Perbandingan karakter Kepemimpinan Politik ( Kerajaan Jawa dan Orde Baru )



Kepemimpinan politik

Studi politik dapat dipandang sebagai studi tentang kekuasaan. Dalam kerangka ini, setiap masyarakat politik terbagi ke dalam dua kategori besar: sebagian kecil mereka yang berkuasa dan sebagian besar lainnya yang dikuasi. Dalam kerangka ini pula, Jasper B. Shannon misalnya menganggap esensi pemerintah sebagai hubungan antara pemimpin dan yang dipimpin.
Berkaitan dengan penempatan posisi dan peran politik raja perspektif pemikiran politik jawa mendasarkan diri pada dua landasan. Pertama, dalam pemikiran jawa diakui adanya pararelisme antara makro kosmos dan mikro kosmos. Anatara dunia “para dewa” atau “dunia tuhan” dengan dunia tempat manusia hidup. Kedua, ada kebutuhan interaksi antara makro kosmos dan mikro  kosmos itu. Dua kosmos itu dianggap  “menyatu” secara interaksionis.


Kekuasaan raja jawa juga ditandai oleh amat lemahnya kontrol (eksternal) terhadap kekuasaan. hal ini dapat ditelusuri dengan memandang dua jurusan. Pertama, fungsi kontrol dianggap kontradiktif dan melawan posisi alamiah dan bersifat ascribed yang diduduki raja sebagai refleksi tuhan dan satu satunya medium untuk berhubungan dengan makrokosmos maka raja memiliki kekuasaan mutlak tanpa batas sebagai konsekuensi sifat numinus dan adrikodrati yang melekat pada kekuasaan raja. Kedua kontrol terhadap pembesar, apalagi raja, dalam kultur masyarakat jawa bertentangan dengan “keharusan setiap orang untuk menghindari memberikan penilaian terhadap orang lain, terlebih-lebih menyingung orang yang bersangkutan, demi terciptanya harmoni sosial.


Kepemimpinan Politik Orde Baru


Hierarki serta pengaturan posisi dan peran para pembantu, secara struktural, presiden adalah orang yang duduk dalam hierarki tertinggi pemeritahan.selain dijamin oleh konsitusi, kedudukan hierarki ini juga dibentuk oleh praktek politik yang dijalankan (dinegara manapun) yang menempatkan eksekutif sebagai pengendali operasi roda pemerintahan dan pemilik kekuasaan rill, eksekutif bagaimanapun adalah coreo of goverment. Presiden orde baru, dalam kedudukanya sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan tak pelak lagi menjadi pengisi kursi puncak hierarki politik dan  kekuasaan.
Kontrol dan partisipasi politik. Kepemimpinan orde baru muncul menggantikan suatu masa dimana kekuasaan terdistribusi diantara tiga kekuatan utama: presiden, partai komunis indonesia dan angkatan darat dalam pormasi itu, presiden menjadi sentral. Masa ini yang kemudian dikenal dengan demokrasi terpimpin. Ketika orde baru muncul distribusi kekuasaan mengalami perubahan besar. Angkatan darat, dan meliter secara umum, muncul sebagai kekuatan politik utama. 
Di dalam Orde Baru, Kelembagaan oposisi tidak diakui keberadaannya dalam struktur kelembagaan politik formal sehingga tidak memiliki saluran politik. Dan lebih jauh, sikap-sikap oposisional pun menjadi tidak terakomodasi dalam struktur dan proses formulasi kebijakan politik.


Dalam kaitan itu, Presiden Soeharto sendiri dalam otobiografinya mengungkapkan pandangan sebagai berikut:
“Dalam Demokrasi Pancasila tidak ada tempat untuk oposisi ala Barat.....Tentu saja ada kontrol atas pelaksanaan yang dilakukan oleh pemerintah. Kesalahan yang dibuat oleh pemerintah harus dibetulkan. Tetapi semua harus ingat atas kesepakatan yang telah kita ambil di sini. Oposisi seperti di Barat tidak kita kenal di sini. Oposisi yang asal saja menentang, asal saja berbeda, tidak kita kenal di sini.”
Selama masa Orde Baru saluran-saluran partisipasi politik formal dan nonformal tersedia seperti dituntut oleh UUD 1945 dan norma-norma demokrasi. Dalam perkembangan terakhir, ketersediaan wadah ini diramaikan dengan berdirinya lembaga-lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang mewadahi berbagai kepentingan dan isu politik, seperti lingkungan hidup, hak-hak konsumen, emansipasi wanita, kependudukan, bantuan hukum, pendidikan dan penelitian, hak asasi manusia dan sebagainya.
Partisipasi politik masyarakat kemudian memperoleh tempat yang makin penting setelah pemerintahan Orde Baru menjadikan masalah ini sebagai salah satu titik perhatian dari paket Undang-Undang Pembangunan Politik di tahun 1985. Yaitu: UU No.1/1985 tentang Pemilu, UU No.2/1985 tentang Susunan dan Kedudukan MPR DPR, UU No.5/1985 tentang Referendum. UU No.3/1885 tentang Partai Politik dan Golkar, dan UU No.8/1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan.
Monopoli partisipasi oleh elit diperlihatkan oleh hasil pengamatan Karl D. Jackson. Menurut Jackson, kepolitikan Orde Baru ditandai oleh dimonopolinya kekuasaan dan partisipasi politik oleh level-level teratas dalam birokrasi sipil dan militer. Hal ini terjadi baik dalam tataran supra struktur politik maupun infrastruktur politik.


