Biografi Singkat H.M. Soeharto
Jenderal Besar Purnawirawan Haji
Muhammad Soeharto, (lahir di Kemusuk, Argomulyo, Yogyakarta, 8 Juni, 1921 –
Jakarta, 27 Januari 2008) adalah Presiden Indonesia yang kedua, menggantikan
Soekarno. Setelah dirawat selama sekitar 24 hari di rumah sakit, ia meninggal
akibat kegagalan multifungsi organ di RS Pusat Pertamina, Jakarta Selatan pukul
13.10 WIB. Secara informal, "Pak Harto" juga dipakai untuk
menyapanya.
Ia mulai menjabat sejak keluarnya
Supersemar pada tanggal 12 Maret 1967 sebagai Penjabat Presiden, dan setahun
kemudian dilantik sebagai Presiden pada tanggal 27 Maret 1968 oleh MPRS.
Soeharto dipilih kembali oleh MPR
pada tahun 1973, 1978, 1983, 1988, 1993, dan 1998. Pada tahun 1998, masa
jabatannya berakhir setelah mengundurkan diri pada tanggal 21 Mei tahun
tersebut, menyusul terjadinya Kerusuhan Mei 1998 dan pendudukan gedung DPR/MPR
oleh ribuan mahasiswa. Ia merupakan orang Indonesia terlama dalam jabatannya
sebagai presiden.
Soeharto menikah dengan Siti
Hartinah ("Tien") dan dikaruniai enam anak, yaitu Siti Hardijanti
Rukmana (Tutut), Sigit Harjojudanto, Bambang Trihatmodjo, Siti Hediati Hariyadi
(Titiek), Hutomo Mandala Putra (Tommy), dan Siti Hutami Endang Adiningsih
(Mamiek).[1]
Gaya
Kepemimpinan Soeharto
Diawali dengan Surat Perintah Sebelas Maret
(Supersemar) pada tahun 1966 kepada Letnan Jenderal Soeharto, maka Era Orde
Lama berakhir diganti dengan pemerintahan Era Orde Baru. Pada awalnya
sifat-sifat kepemimpinan yang baik dan menonjol dari Presiden Soeharto adalah
kesederhanaan, keberanian dan kemampuan dalam mengambil inisiatif dan
keputusan, tahan menderita dengan kualitas mental yang sanggup menghadapi
bahaya serta konsisten dengan segala keputusan yang ditetapkan.
Gaya Kepemimpinan Presiden Soeharto merupakan gabungan dari gaya
kepemimpinan Proaktif-Ekstraktif dengan Adaptif-Antisipatif, yaitu gaya
kepemimpinan yang mampu menangkap peluang dan melihat tantangan sebagai sesuatu
yang berdampak positif serta mempunyal visi yang jauh ke depan dan sadar akan
perlunya langkah-langkah penyesuaian.
Tahun-tahun
pemerintahan Suharto diwarnai dengan praktik otoritarian di mana tentara
memiliki peran dominan di dalamnya. Kebijakan dwifungsi ABRI memberikan
kesempatan kepada militer untuk berperan dalam bidang politik di samping
perannya sebagai alat pertahanan negara. Demokrasi telah ditindas selama hampir
lebih dari 30 tahun dengan mengatasnamakan kepentingan keamanan dalam negeri
dengan cara pembatasan jumlah partai politik, penerapan sensor dan penahanan
lawan-lawan politik. Sejumlah besar kursi pada dua lembaga perwakilan rakyat di
Indonesia diberikan kepada militer, dan semua tentara serta pegawai negeri
hanya dapat memberikan suara kepada satu partai penguasa Golkar.[2]
Bila melihat dari
penjelasan singkat di atas maka jelas sekali terlihat bahwa mantan Presiden
Soeharto memiliki gaya kepemimpinan yang otoriter, dominan, dan sentralistis.
