Model kepemimpinan
didasarkan pada pendekatan yang mengacu kepada hakikat kepemimpinan yang
berlandaskan pada perilaku dan keterampilan seseorang yang berbaur kemudian
membentuk gaya
kepemimpinan yang berbeda. Beberapa
model yang menganut pendekatan ini, di antaranya adalah sebagai berikut.
Model
Kepemimpinan Kontinum
(Otokratis-Demokratis). Tannenbaun dan Schmidt dalam Hersey dan Blanchard
(1994) berpendapat bahwa pemimpin mempengaruhi pengikutnya melalui beberapa
cara, yaitu dari cara yang menonjolkan sisi ekstrim yang disebut dengan
perilaku otokratis sampai dengan cara yang menonjolkan sisi ekstrim lainnya
yang disebut dengan perilaku demokratis. Perilaku otokratis, pada umumnya
dinilai bersifat negatif, di mana sumber kuasa atau wewenang berasal dari
adanya pengaruh pimpinan. Jadi otoritas berada di tangan pemimpin, karena
pemusatan kekuatan dan pengambilan keputusan ada pada dirinya serta memegang
tanggung jawab penuh, sedangkan bawahannya dipengaruhi melalui ancaman dan
hukuman. Selain bersifat negatif, gaya kepemimpinan ini mempunyai manfaat
antara lain, pengambilan keputusan cepat, dapat memberikan kepuasan pada
pimpinan serta memberikan rasa aman dan keteraturan bagi bawahan. Selain itu,
orientasi utama dari perilaku otokratis ini adalah pada tugas.
Perilaku
demokratis; perilaku kepemimpinan ini memperoleh sumber kuasa atau wewenang
yang berawal dari bawahan. Hal ini terjadi jika bawahan dimotivasi dengan tepat
dan pimpinan dalam melaksanakan kepemimpinannya berusaha mengutamakan kerjasama
dan team work untuk mencapai tujuan, di mana si pemimpin senang
menerima saran, pendapat dan bahkan kritik dari bawahannya. Kebijakan di sini
terbuka bagi diskusi dan keputusan kelompok.
Namun,
kenyataannya perilaku kepemimpinan ini tidak mengacu pada dua model perilaku
kepemimpinan yang ekstrim di atas, melainkan memiliki kecenderungan yang
terdapat di antara dua sisi ekstrim tersebut. Tannenbaun dan Schmidt dalam
Hersey dan Blanchard (1994) mengelompokkannya menjadi tujuh kecenderungan perilaku
kepemimpinan. Ketujuh perilaku inipun tidak mutlak melainkan akan memiliki
kecenderungan perilaku kepemimpinan mengikuti suatu garis kontinum dari sisi
otokratis yang berorientasi pada tugas sampai dengan sisi demokratis yang berorientasi
pada hubungan.
Model
Kepemimpinan Ohio. Dalam
penelitiannya, Universitas Ohio melahirkan teori dua faktor tentang gaya
kepemimpinan yaitu struktur inisiasi dan konsiderasi
(Hersey dan Blanchard, 1992). Struktur inisiasi mengacu kepada
perilaku pemimpin dalam menggambarkan hubungan antara dirinya dengan anggota
kelompok kerja dalam upaya membentuk pola organisasi, saluran komunikasi, dan
metode atau prosedur yang ditetapkan dengan baik. Adapun konsiderasi mengacu
kepada perilaku yang menunjukkan persahabatan, kepercayaan timbal-balik, rasa
hormat dan kehangatan dalam hubungan antara pemimpin dengan anggota stafnya
(bawahan). Adapun contoh dari faktor konsiderasi misalnya pemimpin menyediakan
waktu untuk menyimak anggota kelompok, pemimpin mau mengadakan perubahan, dan pemimpin
bersikap bersahabat dan dapat didekati. Sedangkan contoh untuk faktor struktur
inisiasi misalnya pemimpin menugaskan tugas tertentu kepada anggota kelompok,
pemimpin meminta anggota kelompok mematuhi tata tertib dan peraturan standar,
dan pemimpin memberitahu anggota kelompok tentang hal-hal yang diharapkan dari
mereka. Kedua faktor dalam model kepemimpinan Ohio tersebut dalam
implementasinya mengacu pada empat kuadran, yaitu : (a) model kepemimpinan yang
rendah konsiderasi maupun struktur inisiasinya, (b) model kepemimpinan yang
tinggi konsiderasi maupun struktur inisiasinya, (c) model kepemimpinan yang
tinggi konsiderasinya tetapi rendah struktur inisiasinya, dan (d) model
kepemimpinan yang rendah konsiderasinya tetapi tinggi struktur inisiasinya.
