Harmony in Time
Angin malam membawa aroma yang lembut ke
dalam kamar Meera. Poster-poster band yang menghiasi dinding menjadi
redup di bawah cahaya bulan yang menyelinap masuk melalui jendela terbuka.
Meera duduk di tepi tempat tidurnya, memandangi langit-langit kamar tidurnya
yang terhampar dengan poster-poster band favoritnya. Setiap hari yang
sama, rutinitas yang mononton dan membosankan.
Namun, di balik senyumnya yang samar,
terdapat beban berat yang ia pikul. Beban itu tak lain adalah rasa bersalah
yang menjeratnya sejak kecil, seolah-olah seluruh dunia ini menyalahkan dirinya
atas kematian tragis orang tuanya. Ibunya yang meninggal saat melahirkannya,
dan ayahnya yang tewas saat Meera berumur 8 tahun dalam kecelakaan mobil ketika
hendak mengantarkan Meera yang sakit ke rumah sakit.
"Astaga, Meera kenapa lemes
gini?" Tanya ayahnya ketika melihat Meera yang sedang terlihat lemah.
"Pusing..." Gerutu Meera.
Ayahnya bergegas mengantarkan meera
karena itu kelihatannya bukan sekedae pusing namun Meera terlihat sudah sangat
pucat. Ketika Ayahnya sedang berkonsentrasi pada lalu lintas di depannya,
tiba-tiba Meera mimisan. Refleksnya membuatnya menoleh ke belakang untuk
melihat keadaan Meera. Saat dia menoleh, dia melihat sebuah truk besar
mendekati dengan kecepatan tinggi.
Ayahnya yang terkejut berusaha untuk
kembali fokus ke depan, namun sayangnya sudah terlambat.
BRAK!!
Truk itu telah mendekati mobilnya dengan
cepat, dan dalam sekejap, tabrakan tak terhindarkan. Mobilnya terhempas ke
samping, roda berputar-putar, dan kaca pecah di sekelilingnya.
Saat itu Ketika Meera membuka mata, dia
mendapati dirinya terbaring di sebuah ruangan putih yang bersih. Suara detak
jantung dan mesin-mesin medis terdengar samar di kejauhan. Kepalanya masih
terasa pening, dan dia mencoba mengingat apa yang terjadi. Saat dia mulai
menyadari keadaannya, kekhawatiran mendalam memenuhi hatinya.
"Ayah, di mana Ayah?" bisiknya
dengan suara serak.
Perawat yang hadir mencoba menenangkan
Meera, memberitahunya bahwa dia berada di rumah sakit dan dalam perawatan
medis. Namun, pertanyaannya belum terjawab, dia menyadari bahwa tidak ada kabar
untuk kondisi ayahnya. Saat dia bertanya lagi tentang keberadaannya ayahnya,
perawat tersebut terlihat canggung dan enggan memberikan jawaban yang pasti.
Setelah beberapa saat, seorang dokter
mendatangi Meera dan dengan berat hati memberitahunya bahwa ayahnya tidak
selamat dari kecelakaan itu.
"Maaf ya Meera.. Ayah kamu tidak selamat
dari kecelakaan itu." ucap dokter dengan berat hati.
Meera merasakan kehancuran dalam
dirinya. Sebuah keajaiban memang telah menyelamatkan nyawanya, tetapi itu harus
dibayar dengan harga yang begitu besar, yaitu nyawa Ayahnya. Dia merasa
ketakutan dan kehilangan di rumah sakit yang seharusnya menjadi tempat
penyembuhan, kini menjadi saksi bisu dari tragedi yang melanda keluarganya.
Jikalau ia bisa pergi ke masa lalu, ia ingin membuat orang tuanya tidak saling
mencintai, dan tidak melahirkannya, jika itu membuat kedua orang tuanya tewas.
***
Di suatu malam yang gelap dan hening,
langit dihiasi oleh gemerlap bintang dan bulan. Mata Meera tertuju pada buku
lama yang ditemukannya di rak sudut kamar. Buku itu berjudul ‘Legenda dan
Sejarah Bandung’. Sebuah buku yang menyimpan rahasia Bandung yang menarik
perhatian Meera, seakan menunggu untuk menceritakan kisah-kisah lama yang
tersembunyi.
Seiring bulan purnama yang melengkapi
malam itu, Meera mulai membaca buku itu dengan penuh minat. Setiap halaman
membawanya lebih dalam ke dalam sejarah Bandung, menciptakan dunia yang seakan
menari di depan matanya. Tapi di antara legenda dan cerita masa lalu, ada satu
hal yang menangkap perhatiannya. sebuah bis misterius yang katanya bisa membawa
seseorang kembali ke masa lalu. Meera yang awalnya hanya tahu sedikit soal Kota
yang kerap di panggil “Kota Kembang” dan Kota Dimana kedua orang tuanya lahir
dan dibesarkan, menjadi semakin tertarik dengan Bandung karena buku.
ia memutuskan untuk mencari peluang baru
di Bandung, Meera merasa bahwa Bandung bisa menjadi tempat yang membawa
perubahan positif dalam hidupnya. Dengan semangat yang membara, Meera mencari
berbagai informasi beasiswa untuk belajar di Bandung.
Suatu hari, Ditengah-tengah mengikuti
kelas di sekolahnya. Akhirnya ia mendapatkan email untuk beasiswa yang ia
daftar dan memungkinkannya untuk mengejar pendidikan di salah satu universitas
terkemuka di kota tersebut.
“AAAA,
FINALLY!!” Meera yang spontan berteriak saat melihat email itu.
Tiba-tiba menyadari bahwa ia berada di
tengah-tengah kelas yang hening. Sementara teman-temannya sedang fokus
mengerjakan tugas yang diberikan oleh guru menjadi memandangnya karena
teriakannya. Raut wajah Meera berubah menjadi malu.
"Lu kenapa sih, Mir?" Bisik
teman sebangkunya, Zea.
"Inget kann… gue bilang, gue daftar
beasiswa di Bandung?" Meera menjawab dengan senyum malu.
Zea mengangguk, "Hooh, inget
banget. Toh, setiap hari lo ngomongin itu mulu"
"Hehehe… Aku keterima beasiswa
jurusan kedokteran fully funded sampai spesialis di salah satu
universitas top yang ada di Bandung." Balasnya dengan excited
Setelah 2 bulan berlalu, berbagai upaya
dan perjuangan, Keputusannya untuk memulai hidup baru di Bandung memberikan
harapan dan kegembiraan yang baru dalam hidupnya.
***
Tiba
saatnya Meera pergi untuk merantau di Bandung, sebenarnya Meera memang sering
pergi ke Bandung sebelumnya untuk mengurus beasiswanya, jadi dia hafal dengan
rutenya. Dia memilih untuk menggunakan bus sebagai sarana transportasi. Di pagi
hari, mengarahkan langkahnya ke stasiun bus local, angin yang dingin
menyapu rambutnya saat dia berdiri halte bus yang berada di bawah pohon besar
Pagi itu, pun harum embun masih dapat tercium
jelas dari dedaunan yang basah itu. Meera mengambil nafas yang berat, mencoba menyingkirkan
kegelisahannya saat merantau ke Bandung untuk kuliah. Hari itu, ia duduk di
kursi bus, menyusuri jalan yang telah menjadi bagian dari kenangan masa
kecilnya. Meera merenung sejenak, mengenang suka dan duka yang pernah dia alami
di kota kelahirannya.
Sinar
matahari menyinari wajah Meera melalui jendela bus. Pemandangan luar jendela
bus berganti seiring perjalanan, memberi warna baru pada kisah hidupnya. Dan
lamat-lamat rasa lelah mulai menyergapnya. Dia membiarkan dirinya terlelap di
kursi, luluh dalam pelukan kenangan. Namun, tidurnya tidak berlangsung lama.
Sebuah suara lembut membangunkannya,
"Neng, bangun. Ini udah
nyampe." bisik sopir bis dengan lembut.
Meera tersentak kembali ke kesadaran,
mengumpulkan barang-barangnya dengan tergesa-gesa. Dengan setengah sadar, Meera
memutuskan untuk turun dari bus dan merapihkan barang-barangnya. Dia melangkah
keluar dari bus dan merasa aneh dengan sekelilingnya, ia tersadar dan segera menyadari bahwa dia berada di terminal
Bandung. Namun, yang membuatnya terkejut adalah terminal ini tidaklah seperti
yang selalu dia kunjungi. Semua terlihat berbeda, Kota Bandung yang biasanya
ramai dan modern, kini terasa sepi dan penuh dengan nuansa nostalgia.
Meera sesekali mengingat-ingat arah
jalan yang dilalui sebelum ia tertidur tadi, Takut-takut justru ia malah salah
menaiki bis atau salah alamat seperti teman-temannya yang jika ingin datang
kerumahnya menggunakan shared location yang dia beri malah ke kuburan. Hihh,
ia tak mau membayangkannya karena salah alamat! Dia bukan IU Tink-Tink
Sunbaenim soalnya.
Bangunan-bangunan tua dan suasana kuno
memenuhi pandangannya. Dengan langkah ragu, Meera memutuskan untuk mencari tahu
lebih lanjut. Dia memasuki minimarket yang terlihat kuno di terminal itu. Saat
melangkah masuk, pandangannya tertuju pada tayangan televisi lama dengan
unsur-unsur tahun 1998, itu 8 tahun sebelum dia lahir! Matanya membulat, dan
hatinya berdebar kencang. Meera berjalan keluar dari minimarket. Dia
memperhatikan sekelilingnya dengan seksama, mencoba mencari petunjuk.
Masyarakat di sekitarnya berpakaian jadul, dan kendaraan yang melintas pun
terlihat berbeda dari yang biasa dia lihat.
“ini mimpi bukan sih?” Meera berbisik
pada dirinya sendiri.
“kalo sakit mimpi, kalo gak berarti
bukan mimpi,” tiba tiba dia menampar pipinya.
Tanpa ragu, dia menampar dirinya sendiri
dengan keras.
Plak!!
“Aduh! Sakit..” serunya, dengan
tangannya menyisir pipinya yang terasa sakit.
Meera merasakan rasa sakit dan kejutan
di pipinya, rasa sakit yang melintas meyakinkannya sejenak bahwa ini mungkin
saja bukanlah mimpi. Tetapi dia masih belum mengetahui sebenarnya apa yang
sedang terjadi. Matanya melotot sambil tangannya meraih pipi yang baru saja
ditamparnya. Dia meraba-raba, mencoba memahami bahwa ini adalah kenyataan.
“Masa gue pergi ke masa lalu? Gak masuk
akal banget,” gumamnya.
“Terus
gimana sama beasiswaku?! AAAA” ia mengacak-acak rambutnya.
Bangunan-bangunan tua dan suasana kuno
hanya semakin membingungkannya. Dengan langkah yang hati-hati, Meera mulai
berjalan menjauh dari terminal. Dia mencoba berbicara dengan beberapa orang
yang lewat, tetapi reaksi mereka terhadap pertanyaannya hanya menambah
kebingungan. Beberapa orang tampaknya tidak mengerti pertanyaan Meera,
sementara yang lain menatapnya seakan dia aneh.
Meera teringat dengan buku ‘Legenda Dan
Sejarah Bandung’ yang pernah dia baca. Buku itu berisi cerita tentang sebuah
bis misterius yang konon bisa membawa penumpangnya kembali ke masa lalu.
“Apa jangan-jangan gue beneran ke masa
lalu karena naik bus itu” pikirannya mulai terhubung dengan kemungkinan bahwa
dia benar-benar telah kembali ke waktu yang berbeda.
Lalu Meera melanjutkan perjalanannya dan
tiba di sebuah toko buku. Dia memutuskan untuk mencari petunjuk lebih lanjut
atau mungkin menemukan buku sejarah yang bisa memberinya gambaran tentang apa
yang dia alami. Saat dia memasuki toko, suasana berubah menjadi lebih tenang
dan damai.
Dengan hati-hati, Meera melihat
sekeliling dan menemukan rak-rak yang penuh dengan buku-buku dan koran-koran
yang tampak kuno baginya. Dia mengambil beberapa koran dan mencari informasi
tentang tahun 1998. Saat dia membaca satu demi satu, ekspresi wajahnya berubah
menjadi terkejut.
Dia menemukan satu koran yang berisikan
peristiwa seperti yang dia alami. Ternyata, dia berada di sebuah distopia di
mana ada perubahan besar dalam sejarah dunia. Beberapa peristiwa besar yang
seharusnya terjadi setelah tahun 1998 ternyata tidak terjadi, dan dunia menjadi
sangat berbeda dari yang dia ketahui.
Meera merasa kewalahan dengan informasi
ini. Dia keluar dari toko buku dengan kepala yang penuh pertanyaan.
Bagaimana ini bisa terjadi?
Mengapa dia tiba-tiba berada di Tahun
yang berbeda?
Dan apakah dia satu-satunya yang pergi
ke masa lalu?
Meera, masih tercengang oleh temuan di
koran. Namun, sebelum dia bisa menyusun pikirannya, sebuah kejadian mengejutkan
terjadi. Di pintu keluar, dia melihat seorang wanita muda yang terlihat sangat
akrab. Wanita itu tersenyum kepadanya, dan Meera dengan cepat menyadari bahwa
itu adalah ibunya, Shana.
Meera mendekati ibunya dengan hati-hati,
mencoba untuk mencerna kejutan ini. "Ibu?" panggilnya dengan ragu.
Gadis itu menoleh “Hah, Ibu?” tanya Shana kebingungan dan mengerutkan keningnya.
“Eh sorry, kamu mirip banget sama
ibuku. Aku kira kamu ibu aku..” Meera mencoba membuat alasan.
“Ohhh, aku kira aku teh keliatan
tua banget. Btw kita pernah ketemu gak sih? Soalnya muka kamu familiar
gitu” balas ibunya, mencoba mengenali Meera.
"Kayaknya bukan aku deh, kenalin aku
Meera. Aku mah baru pindah ke sini, aku juga gak kenal banyak orang di sekitar
sini"
“Baru
pindah ya… Aku Shana” lanjut perempuan berambut panjang itu sambil tersenyum
Bagaimana Meera bisa mengetahui itu
Ibunya? Bahkan mereka belum pernah bertemu. Setelah kematian Ibunya, yang
tersisa hanyalah foto masa muda sosok Wanita yang cantik itu, jadi yang Meera
ketahui tentang sosok ibunya semenjak kecil hanyalah seperti yang ada di foto
itu.
Meera memulai percakapan hangat dan merasa
hatinya penuh harap. Dia ingin mendekati ibunya tanpa membuatnya merasa aneh
atau curiga, kesempatan ini begitu langka, dia tidak pernah merasa dekat dengan
sosok ibu sebelumnya. meskipun dia menyimpan rahasia besar tentang identitasnya,
Meera sadar bahwa mengungkapkan identitasnya dan kisah perjalanannya dari masa
depan mungkin akan menciptakan kekacauan besar di alam semesta ini.
Selama beberapa waktu, Meera dan Shana menjadi
berteman dan menghabiskan waktu bersama, tanpa menyadari bahwa Meera berasal
dari masa depan. Meera menemukan kenyamanan dalam hubungan ini. Sementara itu,
dia terus menjelajahi distopia yang baru ditemuinya dan berusaha mencari
jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan yang masih menghantui pikirannya.
***
Dia menyadari bahwa ini adalah sebuah
era yang jauh dari teknologi yang biasa menjadi bagian dari hidupnya. Di waktu
ini adalah kesempatan yang tepat untuk mengubah takdir kedua orang tuanya di
masa depan nanti, misinya adalah mengubah takdir orang tuanya agar mereka tidak
pernah saling mencintai. Dalam usahanya untuk ini bisa menjalankan misinya dia
harus beradaptasi dengan zaman yang sangat asing baginya, Meera mengenakan
pakaian zaman dulu dan menyembunyikan identitasnya dengan baik.
Setelah penampilannya yang baru, Meera
memutuskan untuk memulai kehidupan baru sebagai pelayan di kafe kecil
bernama "Retro Blend." Kafe ini ramai dikunjungi oleh
warga setempat, dan suasana retro yang dihadirkan membuatnya merasa
seperti dirinya berada di salah satu tempat yang paling cocok untuk menyelidiki
zaman ini.
Meera merasa perlu untuk memahami adat
dan kebiasaan zaman ini agar tidak menarik perhatian yang tidak diinginkan. Dalam
beberapa hari, Meera mulai memahami adat dan kebiasaan zaman ini.
Suatu hari, ketika Meera sedang
membersihkan meja di kafe, matahari yang terang menyinari wajah seorang
pemuda tampan yang masuk, suara langkah kaki bersahut di antara deru mesin kopi
dan kehidupan yang riuh di kafe.
“Selamat datangㅡ”
Detik itu, hati Meera berhenti berdetak.
Pemuda itu adalah ayahnya, Dion, dan sorot matanya memancarkan kehangatan yang
sama yang selalu dikenang Meera. Lalu beberapa saat kemudian muncul sosok
Wanita yang terlihat familiar, dan itu adalah Shana, ibunya Meera.
“Oitt Shana, sini duduk di samping gue,”
ujar Dion sembari menepuk-nepuk sisi kosong pada bangku panjang yang ia duduki.
“Aduh sorry gue lama,” ujarnya.
Meera menyaksikan momen-momen indah dan
murni antara Ayah dan Ibunya yang baru saja bertemu. Mereka tertawa bersama,
saling bercanda, dan kebahagiaan yang tampak begitu alami. Namun, setiap detik
itu juga menimbulkan pertanyaan dalam benak Meera, Apakah dia benar-benar bisa
mengubah takdir ini tanpa merusak kebahagiaan mereka?
Meera yang mencoba meyakinkan kalo Dion
sama Shana itu gak cocok untuk jadi pasangan, meskipun Meera menyadari risiko
dari perubahan yang dia lakukan, dia yakin bahwa itu adalah satu-satunya cara
untuk merubah nasib mereka.
***
Suatu hari, Meera terbangun dengan
perasaan kelelahan dan kebingungan. Ternyata, dia kembali ke masa depan. Namun,
perubahan yang dia usahakan tidak membuat kehidupan di masa depan berbeda, ia
kira acara itu berhasil mengubah masa lalu dan misinya selesai, tetapi kejutan
menanti. Mereka tetap meninggal, tapi dalam keadaan yang berbeda. Ini
membuatnya semakin sadar akan kompleksitas waktu dan bagaimana setiap tindakan
memiliki konsekuensi yang sulit diprediksi.
Namun, tiba-tiba saja, semuanya berubah.
Meera merasakan getaran yang aneh di seluruh tubuhnya. Sekejap, segalanya
menjadi kabur, dan Meera merasa dirinya jatuh ke dalam keheningan gelap.
Saat Meera membuka matanya lagi, dia
kembali berada di masa lalu. Semua yang dia alami di masa depan tadi hanya
seakan-akan mimpi. Meera memegang kepala, mencoba memahami apa yang baru saja
terjadi. Apakah semuanya itu hanya ilusi?
“Aneh. Tadi gue tiba tiba bangun di masa
depan, terus sekarang gue balik lagi ke masa lalu?”
Setelah Meera terbangun dalam
ketidakpastian dan kekecewaan, di jalan saat dia ingin berangkat kerja dia
tanpa sengaja bertemu dengan seorang pemuda bernama Kahiyang. Mereka saling
memandang, penuh kebingungan dan rasa ingin tahu, tak menyadari bahwa nasib
mereka telah terkait erat oleh benang waktu yang tak terlihat.
Kahiyang, pemuda yang misterius itu,
ternyata juga merupakan penumpang bis misterius yang membawa mereka kembali ke
masa lalu. Mereka menemukan kesamaan yang membuat mereka bisa pergi ke masa
lalu, Meera berjuang untuk merubah masa
lalu demi mencegah kematian orang tuanya, dan Kahiyang, dengan matanya yang
dipenuhi rasa takut, berusaha mencegah kematiannya sendiri di masa depan.
mereka memutuskan untuk bekerja sama, menyatukan kekuatan mereka untuk merubah
kejadian yang telah ditetapkan.
Dalam perjalanan mereka, Meera dan
Kahiyang telah menghadapi berbagai kejadian di masa lalu, melewati momen-momen
yang berpotensi merubah takdir mereka masing-masing. Mereka menyaksikan berbagai
kegagalan, serta merasakan getaran waktu yang sulit dipahami.
Ketika malam tiba, mereka menemui sebuah
keputusan sulit. Meera harus memilih antara mengubah takdir orangtuanya atau
membantu Kahiyang mencegah kematiannya sendiri di masa depan. Sementara itu,
Kahiyang juga merasakan beban besar atas pilihannya.
“Kita harus milih antara orangtua gue
atau keselamatan lo, Kahiyang.”
“Gue gak mau Meera terjebak dalam
pilihan sulit kayak gini.”
“Tapi, Kahiyang, kita harus milih salah
satu biar gak kehilangan satu sama lain.”
“Kita harus temuin jalan keluar, Meera.
Gue gak mau ada yang kehilangan, termasuk kita.”
Dalam diam, rasanya Meera ingin kabur.
Tapi masa iya, sudah sampai sini justru ia putar balik arah? Kan tidak lucu.
Namun, Meera menyadari bahwa keputusan
sulit ini tidak bisa dihindari. Dia memandang Kahiyang, yang juga tampak ragu.
Keduanya saling berpandangan, dan tanpa berkata-kata, mereka tahu bahwa satu
sama lain telah menjadi bagian tak terpisahkan dari perjalanan ini.
Dengan hati-hati, Meera memutuskan untuk
mengambil risiko besar. Dia memutuskan untuk membantu Kahiyang mencegah
kematiannya di masa depan. Meskipun berat hati meninggalkan ide untuk mengubah
takdir orangtuanya, Meera tahu bahwa perubahan ini mungkin akan membawa dampak
besar bagi keduanya.
Mereka menyusun rencana dengan
hati-hati, menggunakan pengetahuan dari perjalanan mereka di masa lalu untuk
mengantisipasi setiap peristiwa. Mereka berdua bekerja keras untuk menghindari
takdir yang telah mereka saksikan, dengan harapan bahwa tindakan mereka akan
membawa perubahan positif.
Meera dan Kahiyang saling berpandangan
dalam keheningan. Mereka merasakan getaran waktu yang menandakan bahwa
perubahan telah terjadi, tetapi takdir mereka berdua masih tetap tidak
terungkap sepenuhnya.
“Kayaknya ada yang ga beres, ya,”
Kahiyang menggantung kata-katanya.
“Gue gak tahu gimana ngejelasinnya, tapi
kita harus beneran ati-ati.”
“Gue udah ngerasa kayak mimpi buruk,
Kahiyang. Kita udah usaha keras, tapi tetep aja, takdir punya rencana sendiri.”
terang Meera
Dengan hati yang berat, mereka
memutuskan untuk menerima kenyataan bahwa tidak semua yang mereka inginkan
dapat mereka perubahkan. Meskipun mereka telah berjuang sekuat tenaga dan
menggunakan semua pengetahuan yang mereka miliki, takdir tetap memiliki jalannya
sendiri.
Akhirnya mereka kembali ke masa kini, Meera menemui
orangtuanya dengan selamat, bahkan kehidupan mereka tampak lebih baik dari
sebelumnya. Senyuman besar menghiasi wajahnya ketika ia mendapati bahwa
usahanya untuk merubah takdir telah berhasil.
Namun Meera tidak tahu di mana Kahiyang
berada karena mereka terpisah saat pergi ke masa depan, Meera duduk termenung
di kamarnya, dengan hati yang berat dan penuh kekhawatiran. Satu tahun telah
berlalu sejak kepergian mereka ke masa depan, dan Kahiyang masih belum
memberikan kabar apa pun. Meskipun Meera telah mencari dengan sekuat tenaga,
tidak ada jejak Kahiyang yang bisa ditemukan.
Saat itulah, tiba-tiba ada seseorang
yang mengantarkan sebuah surat, dan itu bertuliskan dari Kahiyang.
“Meera, ada paket,” Ibunya memanggil.
“Paket apaan?” tanya Meera.
“Tulisannya sih dari Kahiyang” jawabnya.
“Apa? dari Kahiyang?” Meera sontak
berlari saat mendengar itu dari Kahiyang.
Dengan getaran hati yang campur aduk,
Meera membuka surat itu dan membacanya dengan gemetar.
Setelah membaca surat dari Kahiyang,
Meera merasa campur aduk. Rasanya seperti dunia ini berputar lebih cepat dari
biasanya.
Dengan mata berkaca-kaca, Meera memegang
surat itu erat-erat. Dia merenung sejenak, mengingat semua petualangan yang
mereka alami bersama. Setahun tanpa kabar dari Kahiyang telah memberinya
kesedihan yang mendalam, tetapi juga memberinya kekuatan baru untuk terus maju.
Meskipun Kahiyang tidak lagi berada di
masa depan bersamanya, Meera tahu bahwa dia harus melanjutkan hidupnya dengan
penuh semangat. Dia mengingat semua kata-kata yang pernah diucapkan Kahiyang,
dan itu memberinya kekuatan untuk menghadapi tantangan yang ada di hadapannya.
Dengan tekad yang baru, Meera memutuskan
untuk menjalani hidupnya dengan penuh makna, menghormati perjuangan dan cinta
yang pernah mereka bagikan. Dia bertekad untuk membuat setiap langkahnya
menjadi penghormatan bagi kenangan Kahiyang, yang akan tetap hidup dalam
ingatannya selamanya.
Membawa surat itu di samping hatinya,
Meera melangkah ke depan dengan langkah mantap. Dia tidak tahu apa yang akan
terjadi selanjutnya, tetapi dia yakin bahwa Kahiyang akan selalu bersamanya,
mengawasinya dari tempat yang jauh. Dengan cinta dan kenangan, Meera
melanjutkan perjalanannya, siap menghadapi apa pun yang ada di depannya.
THE END.
0 komentar:
Posting Komentar