MENGOPTIMALKAN CHECKS AND BALANCES
EKSEKUTIF DAN LEGISLATIF DALAM SISTEM PRESIDENSIAL
ANALISIS DAN SINTESIS
A. Relasi Sistem Presidensial dengan
Mekanisme Lembaga Perwakilan Rakyat dalam hal ini DPR dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia 1945.
Dilema
sistem presidensial di Indonesia telah menjadi suatu polemik dalam kehidupan
bernegara, dimana sistem presidensial yang pada dasarnya memiliki kelebihan
stabilitas eksekutif dengan masa jabatan yang tetap, legitimasi dan mandat yang
kuat karena dipilih secara langsung oleh rakyat, dan pemisahan kekuasaan yang
relatif tegas diantara cabang-cabang kekuasaan pemerintahan eksekutif,
legislatif, yudikatif adalah tiga diantara sejumlah kelebihan utama sistem
presidensial. Meskipun demikian sistem tersebut memiliki tiga kelemahan yakni
pertama, kemungkinan munculnya kelumpuhan ataupun jalan buntu politik
(deadlock) akibat konflik eksekutif-legislatif. Potensi tersebut semakin besar
lagi apabila sistem presidensial dikombinasikan dengan sistem multipartai.
Kedua, kekakuan sistemik akibat masa jabatan eksekutif yang tetap. Ketiga,
memberi peluang bagi presiden mengklaim pilihan-pilihan kebijakannya atas nama
rakyat. ( Syamsudin Haris, 2008 : 149 ). Mengkaji lebih lanjut mengenai sistem
presidensial tidak lepas dari keberhasilan Amerika Serikat dalam mengembangkan
sistem tersebut dengan murni, dimana kedudukan kepala pemerintahan dan
pemerintahan diemban oleh seseorang yakni presiden, namun kewenangannya
dibatasi oleh prinsip demokrasi yang berdasar atas hukum ( Jimly Asshiddiqie,
2005 : 58 ). Berdasarkan sidang tahunan MPR 1999 seluruh fraksi MPR membuat
kesepakatan tentang arah perubahan Undang-Undang Dasar 1945, yang salah satunya
sepakat untuk mempertahankan sistem presidensial ( dengan menyempurnakannya
sesuai dengan ciri-ciri sistem presidensial ). Mengenai hal tersebut Negara
Indonesia yang telah menetapkan sistem pemerintahan yang dianut adalah sistem
presidensial yang terkandung dalam Bab I Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia 1945 tentang bentuk dan kedaulatan, Pasal 1 ayat (2) menetapkan
kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang Undang Dasar.
Dan Bab III Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 mengenai
kekuasaan pemerintahan Negara khususnya pasal 6A ayat (1) tentang pemilihan
presiden dan wakil presiden secara langsung oleh rakyat, hal ini yang
mencerminkan sistem presidensial.
Prof,
Jennings membedakan antara pemisahan kekuasaan dalam arti materiil dan arti
formal. Adapun yang dimaksudnya dengan pemisahan kekuasaan dalam arti materiil
ialah pemisahan kekuasaan dalam arti pembagian kekuasaan itu dipertahankan
dengan tegas dalam tugas-tugas kenegaraan yang dengan jelas memperlihatkan
adanya pemisahan kekuasaan itu kepada tiga bagian : Legislatif, Eksekutif &
Yudikatif. Sedangkan yg dimaksudkannya dengan pemisahan kekuasaan dalam arti
formal ialah pembagian kekuasaan itu tidak dipertahankan dengan tegas. Prof.Dr.
Ismail Suny S.H,M.C.L Mengambil kesimpulan, bahwa pemisahan kekuasaan dalam
arti Materiil sepantasnya disebut separation of power (pemisahan kekuasaan),
sedangkan dalam arti formal disebut division of power (pembagian kekuasaan).
