Siradj
Hamzah
A. Arti Dan Definisi Good Governance
Istilah Governance menunjukkan suatu proses di
mana rakyat bisa mengatur ekonominya, institusi dan sumber-sumber social dan
politiknya tidak hany dipergunakan untuk pembangunan, tetapi juga untuk
menciptakan integrasi, kohesi dan untuk kesejahteraan rakyat. Dengan demikian,
bahwa kemampuan suatu Negara mencapai tujuan Negara sangat tergantung pada
kualitas tata kepemerintahan di mana pemerintah melakukan interaksi dengan
sector swasta dan masyarakat (Thoha dalam Kurniawan, 2005). Secara
konseptual pengertian kata baik (good) dalam istilah kepemerintahan yang
baik (good governance) mengandung dua pemahaman, yakni :
- Nilai
yang menjunjung tinggi keinginan atau kehendak rakyat, dan nilai-nilai
yang dapat meningkatkan kemampuan rakyat dalam pencapaian tujuan nasional
kemandirian, pembangunan berkelanjutan dan keadilan sosial.
- Aspek
fungsional dari pemerintah yang efektif dan efisien dalam pelaksanaan
tugasnya untuk mencapai tujuan tersebut.
Dalam Kamus bahasa Indonesia good governance diterjemahkan
sebagai tata pemerintahan yang baik, namun ada yang menerjemahkan sebagai
penyelenggaraan pemerintahan yang baik. Di samping itu, arti yang lain good
governance sebagai pemerintahan yang amanah. Jika good governance diterjemahkan
sebagai penyelenggaraan pemerintahan yang amanah, maka good governance dapat
didefinisikan sebagai penyelenggaraan pemerintahan secara partisipatif,
efektif, jujur, adil, transparan dan bertanggungjawab kepada semua level
pemerintahan (Effendi dalam Azhari, dkk., 2002: 187).
Definisi good governance menurut ahli dan
institusi negara, yakni antara lain :
- Kooiman
(1993) bahwa governance
merupakan serangkaian proses interaksi sosial politik antara pemerintahan
dengan masyarakat dalam berbagai bidang yang berkaitan dengan kepentingan
masyarakat dan intervensi pemerintah atas kepentingan-kepentingan
tersebut.
- World
Bank (dalam Mardiasmo, 2002 : 23).ialah suatu penyelenggaraan manajemen pembangunan
yang solid dan bertanggung jawab yang sejalan dengan prinsip demokrasi dan
pasar yang efisien, penghindaran terhadap kemungkinan salah alokasi dan
investasi, dan pencegahan korupsi baik yang secara politik maupun
administratif, menjalankan disiplin anggaran serta penciptaan legal dan politicall
framework bagi tumbuhnya aktivitas usaha.
- United
Nations Development Program (UNDP)dalam dokumen kebijakannya yang berjudul “Governance
for sustainable human development”, (1997),mendefinisikan
kepemerintahan (governance) adalah pelaksanaan kewenangan dan atau
kekuasaan di bidang ekonomi, politik dan administratif untuk mengelola
berbagai urusan negara pada setiap tingkatannya dan merupakan instrumen
kebijakan negara untuk mendorong terciptanya kondisi kesejahteraan, integritas,
dan kohesivitas sosial dalam masyarakat. United Nations Development
Program (UNDP) juga mendefinisikan good governance sebagai
hubungan yang sinergis dan konstruktif di antara negara, sektor swasta dan
society.
- Lembaga
Administrasi Negara (Kurniawan, 2005), mendefinisikan good governance sebagai
penyelenggaraan pemerintahan Negara yang solid dan bertanggung jawab,
serta efisien dan efektif dengan menjaga “kesinergisan” interaksi yang
konstruktif di antara domain-domain Negara, sektor swasta dan masyarakat (society).
- Peraturan
Pemerintah Nomor 101 tahun 2000, merumuskan arti good governance sebagai
berikut : “Kepemerintahan yang mengembangkan dan menerapkan
prinsip-prinsip profesionalitas, akuntabilitas, transparansi, pelayanan
prima, demokrasi, efisiensi, efektivitas, supremasi hukum dan dapat
diterima oleh seluruh masyarakat”.
Good governance dilaksanakan agar kinerja pemerintahan daerah lebih
terarah sesuai dengan kemampuan dan kapasitas yang memadai guna mencapai hasil
yang lebih baik dan terciptanya struktur pemerintahan yang ideal yang
berorientasi pada tujuan pembangunan nasional. Berdasarkan pengertian dan
definisi di atas, good governance berorientasi pada :
- Orientasi
ideal, negara yang diarahkan pada pencapaian tujuan nasional. Orientasi ini
bertitik tolak pada demokratisasi dalam kehidupan bernegara dengan elemen
konstituennya.
- Pemerintahan
yang berfungsi secara ideal, secara efektif dan efisien dalam melakukan
upaya mencapai tujuan nasional. Orientasi kedua ini tergantung pada
sejauhmana pemerintah mempunyai kompetensi, dan sejauhmana struktur serta
mekanisme politik serta administratif berfungsi secara efektif dan
efisien.
Lembaga Administrasi Negara (2000) menyimpulkan bahwa wujud good
governance penyelenggaraan pemerintahan yang solid dan bertanggungjawab,
serta efisien dan efektif, dengan menjaga “kesinergisan” interaksi yang
konstruktif diantara domain-domain negara, sektor swasta dan masyarakat.
Sehingga unsur-unsur dalam kepemerintahan (governance stakeholders)
dapat dikelompokan menjadi tiga kategori yaitu :
- Pemerintahan
(negara)
Negara yang diarahkan pada pencapaian tujuan nasional.
Konsepsi pemerintahan pada dasarnya adalah kegiatan kenegaraan, tetapi lebih
jauh dari melibatkan pula sektor swasta dan kelembagaan masyarakat madani.
- Sektor
Swasta
Pelaku
sektor swasta mencakup perusahaan swasta yang aktif dalam interaksi dalam
sistem pasar, seperti : industri pengolahan perdagangan, perbankan, dan
koperasi termasuk kegiatan sektor informal.
- Masyarakat
Madani
Kelompok
masyarakat dalam konteks kenegaraan pada dasarnya berada diantara atau
ditengah-tengah antara pemerintah, mencakup baik perseorangan maupun kelompok
masyarakat yang berinteraksi secara sosial, politik dan ekonomi.
B.
Prinsip Good Governance
Prinsip
dasar yang melandasi perbedaan antara konsepsi kepemerintahan (governance)
dengan pola pemerintahan yang tradisional, adalah terletak pada adanya tuntutan
yang demikian kuat agar peranan pemerintah dikurangi dan peranan masyarakat
(termasuk dunia usaha dan LSM/organisasi non pemerintah) semakin ditingkatkan
dan semakin terbuka aksesnya. Rencana Strategis Lembaga Administrasi Negara
tahun 2000-2004, disebutkan perlunya pendekatan baru dalam penyelenggaraan
negara dan pembangunan dan terarah pada terwujudnya kepemerintahan yang baik
yakni “proses pengelolaan pemerintahan yang demokratis, profesional menjunjung
tinggi supremasi hukum dan hak asasi manusia, desentralistik, partisipatif,
transparan, keadilan, bersih dan akuntabel, selain berdaya guna, berhasil guna
dan berorientasi pada peningkatan daya saing bangsa”.
Selain itu, Bhatta
(1996) mengungkapkan pula bahwa unsur utama governance, yaitu:
akuntabilitas (accountability), transparan (transparency),
keterbukaan (opennes), dan aturan hukum (rule of law) ditambah
dengan kompetensi manajemen (management competence) dan hak-hak asasi
manusia (human right). UNDP (dalam Mardiasmo, 2002) mengemukakan
bahwa karakteristik atau prinsip pada pelaksanaan good governance
meliputi :
- Partisipasi
(participation), keterlibatan masyarakat dalam pembuatan keputusan
baik secara langsung maupun tidak langsung, melalui lembaga perwakilan
yang dapat menyalurkan aspirasinya. Partisipasi tersebut dibangun atas
dasar kebebasan berasosiasi dan berbicara serta berpartisipasi secara
konstruktif.
- Aturan
hukum (rule of law), kerangka aturan hukum dan perundang-undangan
yang berkeadilan dan dilaksanakan secara utuh, terutama tentang hak asasi
manusia.
- Transparansi
(transparency), transparansi dibangun atas dasar kebebasan
memperoleh informasi. Informasi yang berkaitan dengan kepentingan publik
secara langsung dapat diperoleh oleh mereka yang membutuhkan.
- Daya
tanggap (responsivennes), setiap institusi/lembaga-lembaga publik
dan prosesnya harus diarahkan pada upaya untuk melayani berbagai pihak
yang berkepentingan (stakeholders).
- Berorientasi
konsensus (Consensus orientation), Pemerintahan yang baik akan
bertindak sebagai penengah bagi berbagai kepentingan yang berbeda untuk
mencapai konsensus atau kesempatan yang terbaik bagi kepentingan
masing-masing pihak, dan jika dimungkinkan juga dapat diberlakukan
terhadap berbagai kebijakan dan prosedur yang ditetapkan oleh pemerintah
serta berorientasi pada kepentingan masyarakat yang lebih luas.
- Keadilan
(equity), setiap masyarakat memiliki kesempatan sama untuk
memperoleh kesejahteraan dan keadilan.
- Efektivitas
dan Efisiensi (Efficiency and Effectivennes), setiap proses
kegiatan dan kelembagaan diarahkan untuk menghasilkan sesuatu yang benar-benar
sesuai dengan kebutuhan melalui pemanfaatan yang sebaik-baiknya berbagai
sumber-sumber yang tersedia serta pengelolaan sumber daya publik dilakukan
secara berdaya guna (efisien) dan berhasil guna (efektif).
- Akuntabilitas
(accountability), para pengambil keputusan dalam organisasi publik,
swasta, dan masyarakat madani memiliki pertanggungjawaban kepada publik
atas setiap aktivitas kegiatan yang dilakukan.
- Visi
strategis (strategic vision), penyelenggara pemerintahan yang baik
dan masyarakat harus memiliki visi yang jauh ke depan agar bersamaan
dirasakannya kebutuhan untuk pembangunan tersebut.
Keseluruhan karakteristik atau prinsip good
governance tersebut adalah saling memperkuat dan saling terkait serta tidak
bisa berdiri sendiri. Sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat empat prinsip
utama yang dapat memberi gambaran adminisitrasi publik yang berciri
kepemerintahan yang baik yaitu sebagai berikut :
- Akuntabilitas, adanya kewajiban bagi
aparatur pemeritah untuk bertindak selaku penanggung jawab dan penanggung
gugat atas segala tindakan dan kebijakan yang ditetapkannya.
- Transparansi, kepemerintahan yang baik akan
bersifat transparan terhadap rakyatnya baik ditingkat pusat maupun
daerah.
- Keterbukaan, menghendaki terbukanya
kesempatan bagi rakyat untuk mengajukan tanggapan dan kritik terhadap
pemerintah yang dinilainya tidak transparan.
- Aturan
hukum,
kepemerintahan yang baik mempunyai karakteristik berupa jaminan kepastian
hukum dan rasa keadilan masyarakat terhadap setiap kebijakan publik yang
ditempuh.
Robert Hass (dalam Sedarmayanti, 2000) juga memberi indikator tentang “good
governance” yang meliputi lima indikator, antara lain : Melaksanakan hak
asasi manusia, Masyarakat berpartisipasi dalam pengambilan keputusan politik,
Melaksanakan hukum untuk melindungi kepentingan masyarakat, Mengembangkan
ekonomi pasar atas dasar tanggung jawab kepada masyarakat, Orientasi politik
pemerintah menuju pembangunan. Indikator good governance yang
disampaikan oleh Robert Hass di atas sangatlah ringkas dan padat, namun
berorientasi pada tiga elemen pemerintahan yang berpengaruh terhadap
penyelenggaraan good governance,yakni pemerintah, sektor swasta, dan
masyarakat. Menurut pendapat Ganie Rochman, good governance memiliki
empat unsur utama, yang meliputi accountability, rule of law,
informasi dan transparansi (Sadjijono, 2005:195).
Nilai yang terkandung dari pengertian serta
karakteristik good governance tersebut di atas merupakan nilai-nilai
yang universal sifatnya dan sesuai amanat konstitusi, karena itu diperlukan
pengembangan dan penerapan sistem pertanggungjawaban yang tepat, jelas dan
nyata sehingga penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan dapat berlangsung
secara berdaya guna dan berhasil guna. Kondisi semacam ini ini perlu adanya
akuntabilitas dan tersedianya akses yang sama pada informasi bagi masyarakat
luas. Hal ini merupakan fondasi legitimasi dalam sistem demokrasi, mengingat
prosedur dan metode pembuatan keputusan harus transparan agar supaya
memungkinkan terjadinya partisipasi efektif. Di samping itu, institusi governance
harus efisien dan efektif dalam melaksanakan fungsi-fungsinya, responsif
terhadap kebutuhan masyarakat (Kurniawan, 2005:16).
Penerapan prinsip-prinsip good governance tidak
terlepas dari peran masyarakat, dan stakeholder yang berkepentingan
(sektor swasta, LSM/NGOs dan elit politik) demi memajukan pembangunan serta
pemerintahan daerah yang berguna bagi masyarakat. Dengan demikian, maka wujud good
governance adalah pelaksanaan prinsip-prinsip penyelenggaraan pemerintahan
daerah yang solid, kondusif dan bertangung jawab dengan menjaga kesinergisan
antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Terselenggaranya good
governance merupakan prasyarat utama untuk mewujudkan aspirasi masyarakat
dalam mencapai tujuan dan cita-cita bangsa dan negara. Oleh karena itu,
diperlukan pengembangan penerapan sistem pertanggungjawaban yang tepat, jelas,
nyata dan legitimate sehingga penyelenggaraan pemerintahan dan
pembangunan berlangsung secara berkesinambungan, berdaya guna, berhasil guna,
bersih dan bertanggung jawab serta bebas dari KKN.
PENEREPAN PRINSIP-PRINSIP GOOD
GOVERNANCE DALAM KAITANNYA KEPUASAN MASYARAKAT TERHADAP PELAYANAN PUBLIK
Konsep good governance ini munculnya
karena adanya ketidakpuasan pada kinerja pemerintahan yang selama ini dipercaya
sebagai penyelengggara urusan publik. Pendekatan penyelenggaraan urusan publik
yang bersifat sentralis, non partisifatif serta tidak akomodatif terhadap
kepentingan publik pada rezim-rezim terdahulu, harus diakui telah menumbuhkan
rasa tidak percaya dan bahkan antipati pada rezim yang berkuasa. Menurut
Edelman, hal seperti ini merupakan era anti birokrasi, era anti
pemerintah,Penerapan prinsip-prinsip good governance sangat penting
dalam pelaksanaan pelayanan publik untuk meningkatkan kinerja aparatur negara.
Hal ini disebabkan karena pemerintah merancang konsep prinsip-prinsip good
governance untuk meningkatkan potensi perubahan dalam birokrasi agar
mewujudkan pelayanan publik yang lebih baik, disamping itu juga Masyarakat
masih menganggap pelayanan publik yang dilaksanakan oleh birokrasi pasti
cenderung lamban, tidak profesional, dan biayanya mahal.
Gambaran buruknya birokrasi antara
lain organisasi birokrasi gemuk dan kewenangan antar lembaga yang tumpang
tindih; sistem, metode, dan prosedur kerja belum tertib; pegawai negeri sipil
belum profesional, belum netral dan sejahtera; praktik korupsi, kolusi dan
nepotisme masih mengakar; koordinasi, integrasi, dan sinkronisasi program belum
terarah; serta disiplin dan etos kerja aparatur negara masih rendah. Pendapat
tentang buruknya semua pelayanan yang dilaksanakan birokrasi menurut Pandji
Santosa merupakan pengaburan makna birokrasi yang berkembang di masyarakat dan
terus berlangsung oleh sikap diam masyarakat. Berbagai kondisi tersebut
mencerminkan bad governance dalam birokrasi di Indonesia
Paradigma tata kelola pemerintahan
telah bergeser dari government ke arah governance yang menekankan pada
kolaborasi dalam kesetaraan dan keseimbangan antara pemerintah, sektor swasta,
dan masyarakat madani. Pelayanan publik menjadi tolok ukur keberhasilan
pelaksanaan tugas dan pengukuran kinerja pemerintah melalui birokrasi.
Menerapkan praktik good governance
dapat dilakukan secara bertahap sesuai dengan kapasitas pemerintah, masyarakat
sipil, dan mekanisme pasar. Salah satu pilihan strategis untuk menerapkan good
governance di Indonesia adalah melalui penyelenggaraan pelayanan publik. Ada
beberapa pertimbangan mengapa pelayanan publik menjadi strategis untuk memulai
menerapkan good governance.
Pelayanan publik sebagai penggerak
utama juga dianggap penting oleh semua aktor dari unsur good governance. Para pejabat
publik, unsur-unsur dalam masyarakat sipil dan dunia usaha sama-sama memiliki
kepentingan terhadap perbaikan kinerja pelayanan publik. Ada tiga alasan
penting yang melatar-belakangi bahwa pembaharuan pelayanan publik dapat
mendorong praktik good governance di Indonesia. Pertama, perbaikan kinerja
pelayanan publik dinilai penting oleh stakeholders, yaitu pemerintah , warga,
dan sektor usaha. Kedua, pelayanan publik adalah ranah dari ketiga unsur
governance melakukan interaksi yang sangat intensif. Ketiga, nilai-nilai yang
selama ini mencirikan praktik good governance diterjemahkan secara lebih mudah
dan nyata melalui pelayanan publik
Fenomena pelayanan publik oleh
birokrasi pemerintahan sarat dengan permasalahan, misalnya prosedur pelayanan
yang bertele-tele, ketidakpastian waktu dan harga yang menyebabkan pelayanan
menjadi sulit dijangkau secara wajar oleh masyarakat. Hal ini menyebabkan
terjadi ketidakpercayaan kepada pemberi pelayanan dalam hal ini birokrasi
sehingga masyarakat mencari jalan alternatif untuk mendapatkan pelayanan
melalui cara tertentu yaitu dengan memberikan biaya tambahan. Dalam pemberian
pelayanan publik, disamping permasalahan diatas, juga tentang cara pelayanan
yang diterima oleh masyarakat yang sering melecehkan martabatnya sebagai warga
Negara. Masyarakat ditempatkan sebagai klien yang membutuhkan bantuan pejabat
birokrasi, sehingga harus tunduk pada ketentuan birokrasi dan kemauan dari para
pejabatnya. Hal ini terjadi karna budaya yang berkembang dalam birokrasi selama
ini bukan budaya pelayanan, tetapi lebih mengarah kepada budaya kekuasaan.
Untuk mengatasi kondisi tersebut
perlu dilakukan upaya perbaikan kualitas penyelenggaraan pelayanan publik yang
berkesinambungan demi mewujudkan pelayanan publik yang prima sebab pelayanan publik
merupakan fungsi utama pemerintah yang wajib diberikan sebaik-baiknya oleh
pejabat publik. Salah satu upaya pemerintah adalah dengan melakukan penerapan
prinsip-prinsip Good Governance, yang diharapkan dapat memenuhi pelayanan yang
prima terhadap masyarakat. Terwujudnya pelayanan publik yang berkualitas
merupakan salah satu ciri Good Governance. Untuk itu, aparatur Negara
diharapkan melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya secara efektif dan efesien.
Diharapkan dengan penerapan Good Governance dapat mengembalikan dan membangun
kembali kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.
Berdasarkan Berdasarkan uraian
diatas, penulis tertarik membahas persoalan tersebut dalam pembuatan makalah
ini penulis beri judul :
“ PENEREPAN PRINSIP-PRINSIP GOOD
GOVERNANCE DALAM KAITANNYA KEPUASAN MASYARAKAT TERHADAP PELAYANAN PUBLIK”
A. Good Governance
Governance, yang diterjemahkan
menjadi tata pemerintahan, adalah penggunaan wewenang ekonomi, politik dan
administrasi guna mengelola urusan-urusan negara pada semua tingkat. Tata
pemerintahan mencakup seluruh mekanisme, proses dan lembaga-lembaga dimana
warga dan kelompok-kelompok masyarakat mengutarakan kepentingan mereka,
menggunakan hak hukum, memenuhi kewajiban dan menjembatani perbedaan-perbedaan
diantara mereka.
Definisi lain menyebutkan governance
adalah mekanisme pengelolaan sumber daya ekonomi dan sosial yang melibatkan
pengaruh sektor negara dan sektor non-pemerintah dalam suatu usaha kolektif.
Definisi ini mengasumsikan banyak aktor yang terlibat dimana tidak ada yang
sangat dominan yang menentukan gerak aktor lain. Pesan pertama dari terminologi
governance membantah pemahaman formal tentang bekerjanya institusiinstitusi
negara. Governance mengakui bahwa didalam masyarakat terdapat banyak pusat
pengambilan keputusan yang bekerja pada tingkat yang berbeda
Lembaga Administrasi Negara (2000)
memberikan pengertian Good governance yaitu penyelenggaraan pemerintah negara
yang solid dan bertanggung jawab, serta efesien dan efektif, dengan menjaga
kesinergian interaksi yang konstruktif diantara domain-domain negara, sektor
swasta, dan masyarakat
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 101
Tahun 2000 prinsip-prinsip kepemerintahan yang baik terdiri dari:
1.
Profesionalitas, meningkatkan kemampuan dan moral penyelenggara pemerintahan
agar mampu memberi pelayanan yang mudah, cepat, tepat dengan biaya yang
terjangkau.
2. Akuntabilitas,
meningkatkan akuntabilitas para pengambil keputusan dalam segala bidang yang
menyangkut kepentingan masyarakat.
3. Transparansi,
menciptakan kepercayaan timbal balik antara pemerintah dan masyarakat melalui
penyediaan informasi dan menjamin kemudahan di dalam memperoleh informasi yang
akurat dan memadai.
4. Pelayanan
prima, penyelenggaraan pelayanan publik yang mencakup prosedur yang baik, kejelasan
tarif, kepastian waktu, kemudahan akses, kelengkapan sarana dan prasarana serta
pelayanan yang ramah dan disiplin.
5. Demokrasi dan
Partisipasi, mendorong setiap warga untuk mempergunakan hak dalam menyampaikan
pendapat dalam proses pengambilan keputusan, yang menyangkut kepentingan
masyarakat baik secara langsung maupun tidak langsung
6. Efisiensi dan
Efektifitas, menjamin terselenggaranya pelayanan kepada masyarakat dengan
menggunakan sumber daya yang tersedia secara optimal dan bertanggung jawab.
7. Supremasi hukum
dan dapat diterima oleh seluruh masyarakat, mewujudkan adanya penegakkan hukum
yang adil bagi semua pihak tanpa pengecualian, menjunjung tinggi HAM dan
memperhatikan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.
Karakteristik atau prinsip-prinsip
yang harus dianut dan dikembangkan dalam praktek penyelenggaraan kepemerintahan
yang baik (good governance) dikemukakan oleh UNDP (1997) yaitu meliputi:
1. Partisipasi
(Participation): Setiap orang atau warga masyarakat, baik laki-laki maupun
perempuan memiliki hak suara yang sama dalam proses pengambilan keputusan, baik
secara langsung maupun melalui lembaga perwakilan sesuai dengan kepentingan dan
aspirasinya masing-masing
2. Akuntabilitas
(Accountability): Para pengambil keputusan dalam sektor publik, swasta dan
masyarakat madani memiliki pertanggungjawaban (akuntabilitas) kepada publik,
sebagaimana halnya kepada stakeholders.
3. Aturan hukum
(Rule of law): Kerangka aturan hukum dan perundang-undangan harus berkeadilan,
ditegakkan dan dipatuhi secara utuh, terutama aturan hukum tentang hak azasi
manusia.
4. Transparansi
(Transparency): Transparansi harus dibangun dalam rangka kebebasan aliran
informasi. Informasi harus dapat dipahami dan dapat dimonitor.
5. Daya tangkap
(Responsiveness): Setiap intuisi dan prosesnya harus diarahkan pada upaya untuk
melayani berbagai pihak yang berkepentingan (stakeholders).
6. Berorientasi
konsensus (consensus Orientation): Pemerintah yang baik akan bertindak sebagai
penengah bagi berbagai kepentingan yang berbeda untuk mencapai konsensus atau
kesempatan yang terbaik bagi kepentingan yang berbeda untuk mencapai konsensus
atau kesempatan yang terbaik bagi kepentingan masing-masing pihak, dan berbagai
kebijakan dan prosedur yang akan ditetapkan pemerintah.
7. Berkeadilan
(Equity): Pemerintah yang baik akan memberikan kesempatan yang baik terhadap
laki-laki maupun perempuan dalam upaya mereka untuk meningkatkan kualitas
hidupnya.
8. Efektifitas dan
Efisiensi (Effectifitas and Effeciency): Setiap proses kegiatan dan kelembagaan
diarahkan untuk menghasilkan sesuatu yang benar-benar sesuai dengan kebutuhan
melalui pemanfaatan yang sebaik-baiknya dengan berbagai sumber yang tersedia.
9. Visi Strategis
(Strategic Vision): Para pemimpin dan masyarakat memiliki persfektif yang luas
dan jangka panjang tentang penyelenggaraan pemerintah yang baik dan pembangunan
manusia, bersamaan dengan dirasakannya kebutuhan untuk pembangunan tersebut.
B. Pelayanan
Publik
Pelayanan adalah suatu kegiatan atau
urutan kegiatan yang terjadi dalam interaksi langsung antar seseorang dengan
orang lain atau mesin secara fisik, dan menyediakan kepuasan pelanggan.
Sementara dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dijelaskan pelayana sebagai hal,
cara atau hasil pekerjaan melayani. Sedangkan melayani adalah menyuguhi (orang
dengan makanan atau minuman; menyediakan keperluan orang; mengiyakan, menerima;
menggunakan).
Menurut Undang-undang No. 25 Tahun
2009, Pelayanan publik adalah kegiatan atau rangkaian dalam rangka pemenuhan
kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap
warga Negara dan penduduk atas barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif
yang disediakan oleh penyelenggara publik.
Sementara itu istilah publik berasal
dari bahasa inggris public yang berarti umum, masyarakat, negara. Kata
publik sebenarnya sudah diterima menjadi bahasa Indonesia baku menjadi publik
yang berarti umum, orang banyak, ramai. Padanan kata yang tepat digunakan
adalah praja yang sebenarnya bermakna rakyat sehingga lahir istilah pamong
praja yang berarti pemerintah yang melayani kepentingan seluruh rakyat.
Oleh karena itu pelayanan publik
diartikan sebagai setiap kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah terhadap
sejumlah manusia yang memiliki setiap kegiatan yang menguntungkan dalam suatu
kumpulan atau kesatuan, dan menawarkan kepuasan meskipun hasilnya tidak terikat
pada suatu produk secara fisik.
Lijan Poltak Sinambela mengartikan
pelayanan publik sebagai pemberian layanan (melayani) keperluan orang atau
masyarakat yang mempunyai kepentingan pada organisasi itu sesuai dengan aturan
pokok yang telah ditetapkan. Pelayanan publik adalah pemenuhan keinginan dan
kebutuhan masyarakat pada penyelenggaraan negara. Negara didirikan oleh publik
atau masyarakat tentu saja dengan tujuan agar dapat meningkatkan kesejahteraan
masyarakat. Pada hakekatnya negara dalam hal ini birokrasi haruslah dapat
memenuhi kebutuhan masyarakat. Kebutuhan dalam hal ini bukanlah kebutuhan
secara individual akan tetapi berbagai kebutuhan yang sesungguhnya diharapkan
oleh masyarakat.
Tujuan pelayanan publik adalah
memuaskan dan bisa sesuai dengan keinginan masyarakat atau pelayanan pada
umumnya. Untuk mencapai hal ini diperlukan kualitas pelayanan yang sesuai
dengan kebutuhan dan keinginan masyarakat. Berdasarkan Keputusan Menteri
Pendayagunaan Aparatur Negara No 62 tahun 2003 tentang penyelenggaraan
pelayanan publik setidaknya mengandung sendi-sendi :
1. Kesederhanaan,
dalam arti prosedur atau tata cara pelayanan diselenggarakan secara cepat,
tidak berbelit-belit, mudah dipahami dan mudah dilaksanakan.
2. Kejelasan yang
mencakup :
a.Rincian biaya atau tarif pelayanan
publik.
b.Prosedur/tata cara umum, baik
teknis maupun administratif.
3. Kepastian
waktu, yaitu pelaksanaan pelayanan publik harus dapat diselesaikan dalam kurun
waktu yang telah ditentukan.
4. Kemudahan
akses, yaitu bahwa tempat dan lokasi serta sarana pelayanan yang memadai, mudah
dijangkau oleh masyarakat, dan dapat memanfaatkan teknologi telekomunikasi dan
informatika.
5. Kedisiplinan,
kesopanan dan keramahan, yakni memberi pelayanan harus bersikap disiplin, sopan
dan santun, ramah serta memberikan pelayanan dengan ikhlas.
6. Kelengkapan
sarana dan prasarana kerja, peralatan kerja dan pendukung lainnya yang memadai
termasuk penyediaan sarana teknologi telekomunikasi dan informatika
BAB III
PENGARUH PENERAPAN PRINSIP GOOD
GOVERNANCE DALAM PELAYANAN PUBLIK TERHADAP TINGKAT KEPUASAN
MASYARAKAT
A. Penerapan
Prinsip-Prinsip Good Governance dalam Pelayanan Publik.
Upaya untuk menghubungkan
tata-pemerintahan yang baik dengan pelayanan publik barangkali bukan merupakan
hal yang baru. Namun keterkaitan antara konsep good-governance
(tata-pemerintahan yang baik) dengan konsep public service (pelayanan publik)
tentu sudah cukup jelas logikanya publik dengan sebaik-baiknya. Argumentasi
lain yang membuktikan betapa pentingnya pelayanan publik ialah keterkaitannya
dengan tingkat kesejahteraan rakyat. Inilah yang tampaknya harus dilihat secara
jernih karena di negara-negara berkembang kesadaran para birokrat untuk
memberikan pelayanan yang terbaik kepada masyarakat masih sangat rendah.
Secara garis besar, permasalahan
penerapan Good Governance meliputi :
1. reformasi
birokrasi belum berjalan sesuai dengan tuntutan masyarakat;
2. tingginya
kompleksitas permasalahan dalam mencari solusi perbaikan;
3. masih tingginya
tingkat penyalahgunaan wewenang, banyaknya praktek KKN, dan masih lemahnya
pengawasan terhadap kinerja aparatur;
4. makin
meningkatnya tuntutan akan partisipasi masyarakat dalam kebijakan publik;
5. meningkatnya
tuntutan penerapan prinsip-prinsip tata kepemerintahan yang baik antara lain
transparansi, akuntabilitas dan kualitas kinerja publik serta taat pada hukum;
6. meningkatnya
tuntutan dalam pelimpahan tanggung jawab, kewenangan dan pengambilan keputusan
dalam era desentralisasi;
7. rendahnya
kinerja sumberdaya manusia dan kelembagaan aparatur; sistem kelembagaan
(organisasi) dan ketatalaksanaan (manajemen) pemerintahan daerah yang belum memadai;
Untuk mengatasi permasalahan
tersebut dalam buku van walt yang berjudul changing public services values mengatakan
bahwa para birokrat bekerja dalam sebuah bermuatan nilai dan lingkungan yang
yang didorong oleh sejumlah nilai. nilai-nilai ini yang menjadi pijakan dalam
segala aktivitas birokrasi saat memberi pelayanan publik.
terkait dengan pernyataan tersebut
ada beberapa nilai yang harus dipegang teguh para formulator saat mendesain
suatu naklumat pelayanan. beberapa nilai yang dimaksud yakni
1.
kesetaraan
2.
keadilan
3.
keterbukaan
4.
kontinyuitas dan regualitas
5.
partisipasi
6.
inovasi dan perbaikan
7.
efesiensi
8.
efektifitas
Dengan metode tersebut
penerapan prinsip good governance dalam pelayanan publik akan berjalan sesuai
dengan prinsip-prinsip good governance yang telah diatur dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 101 Tahun 2000.
B. Pengaruh Penerapan
Prinsip Good Governance dalam Pelayanan Publik Terhadap Tingkat Kepuasan
masyarakat
Penyelenggaraan pemerintahan,
pembangunan dan pelayanan publik menurut paradigma good governance, dalam
prosesnya tidak hanya dilakukan oleh pemerintah daerah berdasarkan pendekatan
rule government (legalitas), atau hanya untuk kepentingan pemeintahan daerah.
Paradigma good governance, mengedepankan proses dan prosedur, dimana dalam
proses persiapan, perencanaan, perumusan dan penyusunan suatu kebijakan
senantiasa mengedepankan kebersamaan dan dilakukan dengan melibatkan seluruh
pemangku kepentingan.
Pelibatan elemen pemangku
kepentingan di lingkungan birokrasi sangat penting, karena merekalah yang
memiliki kompetensi untuk mendukung keberhasilan dalam pelaksanaan kebijakan.
Pelibatan masyarakat juga harus dilakukan, dan seharusnya tidak dilakukan
formalitas, penjaringan aspirasi masyarakat (jaring asmara) tehadap para
pemangku kepentingan dilakukan secara optimal melalui berbagai teknik dan
kegiatan, termasuk di dalam proses perumusan dan penyusunan kebijakan.
Penyelenggaraan pemerintahan yang
baik, pada dasarnya menuntut keterlibatan seluruh komponen pemangku
kepentingan, baik di lingkungan birokrasi maupun di lingkungan masyarakat.
Penyelenggaraan pemerintahan yang baik, adalah pemerintah yang dekat dengan
masyarakat dan dalam memberikan pelayanan harus sesuai dengan kebutuhan
masyarakat. Esensi kepemerintahan yang baik (good governance) dicirikan dengan
terselenggaranya pelayanan publik yang baik, hal ini sejalan dengan esensi
kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah yang ditujukan untuk memberikan
keleluasaan kepada daerah mengatur dan mengurus masyarakat setempat, dan
meningkatkan pelayanan publik.
Beberapa pertimbangan mengapa
pelayanan publik (khususnya dibidang perizinan dan non perizinan) menjadi
strategis, dan menjadi prioritas sebagai kunci masuk untuk melaksanakan
kepemerintahan yang baik di Indonesia. Salah satu pertimbangan mengapa
pelayanan publik menjadi strategis dan prioritas untuk ditangani adalah, karena
dewasa ini penyelenggaraan pelayanan publik sangat buruk dan signifikan dengan
buruknya penyelenggaraan good governance. Dampak pelayanan publik yang buruk
sangat dirasakan oleh warga dan masyarakat luas, sehingga menimbulkan
ketidakpuasan dan ketidakpercayaan terhadap kinerja pelayanan pemerintah.
Buruknya pelayanan publik, mengindikasikan kinerja manajemen pemerintahan yang kurang
baik.
Kinerja manajemen pemerintahan yang
buruk, dapat disebabkan berbagai faktor, antara lain: ketidakpedulian dan
rendahnya komitmen top pimpinan, pimpinan manajerial atas, menengah dan bawah,
serta aparatur penyelenggara pemerintahan lainnya untuk berama-sama mewujudkan
tujuan otonomi daerah. Selain itu, kurangnya komitmen untuk menetapkan dan
melaksanakan strategi dan kebijakan meningkatkan kualitas manajemen kinerja dan
kualitas pelayanan publik. Contoh: Banyak Pemerintah Daerah yang gagal dan/atau
tidak optimal melaksanakan kebijakan pelayanan terpadu satu atap, tetapi banyak
yang berhasil menerapkan kebijakan pelayanan terpadu satu atap seperti yang
dilakukan oleh pemerintah kota solo yang secara tegas memberlakukan kebijakan
tersebut misalnya dalam pembuatan KTP yang biasanya dalam pengurusan KTP
tersebut membutuhkan waktu sekitar dua minggu, yang dilakukan oleh walikota
solo adalah dengan cara mebuat efesien pelayan pembuatan KTP itu hanya dengan
satu jam saja.
Walikota Solo juga menmbuat
semacam kartu jaminan kesehatan bagi warga miskin yang sudah terdata secara
komputerisasi dan sehingga dalam pelayanan kesehatan tersebut warga di kota
Solo tidak lagi harus membuat surat tanda tidak mampu dari RT maupun
kelurahannya karena sudag terdata secara baik dan benar[10].
Meningkatnya kualitas pelayanan
publik, sangat dipengaruhi oleh kepedulian dan komitmen pimpinan/top manajer
dan aparat penyelenggara pemerintahan untuk menyelenggarakan kepemerintahan
yang baik. Perubahan signifikan pelayanan publik, akan dirasakan manfaatnya
oleh masyarakat dan berpengaruh terhadap meningkatnya kepercayaan masyarakat
kepada pemerintah daerah.
Terselenggaranya pelayanan publik
yang baik, memberikan indikasi membaiknya kinerja manajemen pemerintahan,
disisi lain menunjukan adanya perubahan pola pikir yang berpengaruh terhadap
perubahan yang lebih baik terhadap sikap mental dan perilaku aparat
pemerintahan yang berorientasi pada pelayanan publik.
Tidak kalah pentingnya, pelayanan
publik yang baik akan berpengaruh untuk menurunkan atau mempersempit terjadinya
KKN dan pungli yang dewasa ini telah merebak di semua lini ranah pelayanan
publik, serta dapat menghilangkan diskriminasi dalam pemberian pelayanan. Dalam
kontek pembangunan daerah dan kesejahteraan masyarakat, perbaikan atau
peningkatan pelayanan publik yang dilakukan pada jalur yang benar, memiliki
nilai strategis dan bermanfaat bagi peningkatan dan pengembangan investasi dan
mendorong kegiatan pembangunan yang dilakukan oleh masyarakat luas (masyarakat
dan swasta).
Paradigma good governance, dewasa
ini merasuk di dalam pikiran sebagian besar stakeholder pemerintahan di pusat
dan daerah, dan menumbuhkan semangat pemerintah daerah untuk memperbaiki dan
meningkatkan kinerja mamajemen pemerintahan daerah, guna meningkatkan kualitas
pelayanan publik. Banyak pemerintah daerah yang telah mengambil langkah-langkah
positif didalam menetapkan kebijakan peningkatan kualitas pelayanan publik
berdasarkan prinsip-prinsip good governance.
Paradigma good governance menjadi
relevan dan menjiwai kebijakan pelayanan publik di era otonomi daerah yang
diarahkan untuk meningkatkan kinerja manajemen pemerintahan, mengubah sikap
mental, perilaku aparat penyelenggara pelayanan serta membangun kepedulian dan
komitmen pimpinan daerah dan aparatnya untuk memperbaiki dan meningkatkan
pelayanan publik yang berkualitas.
. Desentralisasi dan Reformasi Pelayanan Publik
Otonomi daerah menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004 adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan
masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat
sesuai dengan perundang-undangan. Dengan otonomi daerah berarti telah
dipindahkan sebagian besar kewenangan yang tadinya berada di pemerintah pusat
kepada daerah otonom, sehingga pemerintah daerah otonom dapat lebih cepat dalam
merespon tuntutan masyarakat sesuai dengan kemampuan yang dimiliki. Karena
kewenangan membuat kebijakan (perda) sepenuhnya menjadi wewenang daerah otonom,
maka dengan otonomi daerah pelaksanaan tugas umum pemerintahan dan pembangunan
diharapkan akan dapat berjalan lebih cepat dan lebih berkualitas.
Beberapa aspek yang perlu mendapat perhatian serius
dalam pelaksanaan otonomi daerah antara lain pelayanan publik, formasi jabatan,
pengawasan keuangan daerah dan pengawasan independen. Yang perlu dikedepankan
oleh pemerintah daerah adalah bagaimana pemerintah daerah mampu membangun
kelembagaan daerah yang kondusif, sehingga dapat mendesain standar Pelayanan
Publik yang mudah, murah dan cepat. Pelayanan publik merupakan bagian dari
pemerintahan yang baik (good governance) yang salah satu parameternya adalah
cara aparatur pemerintah memberikan pelayanan kepada rakyat. Prinsip good
governance bisa terwujud jika pemerintahan diselenggarakan secara transparan,
responsif, partisipatif, taat hukum (rule of law), sesuai konsensus,
nondiskriminasi, akuntabel, serta memiliki visi yang strategis.
Bila kita mengamati lebih dalam praktik negara atau
pemerintah kita terkait dengan pelayanan publik, maka tampak jelas bahwa arah
dan kebijakan layanannya tidak pasti. Masyarakat atau rakyat pada dasarnya
memiliki hak-hak dasar, yang harus menjadi tanggung jawab pemerintah untuk
memenuhinya atau paling tidak terjamin pelaksanaannya. Akan tetapi, dalam
realitasnya, banyak arah dan kebijakan layanan publik tidak ditujukan guna
peningkatan kesejahteraan publik. Namun sebaliknya, layanan publik mendorong
masyarakat atau rakyat untuk “melayani” elit penguasa.
Pemerintah melahirkan berbagai kebijakan dalam bentuk
hukum, perundang-undangan, peraturan-peraturan dan lainnya bertalian dengan
layanan publik. Berbagai kebijakan itu katanya bermaksud hendak melindungi
hak-hak warga negara, meskipun dalam praktiknya banyak yang melanggar
kepentingan warga negara, misalnya penggusuran lahan rakyat untuk bangunan
super market. Pengalihan fungsi lahan pertanian menjadi lahan perumahan dan
industri adalah kebijakan layanan publik yang melanggar hak-hak warga, khususnya
kaum tani. Pelayanan publik yang buruk merupakan salah satu bentuk
penyimpangan, penyalahgunaan wewenang, dan maladministrasi.
Maladministrasi adalah tindakan atau perilaku
penyelenggara administrasi negara dalam pemberian pelayanan publik yang bertentangan
dengan kaidah serta hukum yang berlaku. Atau, menyalahgunakan wewenang
(detournement de pouvoir) yang menimbulkan kerugian serta ketidakadilan.
Prinsip “kalau bisa dipersulit kenapa harus dipermudah” salah satunya juga
dimotivasi perilaku mencari keuntungan sesaat kalangan aparatur pemerintah yang
bertugas memberikan pelayanan publik. Masyarakat yang tidak tahan diperlakukan
demikian oleh pemberi pelayanan publik akhirnya terjebak ikut berbuat tercela
dengan memberikan suap kepada aparat selaku pemberi layanan.
Reformasi pelayanan publik ternyata masih tertinggal
dibanding reformasi di berbagai bidang lainnya. Sistem dan filsafat yang
mendasari pelayanan publik di Indonesia tidak hanya ketinggalan jaman, tetapi
juga menghasilkan kinerja dibawah standar dalam masyarakat yang berubah secara
cepat. Kita masih jauh tertinggal dibanding Filipina, Malaysia dan Thailand
dalam indikator-indikator gabungan kualitas birokrasi, korupsi, dan kondisi
sosial ekonomi.
Pendidikan, Kesehatan dan Hukum (administrasi) adalah
tiga komponen dasar pelayanan publik yang harus diberikan oleh penyelenggaran
negara (pemerintah) kepada rakyat. Hingga saat ini, pelayanan tersebut tampak
belum maksimal. Kondisi iklim investasi, kesehatan, dan pendidikan saat ini
sangat tidak memuaskan, sebagai akibat tidak jelasnya dan rendahnya kualitas
pelayanan yang ditawarkan oleh institusi-institusi pemerintahan. Bahkan muncul
berbagai permasalahan; masih terjadinya diskriminasi pelayanan, tidak adanya
kepastian pelayanan, birokrasi yang terkesan berbelit-belit serta rendahnya
tingkat kepuasan masyarakat. Faktor-faktor penyebab buruknya pelayanan publik
selama ini antara lain:
• Kebijakan
dan keputusan yang cenderung menguntungkan para elit politik dan sama sekali
tidak pro rakyat.
• Kelembagaan
yang dibangun selalu menekankan sekedar teknis-mekanis saja dan bukan pedekatan
pe-martabat-an kemanusiaan.
• Kecenderungan
masyarakat yang mempertahankan sikap nrima (pasrah) apa adanya yang telah
diberikan oleh pemerintah sehingga berdampak pada sikap kritis masyarakat yang
tumpul.
• Adanya
sikap-sikap pemerintah yang berkecenderungan mengedepankan informality
birokrasi dan mengalahkan proses formalnya dengan asas mendapatkan keuntungan
pribadi.
Salah satu faktor penyebab utama dari keterpurukan
sektor perekonomian adalah masih kuatnya prilaku koruptif di dalam berbagai
aspek kehidupan, terutama di sektor birokrasi dengan salah satu fokus utamanya
di sektor pelayanan publik. Konsekuensinya, timbullah biaya ekonomi tinggi yang
berdampak kepada rendahnya daya saing Indonesia dibandingkan negara berkembang
lainnya dalam menarik investasi dan dalam memasarkan komoditinya baik di dalam
negeri maupun ke luar negeri. Akibatnya, pertumbuhan ekonomi menjadi terhambat,
yang kemudian bermuara pada stagnannya proses peningkatan kesejahteraan rakyat.
Masih kuatnya perilaku koruptif ini salah satunya
dibuktikan dengan dari masih rendahnya Corruption Perception Index (CPI)
Indonesia tahun 2006 yang dikeluarkan oleh Transparency International Indonesia
(TII) , yaitu 2,4 – naik 0,2 point dari CPI tahun 2005. Sensus pegawai negeri
yang baru-baru ini dilakukan oleh Badan Kepegawaian Negara (BKN) menunjukkan
bahwa ada Penyelanggaraan Pemerintahan kita melibatkan 3,6 juta pegawai negeri,
tetapi anggaran negara menunjukan bahwa jumlahnya hanya sedikit kurang dari 4
juta. Dengan kata lain, hampir 400 ribu pegawai negeri yang ada dalam daftar
gaji tidak bekerja untuk negara. Kenyataan ini memberikan dasar yang kuat untuk
menelaah kembali anggaran kepegawaian, berbagai posisi dan fungsi kepegawaian,
serta untuk membangun rencana strategis menghadapi berbagai ketidakwajaran yang
ada, yang memperburuk kondisi anggaran dan berpengaruh terhadap pelayanan
publik.
Pemerintah perlu menyusun Standar Pelayanan bagi
setiap institusi di daerah yang bertugas memberikan pelayanan kepada
masyarakat. Deregulasi dan Debirokratisasi mutlak harus terus menerus dilakukan
oleh Pemda, serta perlu dilakukan evaluasi secara berkala agar pelayanan publik
senantiasa memuaskan masyarakat. Ada lima cara perbaikan di sektor pelayanan
publik yang patut dipertimbangkan: Mempercepat terbentuknya UU Pelayanan
Publik, Pembentukan pelayanan publik satu atap (one stop services),
Transparansi biaya pengurusan pelayanan publik, Membuat Standar Operasional
Prosedur (SOP), dan reformasi pegawai yang berkecimpung di pelayanan publik.
Pelaksanaan Otonomi Daerah memungkinkan pelaksanaan
tugas umum Pemerintahan dan tugas Pembangunan berjalan lebih efektif dan
efisien serta dapat menjadi sarana perekat Integrasi bangsa. Untuk menjamin
agar pelaksanaan otonomi daerah benar-benar mampu meningkatkan kesejahteraan
masyarakat setempat, maka segenap lapisan masyarakat baik mahasiswa, LSM, Pers
maupun para pengamat harus secara terus menerus memantau kinerja Pemda dengan
mitranya DPRD agar tidak disalahgunakan untuk kepentingan mereka sendiri,
transparansi, demokratisasi dan akuntabilitas harus menjadi kunci
penyelenggaraan pemerintahan yang Good dan Clean Government.
Pemerintah memang tidak memiliki paradigma yang jelas
dalam soal layanan publik dan mempertahankan birokrasi yang feodal.
Transformasi paradigmatik, disain ulang sistem dan organisasi layanan publik
harus dilakukan agar pemerintah menjadi handal melakukan kewajiban publiknya.
Sejatinya, Excelent Service harus menjadi acuan dalam mendesain struktur
organisasi di pemerintah daerah. Bila semua daerah otonom dapat
menyelenggarakan pemerintahan secara bersih dan demokratis, maka pemerintah
kita secara nasional pada suatu saat nanti akan dapat menjadi birokrasi yang
bersih dan profesional sehingga mampu menjadi negara besar yang diakui dunia.
Dunia saat ini telah berada dalam era yang disebut
globalisasi, kondisi dimana terjadi perubahan signifikan dalam kehidupan suatu
masyarakat yang tidak lagi dapat dibatasi oleh sekedar batas administrasi
kewilayahan, karena pesatnya penemuan-penemuan teknologi. Globalisasi
dipengaruhi oleh inovasi teknologi di satu sisi dan persaingan dalam era
perdagangan bebas di sisi lain”. Sementara W.W. Rostow (1960) dengan teorinya
tentang lima tahapan pertumbuhan menunjukkan bahwa suatu komunitas bangsa
tingkatan pertumbuhannya dapat dilihat dari sudut pandang ekonomi dalam lima
kategori: “It is possible to identify all societies, in their economic
dimensions, as lying within one of five categories: the traditional society,
the preconditions for take-off, the take-off, the drive to maturity, and the
age of high mass-consumption”.
Sejalan dengan pendapat Rostow, era globalisasi saat
ini mengindikasikan bahwa masyarakat dunia pada umumnya telah memasuki tahapan
the age of high mass-consumption atau tingkatan kelima. Kondisi dimana terjadi
pergeseran pada sektor-sektor dominan terhadap kebutuhan barang dan jasa
sejalan dengan peningkatan pendapatan masyarakat. Sebagian besar masyarakat
telah terpenuhi kebutuhan dasarnya yakni sandang, pangan dan papan serta
berubahnya struktur angkatan kerja yang meningkat tidak hanya proporsi jumlah
penduduk perkotaan melainkan juga jumlah angkatan kerja yang terampil.
Menghadapi kondisi masyarakat tersebut di atas, maka
diperlukan peran administrasi negara dan pemerintahan dalam memberikan
pelayanan secara efiktif, efisien dan secara profesional. Tantangan perubahan
masyarakat dan tantangan terhadap kinerja pemerintahan selain menghadapi
masyarakat yang semakin cerdas dan masyarakat yang semakin banyak
tuntutannya/variatif serta memenuhi standar kualitatif sangatlah terbatas, pada
akhir kekuasaan Orde Baru pun, birokrasi pernah dikritik habis-habisan oleh
kalangan gerakan pro-reformasi. “Birokrasi dianggap sebagai salah satu ”penyakit”
yang menghambat akselerasi kesejahteraan masyarakat dan penyelenggaraan
pemerintahan yang sehat“ (Edi Siswadi, 2005). Ungkapan klasik dan kritis
seperti “kalau bisa dipersulit, kenapa harus dipermudah”, misalnya, berkembang
seiring dengan penampakan kinerja aparatur yang kurang baik di mata masyarakat.
Ungkapan itu menggambarkan betapa buruknya perilaku pelayanan birokrasi kita
yang berpotensi menyuburkan praktik percaloan dan pungutan liar (rent seeking).
Kondisi inilah yang sebetulnya memunculkan iklim investasi di daerah kurang
kompetitif. Kondisi pelayanan seperti ini perlu segera direformasi guna
mewujudkan kinerja birokrasi dan kinerja pelayanan publik yang berkualitas.
Menghadapi kondisi ini maka pemerintah sebagai pelayan
publik perlu mengupayakan untuk menekan sekecil mungkin terjadinya kesenjangan
antara tuntutan pelayanan masyarakat dengan kemampuan aparatur pemerintah untuk
memenuhinya, sebab keterbatasan sarana dan prasarana yang telah ada tidak dapat
dijadikan sebagai alasan pembenar tentang rendahnya kualitas pelayanan kepada
masyarakat. Kemandirian dan kemampuan yang handal dari pemerintah merupakan
syarat tetap terpeliharanya kepercayaan masyarakat kepada pemerintah untuk
memenuhi segala kebutuhan pelayanan umumnya.
Dalam kaitan inilah maka pemerintah perlu memiliki
semangat kewirausahaan (entrepreneurship). Ide penataan ulang pemerintahan ini
sejalan dengan pemikiran dan perkembangan administrasi negara yang berusaha
melakukan reinventing government pada awal tahun 1990-an. Salah satu ide pokok
dari perubahan administrasi negara tersebut adalah pentingnya “public service”
sebagai orientasi dari birokrasi pemerintahan.
Perubahan mendasar dalam struktur birokrasi
berlangsung sangat cepat. Semenjak reformasi, pemerintah pusat telah merekonstruksi
struktur birokrasi pemerintah daerah dua kali. Masing-masing melalui UU Nomor
22 Tahun 1999 dan UU Nomor 32 Tahun 2004. Penataan birokrasi pemerintah daerah,
secara normatif merupakan bagian dari rekayasa sosial guna mengatasi krisis
multidimensi yang melanda. Dalam skala kecil atau mikro, hal ini dilakukan
untuk kepentingan memulihkan krisis kepercayaan masyarakat terhadap birokrasi.
Dalam skala makro untuk menciptakan lingkungan kerja dan budaya organisasi yang
sehat dan kondusif, sehingga tingkat kepuasaan masyarakat (customer
satisfaction) meningkat dan iklim investasi menyehat (Edi Siswadi, dalam
Pikiran Rakyat, 2005).
Untuk mewujudkan tujuan itu, perlu ada penataan
administrasi negara dan birokrasi pemerintahan dalam rangka membangun kinerja
pemerintahan yang efektif, efisien, dan profesional. Setidaknya, “stempel” yang
diberikan masyarakat mengenai buruk dan berbelit-belitnya birokrasi pada
pemerintah baik pusat ataupun di daerah dapat dikurangi. Peran administrasi
negara dan pemerintahan di masa mendatang dengan melihat beberapa tuntutan
masyarakat diatas dengan kondisi pemerintah sebagai pelayan masyarakat saat ini
yaitu : (1) Pemerintahan dengan system Birokrasi yang lamban dan terpusat; (2)
Pemenuhan terhadap ketentuan dan peraturan (bukannya berorientasi misi); (3)
Rantai hierarki/komando yang rigid; maka pemerintah saat ini harus berupaya
merubah perannya untuk masa yang akan datang yaitu melalui penerapan konsep
Reinventing Government.
Prinsip-prinsip Reinventing Government :
1. Mengarahkan Ketimbang Mengayuh (Steering Rather
Than Rowing) Berfokus pada pengarahan, bukan pada produksi pelayanan public.
•Memisahkan fungsi ”mengarahkan” (kebijaksanaan dan regulasi) dari fungsi
”mengayuh” (pemberian layanan dan compliance). •Peranan pemerintah lebih
sebagai fasilitator dari pada langsung melakukan semua kegiatan operasional;
•Metode
-metode yang digunakan antara lain : privatisasi,
lisensi, konsesi, kerjasama operasional, kontrak, voucher, insentif pajak, dll.
Pemerintah harus menyediakan (providing) beragam pelayanan publik, tetapi tidak
harus terlibat secara langsung dengan proses produksinya (producing).
Pemerintah memfokuskan pada pemberian arahan, sedangkan produksi pelayanan
publik diserahkan kepada swasta atau pihak ketiga. Produksi pelayanan publik
oleh Pemerintah harus dijadikan sebagai perkecualian, bukan suatu keharusan.
Pemerintah hanya memproduksi pelayanan publik yang belum dapat dilakukan pihak
non publik.
2. Pemerintah adalah Milik Masyarakat : Memberdayakan
Ketimbang Melayani (Empowering raher than Serving ). •Mendorong mekanisme
control atas pelayanan lepas dari birokrasi dan diserahkan kepada masyarakat;
•Masyarakat dapat membangkitkan komitmen mereka yang lebih kuat, perhatian
lebih baik dan lebih kreatif dalam memecahkan masalah; •Mengurangi
ketergantungan masyarakat kepada pemerintah. Dengan adanya prinsip ini,
Pemerintah sebaiknya memberi wewenang kepada masyarakat, sehingga menjadi
masyarakat yang mampu menolong dirinya sendiri (community self-help).
3. Pemerintah yang kompetitif : Menyuntikkan
persaingan dalam pemberian pelayanan (Injecting Competition into service
Delivery) •Pemberian jasa/layanan harus bersaing dalam usaha berdasarkan
kinerja dan harga •Persaingan adalah kekuatan yang fundamental yang tidak
memberikan pilihan lain yang harus dilakukan oleh organisasi public; •Pelayanan
public yang dilaksanakan oleh Pemerintah tidak bersifat monopoli tetapi harus
bersaing •Masyarakat dapat memilih pelayanan yang disukainya.Oleh sebab itu
pelayanan sebaiknya mempunyai alternative. Kompetisi merupakan satu-satunya
cara untuk menghemat biaya sekaligus meningkatkan kualitas pelayanan. Dengan
kompetisi, banyak pelayanan publik yang dapat ditingkatkan kualitasnya tanpa
harus memperbesar biaya.
4. Pemerintah Digerakkan oleh Misi : Mengubah
organisasi yang digerakkan oleh peraturan (Transforming Rule-Driven
Organizations) menjadi digerakkan oleh misi (mission-driven). •Secara internal,
dapat dimulai dengan mengeliminasi peraturan internal dan secara radikal
menyederhanakan system administrasi. •Perlu ditinjau kembali visi tentang apa
yang harus dilakukan oleh pemerintah •Misi pemerintah harus jelas dan peraturan
perundangan tidak boleh bertentangan dengan misi tersebut. Apa yang dapat dan
tidak dapat dilakukan oleh Pemerintah diatur dalam mandatnya. Tujuan Pemerintah
bukan mandatnya, tetapi misinya. Contoh: Cara penyusunan APBD. APBD memang
harus disusun berdasarkan suatu prosedur yang benar dan baku, tetapi pemenuhan
prosedur bukanlah tujuan. Tujuan APBD adalah meningkatkan kesejahteraan
masyarakatnya.
5. Pemerintah yang berorientasi hasil: Membiayai hasil
bukan masukan (Funding outcomes, Not input). a.Berusaha mengubah bentuk
penghargaan dan insentif: membiayai hasil dan bukan masukan. b.Mengembangkan
standar kerja, yang mengukur seberapa baik mampu memecahkan masalah. c.Semakin
baik kinerja, semakin banyak dana yang dialokasikan untuk mengganti dana yang
dikeluarkan unit kerja.
6. Pemerintah berorientasi pada pelanggan: Memenuhi
kebutuhan pelanggan, bukan birokrasi (Meeting the Needs of Customer, not be
Bureaucracy) •Mengidentifikasi pelanggan yang sesungguhnya. •Pelayanan
masyarakat harus berdasarkan pada kebutuhan riil, dalam arti apa yang diminta
masyarakat •Instansi pemerintah harus responsif terhadap perubahan kebutuhan
dan selera konsumen; •Perlu dilakukan penelitian untuk mendengarkan pelanggan
mereka, •Perlu penetapan standar pelayanan kepada pelanggan •Pemerintah perlu
meredesain organisasi mereka untuk memberikan nilai maksimum kepada para
pelanggannya. •Menciptakan dual accountability (masyarakat dan bisnis, serta
DPRD dan pejabat).
7. Pemerintah wirausaha: Menghasilkan ketimbang
membelanjakan (Earning Rather than Spending) •Pemerintah wirausaha memfokuskan
energinya bukan hanya membelanjakan uang (melakukan pengeluaran uang) melainkan
memperolehnya. •Dapat diperoleh dari biaya yang dibayarkan pengguna dan biaya
dampaknya (impact fees); pendapatan atas investasinya dan dapat menggunakan
insentif seperti dana usaha (swadana) •Partisipasi pihak swasta perlu
ditingkatkan sehingga dapat meringankan beban pemerintah. Contoh pelaksanaan :
a.Dapat mengembangkan beberapa pusat pendapatan, misal : BPS dan Bappeda dapat
menjual informasi tentang daerahnya kepada pusat-pusat penelitian. b.BUMD
menjual barang maupun jasa c.Memberi hak guna usaha, menyertakan modal dan
lain-lain.
8. Pemerintah antisipatif (anticipatory government):
Mencegah ketimbang Mengobati (Preventon Rather than Cure) •Bersikap proaktif
•Menggunakan perencanaan strategis untuk menciptakan visi daerah. •Visi
membantu meraih peluang tidak terduga, menghadapi krisis tidak terduga, tanpa
menunggu perintah.
9. Pemerintah desentralisasi (decentralized
government): Dari hierarki menuju partisipasi dan tim kerja (From Hierarchy to
Participation and Teamwork) Dengan melihat beberapa tantangan dari masyarakat,
diantaranya : (a) Perkembangan teknologi sudah sangat maju. (b) Kebutuhan
masyarakat dan bisnis semakin kompleks. (c) Staf banyak yang berpendidikan
tinggi Maka pemerintah perlu untuk : •Menurunkan wewenang melalui organisasi,
dengan mendorong mereka yang berurusan langsung dengan pelanggan untuk lebih
banyak membuat keputusan (Pengambilan keputusan bergeser kepada masyarakat,
asosiasi, pelanggan, LSM.) •Tujuan : Untuk memudahkan partisipasi masyarakat,
serta terciptanya suasana kerja Tim. •Pejabat yang langsung berhubungan dengan
masyarakat (from-line workers) harus diberi kewenangan yang sesuai. Karena
dengan kewenangan yang diberikan akan memeungkikan terjadinya koordinasi “cross
functional” antar semua instansi yang terkait.
10. Pemerintah berorientasi pada mekanisme pasar
(market oriented government) : Mendongkrak perubahan melalui pasar (Leveraging
change throught the Market) Mengadakan perubahan dengan mekanisme pasar (
sistem insentif ) dan bukan dengan mekanisme administratif (sistem prosedur dan
pemaksaan). Ada dua cara alokasi sumberdaya, yaitu mekanisme pasar dan
mekanisme administratif. Mekanisme pasar terbukti yang terbaik di dalam
mengalokasi sumberdaya. (a) Pemerintah wirausaha menggunakan mekanisme pasar,
tidak memerintah dan mengawasi, tetapi mengembangkan dan menggunakan sistem
insentif agar tidak merugikan masyarakat. (b) Lebih baik merekstrukturisasi
pasar guna memecahkan masalah daripada menggunakan mekanisme administrasi
seperti pemberian layanan atau regulasi, komando dan control; (c) Tidak semua
pelayanan public harus dilakukan oleh pemerintah sendiri. (d) Kebijaksanaan
public harus dapat memanfaatkan mekanisme pasar untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat. (e) Partisipasi pihak swasta perlu ditingkatkan.
Fungsi dan Kedudukan
Rencana Strategis
Menyadari
pentingnya rencana strategi bagi suatu komunitas dalam mendukung upaya
perdamaian, maka seluruh pemangku kepentingan yang terlibat meliputi, pimpinan,
tokoh masyarakat, pemerintah, lembaga swadaya, termasuk pihak lainnya secara
bersama-sama dalam mengembangkan arah (sense of direction) dan mengidentifikasi
prioritas isu atau akar penyebab konflik yang akan diselesaikan. Dengan kata
lain pengembangan visi, misi, maksud (goal) dan tujuan (objective) yang akan dicapai
merupakan konsensus bersama atau “sharing” dari semua yang terlibat dalam
proses perencanaan strategis.
Keberhasilan sebuah proses
perencanaan strategis akan sangat tergantung kemampuan masyarakat dalam
membangun visi keberhasilan, membuat proyeksi dan harapan tentang perubahan
lingkungan ke depan. Perencanaan diuji dalam rentang waktu dan model manajemen
sumber daya yang tepat melalui analisis dan kajian secara
komprehensif—partisipatif. Hal ini akan membantu masyarakat melakukan
antisipasi dan merespon terhadap perubahan yang terjadi melalui klarifikasi
visi, misi, maksud dan tujuan, menyempurnakan program, penggalangan dana, dan
aspek operasi lainnya. Beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan agar
perencanaan strategis sukses dalam penyelesaian masalah dan konflik dalam
jangka panjang sebagai berikut.
- Program strategis
sebagai pedoman komprehensif yang jelas untuk menghadapi berbagai
tantangan dan peluang eksternal.
- Suatu penilaian
komprehensif dan realistis dari keterbatasan dan kekuatan yang dimiliki
komunitas.
- Menerapkan
pendekatan inklusif yang mendorong berbagai pihak yang terlibat dalam
konflik untuk menentukan sukses di masa depan.
- Suatu pemberdayaan
komite perencanaan.
- Keterlibatan dari
pemimpin dan tokoh masyarakat.
- Mempertajam
tanggung jawab seluruh elemen dalam masyarakat untuk melaksanakannya.
- Belajar dari
praktek yang terbaik (Learning from best practices).
- Prioritas dan
rencana pelaksanaannya.
- Komitmen para
pemangku kepentingan untuk berubah.
Manfaat Rencana Strategis
Perencanaan strategis memiliki fungsi sebagai alat untuk
menentukan arah dan tujuan pembangunan terhadap perubahan dengan
memperhitungkan kapasitas dan sumber daya yang tersedia. Perencanaan disusun
untuk mengantisipasi perubahan sebagai respon terhadap dinamika perubahan dan
kompleksitas lingkungan. Misalnya, sebagai akibat terjadi perubahan dinamika
masyarakat akibat bencana alam atau konflik sosial yang menuntut perbaikan
kehidupan masyarakat secara cepat mencakup pelayanan dasar, pemberdayaan
ekonomi, keamanan, kebutuhan lainnya, sementara sumberdaya semakin terbatas.
Rencana strategi sebagai perangkat manajemen untuk mencapai tujuan
dan hasil secara terukur. melalui perencanaan seluruh pemangku kepentingan
secara periodik dituntut melaksanakan kegiatan dalam mencapai tujuan dan
menyempurnakan hasil (outcome). Dalam banyak hal perbaikan hasil menuntut
formulasi rencana yang memungkinkan sistem bekerja dan fokus terhadap prioritas
tuntutan secara efektif dan efisien. Rencana Strategis memungkinkan organisasi
atau pemerintahan mengembangkan sistem yang mampu secara berkelanjutan
melakukan perbaikan pada semua tingkatan termasuk mengendalikan dampak dan
resiko pembangunan itu sendiri.
Identifikasi profil kapasitas kelembagaan pemerintahan dalam
kerangka penguatan perdamaian menggambarkan bagaimana struktur pengelolaan
pembangunan yang tanggap terhadap dinamika konflik. Perencanaan
bermanfaat untuk mengidentifikasikan keterbatasan dan kekuatan
kelembagaan yang terlibat dalam upaya membangun struktur masyarakat yang lebih
baik dan damai. Melalui proses perencanaan strategis masing-masing pihak baik
pemerintah, non-pemerintah, swasta, institusi informal, dan pihak lainnya
menilai situasi masyarakat saat ini untuk menentukan orientasi ke depan.
Bagaimana lembaga masyarakat mampu bekerja secara benar dan menilai hal-hal
yang menjadi kekuatan dan kelemahan. Memfokuskan visi dan tujuan
masyarakat di masa depan. Perencanaan strategis dapat membantu para pemangku
kepentingan untuk menentukan arah terbaik masa depannya. Perencanaan Strategis
melibatkan usaha disiplin untuk mempertajam dan memandu menentukan bagaimana
keadaan komunitas, peran dan fungsi setiap unsur, dan pembagian kerja.
Disamping itu membantu mendapatkan informasi dalam secara mendalam, menggali
berbagai gagasan, menentukan alternatif, dan menghadapi implikasi masa depan
secara kreatif dengan keputusan yang diambil saat ini.
Mendorong komunikasi antarberbagai pihak yang terlibat dalam
pembangunan. Perencanaan strategis mendorong semua pihak yang terlibat dalam
konflik untuk menemukenali berbagai kebutuhan, kesamaan dan menghindari
kesenjangan dan menyatukan tujuan kemudian merencanakan masa depan sesuai
dengan harapan bersama. Meskipun sangat sulit mengambil keputusan dengan orang,
kelompok, atau komunitas yang memiliki perbedaan visi terhadap masa depan.
Namun melalui perencanaan strategis hal ini dapat diselesaikan secara
partisipatif, terbuka dan komunikasi efektif, mengakomodasi tata nilai dan
keinginan yang berbeda, dan mencari pengambilan keputusan secara bertahap.
Memudahkan penerimaan (adaptable) dari berbagai kepentingan dan
situasi yang dinamis. Walaupun perencanaan strategis memerlukan pendekatan
jangka panjang, tetapi juga menggunakan metode untuk menentukan kemajuan,
akses, validitas informasi dan mempertahankan fleksibilitas rencana. Setiap
keputusan yang telah diambil dalam bentuk rencana tataruang dapat dikaji
kembali atau disesuaikan sebagai respon terhadap perubahan masyarakat,
globalisasi, hubungan antarpihak dan manfaat dari peluang yang ada. Rencana strategis
mengatur target kinerja, pola kerjasama penilaian kemajuan program, membantu
membuat prioritas pembangunan, menyediakan pedoman pelaksanaan kegiatan,
rencana sumber dana (modal) dan penganggaran.
Penting untuk mendukung klien. Perencanaan Strategis menentukan
hal-hal yang diperlukan organisasi untuk memenuhi harapan penerima manfaat.
Proses perencanaan strategis memungkinkan anda melakukan identifikasi
organisasi, kelompok, komunitas, dan para pemangku kepentingan lain, serta
terhadap kebutuhan dan harapan mereka.
Menentukan kebutuhan dan dukungan dana untuk mencapai tujuan. Berbagai sumber dana memberikan perhatian terhadap fokus rencana yang realistis dan memiliki dampak terhadap perubahan masyarakat secara menyeluruh. Rencana yang baik akan menentukan kebutuhan dana dan bagaimana memenuhinya. Banyak sumber pendanaan secara kuat mendukung perencanaan strategis untuk memberikan dukungan secara kontinyu baik dari pemerintah dan lembaga international lainnya. Banyak organisasi publik dan Negara donor mensyaratkan adanya perencanaan strategis sebagai bagian dari aplikasi permintaan dana atau bantuan hibah untuk kebutuhan pembangunan.
Menentukan kebutuhan dan dukungan dana untuk mencapai tujuan. Berbagai sumber dana memberikan perhatian terhadap fokus rencana yang realistis dan memiliki dampak terhadap perubahan masyarakat secara menyeluruh. Rencana yang baik akan menentukan kebutuhan dana dan bagaimana memenuhinya. Banyak sumber pendanaan secara kuat mendukung perencanaan strategis untuk memberikan dukungan secara kontinyu baik dari pemerintah dan lembaga international lainnya. Banyak organisasi publik dan Negara donor mensyaratkan adanya perencanaan strategis sebagai bagian dari aplikasi permintaan dana atau bantuan hibah untuk kebutuhan pembangunan.
Komponen Program Strategis
Dalam merumuskan rencana strategis untuk komunitas dilakukan
melalui proses atau tahapan tertentu agar menghasilkan sebuah perencanaan
pembangunan yang mencerminkan kebutuhan nyata. Berbagai metode perencanaan
pembangunan dikemukakan oleh para ahli dengan memberikan panduan pelaksanaan
dengan tahap-tahap kegiatan secara spesifik. Secara prinsip terdapat beberapa
tahapan yang harus dipenuhi dalam proses penyusunan rencana strategis, yaitu:
tahap identifikasi isu-isu penting melalui analisis masalah; penentuan tujuan
dan saran; perumusan visi, misi, program, dan strategi. Perencanaan strategis
memberikan kejelasan tentang apa yang sebenarnya ingin dicapai dan bagaimana
mencapainya. Perencanaan strategis menyediakan gambaran besar dari apa yang
tujuan dan prosedur pelaksanaannya.
Tata Nilai
Tata nilai (value based) merupakan seperangkat prinsip, norma aturan
yang diyakini sebagai cara yang benar (ideal) dalam menentukan tindakan,
bekerja atau berhubungan dengan masyarakat. Tata nilai masyarakat berupa
prinsip-prinsip dasar yang bersifat filosofis sebagai panduan kerja anggota,
kelompok atau masyarakat. Nilai-nilai sebagai dasar dalam memelihara hubungan
antarberbagai pihak dengan masyarakat (penerima manfaat) atau pemangku
kepentingan (stakeholders) lainnya. Tata nilai akan menentukan kerangka
kerja—strategi dan prinsip-prinsip operasional yang digunakan oleh komunitas
atau organisasi. Misalnya, nilai keterbukaan, pertanggungjawaban,
profesionalisme, memberikan pelayanan prima kepada masyarakat. Tata nilai
sebagai prinsip kerja dalam perencanaan strategis sebaiknya ditetapkan oleh
masyarakat dalam proses perencanaan. Klarifikasi dan konsensus pada nilai-nilai
yang telah disepakati sangat penting karena akan menjadi dasar pertimbangan di
dalam membuat keputusan (kebijakan).
Perumusan Visi
Visi merupakan suatu pemikiran atau pandangan kedepan, tentang
apa, kemana dan bagaimana mencapai suatu keadaan masyarakat yang damai dan
sejahtera di masa depan. Visi adalah rumusan umum mengenai keadaan yang
diinginkan pada akhir periode program, untuk mewujudkan sasaran yang mungkin
dicapai dalam jangka waktu tertentu. Visi merupakan dorongan dan gambaran
mental masyarakat dalam mementukan langkah terhadap masa depannya. Kalimat yang
sering digunakan menjelaskan suatu pernyataan visi berifat membangkitkan
semangat (inspiring), bercita-cita tinggi (aspiring) dan memotivasi (motivating).
Dalam pernyataan visi terkandung berbagai nilai sebagai berikut:
- Membangun komitmen dan kehidupan masyarakat dan pihak yang
terlibat dalam penyelesaian konflik.
- Menciptakan makna bagi kehidupan masyarakat yang lebih baik
di masa yang akan datang.
- Menciptakan standar keunggulan dan target pencapaian secara
terukur.
- Menjembatani keadaan sekarang dan keadaan masa depan.
Perumusan Misi
Misi adalah pernyataan yang luas atau umum tentang sesuatu yang
akan dilakukan untuk mewujudkan visi yang telah dirumuskan. Misi merupakan
langkah-langkah startegis yang dirumuskan berdasarkan kondisi nyata, pemangku
kepentingan, dan asumsi yang mendasarinya. Dengan demikian, misi merupakan
rumusan umum mengenai upaya yang akan dilaksanakan oleh para pemangku kepentingan
untuk mencapai visi. Dalam misi dinyatakan tujuan dan sasaran yang ingin
dicapai dalam kurung waktu tertentu melalui pertimbangan strategi yang telah
ditentukan. Misi disusun untuk mencapai visi dengan cara memperhatikan kondisi
umum komunitas, tata ruang, pemangku kepentingan yang terlibat dalam konflik,
sejarah, nilai-nilai dan arah pembangunan daerah (misalnya RPJPD atau RJPMD).
Misi mencerminkan upaya sistematis menjalankan fungsi dan peran masyarakat
dalam membangun perubahan dan perdamaian secara berkelanjutan.
Tujuan dan Sasaran
Tujuan (goals) adalah suatu perubahan perilaku atau hasil yang
dicapai pada jangka waktu periode perencanaan. Misalnya dalam rencana
pembangunan ditetapkan tujuan untuk 1 (satu) hingga 5 (lima) tahun. Pada
umumnya penetapan tujuan didasarkan pada faktor-faktor kunci keberhasilan yang
dilakukan setelah penetapan visi dan misi. Tujuan tidak selalu harus dinyatakan
dalam bentuk kuantitatif, tetapi harus menunjukkan suatu kondisi atau keadaan
spesifik yang hendak dicapai. Tujuan lebih bersifat operasional serta dapat
ditentukan indikator dan alat ukurnya. Tujuan akan mengarahkan perumusan
sasaran, kebijakan, program, dan kegiatan dalam mewujudkan misi. Tujuan harus
dapat menyediakan dasar yang kuat untuk menetapkan indikator kinerja. Sasaran
(objectives) adalah penjabaran dari tujuan secara terukur, yaitu sesuatu yang
akan dicapai atau dihasilkan secara nyata oleh masyarakat dalam jangka waktu
tertentu (tahunan, semester, triwulan, bulanan). Sasaran harus menggambarkan
hal yang ingin dicapai melalui tindakan atau kegiatan untuk mencapai tujuan
yang telah ditetapkan. Sasaran memberikan fokus dalam penyusunan kegiatan
secara spesifik, rinci, terukur dan realistis untuk dicapai.
Kebijakan
Kebijakan adalah ketentuan yang telah disepekati dan ditetapkan oleh yang berwenang sebagai pedoman, pegangan atau petunjuk bagi setiap pemangku kepentingan baik aparatur pemerintah, swasta, LSM, kelompok perempuan ataupun masyarakat agar tercapai, berjalan dengan lancar dan terpadu dalam upaya mencapai sasaran, tujuan, misi dan visi. Uraian tentang aktivitas atau program yang dilaksanakan oleh masyarakat harus menjelaskan proses kegiatan dalam mencapai sasaran dan tujuan secara terukur serta memberikan kontribusi dalam pencapaian visi dan misi. Kegiatan yang menjadi perhatian utama adalah tugas pokok dan fungsi pemangku kepentingan, program kerja yang ditetapkan, prioritas yang berhubungan dengan masalah yang akan diselesaikan konsisten dengan visi, misi, tujuan dan sasaran. Langkah-langkah perumusan kebijakan sebagai berikut:
Kebijakan adalah ketentuan yang telah disepekati dan ditetapkan oleh yang berwenang sebagai pedoman, pegangan atau petunjuk bagi setiap pemangku kepentingan baik aparatur pemerintah, swasta, LSM, kelompok perempuan ataupun masyarakat agar tercapai, berjalan dengan lancar dan terpadu dalam upaya mencapai sasaran, tujuan, misi dan visi. Uraian tentang aktivitas atau program yang dilaksanakan oleh masyarakat harus menjelaskan proses kegiatan dalam mencapai sasaran dan tujuan secara terukur serta memberikan kontribusi dalam pencapaian visi dan misi. Kegiatan yang menjadi perhatian utama adalah tugas pokok dan fungsi pemangku kepentingan, program kerja yang ditetapkan, prioritas yang berhubungan dengan masalah yang akan diselesaikan konsisten dengan visi, misi, tujuan dan sasaran. Langkah-langkah perumusan kebijakan sebagai berikut:
- Mengklarifikasi tujuan dan sasaran yang akan dicapai.
- Menentukan dan mengklarifikasi prioritas dan isu-isu kritis
yang akan diselesaikan.
- Merumuskan program atau kegiatan yang akan dilaksanakan
sebagai respon dari masalah atau isu-isu kritis.
- Menyusun arah kebijakan berdasarkan pengelompokkan program
atau kegiatan yang akan dilaksanakan dengan mengacu pada tujuan dan
sasaran.
Strategi
Strategi adalah cara, metode, pendekatan, tata aturan atau pedoman untuk mencapai tujuan dan sasaran secara efektif dan efisien. Strategi dibutuhkan untuk memperjelas arah dan tujuan pencapaian program atau implementasinya. Strategi merupakan alat penghubung antara visi, misi, tujuan, sasaran dan arah kebijakan pembangunan (peace building) dengan realita dalam masyarakat. Dalam merumuskan strategi pembangunan terlebih dahulu dilakukan identifikasi akar penyebab konflik, menganalisis perekat dan pemecah (divider-conector) serta penggunaan SWOT sangat membantu membuat pilihan strategi identifikasi, penentuan kekuatan, memecahkan kelemahan, memanfaat-kan peluang, dan menghindarkan ancaman.
Strategi adalah cara, metode, pendekatan, tata aturan atau pedoman untuk mencapai tujuan dan sasaran secara efektif dan efisien. Strategi dibutuhkan untuk memperjelas arah dan tujuan pencapaian program atau implementasinya. Strategi merupakan alat penghubung antara visi, misi, tujuan, sasaran dan arah kebijakan pembangunan (peace building) dengan realita dalam masyarakat. Dalam merumuskan strategi pembangunan terlebih dahulu dilakukan identifikasi akar penyebab konflik, menganalisis perekat dan pemecah (divider-conector) serta penggunaan SWOT sangat membantu membuat pilihan strategi identifikasi, penentuan kekuatan, memecahkan kelemahan, memanfaat-kan peluang, dan menghindarkan ancaman.
0 komentar:
Posting Komentar