Biografi Ir. Soekarno
Ir.
Soekarno (Lahir Di Blitar Pada 6 Juni 1901-
Meninggal Pada Tanggal 21 Juni 1970 Di Kota Blitar, Jawa Timur). Ayahnya
Raden Sukemi Sosrohadihardjo, Adalah Seorang Priyayi Rendahan Yang Bekerja
Sebagai Guru Sekolah Dasar. Ibunya Nyoman Rai Berdarah Biru Dari Bali Dan
Beragama Hindu. Pertemuan Mereka Terjadi Ketika Raden Sukemi, Yang Sehabis
Menyelesaikan Studi Di Sekolah Pendidikan Guru Pertama Di Kabupaten
Probolinggo, Jawa Timur, Ditempatkan Di Sekolah Dasar Pribumi Di Singaraja,
Bali.
Dalam Usia Kanak-Kanak, Soekarno
Tinggal Dan Diasuh Oleh Kakeknya. Raden Hardjokromo Di Tulung Agung, Jawa
Timur. Kakeknya Adalah Seorang Pedagang Batik, Yang Secara Tidak Langsung
Membantu Penghidupan Dari Kedua Orang Tua Soekarno Yang Pada Waktu Itu Tidak
Memiliki Penghasilan Yang Cukup Untuk Menghidupi Dirinya Dan Kakaknya.
Kecintaan Soekarno Terhadap Wayang Kulit, Mulai Tumbuh Selama Tinggal Bersama
Kakeknya. Ia Sering Kali Menonton Wayang Kulit Sampai Larut Malam.
Kesenangannya Menonton Wayang Membuatnya Terkesan Dengan Tokoh Bima
Dibandingkan Dengan Tokoh Lain.
Tokoh Bima Juga Memiliki Pengaruh
Yang Besar Dalam Sikap Dan Pandangan Politiknya Kelak. Sikap Nonkooperasi
Terhadap Musuh-Musuhnya, Kaum Imperialis Maupun Kaum Kapitalis, Serta
Kesediaannya Dalam Waktu Bersamaan Berkompromi Dengan Sesama Rekan
Perjuangannya Meskipun Berpeda Pandangan Praktis Dapat Dikatakan Berasal Dari
Bima.
Di Tulung Agung, Ia Pertama Kali
Masuk Sekolah. Tetapi Ia Kurang Mempergunakan Kesempatan Sebaik Mungkin Untuk
Belajar. Hal Ini Disebabkan Ia Lebih Sering Melamun Tentang Kisah Perang
Bharata Yudha. Namun, Sisi Keingintahuan Yang Besar Dan Minatnya Terhadap
Pengetahuan Sudah Mulai Tumbuh Pada Saat Ini. Berkat Sifat Keingintahuan Yang
Dimiliki Olehnya, Soekarno Memiliki Wawasan Yang Lebih Luas Daripada
Teman-Teman Sebayanya.
Tidak Lama Kemudian, Setelah Kedua
Orang Tuanya Pindah Ke Sidoarjo Dan Mendapat Jabatan Sebagai Kepala Eerste
Klasse School Di Mojokerto. Di Sini, Kepandaiannya Mulai Terlihat
Dengan Jelas. Mungkin Ini Disebabkan Oleh Profesi Ayahnya Yang Juga Seorang
Guru Sehingga Dapat Mengawasi Kegiatan Belajar Mengajar Anaknya Secara
Langsung. Kemudian, Raden Sukemi Memasukkan Soekarno Ke Europeesche Lagere
School (E.L.S). Sekolah Tersebut Didirikan Guna Memenuhi Kebutuhan Anak-Anak
Pekerja Di Pabrik Gula.
Selama Bersekolah Di Sini.
Soekarno Merasakan Adanya Diskriminasi Yang Diberlakukan Kepada Kaumnya. Hanya
Bumiputera Tertentu Yang Mendapatkan Kesempatan Untuk Mendapatkan Hak Istimewa
Itu. Mereka Yang Bukan Anak Pejabat Hanya Bisa Masuk Ketika Ada Izin Khusus
Dari Residen Dan Memenuhi Syarat-Syarat Tertentu. Sebelum Ia Menginjakkan Kaki
Di Tempat Tersebut, Pada Tahun 1913, Soekarno Harus Mengorbankan Waktunya Untuk
Memperdalam Bahasa Belanda Pada Juffrow M.P De La Riviera, Guru Bahasa Belanda
Di ELS. Selama Bersekolah Di ELS Soekarno Juga Mengalami Cinta Pertama Kepada
Seorang Gadis Belanda Yang Bernama, Rikameelhuysen. Tetapi, Hubungan Mereka
Berdua Ditentang Oleh Ayah Sang Gadis Karena Melihat Kedudukan Soekarno Yang
Hanya Merupakan Pribumi. Meskipun, Akhirnya Hubungan Itu Putus Dan Soekarno
Dihina. Ia Tidak Marah Karena Menganggap Hal Itu Sudah Biasa.
Pribadi Soekarno, Selain Banyak
Mendapatkan Pendidikan Di ELS. Ia Juga Mendapatkan Pendidikan Dari Ayahnya
Dengan Keras, Penuh Disiplin, Tetapi Di Sisi Lain Mengajarkan Untuk Mencintai
Makhluk Tak Berdaya. Sedangkan Dari Ibunya, Idayu, Ia Mendapatkan Pengaruh
Mistik Dari Pemikiran Hindu Dan Sifat Yang Lemah Lembut Serta Kasih Sayang.
Dari Pembantunya Sarinah, Sebagaimana Diungkapkan Oleh Soekarno Sendiri, Ia
Memperoleh Pengaruh Kemanusiaan Dan Sikap Emansipasif. Ia Amat Terkesan Dan
Mengagumi Sikap Perempuan Tersebut. Meskipun Ia Hanya Seorang Pembantu, Di Mata
Soekarno Ia Adalah Perempuan Bijaksana Dan Berbudi Luhur.
Setelah Menyelesaikan ELS Di
Mojokerto, Pada Tahun 1915, Sukarno Ingin Melanjutkan Pelajarannya Di Hogere
Burger School (HBS). Agar Soekarno Diterima Sebagai Siswa HBS, Ayahnya
Menggunakan Pengaruh Kawannya Untuk Memasukkan Ke Sekolah Tertinggi Yang Ada Di
Jawa Timur Tersebut. Melalui Jasa Baik, H.O.S Tjokrominoto, Soekarno Akhirnya
Diterima Di Sana. Bahkan Tokoh Gerakan Massa Nasionalis Islam Itu Memberikan
Pondokan Di Kediamannya, Walaupun Ia Tidak Mendapatkan Kamar Yang Baik. Ia
Menempati Sebuah Kamar Yang Gelap Tanpa Jendela Dan Daun Pintu. Sebagai
Penerangan Lampu Pijar Yang Menyala Sepanjang Hari. Tetapi Ia Menerima
Kenyataan Tersebut Tanpa Menggerutu. Karena Memang Tidak Ada Kamar Lagi Dan
Hanya Itulah Satu-Satunya Kamar Yang Belum Terisi Dan Soekarno Menjadi
Penghuninya. Tetapi Yang Penting Bagi Ayahnya Adalah Anaknya Dapat Tinggal Satu
Atap Dengan “Raja Jawa” Yang Tak Bermahkota.
Alasan Dari Sukemi Untuk
Menitipkan Soekarno Kepada Tjokrominoto Dijelaskan Oleh Soekarno Dalam Buku
Biografinya Yang Ditulis Oleh Cindy Adams (1966), Sebagaimana Yang Diungkap
Oleh Soekarno: “Tjokro Adalah Pemimpin Baik Dari Orang Jawa. Sungguhpun Engkau
Akan Mendapat Pendidikan Belanda, Aku Tidak Ingin Darah Dagingku Menjadi
Kebarat-Baratan. Karena Itu Kukirim Kepada Tjokro Orang Yang Dijuluki Belanda
Sebagai Raja Jawa Yang Tidak Dinobatkan. Aku Tidak Ingin Melupakan, Bahwa
Warisanmu Adalah Untuk Menjadi Karna Kedua.”
Selama Berada Di Surabaya,
Soekarno Banyak Mendapatkan Pengaruh Pemikiran Barat Yang Modern. Perpisahan
Dengan Orang Tua Dan Lingkungan Desanya Juga Memberikan Pengaruh Postitif Bagi
Dirinya. Soekarno Berada Di Surabaya Selama Lima Tahun. Selama Itu Ia Tinggal
Di Rumah Tjokrominoto. Di Tempat Itulah Pendidikan Politik Soekarno Dimulai
Dengan Interaksi Dengan Berbagai Pemahaman Pemikiran Yang Ada Disana. Soekarno
Juga Berkenalan Dengan Orang-Orang Beraliran Sosialis, Seperti Alimin, Muso,
Dan Dharsono Yang Juga Mendapat Kedudukan Penting Dalam Kepengurusan Sarekat
Islam Maupun Di Dalam Keanggotaan Indische School Democratische Vereeniging
(ISDV).
Sebagai Remaja Yang Gelisah, Ia
Menyalurkan Aspirasinya Melalui Suratkabar Milik Sarekat Islam, Oetoesan Hindia. Ia Menuangkan Pemikiran Dengan Nama Samaran
‘Bima”. Menurut Pengakuannya, Penggunaan Nama Samaran
Itu Dimaksudkan Agar Ia Tidak Dimarahi Oleh Ayahnya. Sebab Ayahnya Akan Marah
Apabila Mengetahui Anaknya Membahayakan Masa Depannya Sendiri. Memang Kata-Kata
Yang Digunakan Soekarno Cukup Tajam Seperti “Hancurkan Segera Kapitalisme Yang
Dibantu Oleh Budaknya, Imperialisme. Dengan Kekuatan Islam, Insya Allah Itu
Segera Dilaksanakan.” Di Samping Itu, Soekarno
Juga Aktif Dan Melibatkan Dirinya Dalam Organisasi Pemuda Tri Koro Darmo Cabang
Surabaya, Yang Dibentuk Pada 1915 Sebagai Bagian Dari Organisasi Budi Oetomo.
Kemudian Berganti Nama Menjadi Jong Java Pada 1918.
Setelah Menyelesaikan
Pendidikannya Di HBS Pada 10 Juni 1921. Soekarno Beserta Istrinya, Siti Oetari
Tjokrominoto, Puteri Tjokrominoto Yang Dinikahi Olehnya Pada 1920 Atau 1921,
Meninggalkan Surabaya Menuju Bandung. Disana Ia Bersama Istrinya Berdiam Di
Kediaman Haji Sanusi, Anggota Sarekat Islam Dan Juga Kawan Akrab Tjokrominoto.
Di Tempat Itu Pula Soekarno Pertama Kali Bertemu Dengan Inggit Garnasih, Isteri
Haji Sanusi. Kota Bandung Mempunyai Iklim Ideologis Yang Khas Jika Dibandingkan
Dengan Kota-Kota Lain. Jika Sarekat Islam Berpusat Di Surabaya, Maka Semarang
Dikenal Sebagai Pusat Pemikiran Marxisme. Kedua Kota Ini Saling Mempengaruhi
Dan Saling Berebut Pengaruh.
Tetapi Bandung Justru Bandung
Menampilkan Watak Yang Berlainan Dengan Kedua Kedua Kota Di Atas. Sebab Di Kota
Bandung Telah Berkembang Sebuah Pemikiran Bahwa Tujuan Pergerakan Adalah
Kemerdekaan Penuh Bagi Indonesia. Gagasan-Gagasan Ini Dikembangkan Oleh Para
Pemimpin Indische Partij Yang Akhirnya Mempengaruhi Pemikiran-Pemikiran
Selanjutnya. Akhirnya Kota Bandung Menampilkan Diri Sebagai Pusat Pemikiran
Nasionalis Sekuler.
Di Kota Ini, Soekarno Berkenalan
Dengan Tokoh-Tokoh Nasionalis Sekuler, Seperti, E.F.E Douwes Dekker, Dr. Tjipto
Mangunkusumo Dan Ki Hajar Dewantara. Perkenalan Ini Telah Membawa Nuansa Baru
Dalam Berpikir Soekarno. Seperti Halnya Dalam Pendekatan Yang Diperkenalkan
Oleh Douwes Dekker Dalam Mendekati Situasi Hindia Belanda Dan Bagaimana Cara
Mengubahnya Amat Menarik Perhatian Soekarno. Pemikiran Yang Diperkenalkan
Tersebut Terlihat Berbeda Dari Pemikiran Sebelumnya Didapat Dari Tokoh-Tokoh
Yang Ditemuinya.
Dengan Bertemunya Berbagai Tokoh
Yang Memiliki Berbagai Aliran Pemikiran Tentunya Membuat Pikiran Soekarno
Semakin Tersusun Secara Teratur. Di Samping Itu Kesaksiaannya Terlihat Di Depan
Matanya. Soekarno Melihat Di Lingkungan Tjokrominoto Senantiasa Timbul
Pertentangan Antara Golongan Kanan (Tjokrominoto) Dengan Golongan Kiri
(Semaun-Darsono) Dalam Sentral Serikat Islam Yang Berkedudukan Di Surabaya.
Pertikaian Yang Memuncak Tersebut Berakhir Dengan Terpecahnya Sarekat Islam Menjadi
Dua Bagian, Yakni Sarekat Islam Putih Dan Merah. Sarekat Islam Merah, Akhirnya
Merubah Dirinya Menjadi Sarekat Rakyat.
Jiwa Patriotisme Soekarno Tidak
Hanya Dibentuk Melalui Figur Seorang Tjokrominoto. Sebagaimana Diungkapkan Oleh
Bob Hering, Bahwa Adanya Interaksi Antara Soekarno Dan Para Pengikut Aliran
Marxis Seperti Muso, Alimin, Dan Semaun. Juga Para Orang-Orang Sosialisme
Radikal Belanda, Seperti Coos Hartogh, Henk Sneevliet, Dan Aser Baars. Memang Jika Penulis Pahami, Pengaruh Nasionalisme,
Islam, Dan Marxisme-Sosialisme Sudah Memiliki Andil Yang Besar Pada Diri
Soekarno Bahkan Pada Saat Dia Muda. Secara Jelas, Ini Dibentuk Dari Keberadaan
Soekarno Yang Pada Mulanya Mendapatkan Pendidikan Politik Di Surabaya.
Pada Tahun 1926, Soekarno
Mendirikan Algemene Studie Club Di Bandung. Organisasi Ini
Merupakan Cikal Bakal Dari Partai Nasional Indonesia (PNI) Yang Didirikan
Olehnya Pada Tahun 1927. Aktivitas Soekarno Di PNI Menyebabkan Dirinya
Ditangkap Oleh Belanda Pada Bulan Desember 1929, Dan Memunculkan Pledoi Atau
Pembelaannya Yang Fenomenal Dengan Judul Indonesia Menggugat, Hingga Dibebaskan
Kembali Pada Tanggal 31 Desember 1931.
Pada Bulan Juli 1932, Soekarno Bergabung
Dengan Partai Indonesia (Partindo), Yang Merupakan Pecahan Dari PNI. Akibatnya,
Soekarno Kembali Ditangkap Pada Bulan Agustus 1933, Dan Diasingkan Ke Flores.
Disini, Soekarno Hampir Hilang Dan Terlupakan Oleh Tokoh-Tokoh Nasional. Namun,
Semangat Dan Api Perjuangan Yang Tidak Pernah Padam Senantiasa Membuat Soekarno
Tetap Tegar Dalam Menghadapi Hambatan Dalam Perjuangan. Ini Terbukti Melalui
Suratnya Kepada Seorang Guru Persatuan Islam Bernama Ahmad Hassan.
Selama Menjadi Presiden, Soekarno
Banyak Memberikan Gagasan-Gagasan Di Dunia Internasional. Keprihatinannya
Terhadap Nasib Bangsa Asia-Afrika, Masih Belum Merdeka, Belum Mempunyai Hak
Untuk Menentukan Nasibnya Sendiri, Menyebabkan Presiden Soekarno, Pada Tahun
1955, Mengambil Inisiatif Untuk Mengadakan Konferensi Asia-Afrika Di Bandung
Dan Menghasilkan Dasa Sila Bandung. Tujuan Dari KAA Adalah Untuk Menentang
Tindakan Imperialisme Dan Kolonialisme Yang Terjadi Di Dunia Yang Notabenenya
Banyak Dilakukan Oleh Negara-Negara Barat.
Setelah ‘Bercerai’ Dengan Mohammad Hatta, Pada
Tahun 1955. Masa-Masa Kesuraman Pemerintahan Soekarno Sudah Mulai Tampak.
Ditambah Dengan Keadaan Politik Dalam Negeri Yang Sudah Mulai Tidak Stabil
Akibat Adanya Pemeberontakan Separatis Yang Terjadi Di Seluruh Plosok
Indonesia. Dan Berpucak Pada Pemberontakkan G 30 S/ PKI, Membuat Soekarno Di
Dalam Masa Jabatannya Tidak Bisa Memenuhi Cita-Cita Bangsa Indonesia Yang
Makmur Dan Sejahtera. Akibat Selanjutnya, Soekarno Terpaksa Dicabut Masa
Jabatannya Oleh MPRS Setelah Pidato Pertanggungjawabannya Ditolak.
Pemikiran Soekarno
Pada tanggal 17 Mei 1956 Presiden
Soekarno Mendapat Kehormatan Untuk Menyampaikan Pidato Di Depan Kongres Amerika
Serikat Dalam Rangka Kunjungan Resminya Ke Negeri Tersebut. Sebagaimana Dilaporkan
Dalam Halaman Pertama New York Times Pada Hari Berikutnya, Dalam Pidato Itu
Dengan Gigih Soekarno Menyerang Kolonialisme. Perjuangan Dan Pengorbanan Yang
Telah Kami Lakukan Demi Pembebasan Rakyat Kami Dari Belenggu Kolonialisme,”
Kata Bung Karno, “Telah Berlangsung Dari Generasi Ke Generasi Selama
Berabad-Abad.” Tetapi, Tambahnya, Perjuangan Itu Masih Belum Selesai.
“Bagaimana Perjuangan Itu Bisa Dikatakan Selesai Jika Jutaan Manusia Di Asia
Maupun Afrika Masih Berada Di Bawah Dominasi Kolonial, Masih Belum Bisa
Menikmati kemerdekaan.
Menarik Untuk Disimak Bahwa Meskipun Pidato Itu Dengan Keras Menentang Kolonialisme Dan Imperialisme, Serta Cukup Kritis Terhadap Negara-Negara Barat, Ia Mendapat Sambutan Luar Biasa Di Amerika Serikat (AS). Namun, Lebih Menarik Lagi Karena Pidato Itu Menunjukkan Konsistensi Pemikiran Dan Sikap-Sikap Bung Karno. Sebagaimana Kita Tahu, Kuatnya Semangat Antikolonialisme Dalam Pidato Itu Bukanlah Merupakan Hal Baru Bagi Bung Karno. Bahkan Sejak Masa Mudanya, Terutama Pada Periode Tahun 1926-1933, Semangat Antikolonialisme Dan Anti-Imperialisme Itu Sudah Jelas Tampak. Bisa Dikatakan Bahwa Sikap Antikolonialisme Dan Anti-Imperialisme Soekarno Pada Tahun 1950-An Dan Selanjutnya Hanyalah Merupakan Kelanjutan Dari Pemikiran-Pemikiran Dia Waktu Muda.Tulisan Berikut Dimaksudkan Untuk Secara Singkat Melihat Pemikiran Soekarno Muda Dalam Menentang Kolonialisme Dan Imperialisme-Dan Selanjutnya Elitisme-Serta Bagaimana Relevansinya Untuk Sekarang.
Menarik Untuk Disimak Bahwa Meskipun Pidato Itu Dengan Keras Menentang Kolonialisme Dan Imperialisme, Serta Cukup Kritis Terhadap Negara-Negara Barat, Ia Mendapat Sambutan Luar Biasa Di Amerika Serikat (AS). Namun, Lebih Menarik Lagi Karena Pidato Itu Menunjukkan Konsistensi Pemikiran Dan Sikap-Sikap Bung Karno. Sebagaimana Kita Tahu, Kuatnya Semangat Antikolonialisme Dalam Pidato Itu Bukanlah Merupakan Hal Baru Bagi Bung Karno. Bahkan Sejak Masa Mudanya, Terutama Pada Periode Tahun 1926-1933, Semangat Antikolonialisme Dan Anti-Imperialisme Itu Sudah Jelas Tampak. Bisa Dikatakan Bahwa Sikap Antikolonialisme Dan Anti-Imperialisme Soekarno Pada Tahun 1950-An Dan Selanjutnya Hanyalah Merupakan Kelanjutan Dari Pemikiran-Pemikiran Dia Waktu Muda.Tulisan Berikut Dimaksudkan Untuk Secara Singkat Melihat Pemikiran Soekarno Muda Dalam Menentang Kolonialisme Dan Imperialisme-Dan Selanjutnya Elitisme-Serta Bagaimana Relevansinya Untuk Sekarang.
Antikolonialisme Dan
Anti-Imperialisme
Salah Satu Tulisan Pokok Yang Biasanya Diacu Untuk
Menunjukkan Sikap Dan Pemikiran Soekarno Dalam Menentang Kolonialisme Adalah
Tulisannya Yang Terkenal Yang Berjudul Nasionalisme, Islam Dan Marxisme”. Dalam
Tulisan Yang Aslinya Dimuat Secara Berseri Di Jurnal Indonesia Muda Tahun 1926
Itu, Sikap Antikolonialisme Tersebut Tampak Jelas Sekali. Menurut Soekarno,
Yang Pertama-Tama Perlu Disadari Adalah Bahwa Alasan Utama Kenapa Para
Kolonialis Eropa Datang Ke Asia Bukanlah Untuk Menjalankan Suatu Kewajiban
Luhur Tertentu. Mereka Datang Terutama “Untuk Mengisi Perutnya Yang Keroncong
Belaka.” Artinya, Motivasi Pokok Dari Kolonialisme Itu Adalah Ekonomi.
Sebagai Sistem Yang Motivasi Utamanya Adalah
Ekonomi, Soekarno Percaya, Kolonialisme Erat Terkait Dengan Kapitalisme, Yakni
Suatu Sistem Ekonomi Yang Dikelola Oleh Sekelompok Kecil Pemilik Modal Yang
Tujuan Pokoknya Adalah Memaksimalisasi Keuntungan. Dalam Upaya Memaksimalisasi
Keuntungan Itu, Kaum Kapitalis Tak Segan-Segan Untuk Mengeksploitasi Orang Lain.
Melalui Kolonialisme Para Kapitalis Eropa Memeras Tenaga Dan Kekayaan Alam
Rakyat Negeri-Negeri Terjajah Demi Keuntungan Mereka. Melalui Kolonialisme
Inilah Di Asia Dan Afrika, Termasuk Indonesia, Kapitalisme Mendorong Terjadinya
Apa Yang Ia Sebut Sebagai Exploitation De L’homme Par L’homme Atau Eksploitasi
Manusia Oleh Manusia Lain.
Soekarno Menentang Kolonialisme Dan Kapitalisme
Itu. Keduanya Melahirkan Struktur Masyarakat Yang Eksploitatif. Sebagai Suatu
Sistem Yang Eksploitatif, Kapitalisme Itu Mendorong Imperialisme, Baik
Imperialisme Politik Maupun Imperialisme Ekonomi. Tetapi Soekarno Muda Tak
Ingin Menyamakan Begitu Saja Imperialisme Dengan Pemerintah Kolonial.
Imperialisme.
Anti-Elitisme
Selain Kolonialisme Dan
Imperialisme, Di Mata Soekarno Ada Tantangan Besar Lain Yang Tak Kalah
Pentingnya Untuk Dilawan, Yakni Elitisme. Elitisme Mendorong Sekelompok Orang
Merasa Diri Memiliki Status Sosial-Politik Yang Lebih Tinggi Daripada
Orang-Orang Lain, Terutama Rakyat Kebanyakan.
Elitisme Ini Tak Kalah Bahayanya,
Menurut Soekarno, Karena Melalui Sistem Feodal Yang Ada Ia Bisa Dipraktikkan
Oleh Tokoh-Tokoh Pribumi Terhadap Rakyat Negeri Sendiri. Kalau Dibiarkan, Sikap
Ini Tidak Hanya Bisa Memecah-Belah Masyarakat Terjajah, Tetapi Juga Memungkinkan
Lestarinya Sistem Kolonial Maupun Sikap-Sikap Imperialis Yang Sedang Mau
Dilawan Itu. Lebih Dari Itu, Elitisme Bisa Menjadi Penghambat Sikap-Sikap
Demokratis Dalam Masyarakat Modern Yang Dicita-Citakan Bagi Indonesia Merdeka.
Soekarno Melihat Bahwa Kecenderungan
Elitisme Itu Tercermin Kuat Dalam Struktur Bahasa Jawa Yang Dengan Pola “Kromo”
Dan “Ngoko”-Nya Mendukung Adanya Stratifikasi Sosial Dalam Masyarakat. Untuk
Menunjukkan Ketidaksetujuannya Atas Stratifikasi Demikian Itu, Dalam Rapat
Tahunan Jong Java Di Surabaya Pada Bulan Februari 1921, Soekarno Berpidato
Dalam Bahasa Jawa Ngoko, Dengan Akibat Bahwa Ia Menimbulkan Keributan Dan
Ditegur Oleh Ketua Panitia. Upaya Soekarno Yang Jauh Lebih Besar Dalam Rangka
Menentang Elitisme Dan Meninggikan Harkat Rakyat Kecil Di Dalam Proses
Perjuangan Kemerdekaan Tentu Saja Adalah Pencetusan Gagasan Marhaenisme. Dalam
Kaitan Dengan Usaha Mengatasi Elitisme Itu Ditegaskan Bahwa Marhaneisme
“Menolak Tiap Tindak Borjuisme” Yang, Bagi Soekarno, Merupakan Sumber Dari Kepincangan
Yang Ada Dalam Masyarakat. Ia Berpandangan Bahwa Orang Tidak Seharusnya
Berpandangan Rendah Terhadap Rakyat. Sebagaimana Dikatakan Oleh Ruth Mcvey,
Bagi Soekarno Rakyat Merupakan “Padanan Mesianik Dari Proletariat Dalam
Pemikiran Marx,” Dalam Arti Bahwa Mereka Ini Merupakan “Kelompok Yang Sekarang
Ini Lemah Dan Terampas Hak-Haknya, Tetapi Yang Nantinya, Ketika Digerakkan
Dalam Gelora Revolusi, Akan Mampu Mengubah Dunia.”
Langkah-Langkah Apa Yang Diusulkan
Oleh Soekarno Untuk Melawan Kolonialisme, Imperialisme Serta Elitisme Itu?
Pertama-Tama Ia Mengusulkan Ditempuhnya Jalan Nonkooperasi. Bahkan Sejak Tahun
1923 Soekarno Sudah Mulai Mengambil Langkah Nonkooperasi Itu, Yakni Ketika Ia
Sama Sekali Menolak Kerja Sama Dengan Pemerintah Kolonial. Dalam Kaitan Dengan
Ini Ia Kembali Mengingatkan Bahwa Motivasi Utama Kolonialisme Oleh Orang Eropa
Adalah Motivasi Ekonomi. Oleh Karena Itu Mereka Tak Akan Dengan Sukarela
Melepaskan Koloninya.
Langkah Lain Yang Menurut Soekarno
Perlu Segera Diambil Dalam Menentang Kolonialisme Dan Imperialisme Itu Adalah
Menggalang Persatuan Di Antara Para Aktivis Pergerakan. Dalam Serial Tulisan
Nasionalisme, Islam Dan Marxisme Ia Menyatakan Bahwa Sebagai Bagian Dari Upaya
Melawan Penjajahan Itu Tiga Kelompok Utama Dalam Perjuangan Kemerdekaan Di
Indonesia-Yakni Para Pejuang Nasionalis, Islam Dan Marxis-Hendaknya Bersatu.
Dalam Persatuan Itu Nanti Mereka Akan Mampu Bekerja Sama Demi Terciptanya
Kemerdekaan Indonesia. “Bahtera Yang Akan Membawa Kita Kepada Indonesia
Merdeka,” Ingat Soekarno, “Adalah Bahtera Persatuan.”
Seruan-Seruan Soekarno Itu Pada
Tanggal 4 Juli 1927 Dilanjutkan Dengan Pendirian Partai Nasional Indonesia
(PNI) Yang Sebagai Tujuan Utamanya Dicanangkan Untuk “Mencapai Kemerdekaan
Indonesia.” Guna Memberi Semangat Kepada Para Aktivis Pergerakan, Pada Tahun
1928 Ia Menulis Artikel Berjudul Jerit Kegemparan Di Mana Ia Menunjukkan Bahwa
Sekarang Ini Pemerintah Kolonial Mulai Waswas Dengan Semakin Kuatnya Pergerakan
Nasional Yang Mengancam Kekuasaannya. Ketika Pada Tanggal 29 Desember 1929
Soekarno Ditangkap Dan Pada Tanggal 29 Agustus 1930 Disidangkan Oleh Pemerintah
Kolonial, Soekarno Justru Memanfaatkan Kesempatan Di Persidangan Itu. Dalam
Pleidoinya Yang Terkenal Berjudul Indonesia Menggugat Dengan Tegas Ia Menyatakan
Perlawanannya Terhadap Kolonialisme. Dan Tak Lama Setelah Dibebaskan Dari
Penjara Pada Tanggal 31 Desember 1931 Ia Bergabung Dengan Partai Indonesia
(Partindo), Yakni Partai Berhaluan Nonkooperasi Yang Dibentuk Pada Tahun 1931
Untuk Menggantikan PNI Yang Telah Dibubarkan Oleh Pemerintah Kolonial.
Hal Ini Tampak Misalnya Ketika Ia
Mendirikan PNI. Di Satu Pihak Memang Dengan Jelas Digariskan Bahwa Tujuan Utama
PNI Adalah Mencapai Indonesia Merdeka. Tetapi Di Lain Pihak Cita-Cita
Kemerdekaan Itu Tidak Disertai Hasrat Untuk Mengubah Sistem Politik Yang
Dilaksanakan Oleh Pemerintah Kolonial Dengan Sistem Politik Yang Sama Sekali
Baru. Alih-Alih Perubahan Total, Soekarno-Sebagaimana Banyak Aktivis Pergerakan
Waktu Itu-Berkeinginan Bahwa Negeri Yang Merdeka Itu Nanti Akan Ditopang Oleh
Sistem Yang Mirip Dengan Sistem Yang Menopangnya Saat Terjajah. Hanya Elitenya
Akan Diganti Dengan Elite Baru, Yakni Elite Pribumi.
Berhubungan Dengan Sikap
Anti-Elitismenya Perlu Dilihat Bahwa Meskipun Dalam Pidato Dan Tulisan-Tulisannya
Soekarno Tampak Melawan Elitisme, Tetapi Sebenarnya Bisa Diragukan Apakah Ia
Sepenuhnya Demikian. Hal Ini Tampak Misalnya Dalam Pidato Yang Ia Sampaikan
Pada Tanggal
26 November 1932 Di Yogyakarta, Kota Pusat Aristokrasi Jawa. Dalam Pidato Itu Soekarno Mengajak Setiap Orang, Apa Pun Status Sosialnya, Untuk Bersatu Demi Kemerdekaan. Tetapi Sekaligus Ia Menegaskan Bahwa Bersama Partindo Dirinya Tidak Menginginkan Perjuangan Kelas. Dalam Tulisan Nasionalisme, Islam Dan Marxisme, Sebagaimana Disinyalir Oleh Mcvey, Sebenarnya Soekarno Sama Sekali Tidak Sedang Bicara Dengan Rakyat Banyak. Dalam Tulisan Itu Ia, Menurut Mcvey, “Tidak Menyampaikan Imbauannya Kepada Kelompok-Kelompok Radikal Pedesaan Dan Proletar Yang Telah Memelopori Pemberontakan Komunis Setahun Sebelumnya, Atau Kepada Para Santri-Santri Taat Pejuang Islam, Atau Kepada Rakyat Kebanyakan Di Dalam Maupun Di Sekitar Wilayah Perkotaan Yang Bergabung Ke Dalam PNI Yang Didirikan Oleh Soekarno Saat Mereka Sedang Mencari Pegangan Di Tengah Lunturnya Nilai-Nilai Tradisional.” Soekarno, Sebaliknya, Lebih Mengalamatkan Imbauannya Kepada Sesama Kaum Elite Pergerakan, Atau Kepada Apa Yang Disebut Oleh Mcvey Sebagai “Elite Metropolitan,” Yang Keanggotaannya Biasanya Ditentukan Oleh Tingkat Pendidikan Barat Yang Diperoleh Seseorang.
26 November 1932 Di Yogyakarta, Kota Pusat Aristokrasi Jawa. Dalam Pidato Itu Soekarno Mengajak Setiap Orang, Apa Pun Status Sosialnya, Untuk Bersatu Demi Kemerdekaan. Tetapi Sekaligus Ia Menegaskan Bahwa Bersama Partindo Dirinya Tidak Menginginkan Perjuangan Kelas. Dalam Tulisan Nasionalisme, Islam Dan Marxisme, Sebagaimana Disinyalir Oleh Mcvey, Sebenarnya Soekarno Sama Sekali Tidak Sedang Bicara Dengan Rakyat Banyak. Dalam Tulisan Itu Ia, Menurut Mcvey, “Tidak Menyampaikan Imbauannya Kepada Kelompok-Kelompok Radikal Pedesaan Dan Proletar Yang Telah Memelopori Pemberontakan Komunis Setahun Sebelumnya, Atau Kepada Para Santri-Santri Taat Pejuang Islam, Atau Kepada Rakyat Kebanyakan Di Dalam Maupun Di Sekitar Wilayah Perkotaan Yang Bergabung Ke Dalam PNI Yang Didirikan Oleh Soekarno Saat Mereka Sedang Mencari Pegangan Di Tengah Lunturnya Nilai-Nilai Tradisional.” Soekarno, Sebaliknya, Lebih Mengalamatkan Imbauannya Kepada Sesama Kaum Elite Pergerakan, Atau Kepada Apa Yang Disebut Oleh Mcvey Sebagai “Elite Metropolitan,” Yang Keanggotaannya Biasanya Ditentukan Oleh Tingkat Pendidikan Barat Yang Diperoleh Seseorang.
Jika Soekarno Tampak Terpisah Dari
Rakyat, Sebenarnya Ia Tidak Sendirian. Banyak Tokoh Elite Perjuangan Pada
Zamannya Juga Demikian. Ketika Membubarkan PNI Pada Tanggal 25 April 1931,
Misalnya, Para Pemimpin Partai Itu Tidak Banyak Berkonsultasi Dengan Rakyat
Kebanyakan Yang Menjadi Anggotanya. Akibatnya Rakyat Menjadi Kecewa, Membentuk
Apa Yang Disebut “Golongan Merdeka,” Dan Memperjuangkan Pentingnya Pendidikan
Rakyat.
Bahkan Pada Masa Revolusi Sendiri
Bisa Dipertanyakan Apakah Sebenarnya Rakyat Yang Ikut Gigih Bertempur Dan
Berkorban Mempertahankan Kemerdekaan Itu Mendapat Kesempatan Yang Maksimal
Dalam Menentukan Arah Revolusi. Dalam Tulisannya Mengenai Pola Hubungan Antara
Elite Dan Rakyat Pada Zaman Revolusi, Barbara Harvey Menyatakan Bahwa Hubungan
Itu Tidak Hanya Amat Lemah, Tetapi Juga Berakibat Cukup Fatal Bagi Revolusi
Kemerdekaan Itu Sendiri. Lemahnya Hubungan Antara Para Pemimpin Nasional Di
Tingkat Pusat Dengan Rakyat Di Desa-Desa, Menurut Dia, “Merupakan Faktor Utama Bagi
Gagalnya Elite Kepemimpinan Untuk Menggalang Dan Mengarahkan Kekuatan Rakyat
Demi Terwujudnya Tujuan-Tujuan Revolusi.”
Dengan Kata Lain, Sebenarnya
Rakyat Tidak Sepenuhnya Dilibatkan Dalam Proses Bernegara. Jika Ini Benar,
Mungkin Tak Terlalu Mengherankan Jika PKI-Meskipun Pada Tahun 1948 Ditekan
Besar-Besaran Setelah Peristiwa Madiun-Dalam Waktu Singkat Berkembang Pesat
Pengikutnya. Ini Antara Lain Karena Di Dalam PKI Banyak Rakyat Merasakan Bahwa
Justru Dalam Partai Yang Menekankan Antikemapanan (Baca: Anti-Elite
Metropolitan) Itu Kepentingan Dan Cita-Cita Mereka Mendapat Tempatnya. Dalam
Pemilu 1955 PKI Bahkan Berhasil Memperoleh Suara Terbanyak Keempat.
Dengan Sedikit Meminjam Seruan
Bung Karno Yang Terkenal, Sekarang Ini Kita Perlu “Membangun Dunia Baru.”
Tetapi Upaya Untuk Membangun Dunia Yang Baru Itu Kiranya Harus Dimulai Dengan
Terlebih Dahulu “Membangun Indonesia Baru.” Dan Upaya Membangun Indonesia Baru
Itu Mungkin Harus Dimulai Dengan Membangun Elite Politik Yang Benar-Benar Lahir
Dari Kalangan Rakyat Dan Memperjuangkan Kepentingan Rakyat. Dalam Indonesia
Yang Baru Itu Diharapkan Tiada Lagi-Kalaupun Ada Kecil Peranannya-Kelompok
Elite Yang Hanya Sibuk Berebut Kekuasaan Dan Pengaruh.
Hal Ini Bisa Terjadi Jika Para
Aktivis Muda Reformasi Sekarang Ini Tidak Enggan Untuk Belajar Dari Para
Aktivis Pergerakan Generasi Tahun 1920-An. Di Satu Pihak Meneruskan Sikap
Militan Generasi Itu Dalam Memperjuangkan Cita-Cita Bersama Dan Rela Berkurban
Demi Cita-Cita Itu. Di Lain Pihak Menolak Kecenderungan Untuk Mewarisi Sistem
Pemerintahan Sebelumnya, Yakni Kecenderungan Untuk Mengganti Elite Lama Dengan
Elite Yang Baru Tetapi Yang Pola Dan Orientasi Politiknya Tetap Sama. Dengan
Demikian Akan Bisa Diharapkan Lahirnya Elite Politik Yang Benar-Benar
Berorientasi Pada Semakin Terwujudnya Demokrasi.
Pemikiran Tentang Nasionalisme, Islamisme, dan Marxis
Menurut Bung Karno, Islam, Marxis, dan semangat Nasionalis adalah roh
perjuangan yang luar biasa. Bung Karno melihat ketiga hal tersebut ada di
Indonesia dan mengkristal menjadi ideologi perjuangan melawan penjajah di mana
pun. Maka, Bung Karno sangat menyayangkan perselisihan di antara ketiga
golongan tersebut dan menekankan perlunya kerja sama yang erat bagi
ketiga golongan tersebut agar cita-cita kemerdekaan dapat diraih. Pada
tulisannya yang berjudul Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme,
Bung Karno tampak ingin menjadi penengah
juga pemersatu diantara ketiga golongan. Dari uraian-uraiannya Bung Karno
berusaha menguraikan benang kusut yang ada di antara ketiga –isme dan
meyakinkan kepada semua pihak bahwa hanya dengan persatuan ketiga
golongan kaum kolonialis- imperialis di Indonesia bisa diusir.
Di berbagai kesempatan orasinya Bung Karno selalu menampilkan dirinya
yang nasionalis, sekaligus muslim, dan juga
seorang kiri. Ia selalu berusaha mengajak
bahwa semua golongan adalah bagian dari
Indonesia dan harus bergotong-royong membangun negeri. Bung Karno
mengajak semua pihak yang ada di tanah air ini, apapun warnanya, muara
perjuangan harus untuk kepentingan seluruh bangsa dan negara Indonesia. Konsep
penyatuan Nasionalis, Islamis, dan Marxis adalah sebuah eksperimen yang luar
biasa dari Bung Karno untuk Indonesia, tetapi memang itulah yang diinginkan
Bung Karno untuk Indonesia. Dalam perjalanannya konsep Nasionalis, Islamisme,
dan Marxisme Bung Karno berubah menjadi Nasakom; Nasionalis,
Agama, dan Komunis. Bung Karno memperluas konsep
Islamisme menjadi Agama, yang harapanya semua agama bisa terwakili dalam konsep
persatuannya tersebut. Bung Karno benar-benar berusaha sekuat tenaga untuk
mewujudkan ke-Bhineka-an tiga golongan ini menjadi Tunggal Ika, dalam balutan
Ibu pertiwi walau sebenarnya Bung Karno sadar benar golongan- golongan ini
rentan sekali bertikai karena perbedaan paham yang sangat lebar. Sekali lagi
hal ini tampak sejak tulisannya yang berjudul Nasionalisme, Islamisme, dan
Marxisme diterbitkan, Bung Karno berkata, ”Bukannya kita mengharap yang
nasionalis itu supaya berubah paham menjadi Islamis atau Marxis, bukannya maksud
kita menyuruh Marxis dan Islamis berbalik menjadi Nasionalis, akan tetapi
impian kita ialah kerukunan, persatuan antara tiga golongan tersebut.”[4]
Nasionalisme
Dalam Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme Bung Karno menyampaikan
kepada para nasionalis untuk bekerja sama dengan golongan Islam dan Marxis. Di
situ Bung Karno mengatakan, ”Nasionalis yang sejati, yang cintanya pada tanah
air itu bersendi pada pengetahuan, atas susunan ekonomi-dunia dan riwayat, dan
bukan semata-mata timbul dari kesombongan bangsa belaka
– nasionalis yang bukan chauvinis, .. , harus menolak segala paham
pengecualian yang sempit budi itu.” Bung Karno melanjutkan dalam tulisannya,
mengajak agar kaum nasionalis bekerjasama dengan pihak Islam, ”Adakah keberatan
untuk kaum nasionalis yang sejati buat bekerja
bersama-sama dengan kaum Islam, oleh karena
Islam itu melebihi kebangsaan dan melebihi batas-negeri ialah
super-nasional super-teritorial? Adalah internasionaliteit Islam suatu
rintangan buat geraknya nasionalisme, buat geraknya kebangsaan?” Bung Karno
mengingatkan kepada para nasionalis bahwa di berbagai negara
Asia para pejuang penentang penjajahan
adalah kelompok-
kelompok Islam yang sama asalnya
yaitu berjuang melawan kapitalisme dan imeperialisme
barat, sehingga Bung Karno menegaskan bahwa kelompok
Islam adalah bukan lawan tetapi kawan.[5]
Bung
Karno mengajak kaum Nasionalis untuk mau bekerja sama dengan kaum Marxis, Bung
Karno menyampaikan keteladanan dari Dr. Sun Yat Sen. ”... umpamanya almarhum
Dr. Sun Yat Sen, panglima nasionalis yang besar itu, yang dengan segala
kesenangan hati bekerja bersama-sama dengan kaum Marxis walaupun
beliau itu yakin, bahwa peraturan Marxis
pada saat itu belum bisa diadakan di negeri Tiongkok
...”[6]
Islamisme
Masih dalam tulisan yang sama Bung Karno mengatakan, ”Bukankah,
sebagai yang sudah kita terangkan, Islam
yang sejati mewajibkan pada pemeluknya mencintai dan
bekerja untuk negeri yang ia diami, mencintai dan bekerja untuk rakyat
dianatara mana ia hidup, selama negeri dan rakyat itu masuk Darul-Islam.” Bung
Karno menegaskan kembali, ”...dimana-mana orang Islam bertempat disitulah ia
harus mencintai dan bekerja untuk keperluan negeri itu dan rakyatnya.”[7]
Bung
Karno mengatakan bahwa dalam Islam juga terkandung tabiat-tabiatyang
sosialistis maka dari itu seyogyanyalah kaum Islam harusnya mampu bekerja sama
dengan kelompok Marxis, meski sosialisme dalam Islam memiliki asas yang berbeda
yaitu spiritualisme sedangkan sosialisme dalam Marxis berdasar pada asas
perbendaan, atau materialisme. Bung Karno juga mengingatkan, ”Kaum Islamis
tidak boleh lupa, bahwa kapitalisme, musuh Marxisme itu ialah musuh Islamisme
pula! Sebab meerwaarde sepanjang paham Marxisme, dalam hakikatnya tidak lainlah
dari pada riba sepanjang paham Islam. Meerwaarde ialah teori: memakan pekerjaan
lain orang, tidak memberikan bagian keuntungan yang seharusnya menjadi bagian
kaum buruh yang bekerja mengeluarkan untung tersebut
... Untuk Islamis sejati tak layaklah jika memusuhi
paham Marxisme yang melawan peraturan meerwaarde tersebut, sebab Islam yang
sejati juga memerangi peraturan itu, bahwa Islam yang sejati
melarang keras akan perbuatan memakan riba
... bahwa riba ini pada hakikatnya tiada lain daripada
meerwaarde-nya paham Marxisme itu.”[8]
Marxisme
Bung Karno dalam Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme menyinggung
pada kaum Marxis yang ingkar terhadap perjuangan kaum nasionalis dan kaum
Islamis, Bung Karno mengajak Marxis Indonesia untuk bergabung dengan kedua
golongan yang lain, ”Sebab taktik Marxisme yang baru, tidaklah menolak
pekerjaan bersama-sama dengan Nasionalis dan Islamis di Asia. Taktik Marxisme
yang baru bahkan menyokong pergerakan-pergerakan Nasionalis dan Islamis yang
sungguh- sungguh. Marxis yang masih saja bermusuhan dengan
pergerakan-pergerakan Nasionalis dan Islamis yang keras di Asia, Marxis yang
demikian itu tak mengikuti aliran zaman, dan tak mengerti akan taktik Marxisme
yang sudah berubah.”[9]
Bung
Karno juga mengajak pada kaum Marxis untuk tidak membenci kaum agama (Islam) di
Indoenesia karena kaum gereja di Eropa berbeda dengan kaum agama (Islam) di
Indonesia. Beliau menjelaskan, ”Disini agama Islam adalah agama kaum yang tak
merdeka, disini agama Islam adalah adalah agama kaum yang ”di bawah” ... Tidak
boleh tidak, suatu agama yang anti kapitalis, agama kaum yang tak merdeka,
agama kaum yang ”di bawah” ini, agama yang menyuruh mencari kebebasan, agama
yang melarang menjadi kaum bawahan, dan pastilah menimbulkan suatu perjuangan
yang dalam beberapa bagian sesuai dengan kaum Marxisme itu.”[10]
Bung Karno sangat meminta agar kaum Marxis berjuang bersama Kaum
Nasionalis dan Islamis, ”Tetapi Marxis yang ingkar akan persatuan, Marxis yang
kolot teori dan kuno taktiknya, Marxis yang memusuhi pergerakan kita,
Nasionalis dan Islamis yang sungguh-sunguh, - Marxis yang demikian itu
janganlah merasa terlanggar kehormatannya jikalau dinamakan racun rakyat
adanya!”[11]
Dari pemikiran Bung Karno tersebut di atas yang dituliskannya
ketika beliau
berumur 25
tahun sangat
terang bahwa
dirinya hanyalah menginginkan kemerdekaan Bangsa Indonesia
melalu perjuangan seluruh rakyat Indonesia walaupun rakyat berbeda-beda
golongannya. Bung Karno benar-benar berusaha sekuat tenaga untuk meyakinkan
pada ketiga golongan bahwa tidak ada alasan yang kuat untuk masing-masing
golongan berjalan sendiri-sendiri terlebih saling mengejek dan
menjatuhkan. Dari tulisan Bung Karno tersebut tampak apa yang
menjadi kegelisahan dirinya yaitu perpecahan antar anak bangsa karena perbedaan
ideologi walau sebenarnya Bung Karno melihat bahwa semua anak bangsa yang
berbeda ideologi tersebut menginnginkan hal yang sama yaitu bebasnya Indoenesia
dari cengkeraman penjajah.
Bung Karno yang seorang Nasionalis sering berkata bahwa Bangsa
Indonesia harus memiliki rasa cinta tanah air yang berkobar-kobar, tetapi tidak
boleh memiliki rasa nasionalisme yang chauvinistis, nasionalisme yang diajarkan
Bung Karno adalah nasionalisme yang merasa dirinya satu bagian dari seluruh
peri kemanusiaan, yang kemudian sering disebut oleh Bung Karno sebagai
sosio-nasionalisme. Pandangan nasionalisme Bung Karno inilah yang membuat
dirinya dan mengajak seluruh rakyat Indonesia untuk mau menerima semua golongan
manusia yang ada di bumi Indonesia, yaitu golongan nasionalis, islamis, dan
marxis.
PENUTUP
Kesimpulan
Ir. Soekarno (Lahir Di Blitar Pada
6 Juni 1901- Meninggal Pada Tanggal 21 Juni 1970 Di Kota Blitar, Jawa
Timur). Ayahnya Raden Sukemi Sosrohadihardjo, Adalah Seorang Priyayi Rendahan
Yang Bekerja Sebagai Guru Sekolah Dasar. Ibunya Nyoman Rai Berdarah Biru Dari
Bali Dan Beragama Hindu. Pertemuan Mereka Terjadi Ketika Raden Sukemi, Yang
Sehabis Menyelesaikan Studi Di Sekolah Pendidikan Guru Pertama Di Kabupaten Probolinggo,
Jawa Timur, Ditempatkan Di Sekolah Dasar Pribumi Di Singaraja, Bali.
Soekarno Menentang Kolonialisme
Dan Kapitalisme Itu. Keduanya Melahirkan Struktur Masyarakat Yang Eksploitatif.
Sebagai Suatu Sistem Yang Eksploitatif, Kapitalisme Itu Mendorong Imperialisme,
Baik Imperialisme Politik Maupun Imperialisme Ekonomi. Tetapi Soekarno Tak
Ingin Menyamakan Begitu Saja Imperialisme Dengan Pemerintah Kolonial.
Imperialisme.
Menurut Soekarno, Yang
Pertama-Tama Perlu Disadari Adalah Bahwa Alasan Utama Kenapa Para Kolonialis
Eropa Datang Ke Asia Bukanlah Untuk Menjalankan Suatu Kewajiban Luhur Tertentu.
Mereka Datang Terutama “Untuk Mengisi Perutnya Yang Keroncong Belaka.” Artinya,
Motivasi Pokok Dari Kolonialisme Itu Adalah Ekonomi.Sebagai Sistem Yang Motivasi
Utamanya Adalah Ekonomi.
Langkah Lain Yang Menurut Soekarno
Perlu Segera Diambil Dalam Menentang Kolonialisme Dan Imperialisme Itu Adalah
Menggalang Persatuan Di Antara Para Aktivis Pergerakan.
Dengan Pendirian Partai Nasional
Indonesia (PNI) Yang Sebagai Tujuan Utamanya Dicanangkan Untuk “Mencapai
Kemerdekaan Indonesia.” Guna Memberi Semangat Kepada Para Aktivis Pergerakan,
Pada Tahun 1928 Ia Menulis Artikel Berjudul Jerit Kegemparan Di Mana Ia
Menunjukkan Bahwa Sekarang Ini Pemerintah Kolonial Mulai Waswas Dengan Semakin
Kuatnya Pergerakan Nasional Yang Mengancam Kekuasaannya.
DAFTAR PUSTAKA
Hering Bob, Soekarno Architect Of A Nation, Kit
Publisher, Amsterdam, 2001
Soekarno Founding Father Of Indonesia 1901-1945, Kit Publisher, Amsterdam, 2001
Katoppo, Aristides, 80 Tahun Bung Karno, Kintamani Offset, Jakarta,
1982
Kasenda, Peter, Soekarno Muda: Biografi
Pemikiran 1926-1933, Komunitas Bambu, Jakarta, 2010
Sumber :
0 komentar:
Posting Komentar