Sebenarnya gaya kepemimpinan otoriter yang dimiliki oleh Almarhum merupakan
suatu gaya kepemimpinan yang tepat pada masa awal terpilihnya Soeharto sebagai
Presiden Republik Indonesia. Hal ini dikarenakan pada masa itu tingkat
pergolakan dan situasi yang selalu tidak menentu dan juga tingkat pendidikan di
Indonesia masih sangat rendah. Namun, dirasa pada awal tahun 1980-an dirasa
cara memimpin Soeharto yang bersifat otoriter ini kurang tepat, karena keadaan
yang terjadi di Indonesia sudah banyak berubah. Masyarakat semakin cerdas dan
semakin paham tentang hakikat negara demokratis. Dengan sendirinya model
kepemimpinan Soeharto tertolak oleh kultur atau masyarakat. Untuk tetap
mempertahkan kekuasaannya Soeharto menggunakan cara-cara represif pada semua
pihak yang melawannya.
Pada
masa Orde baru, gaya kepemimpinannya adalah Otoriter/militeristik. Seorang
pemimpinan yang otoriter akan menunjukan sikap yang menonjolkan “keakuannya”,
antara lain dengan ciri-ciri :
- Kecendurangan memperlakukan para bawahannya sama
dengan alat-alat lain dalam organisasi, seperti mesin, dan dengan demikian
kurang menghargai harkat dan maratabat mereka.
- Pengutamaan orientasi terhadap pelaksanaan dan
penyelesaian tugas tanpa mengaitkan pelaksanaan tugas itu dengan
kepentingan dan kebutuhan para bawahannya.
- Pengabaian
peranan para bawahan dalam proses pengambilan keputusan.
Sesuai dengan masalah dan tujuan yang
penulis angkat, pengukuran gaya
kepemimpinan Presiden Soeharto di sini diukur dari aspek-aspek: (1) Status
kepemimpinan dan kekuasaan; (2) Orientasi pada hubungan; (3) Orientasi pada
tugas; (4) Cara mempengaruhi orang lain, dan (5) Kepribadian.
Maka hasil analisis menunjukkan kecenderungan-kecenderungan sebagai berikut.
Status kepemimpinan dan
kekuasaan
Presiden Soeharto digambarkan sebagai seorang Kepala Negara dibanding sebagai
pemimpinan organisasi lainnya. Di media ia hampir tidak pernah ditampilkan sebagai seorang
individu atau pribadi[3]. Kecenderungan ini secara jelas terlihat dari frekuensi
kemunculan berita yang menunjukkan status Presiden Soeharto ketika menyampaikan
pesan-pesan politik adalah sebagai Kepala Negara. Posisi berikutnya menunjukkan status Presiden Soeharto
sebagai Kepala Pemerintahan, pemimpin dan juga sebagai Ketua Dewan
Pembina Golkar.
Presiden Soeharto cenderung digambarkan sebagai seorang
pemimpin yang menjadi pusat kekuasaan pemerintah dan negara. Media cenderung
menggambarkan Presiden Soeharto sebagai pemimpin yang lebih suka berada
di lokasi pusat
kekuasaan, di Jakarta sebagai ibukota negara. Meskipun ia sering melakukan perjalanan dinas dan
pribadi/keluarga, baik di dalam maupun di luar negeri, media lebih sering
menyajikan liputan tentang aktivitas komunikasi yang dilakukan Presiden
Soeharto di Jakarta.
Penggambaran
media yang demikian diperkuat dengan penggambaran bahwa ketika di Jakarta
Presiden Soeharto lebih sering berada di Istana Negara atau Istana Merdeka
dibanding tempat-tempat lainnya yang dapat berfungsi sebagai simbol kekuasaan
dirinya sebagai pemimpin tertinggi dalam organisasi pemerintahan, negara, dan organisasi-organisasi lainnya. Bahkan, ia
juga digambarkan sebagai pemimpin yang lebih sering berada di Istana dibanding
di Bina Graha, kantor atau tempat ia
biasanya bekerja.
Orientasi pada hubungan
Dilihat
dari orientasinya pada pemeliharaan hubungan, Presiden Soeharto cenderung
ditampilkan sebagai seorang pemimpin yang otoriter, atau dalam istilah Likert
(1961) disebut “exploitative-authoritative”,
kurang demokratis. Hasil analisis menunjukkan, dari periode ke periode berita
yang beredar menunjukkan isi pesan Presiden Soeharto berfungsi menghibur,
memberikan dorongan dan bimbingan serta mengundang kritik konstruktif sebagaimana
umumnya pemimpin yang demokratis jumlahnya relatif kecil.
