HUKUM ISLAM

HUKUM ISLAM DI INDONESIA

Hukum Islam (Al-Qur’an) diturunkan dari Allah SWT yang dalam proses emanasinya (ketersiarannya) dilakukan oleh seorang agen sakral, yaitu Muhammad, Rasulullah SAW. Nabi Muhamad memainkan peran yang amat penting dalam tradisi hukum Islam, bukan saja utusan Allah tetapi menjadi model percontohan bagi seluruh umat manusia (rahmatan lil ‘alamain) dalam menjalankan hukum Allah demi keselamatan di dunia dan di akhirat kelak. Segala sabda dan perilaku Nabi dicatat oleh para sahabatnya, yang kemudian disebut sebagi hadits yang merupakan sumber hukum kedua setelah al-Qur’an.
Kedua sumber di atas merupakan sistem hukum yang disebut syari’ah. Kata syari’ah diambil dari istilah Arab yang berarti “jalan”; yaitu jalan hidup yang telah didesain oleh Allah dan Rasul-Nya untuk kehidupan semua orang Islam di dunia ini sebagai persiapan untuk kehidupan di akhirat nanti.
Di kalangan umat Islam masih terdapat kerancuan dalam memahami Syari’ah, Fiqh, dan Hukum Islam. Kekacauan ini menyebabkan munculnya berbagai masalah dalam penerapan hukum di masyarakat dan timbul ketidakseragaman mengenai hukum Islam dan syari’at Islam.

Pengertian Syari’ah, fiqh dan hukum Islam
Secara lughawi (etimologi), syari’ah berarti “jalan ke tempat pengairan atau tempat aliran air di sungai”. Kata syari’ah muncul dalam beberapa ayat dalam al-Qur’an, seperti al-Maidah ayat 48, as-Syura ayat 13 dan al-Jatsiyah ayat 18 yang semuanya mengandung arti “jalan yang jelas yang membawa pada kemenangan”.
Menurut istilah, syari’at adalah khitab Allah yang berhubungan dengan tindak tanduk manusia di luar yang mengenai akhlak yang diatur tersendiri. Hasbi ash-Shiddieqy mengartikan syari’at dengan “hukum-hukum dan aturan-aturan yang ditetapkan Allah untuk hamba-Nya agar diikuti dalam hubungannya dengan Allah dan hubungan sesama manusia. (Hasbi ash-Siddieqy, Filsafat Hukum Islam, Pustaka Rizki Putra, Semarang, 2001, hal. 29).
Syari’ah sebagai kumpulan norma-norma yang merupakan hasil dari proses tasyri’. Syari’ah merupakan kata aturan yang ditetapkan yang menyangkut tingkah laku manusia. Sedang tasyri’ adalah pengetahuan tentang cara, proses, dasar dan tujuan Allah menetapkan hukum bagi tingkah laku manusia dalam kehidupan keagamaan dan keduniaan.
Syari’ah dalam konotasi hukum Islam terbagi menjadi dua macam, yaitu syari’ah Ilahi (tasyri’ samawi), yaitu ketentuan-ketentuan hukum yang langsung dinyatakan secara eksplisit dalam al-Qur’an dan Sunnah, dan syari’ah wadh’i (tasyri’ wadh’i) yaitu ketentuan hukum yang dilakukan oleh para mujtahid. Produk pemikiran yang dilakukan para ulama’ mujtahid dalam syari’ah wadh’i diakui sebagai syari’ah jika hal-hal yang dikaji itu merujuk kepada al-Qur’an dan Sunnah, seperti qiyas atau maslahah.

Secara sistematis kata fiqh bermakna “mengetahui sesuatu dan memahaminya secara baik dan mendalam (Abu al-Hasan Ahmad Faris, Mu’jam Maqayis al-Lughah, III, al-Babi al-Halabi, Cairo Mesir, 1970, hal. 442). Muhammad Abu Zahrah mengartikan fiqh dengan “mengetahui hukum-hukum syara’ yang bersifat amaliah yang dikaji dari dalil-dalil yang terinci (Abu Zahrah, Ushul Fiqh, Dar-al-Fikr al-Arabi, Cairo, 1958, hal. 6).

