik, tetapi tidak harus terlibat secara langsung dengan proses produksinya (producing). Pemerintah memfokuskan pada pemberian arahan, sedangkan produksi pelayanan publik diserahkan kepada swasta atau pihak ketiga. Produksi pelayanan publik oleh Pemerintah harus dijadikan sebagai perkecualian, bukan suatu keharusan. Pemerintah hanya memproduksi pelayanan publik yang belum dapat dilakukan pihak non publik.
2. Pemerintah adalah Milik Masyarakat : Memberdayakan Ketimbang Melayani (Empowering raher than Serving ). •Mendorong mekanisme control atas pelayanan lepas dari birokrasi dan diserahkan kepada masyarakat; •Masyarakat dapat membangkitkan komitmen mereka yang lebih kuat, perhatian lebih baik dan lebih kreatif dalam memecahkan masalah; •Mengurangi ketergantungan masyarakat kepada pemerintah. Dengan adanya prinsip ini, Pemerintah sebaiknya memberi wewenang kepada masyarakat, sehingga menjadi masyarakat yang mampu menolong dirinya sendiri (community self-help).
3. Pemerintah yang kompetitif : Menyuntikkan persaingan dalam pemberian pelayanan (Injecting Competition into service Delivery) •Pemberian jasa/layanan harus bersaing dalam usaha berdasarkan kinerja dan harga •Persaingan adalah kekuatan yang fundamental yang tidak memberikan pilihan lain yang harus dilakukan oleh organisasi public; •Pelayanan public yang dilaksanakan oleh Pemerintah tidak bersifat monopoli tetapi harus bersaing •Masyarakat dapat memilih pelayanan yang disukainya.Oleh sebab itu pelayanan sebaiknya mempunyai alternative. Kompetisi merupakan satu-satunya cara untuk menghemat biaya sekaligus meningkatkan kualitas pelayanan. Dengan kompetisi, banyak pelayanan publik yang dapat ditingkatkan kualitasnya tanpa harus memperbesar biaya.
4. Pemerintah Digerakkan oleh Misi : Mengubah organisasi yang digerakkan oleh peraturan (Transforming Rule-Driven Organizations) menjadi digerakkan oleh misi (mission-driven). •Secara internal, dapat dimulai dengan mengeliminasi peraturan internal dan secara radikal menyederhanakan system administrasi. •Perlu ditinjau kembali visi tentang apa yang harus dilakukan oleh pemerintah •Misi pemerintah harus jelas dan peraturan perundangan tidak boleh bertentangan dengan misi tersebut. Apa yang dapat dan tidak dapat dilakukan oleh Pemerintah diatur dalam mandatnya. Tujuan Pemerintah bukan mandatnya, tetapi misinya. Contoh: Cara penyusunan APBD. APBD memang harus disusun berdasarkan suatu prosedur yang benar dan baku, tetapi pemenuhan prosedur bukanlah tujuan. Tujuan APBD adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya.
5. Pemerintah yang berorientasi hasil: Membiayai hasil bukan masukan (Funding outcomes, Not input). a.Berusaha mengubah bentuk penghargaan dan insentif: membiayai hasil dan bukan masukan. b.Mengembangkan standar kerja, yang mengukur seberapa baik mampu memecahkan masalah. c.Semakin baik kinerja, semakin banyak dana yang dialokasikan untuk mengganti dana yang dikeluarkan unit kerja.
6. Pemerintah berorientasi pada pelanggan: Memenuhi kebutuhan pelanggan, bukan birokrasi (Meeting the Needs of Customer, not be Bureaucracy) •Mengidentifikasi pelanggan yang sesungguhnya. •Pelayanan masyarakat harus berdasarkan pada kebutuhan riil, dalam arti apa yang diminta masyarakat •Instansi pemerintah harus responsif terhadap perubahan kebutuhan dan selera konsumen; •Perlu dilakukan penelitian untuk mendengarkan pelanggan mereka, •Perlu penetapan standar pelayanan kepada pelanggan •Pemerintah perlu meredesain organisasi mereka untuk memberikan nilai maksimum kepada para pelanggannya. •Menciptakan dual accountability (masyarakat dan bisnis, serta DPRD dan pejabat).