Kecuali
pada periode awal kekuasaannya, Presiden Soeharto dalam berita suratkabar juga
cenderung ditampilkan sebagai pemimpin yang mengutamakan hubungan dengan
lembaga pemerintah yang dipimpinnya dibanding dengan lembaga-lembaga politik
lainnya. Beliau lebih sering menyampaikan pesan-pesan politik kepada para
pejabat pemerintah, seperti menteri, gubernur, bupati, walikota, dan pegawai
negeri, dibanding kepada ketua dan anggota DPR / MPR, ketua MA, Hakim Agung,
pimpinan dan anggota ABRI, ketua dan anggota Parpol, serta pimpinan dan
wartawan media massa. Proporsi berita yang menunjukkan Presiden Soeharto
menyampaikan pesan-pesan kepada masyarakat (termasuk para tokoh dan kalangan
perguruan tinggi), dan kepada mereka yang duduk di lembaga eksekutif lebih
besar dibanding proporsi berita yang menunjukkan ia menyampaikan pesan-pesan
kepada pihak lainnya.
Presiden
Soeharto juga cenderung ditampilkan sebagai seorang pemimpin yang lebih reaktif
dibanding proaktif. Ia lebih sering memberikan tanggapan atau respon terhadap
pernyataan orang lain dibanding menunjukkan gagasan/pemikirannya sendiri.
Pesan-pesan verbal sebagaimana tercakup dalam ucapan atau pernyataan yang
disampaikan Presiden Soeharto kepada berbagai pihak lebih banyak berisi
tanggapan dirinya terhadap pertanyaan, opini, sikap, dan perilaku para pejabat
dan masyarakat yang dipimpinnya
Selain
itu juga Presiden Soeharto digambarkan
sebagai pemimpin yang memiliki fleksibelitas dalam melaksanakan tugas dan
fungsi kepemimpinannya. Isi
pesan-pesan politiknya dari periode ke periode mengalami pasang-surut. Pada
periode awal kepemimpinannya, yakni selama masa
jabatan pertama 1968-1973, dominasi gagasan-gagasan sendiri lebih
menonjol dalam pesan-pesan politik Presiden Soeharto. Namun, pada periode
pengamalan dan pematangan kepemimpinan, yakni selama masa jabatan kedua sampai
kelima 1973-1993, dominasi gagasan-gagasan sendiri semakin menurun, dan
kecenderungan ini diimbangi dengan meningkatnya tanggapan atau respon yang ia
berikan terhadap gagasan, ucapan, dan tindakan-tindakan orang lain. Sedangkan
pada periode puncak dan akhir kepemimpinannya, yakni selama masa jabatan keenam
dan ketujuh 1993-1998, isi pesan-pesan politik Presiden Soeharto semakin didominasi
oleh tanggapan atau respon yang ia berikan terhadap gagasan, ucapan, dan
tindakan-tindakan orang lain.
Orientasi pada tugas
Potret
Presiden Soeharto cenderung menunjukkan dirinya sebagai pemimpin yang lebih
sering memberikan perhatian sangat umum terhadap lingkup pembangunan nasional.
Dalam setiap periode kekuasaannya, ia digambarkan jarang memberi perhatian
khusus pada lingkup pembangunan lokal saja atau regional saja. Dilihat dari isi
pesan-pesan politiknya, pembangunan yang paling sering dibicarakan oleh
Presiden Soeharto adalah pembangunan dalam lingkup nasional. Pembangunan lokal
Daerah Tingkat II Kabupaten / Kotamadya dan pembangunan regional Daerah Tingkat
I Propinsi relatif jarang dibicarakan oleh pemimpin Orde Baru itu.