Model
Kepemimpinan Likert (Likert’s
Management System). Likert dalam Stoner (1978) menyatakan bahwa dalam
model kepemimpinan dapat dikelompokkan dalam empat sistem, yaitu sistem
otoriter, otoriter yang bijaksana, konsultatif, dan partisipatif. Penjelasan dari keempat sistem tersebut adalah seperti yang
disajikan pada bagian berikut ini.
Sistem Otoriter (Sangat
Otokratis). Dalam sistem ini, pimpinan menentukan semua keputusan yang
berkaitan dengan pekerjaan, dan memerintahkan semua bawahan untuk
menjalankannya. Untuk itu, pemimpin juga menentukan standar pekerjaan yang
harus dijalankan oleh bawahan. Dalam menjalankan pekerjaannya, pimpinan
cenderung menerapkan ancaman dan hukuman. Oleh karena itu, hubungan antara
pimpinan dan bawahan dalam sistem adalah saling curiga satu dengan lainnya.
Sistem Otoriter Bijak (Otokratis
Paternalistik). Perbedaan dengan sistem sebelumnya adalah terletak kepada
adanya fleksibilitas pimpinan dalam menetapkan standar yang ditandai dengan
meminta pendapat kepada bawahan. Selain itu, pimpinan dalam sistem ini juga
sering memberikan pujian dan bahkan hadiah ketika bawahan berhasil bekerja
dengan baik. Namun demikian, pada sistem inipun, sikap pemimpin yang selalu
memerintah tetap dominan.
Sistem Konsultatif. Kondisi
lingkungan kerja pada sistem ini dicirikan adanya pola komunikasi dua arah
antara pemimpin dan bawahan. Pemimpin dalam menerapkan kepemimpinannya
cenderung lebih bersifat menudukung. Selain itu sistem kepemimpinan ini juga
tergambar pada pola penetapan target atau sasaran organisasi yang cenderung
bersifat konsultatif dan memungkinkan diberikannya wewenang pada bawahan pada
tingkatan tertentu.
Sistem Partisipatif. Pada sistem
ini, pemimpin memiliki gaya
kepemimpinan yang lebih menekankan pada kerja kelompok sampai di tingkat bawah.
Untuk mewujudkan hal tersebut, pemimpin biasanya menunjukkan keterbukaan dan
memberikan kepercayaan yang tinggi pada bawahan. Sehingga dalam proses
pengambilan keputusan dan penentuan target pemimpin selalu melibatkan bawahan.
Dalam sistem inipun, pola komunikasi yang terjadi adalah pola dua arah dengan
memberikan kebebasan kepada bawahan untuk mengungkapkan seluruh ide ataupun
permasalahannya yang terkait dengan pelaksanaan pekerjaan.
Dengan demikian, model
kepemimpinan yang disampaikan oleh Likert ini pada dasarnya merupakan
pengembangan dari model-model yang dikembangkan oleh Universitasi Ohio , yaitu dari sudut
pandang struktur inisasi dan konsiderasi.
Model Kepemimpinan Managerial Grid. Jika dalam model Ohio , kepemimpinan
ditinjau dari sisi struktur inisiasi dan konsideransinya, maka dalam model manajerial
grid yang disampaikan oleh Blake dan Mouton dalam Robbins (1996)
memperkenalkan model kepemimpinan yang ditinjau dari perhatiannya terhadap
tugas dan perhatian pada orang. Kedua sisi tinjauan model kepemimpinan ini
kemudian diformulasikan dalam tingkatan-tingkatan, yaitu antara 0 sampai dengan
9. Dalam pemikiran model managerial grid adalah seorang pemimpin
selain harus lebih memikirkan mengenai tugas-tugas yang akan dicapainya juga
dituntut untuk memiliki orientasi yang baik terhadap hubungan kerja dengan
manusia sebagai bawahannya. Artinya bahwa seorang pemimpin tidak dapat hanya
memikirkan pencapaian tugas saja tanpa memperhitungkan faktor hubungan dengan
bawahannya, sehingga seorang pemimpin dalam mengambil suatu sikap terhadap
tugas, kebijakan-kebijakan yang harus diambil, proses dan prosedur penyelesaian
tugas, maka saat itu juga pemimpin harus memperhatikan pola hubungan dengan
staf atau bawahannya secara baik. Menurut Blake dan Mouton ini, kepemimpinan
dapat dikelompokkan menjadi empat kecenderungan yang ekstrim dan satu
kecenderungan yang terletak di tengah-tengah keempat gaya ekstrim tersebut. Gaya kepemimpinan tersebut adalah :
Grid 1.1 disebut Impoverished leadership (Model Kepemimpinan yang
Tandus), dalam kepemimpinan ini si pemimpin selalu menghidar dari segala bentuk
tanggung jawab dan perhatian terhadap bawahannya.
Grid 9.9 disebut Team
leadership (Model Kepemimpinan Tim), pimpinan menaruh perhatian besar
terhadap hasil maupun hubungan kerja, sehingga mendorong bawahan untuk berfikir
dan bekerja (bertugas) serta terciptanya hubungan yang serasi antara pimpinan
dan bawahan.
Grid 1.9 disebut Country
Club leadership (Model Kepemimpinan Perkumpulan), pimpinan lebih
mementingkan hubungan kerja atau kepentingan bawahan, sehingga hasil/tugas
kurang diperhatikan.
Grid 9.1 disebut Task
leadership (Model Kepemimpinan Tugas), kepemimpinan ini bersifat otoriter
karena sangat mementingkan tugas/hasil dan bawahan dianggap tidak penting
karena sewaktu-waktu dapat diganti.
Grid 5.5 disebut
Middle of the road (Model Kepemimpinan Jalan Tengah), di mana si
pemimpin cukup memperhatikan dan mempertahankan serta menyeimbangkan antara
moral bawahan dengan keharusan penyelesaian pekerjaan pada tingkat yang memuaskan,
di mana hubungan antara pimpinan dan bawahan bersifat kebapakan.
Berdasakan uraian di atas, pada
dasarnya model kepemimpinan manajerial grid ini relatif lebih rinci dalam
menggambarkan kecenderungan kepemimpinan. Namun demikian, tidak dapat
dipungkiri bahwasanya model ini merupakan pandangan yang berawal dari pemikiran
yang relatif sama dengan model sebelumnya, yaitu seberapa otokratis dan
demokratisnya kepemimpinan dari sudut pandang perhatiannya pada orang dan
tugas.
Model
Kepemimpinan Kontingensi. Model kepemimpinan kontingensi dikembang-kan oleh Fielder. Fielder dalam
Gibson, Ivancevich dan Donnelly (1995) berpendapat bahwa gaya kepemimpinan yang
paling sesuai bagi sebuah organisasi bergantung pada situasi di mana pemimpin
bekerja. Menurut model kepemimpinan ini, terdapat tiga variabel utama yang
cenderung menentukan apakah situasi menguntukang bagi pemimpin atau tidak.
Ketiga variabel utama tersebut adalah : hubungan pribadi pemimpin dengan para
anggota kelompok (hubungan pemimpin-anggota); kadar struktur tugas yang
ditugaskan kepada kelompok untuk dilaksanakan (struktur tugas); dan kekuasaan
dan kewenangan posisi yang dimiliki (kuasa posisi).
Berdasar
ketiga variabel utama tersebut, Fiedler menyimpulkan bahwa : para pemimpin yang
berorientasi pada tugas cenderung berprestasi terbaik dalam situasi kelompok
yang sangat menguntungkan maupun tidak menguntungkan sekalipun; para pemimpin
yang berorientasi pada hubungan cenderung berprestasi terbaik dalam
situasi-situasi yang cukup menguntungkan.
Dari
kesimpulan model kepemimpinan tersebut, pendapat Fiedler cenderung kembali pada
konsep kontinum perilaku pemimpin. Namun perbedaannya di sini adalah bahwa
situasi yang cenderung menguntungkan dan yang cenderung tidak menguntungkan
dipisahkan dalam dua kontinum yang berbeda.
Model
Kepemimpinan Tiga Dimensi. Model
kepemimpinan ini dikembangkan oleh Redin. Model tiga dimensi ini, pada dasarnya
merupakan pengembangan dari model yang dikembangkan oleh Universitas Ohio dan
model Managerial Grid. Perbedaan utama dari dua model ini adalah adanya
penambahan satu dimensi pada model tiga dimensi, yaitu dimensi efektivitas,
sedangkan dua dimensi lainnya yaitu dimensi perilaku hubungan dan dimensi
perilaku tugas tetap sama.
Intisari
dari model ini terletak pada pemikiran bahwa kepemimpinan dengan kombinasi
perilaku hubungan dan perilaku tugas dapat saja sama, namun hal tersebut tidak
menjamin memiliki efektivitas yang sama pula. Hal ini terjadi karena perbedaan
kondisi lingkungan yang terjadi dan dihadapi oleh sosok pemimpin dengan
kombinasi perilaku hubungan dan tugas yang sama tersebut memiliki perbedaan.
Secara umum, dimensi efektivitas lingkungan terdiri dari dua bagian, yaitu
dimensi lingkungan yang tidak efektif dan efektif. Masing-masing bagian dimensi
lingkungan ini memiliki skala yang sama 1 sampai dengan 4, dimana untuk
lingkungan tidak efektif skalanya bertanda negatif dan untuk lingkungan yang
efektif skalanya bertanda positif.