7. Pemerintah wirausaha: Menghasilkan ketimbang membelanjakan (Earning Rather than Spending) •Pemerintah wirausaha memfokuskan energinya bukan hanya membelanjakan uang (melakukan pengeluaran uang) melainkan memperolehnya. •Dapat diperoleh dari biaya yang dibayarkan pengguna dan biaya dampaknya (impact fees); pendapatan atas investasinya dan dapat menggunakan insentif seperti dana usaha (swadana) •Partisipasi pihak swasta perlu ditingkatkan sehingga dapat meringankan beban pemerintah. Contoh pelaksanaan : a.Dapat mengembangkan beberapa pusat pendapatan, misal : BPS dan Bappeda dapat menjual informasi tentang daerahnya kepada pusat-pusat penelitian. b.BUMD menjual barang maupun jasa c.Memberi hak guna usaha, menyertakan modal dan lain-lain.
8. Pemerintah antisipatif (anticipatory government): Mencegah ketimbang Mengobati (Preventon Rather than Cure) •Bersikap proaktif •Menggunakan perencanaan strategis untuk menciptakan visi daerah. •Visi membantu meraih peluang tidak terduga, menghadapi krisis tidak terduga, tanpa menunggu perintah.
9. Pemerintah desentralisasi (decentralized government): Dari hierarki menuju partisipasi dan tim kerja (From Hierarchy to Participation and Teamwork) Dengan melihat beberapa tantangan dari masyarakat, diantaranya : (a) Perkembangan teknologi sudah sangat maju. (b) Kebutuhan masyarakat dan bisnis semakin kompleks. (c) Staf banyak yang berpendidikan tinggi Maka pemerintah perlu untuk : •Menurunkan wewenang melalui organisasi, dengan mendorong mereka yang berurusan langsung dengan pelanggan untuk lebih banyak membuat keputusan (Pengambilan keputusan bergeser kepada masyarakat, asosiasi, pelanggan, LSM.) •Tujuan : Untuk memudahkan partisipasi masyarakat, serta terciptanya suasana kerja Tim. •Pejabat yang langsung berhubungan dengan masyarakat (from-line workers) harus diberi kewenangan yang sesuai. Karena dengan kewenangan yang diberikan akan memeungkikan terjadinya koordinasi “cross functional” antar semua instansi yang terkait.
10. Pemerintah berorientasi pada mekanisme pasar (market oriented government) : Mendongkrak perubahan melalui pasar (Leveraging change throught the Market) Mengadakan perubahan dengan mekanisme pasar ( sistem insentif ) dan bukan dengan mekanisme administratif (sistem prosedur dan pemaksaan). Ada dua cara alokasi sumberdaya, yaitu mekanisme pasar dan mekanisme administratif. Mekanisme pasar terbukti yang terbaik di dalam mengalokasi sumberdaya. (a) Pemerintah wirausaha menggunakan mekanisme pasar, tidak memerintah dan mengawasi, tetapi mengembangkan dan menggunakan sistem insentif agar tidak merugikan masyarakat. (b) Lebih baik merekstrukturisasi pasar guna memecahkan masalah daripada menggunakan mekanisme administrasi seperti pemberian layanan atau regulasi, komando dan control; (c) Tidak semua pelayanan public harus dilakukan oleh pemerintah sendiri. (d) Kebijaksanaan public harus dapat memanfaatkan mekanisme pasar untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. (e) Partisipasi pihak swasta perlu ditingkatkan.