Surat
kabar juga menggambarkan Presiden Soeharto
sebagai pemimpin yang memberikan perhatian pada pembangunan daerah pedesaan
dan perkotaan tanpa membedakan diantara keduanya. Presiden Soeharto jarang
membicarakan pembangunan yang orientasinya hanya daerah perkotaan atau hanya
daerah perdesaan. Dalam media massa ia lebih sering ditampilkan sebagai
pemimpin yang membicarakan tentang pembangunan secara keseluruhan, baik daerah
perkotaan maupun daerah perdesaan. Selain itu, ia juga digambarkan sebagai
pemimpin yang memberi perhatian umum terhadap pelaksanaan pembangunan wilayah.
Ia jarang digambarkan sebagai pemimpin yang memberi perhatian khusus pada
pembangunan wilayah Barat saja atau wilayah Timur saja.
Hasil
analisis juga menunjukkan, Presiden Soeharto cenderung direpresentasikan
sebagai seorang pemimpin yang lebih mementingkan pembangunan ekonomi dibanding
pembangunan sektor-sektor lainnya. Baik pada periode awal, periode pengamalan
dan pematangan, maupun pada periode puncak dan akhir kepemimpinannya, topik
pembangunan yang paling sering dibicarakan oleh Presiden Soeharto adalah
ekonomi. Dari sektor-sektor pembangunan yang pernah dibicarakannya, dua sektor
yang paling sering dibicarakan Presiden Soeharto adalah sektor Hankam, dan
sektor Politik, Aparatur Negara, Penerangan, Komunikasi, dan Media Massa. Topik
yang paling jarang dibicarakan pemimpin tersebut adalah topik pembangunan ilmu
pengetahuan dan teknologi (IPTEK).
Cara mempengaruhi orang
lain
Presiden
Soeharto digambarkan sebagai seorang pemimpin yang otoriter, yang menerapkan
gaya kepemimpinan coercive, yang
selalu menginginkan agar perintah dan instruksinya dipatuhi orang lain dengan
segera. Dalam berita surat
kabar Presiden Soeharto cenderung ditampilkan lebih
mementingkan keselamatan dan kelangsungan pembangunan nasional. Demikian
pentingnya hal itu sehingga bagian besar perintah dan instruksi yang
disampaikan Presiden Soeharto kepada orang lain berisi permintaan agar
keselamatan dan kelangsungan pembangunan nasional selalu diprioritaskan.
Selain itu, alasan yang juga sering dijadikan landasan
argumentasi Presiden Soeharto ketika meminta orang lain untuk mematuhi
pesan-pesannya adalah perlunya memelihara persatuan dan kesatuan bangsa, upaya
mempertahankan stabilitas politik, upaya menciptakan masyarakat adil dan makmur,
upaya membangun kehidupan demokrasi, dan upaya lainnya.
Ketika ia meminta orang lain agar mau mematuhi
pesan-pesannya, Presiden Soeharto biasanya memilih kata-kata atau kalimat
tertentu. Ia lebih sering menggunakan kata-kata atau kalimat netral dibanding
membujuk (persuasive) atau memerintah
(instructive atau coercive). Kesan yang dapat ditimbulkan
dari cara menyampaikan perintah atau instruksi yang demikian adalah bahwa pada
akhirnya perintah atau instruksi Presiden Soeharto diserahkan kepada masing-masing
orang untuk menentukan sikap; apakah mematuhi atau tidak mematuhi pesan-pesan
itu[4]. Hasil analisis menunjukkan, Presiden Soeharto lebih
sering menggunakan kata dan kalimat yang sifatnya netral
ketika menyampaikan pesan-pesan politik kepada berbagai pihak.
Meskipun demikian, penjelasan yang disampaikan Presiden
Soeharto umumnya hanya berupa penjelasan tentang arti kata / istilah, ungkapan,
dan kalimat-kalimat yang diucapkannya. Ia jarang sekali memberikan penjelasan
yang bersifat mendorong penggunaan logika agar orang lain secara sadar dan
sukarela mau menerima pesan-pesan yang disampaikannya. Kepada orang-orang yang
menjadi sasaran pesan-pesannya, ia jarang memberikan contoh-contoh penerapan
pesan, menjelaskan manfaat apabila pesan itu diikuti, atau menjelaskan akibat
apabila pesan itu tidak diikuti. Tujuan komunikasi yang dilakukan Presiden
Soeharto tampaknya hanya agar orang lain menjadi mengetahui, tetapi tidak
sampai pada taraf memahami, mencoba, dan memutuskan untuk melakukan
tindakan-tindakan tertentu.
Kepribadian
Menurut
penulis Presiden Soeharto adalah seorang pemimpin yang sederhana, tidak suka
menonjolkan diri di hadapan orang lain. Ketika berbicara dengan orang lain atau
menyampaikan pesan-pesan kepada bawahan atau orang-orang yang dipimpinnya dalam
berbagai organisasi, ia tidak suka menunjukkan keberhasilan atau jasa-jasa yang
dimilikinya.
Apabila
ia berusaha menonjolkan diri sendiri, cara yang digunakan Presiden Soeharto
biasanya adalah mengemukakan pengalaman atau jasa-jasa yang pernah diberikannya
kepada bangsa dan negara pada masa lalu. Dalam menyampaikan pesan-pesan kepada
bawahan dan orang-orang yang dipimpinnya, Presiden Soeharto berusaha
menunjukkan jasanya yang besar dalam membela bangsa dan negara Indonesia,
berani melawan musuh-musuh negara baik pada masa perjuangan kemerdekaan maupun
pada masa pemberontakan G30S/PKI, dan keberhasilannya dalam penyelenggaraan
pembangunan nasional.
Keberhasilan dan Kegagalan yang Dihasilkan Dari Gaya kepemimpinan
Soeharto
Orde
Baru berlangsung dari tahun 1968 hingga 1998. Dalam jangka waktu tersebut, kepemimpinan
mantan Presiden Soeharto telah memberikan berbagaai kemajuan dan juga
kemundurun. Hal ini dikarenakan kebijakan yang beliau ambil tergantung kepada
gaya kepemimpinan yang beliau anut. Kekurangan dan kelebihan dari gaya
kepemimpinan Soeharto yaitu:
Kegagalan Dari Gaya Kepemimpinan Soeharto
v Politik
Presiden
Soeharto memulai "Orde Baru" dalam dunia politik Indonesia dan secara
dramatis mengubah kebijakan luar negeri dan dalam negeri dari jalan yang
ditempuh Soekarno pada akhir masa jabatannya. Salah satu kebijakan pertama yang
dilakukannya adalah mendaftarkan Indonesia menjadi anggota PBB lagi. Indonesia
pada tanggal 19 September 1966 mengumumkan bahwa Indonesia "bermaksud
untuk melanjutkan kerjasama dengan PBB dan melanjutkan partisipasi dalam
kegiatan-kegiatan PBB", dan menjadi anggota PBB kembali pada tanggal 28
September 1966, tepat 16 tahun setelah Indonesia diterima pertama kalinya. Ini
merupakan langkah awal dari ketergantungan Indonesia terhadapa modal asing.
Pada tahap awal,
Soeharto menarik garis yang sangat tegas. Orde Lama atau Orde Baru. Pengucilan
politik - di Eropa Timur sering disebut lustrasi - dilakukan terhadap
orang-orang yang terkait dengan Partai Komunis Indonesia. Sanksi kriminal
dilakukan dengan menggelar Mahkamah Militer Luar Biasa untuk mengadili pihak
yang dikonstruksikan Soeharto sebagai pemberontak. Pengadilan digelar dan
sebagian dari mereka yang terlibat "dibuang" ke Pulau Buru.
Sanksi
nonkriminal diberlakukan dengan pengucilan politik melalui pembuatan aturan
administratif. Instrumen penelitian khusus diterapkan untuk menyeleksi kekuatan
lama ikut dalam gerbong Orde Baru. KTP ditandai ET (eks tapol). Orde Baru
memilih perbaikan dan perkembangan ekonomi sebagai tujuan utamanya dan menempuh
kebijakannya melalui struktur administratif yang didominasi militer namun
dengan nasehat dari ahli ekonomi didikan Barat. DPR dan MPR tidak berfungsi
secara efektif. Anggotanya bahkan seringkali dipilih dari kalangan militer, khususnya
mereka yang dekat dengan Cendana. Hal ini mengakibatkan aspirasi rakyat sering
kurang didengar oleh pusat. Pembagian PAD juga kurang adil karena 70% dari PAD
tiap provinsi tiap tahunnya harus disetor kepada Jakarta, sehingga melebarkan
jurang pembangunan antara pusat dan daerah.
Soeharto siap
dengan konsep pembangunan yang diadopsi dari seminar Seskoad II 1966 dan konsep
akselerasi pembangunan II yang diusung Ali Moertopo. Soeharto merestrukturisasi
politik dan ekonomi dengan dwitujuan, bisa tercapainya stabilitas politik pada
satu sisi dan pertumbuhan ekonomi di pihak lain. Dengan ditopang kekuatan
Golkar, TNI, dan lembaga pemikir serta dukungan kapital internasional, Soeharto
mampu menciptakan sistem politik dengan tingkat kestabilan politik yang tinggi.
v Eksploitasi sumber daya
Selama masa
pemerintahannya, kebijakan-kebijakan ini, dan pengeksploitasian sumber daya
alam secara besar-besaran menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang besar namun
tidak merata di Indonesia. Contohnya, jumlah orang yang kelaparan dikurangi
dengan besar pada tahun 1970-an dan 1980-an.
v Diskriminasi terhadap
Warga Tionghoa
Warga keturunan
Tionghoa juga dilarang berekspresi. Sejak tahun 1967, warga keturunan dianggap
sebagai warga negara asing di Indonesia dan kedudukannya berada di bawah warga
pribumi, yang secara tidak langsung juga menghapus hak-hak asasi mereka.
Kesenian barongsai secara terbuka, perayaan hari raya Imlek, dan pemakaian
Bahasa Mandarin dilarang, meski kemudian hal ini diperjuangkan oleh komunitas
Tionghoa Indonesia terutama dari komunitas pengobatan Tionghoa tradisional
karena pelarangan sama sekali akan berdampak pada resep obat yang mereka buat
yang hanya bisa ditulis dengan bahasa Mandarin. Mereka pergi hingga ke Mahkamah
Agung dan akhirnya Jaksa Agung Indonesia waktu itu memberi izin dengan catatan
bahwa Tionghoa Indonesia berjanji tidak menghimpun kekuatan untuk memberontak
dan menggulingkan pemerintahan Indonesia.
Satu-satunya
surat kabar berbahasa Mandarin yang diizinkan terbit adalah Harian Indonesia
yang sebagian artikelnya ditulis dalam bahasa Indonesia. Harian ini dikelola
dan diawasi oleh militer Indonesia dalam hal ini adalah ABRI meski beberapa
orang Tionghoa Indonesia bekerja juga di sana. Agama tradisional Tionghoa
dilarang. Akibatnya agama Konghucu kehilangan pengakuan pemerintah.
Pemerintah Orde
Baru berdalih bahwa warga Tionghoa yang populasinya ketika itu mencapai kurang
lebih 5 juta dari keseluruhan rakyat Indonesia dikhawatirkan akan menyebarkan
pengaruh komunisme di Tanah Air. Padahal, kenyataan berkata bahwa kebanyakan
dari mereka berprofesi sebagai pedagang, yang tentu bertolak belakang dengan
apa yang diajarkan oleh komunisme, yang sangat mengharamkan perdagangan dilakukan.
Orang Tionghoa dijauhkan dari kehidupan politik praktis. Sebagian lagi memilih
untuk menghindari dunia politik karena khawatir akan keselamatan dirinya.
v Perpecahan bangsa
Di
masa Orde Baru pemerintah sangat mengutamakan persatuan bangsa Indonesia.
Setiap hari media massa seperti radio dan televisi mendengungkan slogan "persatuan
dan kesatuan bangsa". Salah satu cara yang dilakukan oleh pemerintah
adalah meningkatkan transmigrasi dari daerah yang padat penduduknya seperti
Jawa, Bali dan Madura ke luar Jawa, terutama ke Kalimantan, Sulawesi, Timor
Timur, dan Irian Jaya. Namun dampak negatif yang tidak diperhitungkan dari
program ini adalah terjadinya marjinalisasi terhadap penduduk setempat dan
kecemburuan terhadap penduduk pendatang yang banyak mendapatkan bantuan
pemerintah. Muncul tuduhan bahwa program transmigrasi sama dengan jawanisasi
yang disertai sentimen anti-Jawa di berbagai daerah, meskipun tidak semua
transmigran itu orang Jawa.
Pada
awal Era Reformasi konflik laten ini meledak menjadi terbuka antara lain dalam
bentuk konflik Ambon dan konflik Madura-Dayak di Kalimantan. Sementara itu
gejolak di Papua yang dipicu oleh rasa diperlakukan tidak adil dalam pembagian
keuntungan pengelolaan sumber alamnya, juga diperkuat oleh ketidaksukaan
terhadap para transmigra
v Semaraknya
korupsi, kolusi, nepotisme
v Pembangunan
Indonesia yang tidak merata dan timbulnya kesenjangan pembangunan antara pusat
dan daerah, sebagian disebabkan karena kekayaan daerah sebagian besar disedot
ke pusat munculnya rasa ketidakpuasan di sejumlah daerah karena kesenjangan
pembangunan, terutama di Aceh dan Papua kecemburuan antara penduduk setempat
dengan para transmigran yang memperoleh tunjangan pemerintah yang cukup besar
pada tahun-tahun pertamanya
v Bertambahnya
kesenjangan sosial (perbedaan pendapatan yang tidak merata bagi si kaya dan si
miskin)
v Kritik
dibungkam dan oposisi diharamkan kebebasan pers sangat terbatas, diwarnai oleh
banyak koran dan majalah yang dibreidel penggunaan kekerasan untuk menciptakan
keamanan, antara lain dengan program "Penembakan Misterius" (petrus)
v Tidak
ada rencana suksesi (penurunan kekuasaan ke pemerintah/presiden selanjutnya)
Keberhasilan yang Dihasilkan Dari Gaya Kepemimpinan Soeharto
Walaupun
terdapat berbagai kekurangan dari pemerintahan Soeharto tapi tidak dapat
dipungkiri bahwa pada masa pemerintahan Soeharto Indonesia menjadi salah satu
negara kaya dan disegani negara lain. kelebihan
1.
Kelebihan sistem Pemerintahan Orde Baru perkembangan
GDP per kapita Indonesia yang pada tahun 1968 hanya AS$70 dan pada 1996 telah
mencapai lebih dari AS$1.000
2.
Kemajuan sektor migas
Puncaknya adalah penghasilan dari migas yang memiliki nilai
sama dengan 80% ekspor Indonesia. Dengan kebijakan itu, Indonesia di bawah Orde
Baru, bisa dihitung sebagai kasus sukses pembangunan ekonomi.
Keberhasilan Pak Harto membenahi bidang ekonomi sehingga
Indonesia mampu berswasembada pangan pada tahun 1980-an, menurut Emil Salim,
diawali dengan pembenahan di bidang politik. Kebijakan perampingan partai dan
penerapan azas tunggal ditempuh pemerintah Orde Baru, dilatari pengalaman masa
Orde Lama ketika politik multi partai menyebabkan energi terkuras untuk
bertikai.
Gaya kepemimpinan tegas seperti yang
dijalankan Suharto pada masa Orde Baru memang dibutuhkan untuk membenahi
perekonomian Indonesia yang berantakan di akhir tahun 1960. Namun, dengan
menstabilkan politik demi pertumbuhan ekonomi, yang sempat dapat dipertahankan
antara 6%-7% per tahun, semua kekuatan yang berseberangan dengan Orde Baru
kemudian tidak diberi tempat.
3. Swasembada
beras
Seperti pepatah From Zero to Hero itulah kebijakan yang
dilakukan oleh HM. Soeharto pada masa pemerintahannya. Saat itu Indonesia
menjadi pengimpor beras terbesar didunia, namun oleh Soeharto ini dijadikan
motivasi untuk menjadikan Indonesia sebagai lumbung beras dunia. Puncaknya
adalah ketika pada 1984 Indonesia dinyatakan mampu mandiri dalam memenuhi
kebutuhan beras atau mencapai swasembada pangan. Prestasi itu membalik
kenyataan, dari negara agraria yang mengimpor beras, kini Indonesia mampu
mencukupi kebutuhan pangan di dalam negeri. Pada tahun 1969 Indonesia
memproduksi beras sekitar 12,2 juta ton beras tetapi tahun 1984 bisa mencapai
25,8 juta ton.
4.
Sukses transmigrasi
5.
Sukses Program KB
6.
Sukses memerangi buta huruf
7.
Sukses swasembada pangan
8.
Pengangguran minimum
9.
Sukses REPELITA (Rencana Pembangunan
Lima Tahun)
10.
Sukses Gerakan Wajib Belajar
11.
Sukses Gerakan Nasional Orang-Tua Asuh
12.
Sukses keamanan dalam negeri
13.
Investor asing mau menanamkan modal di
Indonesia.
14.
Sukses menumbuhkan rasa nasionalisme dan
cinta produk dalam negeri
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Entman, R.M. & A. Rojecki, The Black Image in the White Mind: Media and
Race in America , Chicago : University
of Chicago Press, 2000.
Hendel, Tova, Miri Fish & Vered
Galon, “Leadership style and choice of strategy in conflict management among
Israeli nurse managers in general hospitals”, International Education Journal, Vol. 4 No. 3, 2003, http://www.iej.cjb.net
Kartono,
Kartini. ABRI dan Permasalahannya -
Pemikiran Reflektif Peranan ABRI di Era Pembangunan (Bandung: Mandar Maju,
1996).
Kartono, Kartini. Pemimpin dan Kepemimpinan. Cetakan Kesembilan
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001).
Khalili.
S.
Leadership Style and their Applications
in the Iranian Management System. (Tehran: Iran, 1994), hal. 47.
Lewig, K.A. & M.F. Dollard, “Social
construction of work stress: Australian newsprint media portrayal of stress at
work, 1997-98”, Work & Stress,
2001, vol. 15, No. 2, hal. 179-190.
McQuail,
Dennis. Teori Komunikasi Massa, Edisi
Kedua (Jakarta: Erlangga, 1996).
Ministry of Health of New Zealand ,
Suicide and the Media – The reporting and
portrayal of suicide in the media. 1999. http://www.moh.govt.nz
Pingree, S., R. Hawkins, M. Butler
& W. Paisley, “A scale of sexism”, Journal
of Communication, 24, hal. 193-200; R. Kolbe & P. Albanese, “Man to
man: a content analysis of sole-male images in male audience magazines”, Journal of Advertising, 25 (4), hal.
1-20.
Rasidi,
Zaim. Soeharto Menjaring Matahari (
Bandung: Mizan, 1998).
Website
Roeder, O.G., Anak Desa Biografi Presiden
Soeharto, Jakarta: Gunung Agung, Cet.5, 1984.
Husaini, Adian, Soeharto 1988, Jakarta:
Gema Insani Press, 1996
[1]
Roeder, O.G., Anak Desa Biografi Presiden Soeharto, Jakarta: Gunung Agung,
Cet.5, 1984.
[2]
“Warisan Soeharto”,http://dte.gn.apc.org/76ais.htm,
diakses pada Minggu 12 Desember 2010
[3] Dalam analisis ini status kepemimpinan
Presiden Soeharto dilihat dari ucapan atau pernyataan Presiden Soeharto sendiri
mengenai status dirinya, misalnya: “Saya sebagai pribadi ....”, “Saya sebagai
Kepala Negara ....”, “Saya sebagai Pimpinan Kabinet .... “, atau “Saya sebagai
Mandataris MPR-RI ....”.
[4] Kumpulan
kata atau frasa yang bersifat netral yang sering digunakan pemimpin Orde Baru
itu biasanya tidak dikaitkan dengan kata ganti orang, seperti “sebaiknya”, dan
“akan lebih baik”, sedangkan yang bersifat membujuk biasanya menggunakan kata
ganti orang “kita”, seperti: “.... marilah kita bersama-sama ....”, “.... sebagai
bangsa yang besar maka kita perlu
berusaha ....”, dan yang bersifat memaksa biasanya menggunakan kata ganti orang
kedua “saudara-saudara”, seperti: “.... saudara-saudara harus ....”.
0 komentar:
Posting Komentar