Dua objek kajian fiqh, yaitu hukum-hukum syara’ yang bersifat amaliah dan dalil-dalil terperinci dari al-Qur’an dan Sunnah yang menunjuk suatu kejadian tertentu atau menjadi rujukan bagi kejadian-kejadian tertentu. Seperti riba haram hukumnya karena telah ditetapkan dalam surat al-Baqarah ayat 279. Pengetahuan itu didasarkan pada dalil tafsili. Dan fiqh digali dan ditemukan melalui penalaran para mujtahid. Hasil pemahaman dan penalaran mujtahid terhadap hukum syara’ dituangkan dalam bentuk ketentuan terperinci tentang tingkah laku para mukallaf yang disebut fiqh. Pemahaman terhadap hukum syara’ senantiasa mengalami perubahan sesuai dengan perubahan situasi dan kondisi yang menjalaninya. Karena fiqh adalah refleksi dari perkembangan kehidupan masyarakat sesuai kondisi zaman, perubahan waktu dan situasi setiap masyarakat.

Pada hakekatnya fiqh adalah :
1. Ilmu yang menerangkan hukum syara’ dari setiap aktifitas mukallaf, baik yang wajib, haram, makruh, mandub dan mubah.
2. Objek kajian fiqh adalah hal-hal yang bersifat amaliah.
3. Pengetahuan hukum syari’ah didasarkan pada dalil tafsili.
4. Fiqh digali dan ditemukan melalui penalaran (nazhar) dan ta’amul yang diistinbatkan dari ijtihad.
5. Fiqh sebagai ilmu merupakan seperangkat cara kerja, cara berpikir, terutama cara berpikir taksonomi dan cara berpikir logis untuk memahami kandungan ayat dan hadits hukum.
6. Fiqh adalah seperangkat norma yang mengatur hubungan antar manusia dalam hidup bermasyarakat
(Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam, Rajawali Grasindo, Jakarta, 2007, hal. 45).
Qanun (hukum) adalah produk manusia melalui campur tangan kekuasaan negara dalam menyelesaikan perkara tertentu. Qanun wadh’iyah (undang-undang) adalah peraturan yang dibuat oleh pihak penguasa yang diperuntukan untuk masyarakat atau untuk menata dengan baik segala sesuatu dalam kehidupan masyarakat. (Oxford Advanced Learner’s Dictionary Current English, Oxford, The University Press, 1964, hal. 476).

Qanun adalah undang-undang yang berisi hukum Islam dengan tetap mempergunakan prosedur / metodologi hukum Islam dalam menemukan hukum, seperti istihsan, urf, maslahah dan siyasah syar’iyah. A.A. Fyzee, (Outlines of Muhammadan law,1955) mengartikan “Canon Law of Islam” adalah hukum Islam, yakni keseluruhan perintah Tuhan yang meliputi seluruh tingkah laku manusia.

Karakter Hukum Islam
Al-Qur’an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW hanya berisi sedikit ayat yang mengandung doktrin hukum, sekitar 80 dari 500 ayat-ayat hukum yang dapat dikatergorikan sebagai kode hukum.( Tahir Mahmood, Law in the al-Qur’an: A. Draft Code, 1987). Oleh karena itu diperlukan sunnah untuk dapat memahami pesan-pesan al-Qur’an yang berhubungan erat dengan problem hukum keseharian.

Sunnah merupakan informasi yang kaya mengenai sabda dan perilaku Nabi yang mencakup pula perintah, larangan, dan persetujuan Nabi mengenai kasus-kasus tertentu yang muncul di kalangan sahabat pada saat itu. Sunnah adalah refleksi pemahaman Rasul mengenai dialektika (seni berpikir secara teratur logis dan teliti yang diawali dengan tesis, antitesis, dan sintesis) teks suci al-Qur’an dan konteks sejarah pada masa hidupnya Nabi Muhammad SAW.

Semua permasalahan hukum yang muncul pada saat itu di bawa kepada Nabi untuk mendapatkan pemecahan. Nabi dalam menyelesaikan masalah yang diadukan umat Islam senantiasa berpegang pada teks suci al-Qur’an untuk menjawabnya. Jika dalam al-Qur’an tidak ditemukan solusi pemecahan dalam kasus-kasus tertentu, maka Nabi berperan menjadi pemecah masalah hukum. Oleh karena itu dalam hukum Islam dikenal Allah sebagai satu-satunya pembuat hukum dan Nabi dipahami sebagai legislator (al-Syari’) setelah Allah.

Nabi dipercayai memiliki sifat sakral yang berfungsi sebagai garansi terhadap keputusan-keputusan hukum yang dikeluarkannya. Tanpa karakter sakral ini, maka doktrin yang mewajibkan umat Islam untuk mengikuti keputusan-keputusan Nabi dalam menafsirkan al-Qur’an tidak akan mungkin terformulasikan/terumuskan dalam bentuk yang tepat.(Daniel Brown, Retheinking Tradition in Modern Islamic Thought, Cambridge Univ.Press,1996).

Karakteristik hukum Islam adalah sempurna (ta’amul), harmonis (wasathiyah), dan dinamis (harakah). Muhammad Ali al-Sayis mengatakan bahwa karakteristik hukum Islam yang paling menonjol ada tiga hal, yaitu 1. Tidak menyusahkan dan selalu menghindari kesusahan dalam pelaksanaannya, 2. Menjaga kemaslahatan manusia dan, 3. Selalu melaksanakan keadilan dalam penerapannya (Muhammad Ali al-Sayis, Tarikh al-Fiqh al-Islam, Qoriah, Mesir, tt, hal.25). Karakter-karakter di atas sesuai dengan prinsip-prinsip yang terkandung dalam surat al-‘Araf ayat 157, yaitu tidak susah, sedikit beban, berangsur-angsur, ada kelonggaran dan sesuai dengan kemaslahatn umum.

Perkembangan sumber hukum Islam
Al-Qur’an dan Sunnah merupakan sumber utama hukum Islam, dan itu tetap bertahan dalam waktu lama. Akan tetapi karena permasalahan hukum semakin kompleks di wialayah Islam, maka umat Islam memerlukan metodologi yang mapan untuk memecahkan permaslahan-permasalahan hukum yang muncul berdasarkan sumber-sumber utama hukum Islam.
Para yuris Islam merespon kebutuhan ini dengan mengembangkan prosedur ijma’ dan qiyas yang menekankan pentingnya akal dalam pengambilan keputusan hukum. Qiyas terdiri dari dua macam, yaitu qiyas ‘illah (causative inference) dan qiyas dalalah (indicative inference). Dengan ijma’ pemikiran para ahli hukum dapat diaplikasikan dalam proses penetapan hukum suatu kasus, dan melalui qiyas kasus-kasus yang timbul dapat dipecahkan melalui deduksi analogi.
Beberapa sumber hukum lain muncul seagai metodologi baru untuk merespon masalah-masalah hukum baru yang tidak mampu dipecahkan melalui sumber-sumber hukum yang ada (al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas), yaitu Istishab, Istislah atau maslahah al-mursalah atau istihsan, ‘amal ahl al-Madinah, shar’ man qablana dan ‘urf yang dapat dipergunakan untuk memecahkan problem hukum yang muncul belakangan.

Istishab adalah presumsi hukum (legal presumption) yang mencakup semua presumsi yang diterima hukum, seperti presumsi tidak bersalah dan presumsi semua benda adalah halal kecuali jika secara eksplisit dilarang (Abdur Rahman I Doi, Shariah: The Islamic Law, 1990).
Istislah, maslahah musrasalah dan istihsan adalah sumber hukum yang menekankan pentingnya merujuk kepada kepentingan umum (interes publik) sebagai alat penguji terhadap keabsahan suatu solusi hukum. Dengan istislah berarti preferen juristik (juristic preference) yang didasarkan pada apa yang dipandang sebagai yang terbaik bagi kepentingan publik.

Sedang maslahah mursalah juristic preferencenya dilandasi oleh kepentingan kemakmuran publik, dan istihsan berarti preferen juristik yang melibatkan pertimbangan pemilihan satu aturan hukum ketimang aturan yang lain, karena faktor lingkungan, sebagai bagian interes publiknya.
Amal ahl al-Madinah merupakan terma yang menunjuk kepada perilaku masyarakat Madinah yang hidup dalam waktu yang lama bersama Nabi. Shar’u man qablana esensinya adalah hukum yang dibuat oleh masarakat sebelum Nabi Muhammad SAW, seperti ajaran hukum Nabi Musa dalam kitan Taurat dan Isa dalam Injil. ‘Urf adalah sumber hukum yang mendasarkan diri pada adat kebiasaan masyarakat setempat (Abd al-Wahhab Khallaf, ‘Ilm Ushul al-Fiqh,1956).

Dari ‘Urf ini para yuris Islam membuat kaidah hukum (formulasi maksim) al-‘adah muhakkamah (adat menjadi dasar penetapan hukum). Agar adat yang dijadikan dasar penetapan hukum itu tidak melanggar ajaran dasar al-Qur’an dan Sunnah, maka ditentukan syarat-syarat validitas sebagai berikut:
1. Adat itu harus secara umum dipraktikkan oleh masyarakat atau sebagian tertentu dari masyarakat;
2. Adat harus betul-betul menjadi kebiasaan pada waktu akan ditetapkan sebagai rukujukan hukum;
3. Adat harus dipandang batal ab initio jika ternyata bertentangan dengan sumber utama hukum Islam;
4. Dalam kasus perselisihan, adat akan diterima sebagai sumber hukum hanya jika tidak ada pihak bersangkutan yang menolak adat tersebut. (Tahir Mahmood, Custom as a Source of Law in Islam, 1965).

Tujuan Hukum
         Hukum Islam mempunyai tujuan untuk kebahagiaan, kesejahteraan dan keselamatan umat manusia di dunia dan akhirat. Hukum Islam bersendi dan berasaskan hikmah dan kemaslahatan dalam hidup. Syari’at Islam adalah keadilan, rahmat (kasih sayang), kemaslahatan dan kebijaksnaan. Hukum Islam itu adil dan menempatkan keadilan Allah di tengah-tengah hambanya, kasih sayang Allah diantara makhluk-makhluknya (Ibnu Qayyim, I’lmu al-Muwaqqi’in, Makatabah Tijariyah al-Qahirah, Mesir, 1955, hal. 14-15).
Hukum sebagai alat rekayasa sosial yang dapat mempengaruhi moral masyarakat harus memberi manfaat bagi masyarakat. Tujuan syari’at atau penetapan hukum menurut para ahli fiqh (Yuris Islam) adalah:
1. Mendidik individu agar menjadi sumber kebajikan bagi masyarakat;
2. Menetapkan keadilan, dan
3. Menciptakan kemaslahatan yang dikaitkan dengan lima pokok kunci pemeliharaan dalam syari’at Islam, yaitu, agama, nyawa, akal, keturunan, dan harta milik.
Kemaslahatan itu bertingkat-tingkat cara pemenuhannya, yaitu:
1. Kemaslahatan yang bersifat primer (dlorury) yang diharuskan adanya lima pokok di atas;
2. Kemaslahatan yang bersifat penting/sekunder (Hajji) yang adanya merupakan keringanan/dispensai (rukhsakh);
3. Kemaslahatan yang bersifat asoseris (tahsini), yaitu suatu kebutuhan yang sifatnya hanya sebagai pelengkap,yang bisa diabaikan jika menyangkut hal-hal pokok.
Mohammad Salam Madkur menjelaskan bahwa untuk menjaga kelima kebutuhan pokok di atas, Islam telah mengadopsi dua strategi, yaitu: (1) penanaman kesadaran agama dan jiwa manusia dan pengembangan keasadaran kemanusiaan melalui pendidikan moral, dan (2) penggunaaan prinsip hukuman pencegahan (deterrent punishment) sebagai asas hukum pidana Islam (M. Salam Madkur, Human Rights from an Islamic Worldview: An Outline of Hudud, Ta’zir & Qisas).
Sedang menurut teori ilmu hukum modern tujuan hukum dapat dikaji dalam tiga sudut pandang, yaitu:
1. Pandangan falsafah hukum (teori etis) yang menitikberatkan tujuan hukum untuk merealisir atau mewujudkan keadilan baik yang bersifat distributif atau keadilan proporsional maupun keadilan kumulatif yang memastikan setiap orang memperoleh hak yang sama;
2. Pandangan sosiologi hukum (teori Utilitis) yang menakankan bahwa tujuan hukum adalah memberikan kemanfaatan atau kebahagiaan yang sebesar-besarnya bagi warga masyarakat; dan
3. Pandangan ilmu hukum normatif (aliran yuridis dogmatik) yang menekankan tujuan hukum dengan terwujudnya kepastian hukum.
Menurut Sudikno Mertokusumo (1999:145) dalam upaya menegakkan hukum, maka ketiga unsur tujuan hukum di atas harus diperhatikan. Kepastian hukum merupakan perlindungan yustiabel terhadap tindakan sewenang-wenang. Masyarakat menghendaki adanya suatu kepastian hukum agar masyarakat lebih tertib. Masyarakat juga mengharapkan kemanfaatan dari penegakan hukum.

Substansi Hukum Islam
Hukum Islam mengatur seluruh aspek kehidupan manusia agar selamat di dunia dan di akhirat. Hukum Islam mengontrol, mengatur dan meregulasi (pengaturan) semua perilaku privat maupun publik seseorang.
Tingkah laku manusia diatur dan dibagi dalam dua klasifikai besar yang terpisah tapi saling mempengaruhi. Pertama adalah hubungan Allah dengan manusia yang diatur melaluihukum kewajiban ibadah. Ibadah merupakan refleksi atas ketundukan manusia kepada Allah, seperti. Kedua adalah hubungan antara sesama manusia, yaitu aturan hukum yang mengatur segala aktivitas dalam kehidupan manusia sehari-hari.

Hukum Islam memberi aturan yang spesifik tentang shalat, puasa, zakat, dan haji serta bantuan-bantuan sosial seperti infak dan shadaqah, tetapi juga berisi aturan tentang barbagai hal seperti makanan halal, diet, perkawinan, hubungan seksual, pemeliharaan anak dan masalah-masalah domestik lainnya. Hukum Islam juga mengatur tatanan tentang bagaimana sesorang harus harus bertingkah laku dalam kehidupan bermasyarakat dan berinteraksi dengan kelompok lain, aturan tentang transaksi bisnis, penyelesaian konflik bahkan aturan perang (Sohail H.Hashmi, Saving and Taking Life in War Three Modern Muslim Views 89, 1999).

Perkembangan substantif hukum Islam senantiasa menyambut positif nilai-nilai dari luar yang dipandang masih masuk dalam batas ajaran Islam. Aspek-aspek substantif hukum yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW sudah mengalamai percampuran antara ide hukum yang suci (sakral) dengan tradisi setempat, yaitu hukum adat masyarakat Arab.

Dalam hukum keluarga misalnya, Islam tetap mempertahankan perkawinan sebagai lembaga sakral. Perkawinan dalam Islam bertujuan untuk menjaga kemurnian dan kebersihan hubungan genealogis ras manusia. Nabi telah melakukan penghapusan beberapa praktik adat Arab yang bertentangan dengan hukum Islam, seperti poliandri, hubungan seksual di luar nikah, adopsi, perceraian berulang-ulang, dan lain sebagainya. Nabi juga terus melakukan modifikasi dalam masalah poligami dan mahar.

Perkawinan dalam Islam mengandung tiga unsur penting; legal, sosial, dan agama. Secara legal, perkawinan merupakan sebuah kontrak, ia dilakukan atas persetujuan kedua belah pihak dan tanpa persetujuan untuk memutus hubungan tersebut. Secara sosial, perkawinan telah memberi penghormatan kepada wanita karena ia memperoleh status lebih tinggi dibanding sebelum nikah terlebih pada masyarakat Arab pada masa pra-Islam yang dipandang sebagai makhluk tanpa hak. Secara agama, perkawinan harus dilakukan menurut tata cara yang dibenarkan oleh agama, seperti telah memenuhi syarat rukunnya, wali, saksi, ijab, qabul, dan mahar. Hukum perkawinan Islam telah memadukan antar aspek ibadah dan aspek muamalah.

Perkawinan Islam masih mempertahankan praktik poligami yang secara umum ditemukan dalam masyarakat Arab, kemudian oleh Islam dibatasi hanya empat isteri dengan syarat suami dapat membuktikan kemampuannya berlaku adil terhadap isteri-isterinya. Mahar dalam adat Arab merupakan pembayaran yang diberikan kepada ayah si pengantin perempuan atau keluarganya, maka Nabi memperbaiki masalah mahar ini dengan cara mahar tersebut adalah hadiah perkawinan yang diberikan oleh si suami kepada isterinya untuk dimiliki sebagai hak milik pribadi si isteri tersebut.
Hukum waris dalam Islam menganut prinsip-prinsip: (1) suami dan isteri saling mewarisi; (2) keturunan dari jalur laki-laki/ayah dan saudara sama-sama dapat mewarisi; (3) orang tua dan kakek-nenek dapat mewarisi meskipun ada keturunan laki-laki; (4) seorang perempuan mendapat bagian setengah dibanding seorang laki-laki.

Hukum waris Islam dapat dikategorikan sebagai sistem warisan nir wasiat (intestate disposition) dalam arti harta warisan tidak dapat dibagikan sesuai dengan kemauan pewarisnya, melankan si pewaris harus tunduk mengikuti aturan-aturan Allah dalam al-Qur’an. Dalam hukum waris tradisi Arab, si pewaris bebas memberikan dan menentukan kepada siapa dan berapa banyak harta yang akan diwariskan (testamentary disposition).

Hukum pidana Islam membedakan tiga kategori kriminal.

Kategori pertama terdiri dari beberapa tindak kriminal yang disebut hudud yang hukumannya telah ditentukan dalam al-Qur’an dan Sunnah. Yang termasuk dalam kelompok ini adalah murtad, pencurian, hubungan seksual di luar nikah, menuduh orang bebuat zina. Kelompok

Kategori kedua adalah qisas, yaitu kejahatan yang hukumannya lebih didasarkan balas dendam. Perbuatan kriminal yang masuk dalam kategori ini adalah semua jenis tindakan kriminal yang bertentangan dengan prinsip kehidupan manusia, seperti pembunuhan, penyerangan, dan semua kejahatan yang mengaharuskan hukuman retalisasi atau retribusi oleh si pelaku kepada korban atau keluarganya. Bentuk hukumannya bisa berupa pembayaran diyat. Qisas pada dasarnya memberikan hak penentuan hukuman kepada keluarga korban, apakah mereka menginginkan agar si pelaku dihukum seberat-beratnya atau memberikan ampunan sepenuhnya kepada pelaku kajehatan.

Kategori ketiga adalah ta’zir, yaitu semua jenis tindakan kriminal yang secar umum dipandang ofensif atau merusak sistem masyarakat (kriminal ringan/ minor felonies), sehingga bentuk humannya pun tidak ditentukan secara pasti. Hakim diberi hak untuk menentukan jenis hukuman sesuai dengan besar kecilnya kejahatan yang dilakukan, sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan. 

Dengan ta’zir ini hukuman tidak semata-mata dibatasi pada asumsi pencegahan (deterrence) atau balasan (retribution) sebagaimana diatur dalam hadd dan qisas, tetapi mengikuti perkembangan pemikiran filsafat hukum modern.

Bisnis adalah salah satu alat yang diperlukan untuk melangsungkan kehidupan manusia di dunia ini, yang merupakan persiapan untuk kehidupan di akhiratn nanti. Prinsip utama bisnis Islam adalah melarang semua bentuk manipulasi pasar, eksploitasi dan penipuan. Islam juga mencegah terjadinya berbagai bentuk transaksi yang mengandung unsur ketidakpastian (gharar) karena dapat menimbulkan penipuan dan perselisihan. Islam melarang praktik riba (bunga) sebagai respon atas praktik ketidakadilan sosial ekonomi yang tertjadi pada masa pra-Islam.

Prinsip keuangan Islam harus memenuhi empat kriteria, yaitu: (1) pelarangan praktik riba, (2) bagi hasil dan kerugian, (3) pelarangan tindakan spekulasi, dan (4) kesakralan kontrak perjanjian (Zamir Iqbal, Islamic Banking Gains Momentum, Expands Market and Competes with Conventional Banking in Arab States, 1998).

Hukum Islam di Indonesia

Islam datang ke Indonesia jauh sebelum pengaruh Barat datang, ada yang mengatakan abad ke-11 ada pula yang berpendapat abad ke-13. Tetapi masyarakat nusantara pada saat itu telah memiliki warisan dari agama Budha dan Hindu yang sangat kuat. Dengan demikian Islam datang ke Indonesia dengan kondisi masyarakat yang sangat beragam (plural) dalam hal tradisi dan nilai-nilai keagamaan.

Karena masyarakat Indonesia yang sangat beragam, maka pendekatan sufisme menjadi pilihan yang tepat bagi para pendakwah Islam di masa-masa awal melalui para wali. Para walisongo lah yang menjadi pelaku utama gerakan dakwah dan memperoleh banyak pengikut. Dalam berdakwah para wali itu tidak menolak nilai-nilai agama yang sudah dianut oleh masyarakat pada waktu itu, bahkan sering menyatukan praktik keagamaan masyarakat pribumi dengan ajaran Islam (lihat: Idrus H.A., Kitab Asrar Walisongo, CV.Bahagia, Pekalongan, 1999).

Dalam proses Islamisasi pada saat itu Ppara wali menerapkan konsep mewarnai, bukan menentang masyarakat dalam berdakwah. Pola seperti itu mendapat respon positif dari masyarakat. Dengan memanfaatkan Sinkretisme (penyesuaian/keseimbangan) antara dua aliran, Islam dan budaya lokal, maka terciptalah berbagai elemen dari bebagai tradisi menjadi sebuah bentuk baru. (Lihat Clifford Geertz, The Religion of Java, New Haven: Yale University Press, 1968).

Masyarakat pribumi mengenal agama Islam di awal sejarah melalui tradisi heterodoksi (menyimpang dari kepercayaan resmi). Islam disebarkan secara damai ke berbagai daerah dan kepulauan yang praktik agama Budha/Hindu dan tradisi animisme maupun dinamisme masih menjadi kepercayaan yang dominan. Kemampuan para wali dalam mengadopsi dan menyesuaikan dengan adat dan praktik lokal yang bukan Islam, serta praktik ibadah dan cara pandang mereka sangat cocok dengan gerakan massa rakyat.

Sufi telah menjadi bagian integral (tak terpisahkan) dari praktik keagamaan masyarakat serta spiritualitas Islam. Berkat perjuangan merekalah gerakan penyebaran Islam di Nusantara memperoleh hasil yang sangat mengagumkan bagi perkembangan karakter Islam di Indonesia.
Hukum Islam Indonesia terbentuk dari hasil usaha untuk memasukkan ajaran hukum Islam ke dalam situasi yang berbeda dari situasi dan kondisi tempat asal hukum Islam lahir. Umat Islam Indoensia berusaha melakukan domestikasi (penjinakan) tradisi hukum yang berasal dari ajaran Islam dan mempraktikannya dengan cara mengintergasikan hukum itu dalam korpus (lingkungan kumpulan) hukum Indonesia yang lebih luas (Kelompok realis-kontekstual).

Di lain pihak muncul kelompok konservatif-literal yang mengritik praktik keagamaan yang selama ini berlangsung. Kelompok konservatif-literal ini cenderung melihat hukum Islam sebagai hukum ideal yang tidak boleh diubah, meskipun telah terjadi perubahan masa dan keadaan. Menurut mereka kinerja hukum suci harus baku dan abadi, dan orang wajib menerima kebakuan hukum tersebut.

Untuk mencapai terwujudnya hukum Islam versi Indonesia perlu dilakukan dengan memfokuskan usaha untuk mereformulasikan teori hukum Islam (ushul al-fiqh) sesuai dengan kebutuhan hukum masyarakat Indonesia melalui penalaran hukum secara mandiri (ijtihad) dengan berbagai metodologi dan pendekatan baru yang bisa berfungsi sesuai dengan pemahaman hukum masyarakat Indonesia (Lihat Ahmad Hasan, Al-Boerhan, Persis, Bandung, 1928).

Substansif hukum Islam Indonesia cenderung mengakomodasi aturan-aturan non-Islam yang masuk ke dalam sistem hukum agama melalui rekayasa hukum. Hukum perkawinan misalnya, semua agama yang ada di Nusantara selalu melibatkan pemimpin/tokoh komunitas (ulama, tetua adat, sesepuh) dalam upacara pernikahan. Pernikahan bukan lagi menjadi sebuah kontrak individu antara suami dan isteri tetapi lebih banyak melibatkan pihak-pihak yang terkait yang sifatnya komunal. Di era modern, inisiasi maupun pemutusan hubungan pernikahan adalah objek regulasi kantor pemerintah (KUA-Catatn Sipil) dan Pengadilan (Agama-Negeri).

Dalam hukum perceraian, konsep Islam tentang ta’liq talaq diubah. Institusi ini awalnya bernama djanji dalem (janji mulia) yang dikenal dalam kebudayaan Jawa abad ke-17 ketika Raja Mataram membuat ketentuan diputus bila kedapatan melakukan tindakan yang selah terhadap isteri (Jan Prins, Adat Law and Muslim Religious Law in Modern Indonesia, 1951). Tujuan utama institusi ini adalah fokus untuk menjaga hak-hak tradisional isteri dalam pernikahan, sehingg setiap pelanggaran hukum yang dilakukan oleh suami otomatis akan memutus hubungan pernikahan.
Dua pendekatan

Dalam budaya hukum di Indonesia terdapat tiga tradisi normatif hukum; yaitu hukum adat pribumi, hukum Islam dan hukum sipil Belanda. Hukum adat adalah tradisi hukum yang iikuti oleh masyarakat pribumi, ia terbentuk berdasarkan nilai-nilai normatif yang mengakar sejak lama dan dianggap memenuhi rasa keadilan dan harmoni masyarakat itu. Hukum adat terbentuk berdasarkan sikap hidup masyarakat komunal dan hukumnya pun bersifat komunal.

Hukum Islam dan hukum sipil Belanda merupakan dua tradisi hukum yang diimpor dari luar yang masuk Nusantara melalui penyebaran Islam dan kolonialisasi Belanda, namun hukum adat dan hukum Islam kadang begitu menyatu dalam satu wilayah hukum, sebagian wilayah hukum adat dianggap sebagai wilayah hukum Islam (Franz dan Keebet von Badan-Beckmann, Adat and Islam und Staat- Rechtspluralismus in Indonesia, 2005).Proses asimilasi dan akulturasi (percampuran) budaya dalam waktu lama dan terus menerus antara masyarakat pribumi dengan norma dan nilai-nilai asing menyebabkan terjadinya pluralisme hukum di Indonesia.

Hukum Islam yang berlaku di Indonesia dapat dibagi menjadi dua bagian ; pertama, hukum Islam berlaku secara yuridis formal, yakni sebagian dari hukum Islam yang mengatur hubungan manusia dengan manusia lainnya dan berada dalam masyarakat (mu’amalah) dan sebagian telah menjadi hukum positif berdasarkan peraturan perundang-undangan. Kedua, hukum Islam berlaku secara normatif, yaitu hukum Islam yang mempunyai sanksi atau padanan hukum masyarakat muslim mengenai normatif hukum Islam dan bersifat normatif seperti pelaksanaan ibadah shalat, puasa, zakat, dan haji yang termasuk dalam kategori ibadah murni (ibadah mahdah).

Kedua hukum di atas (yuridis formal dan normatif) telah menjadi hukum yang hidup (living law) dalam masyarakat Indonesia. Secara sosiologis dan kultural, hukum Islam di Indonesia telah mengalir dan berurat-akar di masyarakat. Hal ini menandakan bahwa hukum Islam memang fleksibel dan elastis dapat menyesuaikan dengan budaya dan lingkungan setempat.
Fonemena hukum Islam sebagai hukum yang hidup di masyarakat telah melahirkan satu teori credo atau syahadah di kalangan pemerhati hukum Islam seperti H.A.R. Gibb yang mengatakan bahwa orang yang telah menerima Islam sebagai agamanya berarti ia telah menerima otoritas hukum Islam atas dirinya.

Prof. Rifyal Ka’bah menengarai terdapat perbedaan dari segi pendekatan tentang penegakan syari’at Islam di Indonesia. Ada yang cenderung menggunakan pendekatan struktural dan ada pula yang cenderung menggunakan pendekatan kultural.

Pendekatan struktural menginginkan penegakkan syari’at tersutruktur dalam sistem hukum Nasioanl dengan hukum subtansial da hukum acara yang jelas dan penegakan yang jelas melalui lembaga penegakkan hukum. Bila penegakan syari’at tidak terstruktur, dikhawatirkan tidak efektif dalam mewujudkan tujuan syari’at, yaitu menjega kepentingan umum dengan sebaik-baiknya.

Kecenderungan ini mendapat dukungan dalam bidang politik melalui sejarah Piagam Jakarta, Departemen Agama, MPR, DPR, pendirian Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah, pendirian bank-bank syari’ah, Badan Arbitrasi Syari’ah, Dewan Syari’ah Nasional, dan lain-lain.

Undang-undang yang bernafaskan hukum Islam semakin banyak dilahirkan oleh parlemen. Seperti Undang-undang No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, Undang-undang Nomor 17 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Haji, Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas UU Nomor 7 Tahun 1989, Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syari’ah, Undang-undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi.

Sementara pendekatan kultural menginginkan penegakan syari’at tumbuh dari pembiasaan masyarakat melalui usaha persuasif seperti, pendidikan, percontohan yang baik, dan lain-lain sesuai dengan penegertian agama.