Fungsi dan Kedudukan Rencana Strategis
Menyadari pentingnya rencana strategi bagi suatu komunitas dalam mendukung upaya perdamaian, maka seluruh pemangku kepentingan yang terlibat meliputi, pimpinan, tokoh masyarakat, pemerintah, lembaga swadaya, termasuk pihak lainnya secara bersama-sama dalam mengembangkan arah (sense of direction) dan mengidentifikasi prioritas isu atau akar penyebab konflik yang akan diselesaikan. Dengan kata lain pengembangan visi, misi, maksud (goal) dan tujuan (objective) yang akan dicapai merupakan konsensus bersama atau “sharing” dari semua yang terlibat dalam proses perencanaan strategis.
Keberhasilan sebuah proses perencanaan strategis akan sangat tergantung kemampuan masyarakat dalam membangun visi keberhasilan, membuat proyeksi dan harapan tentang perubahan lingkungan ke depan. Perencanaan diuji dalam rentang waktu dan model manajemen sumber daya yang tepat melalui analisis dan kajian secara komprehensif—partisipatif. Hal ini akan membantu masyarakat melakukan antisipasi dan merespon terhadap perubahan yang terjadi melalui klarifikasi visi, misi, maksud dan tujuan, menyempurnakan program, penggalangan dana, dan aspek operasi lainnya. Beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan agar perencanaan strategis sukses dalam penyelesaian masalah dan konflik dalam jangka panjang sebagai berikut.
  • Program strategis sebagai pedoman komprehensif yang jelas untuk menghadapi berbagai tantangan dan peluang eksternal.
  • Suatu penilaian komprehensif dan realistis dari keterbatasan dan kekuatan yang dimiliki komunitas.
  • Menerapkan pendekatan inklusif yang mendorong berbagai pihak yang terlibat dalam konflik untuk menentukan sukses di masa depan.
  • Suatu pemberdayaan komite perencanaan.
  • Keterlibatan dari pemimpin dan tokoh masyarakat.
  • Mempertajam tanggung jawab seluruh elemen dalam masyarakat untuk melaksanakannya.
  • Belajar dari praktek yang terbaik (Learning from best practices).
  • Prioritas dan rencana pelaksanaannya.
  • Komitmen para pemangku kepentingan untuk berubah.
Manfaat Rencana Strategis
Perencanaan strategis memiliki fungsi sebagai alat untuk menentukan arah dan tujuan pembangunan terhadap perubahan dengan memperhitungkan kapasitas dan sumber daya yang tersedia. Perencanaan disusun untuk mengantisipasi perubahan sebagai respon terhadap dinamika perubahan dan kompleksitas lingkungan. Misalnya, sebagai akibat terjadi perubahan dinamika masyarakat akibat bencana alam atau konflik sosial yang menuntut perbaikan kehidupan masyarakat secara cepat mencakup pelayanan dasar, pemberdayaan ekonomi, keamanan, kebutuhan lainnya, sementara sumberdaya semakin terbatas.
Rencana strategi sebagai perangkat manajemen untuk mencapai tujuan dan hasil secara terukur. melalui perencanaan seluruh pemangku kepentingan secara periodik dituntut melaksanakan kegiatan dalam mencapai tujuan dan menyempurnakan hasil (outcome). Dalam banyak hal perbaikan hasil menuntut formulasi rencana yang memungkinkan sistem bekerja dan fokus terhadap prioritas tuntutan secara efektif dan efisien. Rencana Strategis memungkinkan organisasi atau pemerintahan mengembangkan sistem yang mampu secara berkelanjutan melakukan perbaikan pada semua tingkatan termasuk mengendalikan dampak dan resiko pembangunan itu sendiri.
Identifikasi profil kapasitas kelembagaan pemerintahan dalam kerangka penguatan perdamaian menggambarkan bagaimana struktur pengelolaan pembangunan yang tanggap terhadap dinamika konflik. Perencanaan  bermanfaat untuk mengidentifikasikan keterbatasan dan kekuatan kelembagaan yang terlibat dalam upaya membangun struktur masyarakat yang lebih baik dan damai. Melalui proses perencanaan strategis masing-masing pihak baik pemerintah, non-pemerintah, swasta, institusi informal, dan pihak lainnya menilai situasi masyarakat saat ini untuk menentukan orientasi ke depan. Bagaimana lembaga masyarakat mampu bekerja secara benar dan menilai hal-hal yang menjadi kekuatan dan kelemahan. Memfokuskan visi dan tujuan masyarakat di masa depan. Perencanaan strategis dapat membantu para pemangku kepentingan untuk menentukan arah terbaik masa depannya. Perencanaan Strategis melibatkan usaha disiplin untuk mempertajam dan memandu menentukan bagaimana keadaan komunitas, peran dan fungsi setiap unsur, dan pembagian kerja. Disamping itu membantu mendapatkan informasi dalam secara mendalam, menggali berbagai gagasan, menentukan alternatif, dan menghadapi implikasi masa depan secara kreatif dengan keputusan yang diambil saat ini.
Mendorong komunikasi antarberbagai pihak yang terlibat dalam pembangunan. Perencanaan strategis mendorong semua pihak yang terlibat dalam konflik untuk menemukenali berbagai kebutuhan, kesamaan dan menghindari kesenjangan dan menyatukan tujuan kemudian merencanakan masa depan sesuai dengan harapan bersama. Meskipun sangat sulit mengambil keputusan dengan orang, kelompok, atau komunitas yang memiliki perbedaan visi terhadap masa depan. Namun melalui perencanaan strategis hal ini dapat diselesaikan secara partisipatif, terbuka dan komunikasi efektif, mengakomodasi tata nilai dan keinginan yang berbeda, dan mencari pengambilan keputusan secara bertahap.
Memudahkan penerimaan (adaptable) dari berbagai kepentingan dan situasi yang dinamis. Walaupun perencanaan strategis memerlukan pendekatan jangka panjang, tetapi juga menggunakan metode untuk menentukan kemajuan, akses, validitas informasi dan mempertahankan fleksibilitas rencana. Setiap keputusan yang telah diambil dalam bentuk rencana tataruang dapat dikaji kembali atau disesuaikan sebagai respon terhadap perubahan masyarakat, globalisasi, hubungan antarpihak dan manfaat dari peluang yang ada. Rencana strategis mengatur target kinerja, pola kerjasama penilaian kemajuan program, membantu membuat prioritas pembangunan, menyediakan pedoman pelaksanaan kegiatan, rencana sumber dana (modal) dan penganggaran.
Penting untuk mendukung klien. Perencanaan Strategis menentukan hal-hal yang diperlukan organisasi untuk memenuhi harapan penerima manfaat. Proses perencanaan strategis memungkinkan anda melakukan identifikasi organisasi, kelompok, komunitas, dan para pemangku kepentingan lain, serta terhadap kebutuhan dan harapan mereka.
Menentukan kebutuhan dan dukungan dana untuk mencapai tujuan. Berbagai sumber dana memberikan perhatian terhadap fokus rencana yang realistis dan memiliki dampak terhadap perubahan masyarakat secara menyeluruh. Rencana yang baik akan menentukan kebutuhan dana dan bagaimana memenuhinya. Banyak sumber pendanaan secara kuat mendukung perencanaan strategis untuk memberikan dukungan secara kontinyu baik dari pemerintah dan lembaga international lainnya. Banyak organisasi publik dan Negara donor mensyaratkan adanya perencanaan strategis sebagai bagian dari aplikasi permintaan dana atau bantuan hibah untuk kebutuhan pembangunan.
Komponen Program Strategis
Dalam merumuskan rencana strategis untuk komunitas dilakukan melalui proses atau tahapan tertentu agar menghasilkan sebuah perencanaan pembangunan yang mencerminkan kebutuhan nyata. Berbagai metode perencanaan pembangunan dikemukakan oleh para ahli dengan memberikan panduan pelaksanaan dengan tahap-tahap kegiatan secara spesifik. Secara prinsip terdapat beberapa tahapan yang harus dipenuhi dalam proses penyusunan rencana strategis, yaitu: tahap identifikasi isu-isu penting melalui analisis masalah; penentuan tujuan dan saran; perumusan visi, misi, program, dan strategi. Perencanaan strategis memberikan kejelasan tentang apa yang sebenarnya ingin dicapai dan bagaimana mencapainya. Perencanaan strategis menyediakan gambaran besar dari apa yang tujuan dan prosedur pelaksanaannya.
Tata Nilai
Tata nilai (value based) merupakan seperangkat prinsip, norma aturan yang diyakini sebagai cara yang benar (ideal) dalam menentukan tindakan, bekerja atau berhubungan dengan masyarakat. Tata nilai masyarakat berupa prinsip-prinsip dasar yang bersifat filosofis sebagai panduan kerja anggota, kelompok atau masyarakat. Nilai-nilai sebagai dasar dalam memelihara hubungan antarberbagai pihak dengan masyarakat (penerima manfaat) atau pemangku kepentingan (stakeholders) lainnya. Tata nilai akan menentukan kerangka kerja—strategi dan prinsip-prinsip operasional yang digunakan oleh komunitas atau organisasi. Misalnya, nilai keterbukaan, pertanggungjawaban, profesionalisme, memberikan pelayanan prima kepada masyarakat. Tata nilai sebagai prinsip kerja dalam perencanaan strategis sebaiknya ditetapkan oleh masyarakat dalam proses perencanaan. Klarifikasi dan konsensus pada nilai-nilai yang telah disepakati sangat penting karena akan menjadi dasar pertimbangan di dalam membuat keputusan (kebijakan).
Perumusan Visi
Visi merupakan suatu pemikiran atau pandangan kedepan, tentang apa, kemana dan bagaimana mencapai suatu keadaan masyarakat yang damai dan sejahtera di masa depan. Visi adalah rumusan umum mengenai keadaan yang diinginkan pada akhir periode program, untuk mewujudkan sasaran yang mungkin dicapai dalam jangka waktu tertentu. Visi merupakan dorongan dan gambaran mental masyarakat dalam mementukan langkah terhadap masa depannya. Kalimat yang sering digunakan menjelaskan suatu pernyataan visi berifat membangkitkan semangat (inspiring), bercita-cita tinggi (aspiring) dan memotivasi (motivating). Dalam pernyataan visi terkandung berbagai nilai sebagai berikut:
  • Membangun komitmen dan kehidupan masyarakat dan pihak yang terlibat dalam penyelesaian konflik.
  • Menciptakan makna bagi kehidupan masyarakat yang lebih baik di masa yang akan datang.
  • Menciptakan standar keunggulan dan target pencapaian secara terukur.
  • Menjembatani keadaan sekarang dan keadaan masa depan.
Perumusan Misi
Misi adalah pernyataan yang luas atau umum tentang sesuatu yang akan dilakukan untuk mewujudkan visi yang telah dirumuskan. Misi merupakan langkah-langkah startegis yang dirumuskan berdasarkan kondisi nyata, pemangku kepentingan, dan asumsi yang mendasarinya. Dengan demikian, misi merupakan rumusan umum mengenai upaya yang akan dilaksanakan oleh para pemangku kepentingan untuk mencapai visi. Dalam misi dinyatakan tujuan dan sasaran yang ingin dicapai dalam kurung waktu tertentu melalui pertimbangan strategi yang telah ditentukan. Misi disusun untuk mencapai visi dengan cara memperhatikan kondisi umum komunitas, tata ruang, pemangku kepentingan yang terlibat dalam konflik, sejarah, nilai-nilai dan arah pembangunan daerah (misalnya RPJPD atau RJPMD). Misi mencerminkan upaya sistematis menjalankan fungsi dan peran masyarakat dalam membangun perubahan dan perdamaian secara berkelanjutan.
Tujuan dan Sasaran
Tujuan (goals) adalah suatu perubahan perilaku atau hasil yang dicapai pada jangka waktu periode perencanaan. Misalnya dalam rencana pembangunan ditetapkan tujuan untuk 1 (satu) hingga 5 (lima) tahun. Pada umumnya penetapan tujuan didasarkan pada faktor-faktor kunci keberhasilan yang dilakukan setelah penetapan visi dan misi. Tujuan tidak selalu harus dinyatakan dalam bentuk kuantitatif, tetapi harus menunjukkan suatu kondisi atau keadaan spesifik yang hendak dicapai. Tujuan lebih bersifat operasional serta dapat ditentukan indikator dan alat ukurnya. Tujuan akan mengarahkan perumusan sasaran, kebijakan, program, dan kegiatan dalam mewujudkan misi. Tujuan harus dapat menyediakan dasar yang kuat untuk menetapkan indikator kinerja. Sasaran (objectives) adalah penjabaran dari tujuan secara terukur, yaitu sesuatu yang akan dicapai atau dihasilkan secara nyata oleh masyarakat dalam jangka waktu tertentu (tahunan, semester, triwulan, bulanan). Sasaran harus menggambarkan hal yang ingin dicapai melalui tindakan atau kegiatan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Sasaran memberikan fokus dalam penyusunan kegiatan secara spesifik, rinci, terukur dan realistis untuk dicapai.
Kebijakan
Kebijakan adalah ketentuan yang telah disepekati dan ditetapkan oleh yang berwenang sebagai pedoman, pegangan atau petunjuk bagi setiap pemangku kepentingan baik aparatur pemerintah, swasta, LSM, kelompok perempuan ataupun masyarakat agar tercapai, berjalan dengan lancar dan terpadu dalam upaya mencapai sasaran, tujuan, misi dan visi. Uraian tentang aktivitas atau program yang dilaksanakan oleh masyarakat harus menjelaskan proses kegiatan dalam mencapai sasaran dan tujuan secara terukur serta memberikan kontribusi dalam pencapaian visi dan misi. Kegiatan yang menjadi perhatian utama adalah tugas pokok dan fungsi pemangku kepentingan, program kerja yang ditetapkan, prioritas yang berhubungan dengan masalah yang akan diselesaikan konsisten dengan visi, misi, tujuan dan sasaran. Langkah-langkah perumusan kebijakan sebagai berikut:
  • Mengklarifikasi tujuan dan sasaran yang akan dicapai.
  • Menentukan dan mengklarifikasi prioritas dan isu-isu kritis yang akan diselesaikan.
  • Merumuskan program atau kegiatan yang akan dilaksanakan sebagai respon dari masalah atau isu-isu kritis.
  • Menyusun arah kebijakan berdasarkan pengelompokkan program atau kegiatan yang akan dilaksanakan dengan mengacu pada tujuan dan sasaran.
Strategi
Strategi adalah cara, metode, pendekatan, tata aturan atau pedoman untuk mencapai tujuan dan sasaran secara efektif dan efisien. Strategi dibutuhkan untuk memperjelas arah dan tujuan pencapaian program atau implementasinya. Strategi merupakan alat penghubung antara visi, misi, tujuan, sasaran dan arah kebijakan pembangunan (peace building) dengan realita dalam masyarakat. Dalam merumuskan strategi pembangunan terlebih dahulu dilakukan identifikasi akar penyebab konflik, menganalisis perekat dan pemecah (divider-conector) serta penggunaan SWOT sangat membantu membuat pilihan strategi identifikasi, penentuan kekuatan, memecahkan kelemahan, memanfaat-kan peluang, dan menghindarkan ancaman.