(http://www.mail-archive.com/ppiindia@yahoogroups.com/msg79717.html)
Dari
uraian diatas, Indonesia menganut sistem pemisahan kekuasaan dalam arti formal
atau pembagian kekuasaan yang tidak mempertahankan secara tegas pembagian
kekuasaan tersebut. Sedangkan dalam sistem presidensial murni diperlukan suatu
ketegasan yang jelas dalam pemisahan kekuasaan, ketegasan dan kejelasan dari
sistem tersebut pada realitanya belum terpenuhi penerapannya dari hakekat
presidensial itu.
Mengenai
pembagian kekuasaan yang telah diterapkan oleh pemerintah Negara Kesatuan
Republik Indonesia menjadi acuan bagi penulis dalam memahami hubungan antar
lembaga di Indonesia yang menganut sistem presidensial khususnya lembaga
eksekutif dengan legislatif yang memiliki kerancuan didalam sistem tersebut,
hubungan itu terkait dengan pihak-pihak yang berkecimpung menjalankan perannya
sebagai pemegang amanah rakyat, yang tentunya dipilih secara langsung oleh
rakyat, dengan demikian secara langsung ataupun tidak langsung segala tindakan
yang dilaksanakan merupakan wewenang yang berasal dari rakyat disinilah makna
suatu pertanggungjawaban itu perlu lebih dimaknai, bukankah kedaulatan Negara
kita berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar?
Seperti yang terkandung dalam pasal 1 ayat (2) yang menjelaskan hal tersebut.
Bila kita maknai kandungan pasal 1 ayat (2) menunjukkan pentingnya suatu aturan
yang benar-benar mampu menegakkan kedaulatan rakyat. Semua itu terkait
pelaksanaan peran lembaga-lembaga yang telah dipercaya oleh rakyat untuk
menjalankan pemerintahan ini demi kepentingan rakyat. Dengan demikian sangatlah
penting adanya suatu hubungan yang tidak saling menghalang-halangi antar
lembaga tersebut, karena di Indonesia sendiri masih banyak hal-hal yang tidak
sejalan dengan sistem presidensial seperti adanya multipartai dan koalisi dalam
suatu parlemen yang hubungan tersebut berkaitan dengan pemetaan kekuasaan yang
tidak stabil dan efektif antar lembaga eksekutif dan parlemen.
Didalam
lembaga legislatif terdapat suatu faktor yang tidak mendukung kestabilan
kehidupan ketatanegaraan di Indonesia yang menganut sistem presidensial, yakni
adanya interfensi partai-partai yang mendukung pihak yang berada dalam lembaga
tersebut. Pada hakekatnya DPR sebagai lembaga yang telah dipilih secara
langsung oleh rakyat seharusnya keterikatan terhadap rakyat jauh lebih kuat
dibandingkan keterikatan terhadap kepentingan partainya. Hal ini lah yang
menjadi dilema dalam hubungan antara presiden dan DPR di Indonesia, pada sistem
presidensial yang secara tegas memisahkan kekuasaan antar lembaga, namun pada
praktiknya pemisahan kekuasaan sebagai ciri dari sistem presidensial tidak
terpenuhi bahkan pada Undang-Undang Dasar 1945 sebelum amandemen dan setelah
ternyata masih menganut sistem pembagian kekuasaan yang mencerminkan keraguan
untuk benar-benar menerapkan sistem presidensial. Sebenarnya hal tersebut
tepengaruhi oleh tidak efektifnya mekanisme dalam pelaksanaan yang penerapannya
terpengaruhi oleh kepentingan-kepentingan yang mengenyampingkan kepentingan
rakyat.
Pada
dasarnya kita harus mengetahui konsep “Negara dengan kepedulian” yang telah
dipaparkan oleh Prof.Dr. Satjipto Rahardjo, S.H. Negara tersebut bukan Negara
yang berhenti pada tugasnya untuk menyelenggarakan fungsi-fungsi publiknya,
tetapi bersemangat untuk menjalankan fungsi tersebut secara peduli, yaitu
peduli pada nasib bangsanya. Peduli tersebut adalah suatu keadaan yang khas,
yaitu melaksanakan pekerjaan dengan semangat ( compassion ), empati, dedikasi,
determinasi dan komitmen tinggi ( Satjipto Rahardjo, 2009 : 83 ). Kepedulian
inilah yang harus dimiliki oleh pihak-pihak yang memiliki wewenang atas
kehidupan berbangsa dan ketatanegaran di Indonesia, sehingga tercapainya suatu
keadaan yang kondusif di dalam kepemerintahan.
Belajar
dari sistem presidensial yang diterapkan oleh Amerika Serikat yang jelas-jelas
menganut sistem presidensial murni yang didampingi oleh mekanisme checks and
balances sebagai pengontrol masing-masing kekuasaan, di Indonesia sendiri telah
berusaha menerapkan prinsip mekanisme checks and balances dalam sistem
kepemerintahannya melalui amandemen Undang-Undang Dasar 1945 yang mengarah ke
separation of power untuk lebih menciptakan mekanisme tersebut. Mekanisme
checks and balances merupakan suatu fenomena tersendiri dalam sistem
presidensial, karena mekanisme tersebut menjadi inti bagi pembangunan dan
pengembangan demokrasi. Untuk itu, pengoptimalan mekanisme checks and balances
dalam sistem pemerintahan yang ingin diterapkan secara maksimal di Negara
kesatuan republik Indonesia yakni sistem presidensial adalah suatu hal yang
harus dilakukan, maka dari itu penulis ingin mengkaji mengenai hal tersebut
sebagai suatu gagasan dalam karya tulis ini yang akan dibahas pada analisis
kedua dalam karya tulis ini.
B.
Mengoptimalisasikan Hubungan Checks and Balances antara Presiden dengan DPR
dalam Sistem Presidensial
Negara
kita dalam Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
menyatakan bahwa sistem pemerintahan yang kita anut adalah sistem pemerintahan
presidensial yang dalam pengertian presidensial itu sendiri adalah memisahkan
secara tegas antar lembaga negara, legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Dalam
hubungan antar lembaga diatur secara tegas dan tidak saling tumpang tindih
dalam kewenangan kekuasaannya, seperti yang telah dipaparkan pada analisis
pertama diatas.
Pemisahan kekuasaan eksekutif dengan kekuasaan
legislatif disini diartikan bahwa kekuasaan eksekutif itu dipegang oleh suatu
badan atau organ yang ada di dalam menjalankan tugas eksekutifnya untuk tidak
bertanggung jawab kepada badan perwakilan rakyat. Badan Perwakilan rakyat ini
menurut idea Trias Politika Montesque memegang kekuasaan legislatif, jadi
bertugas membuat dan menentukan peraturan-peraturan hukum.(Soehino, 2005: 249)
Sehingga
dalam pelaksanaan wewenang harus ada checks and balances antar lembaga negara,
baik legislatif, eksekutif, maupun yudikatif dalam menjalankan tugasnya agar
pemerintahan dapat berjalan dengan baik. Arti checks and balances itu sendiri
adalah saling kontrol dan seimbang, maksudnya adalah antara lembaga negara
harus saling mengontrol kekuasaan satu dengan kekuasaan yang lainnya agar tidak
melampaui batas kekuasaan yang seharusnya dan saling menjatuhkan. Hal ini
sangat penting agar dapat terciptanya kestabilan pemerintahan didalam negara
atau tidak terjadi percampuradukan antar kekuasaan dan kesewenang – wenangan
terhadap kekuasaan. Seperti dalam pembagian kekuasaan di negara Amerika Serikat
yang menggunakan sistem pemerintahan presidensial murni yang menggunakan
prinsip check and balance dan penerapan dua partai menghasilkan pemerintahan
yang stabil, karena kerja antar lembaga negara sangat profesional, tidak
melampaui batas kekuasaan yang seharusnya dalam setiap lembaga negara. Negara
Indonesia tidak keliru, apabila bila Undang – undang dasar Negara Republik
Indonesia tahun 1945 menginginkan pemerintahan yang kuat. Yang menjadi kelemahan
akan tetapi juga menjadi kekuatan dari Undang – Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 adalah bahwa kekuatan presiden sangat kuat, akan tetapi
bukan berarti tanpa batas.
Negara
Indonesia mengharapkan dapat menjalankan sistem pemerintahan presidensial
secara murni dan sesuai dengan karakteristik – karakterisitik sistem
presidensial yang seharusnya. Akan tetapi pada kenyataannya, di Indonesia belum
dapat menjalankan pemerintahan sistem presidensial secara murni karena dalam
pelaksanaan pemerintahan di Indonesia sekarang ini dinilai masih cenderung
menggunakan sistem pemerintahan parlementer, memang didalam perubahan Undang –
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah memperkuat mengenai
sistem presidensial yang berlaku dalam pemerintahan di Indonesia, akan tetapi
didalamnya masih terdapat kerancuan yang dapat menimbulkan berbagai penafsiran
yang berbeda. Seperti contoh yang dikemukakan oleh A. Latief Furqon
(2008:173-174) dalam buku Gagasan Amandemen Undang-Undang Dasar 1945 Suatu
Rekomendasi memberikan contoh adanya kerancuan pada Undang – Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yaitu pada Pasal 20 ayat (1), ”Dewan
Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang – undang.” Sedangkan pada
Pasal 5 ayat (1),” Presiden berhak mengajukan rancangan undang – undang kepada
Dewan Perwakilan Rakyat.” Dalam pasal 20 ayat (1) terjadi pemisahan secara
tegas, dan tugas dan kekuasaan DPR diatur jelas, akan tetapi pasal ini akan
menjadi lemah dan rancu dengan rumusan Pasal 20 ayat (2), ”Setiap undang –
undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapatkan
persetujuan bersama.” Rumusan pasal ini terdapat kerancuan, karena dapat
ditafsirkan menjadi beberapa penafsiran, antara lain yang dimaksudkan dengan
pasal diatas apakah pembahasan perundang –undangannya yang dilakukan secara
bersama, karena untuk memperoleh persetujuan yang sama harus dilakukan
pembahasan bersama, atau penafsiran lain adalah pembahasan dapat dilakukan
bersama atau tidak bersama (sendiri – sendiri) akan tetapi yang terpenting
adalah pembahasan tersebut mendapatkan persetujuan bersama. Sedang Pasal 20
ayat (5), ”Dalam rancangan undang – undang yang telah disetujui bersama
tersebut tidak disahkan Presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak rancangan
undang –undang tersebut disetujui, rancangan undang – undang tersebut sah
menjadi undang – undang dan wajib diundangkan”. Dalam rumusan pasal diatas
diartikan bahwa presiden diharuskan mengesahkan undang – undang yang telah
disepakati bersama, sehingga prinsip checks and balances antara presiden dengan
DPR dalam bentuk hak Veto untuk tidak mengesahkan undang – undang yang telah
disepakati bersama tidak dimungkinkan.
Dari
kontroversi pasal diatas merupakan contoh bagaimana kerancuan dan kelemahan sistem
presidensial yang berlaku di Indonesia, yang dimana pemerintahan di Indonesia
belum dapat menerapkan prinsip checks and balances yang terdapat pada pasal 20
ayat (5) mengenai hak Veto yang merupakan prinsip pokok dalam pelaksanaan
prinsip check and balances. Fungsi hak veto itu sendiri adalah menjaga
kekuasaan lembaga legislatif agar tidak melakukan abuse of power, begitupun
sebaliknya agar Presiden tidak sewenang – wenang dalam menjalankan hak Vetonya,
DPR dapat menolak Veto dari Presiden. Akan tetapi kelemahan undang – undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tidak mengatur secara tegas mengenai
hak Veto tersebut.
Checks
and balances merupakan prinsip pemerintahan presidensial yang paling mendasar
dimana dalam negara yang menganut sistem presidensial merupakan prinsip pokok
agar pemerintahan dapat berjalan dengan stabil. Didalam prinsip checks and
balances terdapat dua unsur yaitu unsur aturan dan unsur pihak – pihak yang
berwenang. Untuk unsur aturan sudah diatur didalam Undang – undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, dimana dalam unsur aturan didalam pemerintahan
di Indonesia dinilai cukup baik dan namun dalam pelaksanaanya belum optimal,
hal ini disebabkan karena para pihak – pihak yang tidak profesional dalam
menjalankan wewenangnya. Seperti contoh, pada masa pemerintahan Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono periode pertama, partai yang mendukung adalah partai kecil,
sehingga yang masuk di lembaga legislatif hanya sebagian kecil, dan sebagian
besar ditempati oleh partai lain. Ketika Presiden mengajukan suatu kebijakan,
DPR sering kali menolak kebijakan tersebut, hal itu disebabkan karena pihak DPR
banyak yang tidak berpihak pada Presiden karena lebih mengutamakan kepentingan
partainya dari pada profesionalisme dalam kewenangannya sebagai DPR. Hal ini
menunjukan bahwa pihak – pihak yang memegang kewenanganlah yang sangat berperan
dalam menentukan pemerintahan berjalan sesuai dengan prinsip checks and
balances atau tidak, sehingga perlu adanya pengoptimalan terhadap pelaksanaan
prinsip checks and balances, karena checks and balances merupakan cerminan dari
sistem presidensial, apabila checks and balances itu dapat berjalan sesuai
dengan kaidah pengertiannya, maka sistem pemerintahan presidensial akan
berjalan dengan stabil. Sistem checks and balances itu dapat dikatakan berjalan
dengan lancar yaitu apabila checks = kontrol yaitu, antar lembaga negara harus
dapat saling mengontrol antar lembaga negara, baik eksekutif, legislatif,
maupun yudikatif. Dalam karyanya, A.Latief Fariqun (2008:173) mencontohkan
bahwa, Presiden diberi hak Veto atas suatu undang – undang yang telah diterima
oleh legislatif, akan tetapi hak Veto tersebut dapat ditolak oleh Legislatif
dengan jumlah suara 2/3 dari anggota, hal ini untuk membatasi adanya tindakan
sewenang – wenang yang dilakukan Presiden melalui hak Veto, dan hak Veto
sendiri merupakan alat pengontrol agar Legislatif tidak melebihi dari
kekuasaannya, Sedangkan untuk lembaga Yudikatif sendiri, dalam mengontrol
lembaga eksekutif dan legislatif menggunakan judicial review, akan tetapi hakim
agung juga dapat diberhentikan jika terbukti bersalah telah melakukan tindak
pidana, dan yang berwenang memberhentikan hakim agung adalah lembaga
legislatif. Disamping merupakan bentuk pengontrolan terhadap lembaga – lembaga
negara. Untuk pengertian balances = seimbang, antar lembaga – lembaga negara
dalam dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya harus sesuai dengan batasan
kekuasaannya, lembaga – lembaga negara tidak boleh mencampuri tugas dan
kewenangan lembaga negara lainnya, sehingga dapat dikatakan bahwa setiap
lembaga negara tidak boleh melebihi batas kekuasaannya sebagai mana yang telah
diatur sesuai dengan sistem pemerintahan presidensial.
Adapun yang perlu diperhatikan agar checks and
balances antara lembaga negara dapat berjalan dengan sesuai antara lain :
1.
Perlu adanya
aturan yang tegas dan tidak rancu dalam konsep hubungan antara pemerintah
sebagai pelaksana pelaksana perundang – undangan dengan lembaga perwakilan
rakyat yang berkuasa terhadap pembentukan perundang – undangan, agar tidak
saling menghambat dalam melaksanakan perannya masing – masing. Inilah yang akan
menjadi tugas bersama antar lembaga-lembaga negara yang telah mengemban
kewenangan yang berasal dari Rakyat.
2.
Merekonstruksi
undang – undang yang tidak sesuai, agar tidak terjadi adanya undang – undang
yang saling bertentangan.
3.
Perlu adanya
kesadaran oleh para pihak yang mempunyai kewenangan dalam lembaga negara
hendaknya perlu memaknai rasa kepedulian terhadap bangsa dan menyadari bahwa
semua yang dilakukan oleh mereka itu untuk rakyat.
4.
Perlu ditanamkan
pada diri pihak – pihak yang berwenang dilembaga negara untuk memiliki jiwa
pengabdi pada masyarakat, sehingga yang lebih diutamakan adalah rakyat, bukan
kepentingan pribadi atau kelompok (Partai)
5.
Dan perlu adanya
kesadaran dan tanggung jawab untuk dapat menjalankan tugasnya sesuai dengan
kekuasaannya tanpa ikut campur terhadap lembaga lain, atau bekerja melebihi
batas kekuasaan.
Selain checks and balances yang menjadi cerminan
dari sistem pemerintahan presidensial, ada cerminan lain yang menjadi pokok
dalam karakteristik presidensial yaitu adanya partai oposisi. Di Indonesia,
hingga saat ini masih multipartai, padahal dalam sistem pemerintahan
presidensial tidak mengenal adanya multipartai, yang ada hanya partai oposisi.
Akan tetapi adanya Undang – undang Pemilu yang terbaru, diharapkan dapat
berjalan dengan baik dan lancar, sehingga semakin lama partai di Indonesia akan
semakin menyusut dan pada akhirnya hanya akan ada partai koalisi sehingga akan
lebih menegaskan sistem presidensial yang ada di Indonesia mendatang. Maka dari
itu hendaknya undang-undang terbaru tersebut dapat diterapkan sebaik mungkin
bahkan lebih ditekankan lagi untuk tecapainya hubungan yang kondusif dalam
sistem pemerintahan peridensial dengan mekanisme checks and balances yang
optimal.
Trias Politica dan Checks and Balances
ala Indonesia
Sejak
memproklamasikan kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945, konstitusi Indonesia
terus berproses dalam rangka mewujudkan kehidupan yang demokratis. Undang-
Undang Dasar 1945 (naskah asli), Konstitusi Republik Indonesia Serikat 1949,
Undang- Undang Dasar Sementara 1950 dan Undang- Undang Dasar 1945 (amandemen
ke- empat) merupakan hasil upaya untuk semakin mendekatkan diri kepada
demokrasi. Ditinjau dari asal kata, demokrasi berarti “rakyat berkuasa” atau
“government or rule by the people”. Kata Yunani demos berarti “rakyat” dan
kratos/ kratein berarti “kekuasaan/ berkuasa”.
Dalam
demokrasi dikenal konsep Rechstaat (negara hukum). Rechtstaat (negara hukum)
diartikan sebagai negara yang penyelenggaraan pemerintahannya berdasarkan
prinsip- prinsip hukum untuk membatasi kekuasaan pemerintah. Menurut Frederik
Julius Stahl, salah satu unsur dalam konsep Rechstaat adalah negara didasarkan
kepada Trias Politica (pemisahan kekuasaan negara atas kekuasaan legislatif,
kekuasaan eksekutif dan kekuasaan yudisial). Menurut Carles de Secondat Baron de
Labriede et de Montesquieu:
·
Kekuasan Legislatif adalah sebagai pembuat
undang- undang;
·
Kekuasaan Eksekutif adalah sebagai pelaksana
undang- undang;
·
Kekuasaan Yudikatif adalah kekuasaan untuk
menghakimi.
Dalam sistem ketata negaraan Indonesia pasca Amandemen
ke- empat Undang- Undang dasar 1945 kekuasaan Legislatif dilaksanakan oleh
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) selain itu
Presiden juga mempunyai hak untuk mengajukan rancangan undang- undang dan turut
serta dalam pembahasan rancangan undang- undang bersama Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR). Kekuasaan Eksekutif dilaksanakan oleh Presiden. Kekuasaan Yudikatif
dilaksanakan oleh Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK).
Dalam
rangka menjamin bahwa masing- masing kekuasaan tidak melampaui batas
kekuasaannya maka diperlukan suatu sistem checks and balances system (sistem
pengawasan dan keseimbangan). Dalam checks and balances system, masing- masing
kekuasaan saling mengawasi dan mengontrol. Checks and balances system merupakan
suatu mekanisme yang menjadi tolok ukur kemapanan konsep negara hukum dalam
rangka mewujudkan demokrasi.
Dalam
konstitusi Indonesia, fungsi kontrol Legislatif terhadap Eksekutif meliputi
persetujuan terhadap kekuasaan Presiden untuk menyatakan perang, membuat
perdamaian dan perjanjian dengan negara lain; review terhadap Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang- Undang (perpu) yang dibuat oleh Presiden,
pembahasan Rancangan Anggaran dan Pendapatan Belanja Negara (RAPBN) bersama
Presiden. Selain fungsi kontrol tersebut, DPR juga dapat mengajukan usul kepada
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) untuk memberhentikan Presiden karena
melakukan pengkhianatan terhadap negara, korupsi penyuapan, tindak pidana berat
lainnya, perbuatan tercela mau pun bila terbukti tidak lagi memenuhi syarat
sebagai Presiden. Dalam pelaksanaan fungsi kontrol tersebut peran DPD sangat
minim, yaitu sebatas “dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-
undang mengenai : otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan
daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya
ekonomi lainnya, pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara, pajak,
pendidikan, dan agama”. DPD tidak berwenang secara langsung untuk menindak
lanjuti hasil pengawasan tetapi hanya sebatas menyampaikan hasil pengawasannya
itu kepada DPR sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti. Dalam
menjalankan fungsi kontrol terhadap kekuasaan Yudikatif (MA dan MK), DPR
berwenang melakukan penyaringan terhadap para calon hakim agung dan mengajukan
tiga dari sembilan orang hakim konstitusi.
Di
Amerika Serikat sebagai kiblat konsep checks and balances system, dalam hal
pelaksanaan fungsi kontrol kekuasaan Eksekutif terhadap Legislatif, Presiden
diberi kewenangan untuk memveto rancangan undang- undang yang telah diterima
oleh Congress (semacam MPR), akan tetapi veto tersebut dapat dibatalkan oleh
Congress dengan dukungan 2/3 suara dari House of Representative (semacam DPR)
dan Senate (semacam lembaga utusan negara bagian). Dalam Undang- Undang Dasar
1945 tidak terdapat ketentuan mengenai hak veto tersebut tetapi pembahasan
setiap rancangan undang- undang dilakukan oleh DPR dan Presiden untuk mendapatkan
persetujuan bersama. Selain hak pembahasan dan persetujuan bersama, Presiden
juga diberikan hak untuk mengajukan rancangan undang- undang kepada DPR.
Keterlibatan Presiden sebagai pemegang kekuasaan Eksekutif dalam kegiatan
membuat undang- undang membuatnya juga memegang kekuasaan Legislatif sehingga
Presiden mempunyai kekuasaan ganda. Hal tersebut tidak konsisten dengan asas
Trias Politica (pemisahan kekuasaan). Sejauh ini di negara- negara yang
menganut sistem presidensial, kekuasaan Legislatif diserahkan kepada parlemen,
sedangkan Presiden mempunyai hak veto. Diantara negara- negara tersebut hanya
konstitusi Indonesia dan Puerto Rico yang memberikan hak legislasi bersama
parlemen kepada Presiden. Sedangkan dalam fungsi kontrol tehadap kekuasaan
Yudikatif, Presiden diberikan kewenangan untuk menyetujui dan menetapkan calon
hakim agung sebagai hakim agung, selain itu Presiden juga diberikan kewenangan
untuk mengajukan tiga dari sembilan orang hakim Konstitusi dan menetapkan para
hakim Konstitusi tersebut.
Dalam
rangka fungsi pengawasan kekuasaan Yudikatif terhadap kekuasaan Eksekutif, MA
diberikan kewenangan untuk menguji peraturan perundang- undangan yang
kedudukannya dibawah undang- undang terhadap undang- undang. Berdasarkan
Undang- Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan, bentuk- bentuk dan tata- urutan perundang- undangan meliputi:
v
Undang- Undang Dasar (UUD) dan perubahan UUD.
v
Undang- Undang dan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang- Undang (Perpu).
v
Peraturan Pemerintah.
v
Peraturan Presiden.
v
Peraturan Daerah.
Menurut pendapat Jimly Asshiddiqie, dalam praktik
disamping peraturan perundang- undangan tersebut masih banyak bentuk peraturan
perundang- undangan lain seperti Peraturan Menteri, Peraturan Bank Indonesia,
Peraturan Mahkamah Agung, Peraturan Mahkamah Konstitusi, Peraturan dan
Keputusan Badan Pemeriksa Keuangan, dll. Kewenangan tersebut diberikan kepada
MA karena Indonesia belum membentuk MK. Dengan dibentuknya MK sebagai “pengawal
konstitusi” dan untuk memperingan tugas MA maka sebaiknya kewenangan menguji MA
diserahkan kepada MK. Hal tersebut juga supaya semua peraturan perundang-
undangan dapat diuji terhadap undang- undang dasar sehingga dapat terwujud
supremasi konstitusi.
Selain hal tersebut, MK juga diberikan kewenangan
untuk memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan
oleh Undang- Undang Dasar.
Dalam
rangka melaksanakan konsep checks and balances yang lazim, sebaiknya Presiden
tidak boleh turut bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam pembahasan
rancangan undang- undang dan hak Presiden untuk mengajukan rancangan undang-
undang sebaiknya dihapus. Sebagai mekanisme kontrol terhadap Legislatif,
Presiden sebagai pemegang kekuasaan eksekutif diberikan hak veto atas rancangan
undang- undang yang akan disahkan Legislatif. Perubahan tersebut wajib
dicantumkan dalam amandemen undang- undang dasar.
Selain hal tersebut, hak uji peraturan perundang-
undangan sebaiknya diberikan kepada Mahkamah Konstitusi (MK) sehingga semua
peraturan perundang- undangan diuji terhadap undang- undang dasar.
·
Pasal 20 ayat (2) Undang- Undang Dasar 1945.
·
Pasal 5 ayat (1) Undang- Undang Dasar 1945.
·
Moh. Mahfud MD, makalah Undang- Undang Dasar
1945 Sebelum dan Sesudah Perubahan, disampaikan dalam seminar konstitusi
“Kontroversi Amandemen UUD 1945 dan Pengaruhnya terhadap Sistem Ketatanegaraan,
Jakarta, 12 April 2007.
ü
Pasal 24 A ayat (3) Undang- Undang Dasar 1945
ü
Pasal 24 C ayat (3) Undang- Undang Dasar 1945.
ü
Pasal 24 A ayat (1) Undang- Undang Dasar 1945.
ü
Pasal 24 C ayat (1) Undang- Undang Dasar 1945.
0 komentar:
Posting Komentar