Monopoli partisipasi oleh elit-elit birokrasi sipil mobilisasi masyarakat oleh negara dibandingkan partisipasi politik otonom masyarakat sendiri. Penelitian R. William Liddle tentang pemilu-pemilu Orde Baru menunjukan betapa partisipan pemilu memberikan suara dan pilihannya lebih banyak disebabkan oleh mobilisasi birokrasi negara, baik birokrasi pusat maupun lokal.
Studi Alfian, menggambarkan bahwa pengambilan keputusan-keputusan politik di masa Orde Baru boleh dikatakan hampir sepenuhnya tidak bisa keluar dari jangkauan peran penting Presiden Soeharto.
Keputusan-keputusan dihasilkan melamui jalur-jalur yang terpusat pada peranan Presiden Soeharto yang digambarkan oleh para pembantunya sebagai orang yang amat pandai “membaca” keadaan, bijak, dan senantiasa mengambil keputusan yang tepat.


Presiden Orde Baru memiliki kekuasaan yang konkret, luas dan cendrung memusat. Menurut Alfian, keadaan ini terbentuk oleh tiga faktor. Pertama, Presiden Soeharto telah mampu memanfaatkan program pembangunan ekonominya sebagai simbol politik baru yang efektif sekaligus sebagai legitimasi paling penting terhadap pemerintahannya. Kedua, terjadinya disintregasi terus menerus di antara kekuatan-kekuatan politik sipil telah memberikan kepada Presiden Soeharto (dan ABRI) ruang dan kebebasan bergerak luas. Ketiga, falsafah jalan tengah dan falsafah sentrisme yang dimiliki Presiden Soeharto yang menandainya sebagai pemimpin yang lebih mengutamakan kesetabilan dari pada perubahan radikal telah membantu Presiden menjalankan tugas dan fungsi politiknya. Dalam perkembangan kemudian, kita dapat mencatatkan dua faktor lagi. Yaitu keempat, keberhasilan pemerintah melalui Presiden dalam memobilisasikan kekuatan ekonomi nasional – atau kerap disebut sebagai borjuasi nasional – kedalam struktur persekutuan dengan negara, telah membantu mengefektifkan penyelenggaraan kekuasaan. Kelima, terbatasnya arus dan mobilitas partisipasi politik massa telah pula memberikan keleluasaan kepada presiden dan pemerintahannya untuk merealisasikan program-program pembangunan tanpa kendala politik yang berarti.


Paralelisme Historis
Tulisan ini berangkat dengan pertanyaan: adakah persamaan esensial antara karakter kepemimpinan politik raja jawa dengan presiden indonesia masa orde baru ?
Dalam tataran umum, sulit dibantah bahwa sejumblah ciri identik dan persamaan esensial muncul dalam perbandingan di atas. Pertama, baik pemimpin politik jawa masa lampau maupun pemimpin Orde Baru menduduki puncak hierarki kekuasaan dalam “kesendirian”. Kedua, struktur dan proses pengambilan keputusan politik dalam kedua masa yang dibandingkan memiliki ciri identik: tersentralisasi pada peran pemimpin politik. Ketiga, kontrol terhadap kekuasaan pemimpin politik pada dua masa yang dibandingkan memiliki ciri identik namun dengan gradasi yang berbeda: pada Raja Jawa kontrol tersebut tidak dimungkinkan secara epistemologis dan praksis, sementara di masa Orde Baru dimungkinkan secara epistemologis namun tidak efektif dalam tingkat praksis. Keadaan yang sama ditemui pula pada perbandingan keleluasaan partisipasi politik masyarakat dalam kedua masa kepemimpinan itu: pada masa kerajaan Jawa partisipasi ditolak secara epistmologis sekaligus praksis, pada masa Orde Baru hanya tersumbat di tingkat praksis.



Perbandingan karakter Kepemimpinan Politik ( Kerajaan Jawa dan Orde Baru )
Kerajaan Jawa :

Perbedaan :
1.      Formasi kekuasaan bersifat kaku
2.      Formasi kekuasaan lebih dibentuk secara kultural
3.      Akumulasi kekuasaan bersifat total
4.      Tidak mempersoalkan keabsahan
5.      Kekuasaan lebih bersifat moral

Persamaan :
1.      Struktur dan proses politik terkendalikan secara leluasa oleh pemimpin
2.      Kepemimpinan paternalistik
3.      Kekuasaan untuk harmonisasi kosmos

Orde Baru :
Perbedaan :
1.      Formasi kekuasaan bersifat leluasa dan longgar
2.      Formasi kekuasaan lebih dibentuk secara struktural
3.      Akumulasi kekuasaan dilekati sifat distributif
4.      Dibentuk dengan keabsahan
5.      Kekuasaan lebih bersifat alienatif
Persamaan :
1.      Struktur dan proses politik terkendali secara leluasa oleh pemimpin
2.      Kepemimpinan paternalistik
3.      Kekuasaan untuk harmonisasi sosial: pembangunan dan stabilitas


0 komentar: