Urgensi Masyarakat dan Kearifan Lokal dalam Konteks Pengelolaan Hutan Lestari



Indonesia merupakan negara agraris yang subur nan kaya sumber daya alam. Begitu pula dengan potensi hutan yang melimpah dan diperkirakan menempati posisi kedua terbesar di dunia. Luas kawasan hutan tropis Indonesia mencapai 144 juta hektar, atau sekitar 74 % dari luas daratan Indonesia sendiri. Namun demikian, sejak tiga dasa warsa terakhir ini luas kawasan hutan tropis Indonesia semakin berkurang dari tahun ke tahun, karena mengalami degradasi dan deforestasi yang sangat serius akibat eksploitasi besar-besaran. Luas kerusakan hutan tropis Indonesia menurut laporan terkini disinyalir mencapai 1,7 juta hektar per tahun (Departemen Kehutanan, 2000).
Implikasi dari eksploitasi hutan secara tak terkendali di Indonesia, tidak hanya sebatas semakin menipisnya jumlah tegakan kayu yang bernilai ekonomi tinggi untuk pendapatan/devisa negara (economical loss), tetapi juga Indonesia kehilangan kekayaan keanekaragaman hayati (flora dan fauna) dan kerusakan alam (ecological loss), dan lebih dari itu adalah pengabaian/penggusuran hak-hak masyarakat adat/lokal serta marjinalisasi tatanan sosial dan budaya masyarakat (social and cultural loss), yang tidak pernah diperhitungkan sebagai ongkos ekonomi, ekologi, dan ongkos sosial-budaya yang harus dikorbankan untuk pembangunan.
Kegiatan pembangunan yang diorientasikan semata-mata untuk mengejar pertumbuhan ekonomi harus dibayar sangat mahal dengan penimbulan korban-korban pembangunan. Karena selain merusak sumber daya alam dan lingkungan hidup, menguras sumber-sumber kehidupan masyarakat desa hutan (lokal), juga dalam implementasinya telah menggusur hak-hak masyarakat lokal atas penguasaan dan pemanfaatan sumber daya hutan, serta mengabaikan kemajemukan hukum (legal pluralism) yang hidup dan berkembang dalam masyarakat.
Isu tentang pentingnya kembali kepada kearifan lokal (local wisdom) dalam pengelolaan sumber daya alam dewasa ini semakin marak dilakukan baik itu di kalangan akademisi, praktisi, hingga masyarakat awam. Hal ini sangat terkait dengan paradigma Pembangunan Berkelanjutan yang disadari akan berdampak secara komprehensif untuk stabilitas negara. Menilik dari peran dan posisi masyarakat lokal, pembangunan kini diarahkan untuk dapat mengakomodir kepentingan setiap elemen, termasuk di dalamnya menjaga keberlangsungan hidup masyarakat adat serta melestarikan nilai-nilai kearifan lokal yang ada.
Fakta kemunduran arah pengelolaan hutan kini sungguh sangat memprihatinkan. Degradasi hutan yang tak terkendali sudah menjadi isu yang tak habis dibahas. Sajian fakta menarik seputar kondisi hutan kekinian yang kian luntur dari nilai kultur dan kearifan lokal masyarakat setempat patut kita kritisi bersama. Rekonstruksi kebijakan dan strategi pengelolaan yang efektif perlu segera dilaksanakan. Pembenahan yang komprehensif di segala lini harus didukung kemampuan mengkombinasikan tiap fungsi elemen yang vital.
Masyarakat lokal sebagai kaum akar rumput sejatinya adalah aktor utama pengelolaan hutan yang sustainable. Namun, satu permasalahan yang belum tuntas terselesaikan adalah bahwa pengakuan terhadap hak-hak masyarakat lokal masih minim. Kesenjangan sosial kian memperbesar jarak mereka atas hak peningkatan taraf hidup. Partisipasi yang minim dari masyarakat sebagai akibat pola pengelolaan hutan yang top down cenderung memperlemah posisi masyarakat lokal serta memperburuk kondisi hutan.
Berbagai polemik muncul terkait kebijakan yang dekonstruktif. Pembangunan yang berorientasi ekonomi semata rentan mengakibatkan perusakan sumber daya hutan. Hal ini tentunya turut mempengaruhi keberadaan masyarakat lokal di sekitarnya. Sama halnya ketika kita melihat hutan di Bojonegoro sebagai contoh kecil praktik pengelolaan hutan yang kurang efektif. Perhutani sebagai stakeholder utama belum mampu mengoptimalkan peran dan fungsi masyarakat lokal secara maksimal. Akibatnya, keterbatasan pemahaman dan minimnya persepsi positif terlanjur mengakar budaya pada sikap perilaku masyarakat kekinian. Bagaimanapun juga masyarakat harus dilibatkan secara aktif dalam praktik pengelolaan hutan yang lestari.
Sejatinya masyarakat lokal adalah elemen penting dalam pengelolaan hutan lestari. Dengan kearifan lokal dan nilai-nilai budaya yang dimiliki, mereka telah hidup sebagai konservasionis sejati. Pola pemanfaatan lahan dan sumber daya hutan yang ideal harus mampu didukung oleh kesadaran untuk menjaga, serta mengoptimalkan setiap elemen yang terlibat di dalamnya. Masyarakat berhak menyampaikan aspirasi dan dilibatkan secara aktif dalam mengontrol kinerja pemerintah. Strategi bottom up yang mengakomodir peran serta masyarakat perlu diaplikasikan dalam konteks pengelolaan hutan lestari.
Hutan rakyat merupakan sebagian kecil contoh pengelolaan hutan yang mampu mengakomodir setiap kepentingan. Bentuk pengelolaannya beorientasikan pada nilai-nilai sosial budaya dan ekologi yang mengakar kuat pada kehidupan masyarakat desa hutan. Indonesia dengan beragam suku budaya tentunya sangat berpotensi dengan fungsi kearifan lokal yang dimiliki masyarakat desa hutan, termasuk yang ada di Bojonegoro contohnya. Potensi jati yang begitu melimpah dan strategis sebagai komoditas yang tak ternilai di Bojonegoro sudah selayaknya dimanfaatkan dan dikelola oleh, dari, dan bagi masyarakat. Bojonegoro dan daerah-daerah lain di Indonesia patut berbenah. Pemerintah dan para -stakeholder punya andil besar untuk merepresentasikan kepentingan masyarakat agar terciptanya kesejahteraan dan kemakmuran.
Kapasitas budaya dalam ranah kehidupan masyarakat desa hutan merupakan modal sosial yang tak ternilai dan wajib diperhitungkan dalam rangka mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development). Dalam konteks pengelolaan sumber daya hutan, modal sosial dalam wujud etika, religi, kearifan lingkungan, dan norma-norma hukum lokal merupakan kekayaan budaya yang harus diperhitungkan, didayagunakan, dan diakomodasi dalam pembuatan kebijakan dan pembentukan hukum negara (state law) mengenai pengelolaan sumber daya alam.
Keseimbangan alam saling berkaitan dengan interaksi makhluk hidup, khususnya manusia. Manusia melalui pemahaman alam yang multikultur akan membentuk karakter hidup yang berkesinambungan terhadap lingkungan sekitarnya. Masyarakat lokal dengan segala nilai dan norma senantiasa menjaga substansi kulturalnya dengan alam. Esensi ekologis pengelolaan hutan dewasa ini masih dipertahankan oleh sebagian kecil komunitas lokal yang termarginalkan. Dengan segala keterbatasan hidup, komunitas minoritas ini berusaha mengaktualisasikan hidupnya untuk kelestarian hutan. Namun sayang, belum banyak pihak yang mengapresiasi prestasi luar biasa ini sebagai suatu kebanggaan serta capaian yang positif. Padahal masyarakat lokal merupakan garda depan penyelamat hutan jika peran dan fungsinya dapat disinergikan oleh para pemangku kebijakan.
Pemerintah bersama para stakeholder seharusnya lebih memperhatikan potensi masyarakat lokal. Unsur-unsur sosial ekologi kini bukan sekedar kebutuhan sampingan yang pragmatis, tapi meupakan titik tolak tercapainya kelestarian hutan. Paradigma social forestry yang gencar dipublikasikan harus mampu diimplementasikan secara masif. Pemerintah perlu mendapat kontrol kritis terkait kebijakan dan aturan perundang-undangan lain yang dilaksanakan selama ini. Masyarakat lokal selama ini hanya menjadi korban kepentingan sempit. Oleh karena itu perlu dibangun komunikasi efektif dan arah gerak pengelolaan hutan yang ideal untuk menjembatani seluruh kepentingan demi menjaga nilai-nilai kearifan lokal, serta hak-hak masyarakat. Dengan begitu, wajah hutan yang lestari bukan hanya sekedar mimpi belaka, tapi dapat direalisasikan secara komprehensif demi tercapainya kesejahteraan masyarakat.

0 komentar: