BAB I
Pendahuluan
1.1. Latar Belakang Masalah
Kasus
yang akan dibahas tentang perebutan pulau dengan negara tetangga yaitu Malaysia
yang masih berada satu kawasan dengan Indonesia.
Konflik Sipadan dan Ligitan adalah persengketaan
Indonesia dan Malaysia atas pemilikan terhadap kedua pulau yang berada di Selat
Makassar yaitu pulau Sipadan (luas: 50.000 meter²) dengan koordinat:
4°6′52,86″LU 118°37′ 43,52″BT dan pulau Ligitan (luas: 18.000 meter²) dengan
koordinat: 4°9′LU 118°53′BT. Sikap Indonesia semula ingin membawa masalah ini
melalui Dewan Tinggi ASEAN namun akhirnya sepakat untuk menyelesaikan sengketa
ini melalui jalur hukum Mahkamah Internasional.
Untuk
itulah diperlukan satu sistem perpolitikan yang mengatur hubungan antar
negara-negara yang letaknya berdekatan diatas permukaan bumi ini. Sistem
politik tersebut dinamakan geopolitik yang mutlak dimiliki dan diterapkan oleh
setiap negara di sekitarnya tak terkecuali Indonesia. Indonesia pun harus
memiliki sistem geopolitik yang cocok diterapkan dengan kondisi kepulauannya
yang unik dan letak Geografi. 73 negara Indonesia diatas permukaan planet bumi.
Geopolitik Indonesia tiada lain adalah wawasan nusantara. Wawasan nusantara
tidak mengandung unsur-unsur kekerasan, cara pandang bangsa Indonesia tentang
diri dan lingkungannya berdasarkan ide nasionalnya yang dilandasi pancasila dan
UUD 1945 yang merupakan aspirasi bangsa Indonesia yang merdeka, berdaulat, dan
bermartabat serta menjiwai tata hidup dan tindak kebijaksanaanya dalam mencapai
tujuan nasional. Dalam hal ini sebagai warga negara Indonesia yang baik yang
menerapkan geopolitik wajib ikut untuk melestarikan dan menjaga keutuhan
wilayah negara. Dan tidak dapat dipungkiri di Indonesia bergulir konflik
perebutan Pulau Sipadan dan Ligitan dengan Negara tetangga yaitu Malaysia.
Sebenarnya antara Indonesia dengan Malaysia tidak hanya terjadi konflik
perebutan Pulau atau wilayah negara saja tetapi pernah juga terjadi konflik
perebutan kebudayaan,makanan khas,lagu-lagu daerah. Dan yang terus bergulir
dalam konflik perebutan pulau ini salah satunya Pulau Sipadan dan Ligitan.
1.2. Rumusan Masalah
1. Apakah penyelesaian kasus Sipadan
dan Ligitan itu sudah sesuai dengan prosedur hukum internasional?
2. Apa penyebab Indonesia kalah dalam
sengketa tersebut?
3. Bagaimana sikap yang seharusnya
diambil Indonesia untuk kedepannya dalam kasus yang serupa?
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1.
Posisi Kasus
Sulu-Spanyol-Amerika Serikat-Inggris-Malaysia dan
alur Sultan Sulu-Den & Overbeck-BNBC-Malaysia. Sengketa ini lalu
dibicarakan dalam pertemuan antara Presiden Soeharto dan PM Mahathir Muhamad di
Yogyakarta pada 1989. Melalui berbagai pertemuan dalam beberapa tahun, kedua
belah pihak berkesimpulan sengketa ini sulit untuk diselesaikan secara
bilateral Karena itu kedua belah pihak setuju untuk mengajukan penyelesaian ini
ke Mahkamah Internasional dengan menandatangai ”Perjanjian Khusus untuk
diajukan ke Mahkamah Internasional dalam Sengketa antara Indonesia dan Malaysia
menyangkut kedaulatan atas Pulau Ligitan dan Sipdan,” di Kuala Lumpur pada 31
Mei 1997. Melalui surat bersama perjanjian ini kasus sengketa ini disampaikan
ke Mahkamah Internasional di Den Haag pada 2 November 1998. Kedua belah pihak
mempercayai Mahkamah Internasional akan mengambil keputusan yang adil mengenai
siapa yang berdaulat atas kedaulatan Pulau Ligitan dan Sipadan, berdasarkan
bukti-bukti yang ada. Indonesia mendasarkan kedaulatan atas kedua pulau itu
menurut Pasal IV Konvensi 1891 antara Belanda dan Inggris. Sedangkan Malaysia
mendasarkan kepemilikannya menurut dua alur yaitu alur Sultan
Sulu-Spanyol-Amerika Serikat-Inggris-Malaysia dan alur Sultan
Sulu-Den&Overbeck-BNBC-Malaysia. Malaysia juga berpendirian bahwa
kedaulatannya atas kedua pulau tersebut berdasarkan fakta bahwa Inggris dan
kemudian Malaysia sejak 1878 secara damai terus menerus mengadministrasi kedua
pulau itu. Di depan Mahkamah Internasional, untuk membuktikan klaimnya, kedua
belah pihak harus memenuhi prosedur, antara lain menyampaikan pembelaan
tertulis dan memori, memori banding dan replik. Sampai memasuki tahap
penyampaian pembelaan lisan. Pembelaan lisan terbagi dua, yaitu putaran pertama
pada 3 dan 4 Juni 2002 Indonesia menyampaikan pembelaannya pada dengar pendapat
terbuka. Menyusul Malaysia pada 6 dan 7 Juni. Sedang putaran kedua pada 10 Juni
untuk Indonesia dan pada 12 Juni jawaban Malaysia.
Mengenai cara-cara menyampaikan perkara, batas waktu
penyampaian pembelaan tertulis dan lisan tertera dalam Statuta ICJ. Pembelaan
lisan ini, sebagai kelanjutan pembelaaan tertulis yang berakhir pada Maret
2000, akan berlangsung sampai 12 Juni 2002 Pemerintah Indonesia berpendirian
bahwa Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan merupakan wilayah Indonesia. Selain itu,
Indonesia tetap mengajukan protes sambil menahan diri untuk tidak melakukan
klaim sepihak seperti yang dilakukan Malaysia selama ini atas kedua pulau di
lepas pulau Kalimantan tersebut. Demikian salah satu kesimpulan yang diutarakan
Menlu saat menyampaikan argumentasi lisan di hadapan hakim pengadilan
internasional di Den Haag.
Kendati sedang bersengketa, Hassan menyataka bahwa
hubungan Indonesia dengan Malaysia masih berlangsung dengan sangat baik.
”Kembali kepada sisi yang positif, Indonesia memperhatikan bahwa kendati
terdapat perbedaan-perbedaan dengan Malaysia, hubungan antara kedua negara
tetap berjalan sangat baik dan kedua negara telah bersikap arif untuk
menyelesaikan sengketa (Sipadan dan Ligitan) secara bersama kepada yurisdiksi
Mahkamah Internasional. Hassan, selaku pemegang kuasa hukum (Agent) Indonesia
dalam kasus sengketa Sipadan dan Ligitan, yaitu bahwa adanya tindakan sepihak
Malaysia pada tahun 1979 yang tidak mencerminkan adanya ”good faith,”
diantaranya dengan cara menerbitkan peta yang memasukkan kedua pulau tersebut ke
dalam wilayah nasionalnya. ”Dan akhirnya dengan membangun sejumlah fasilitas
wisata di Sipadan. Tindakan-tindakan ini secara fundamental tidak selaras
dengan sikap menahan diri atau ‘status quo.
Indonesia mendasarkan kedaulatan atas kedua pulau
itu menurut Pasal IV Konvensi 1891 antara Belanda dan Inggris. Sedangkan
Malaysia mendasarkan kepemilikannya menurut dua alur yaitu alur Sultan
Sulu-Spanyol-Amerika Serikat-Inggris-Malaysia dan alur Sultan Sulu-Den
& Overbeck-BNBC-Malaysia.
Pada tanggal 17 Desember 2002 lalu, Mahkamah
Internasional di Den Haag memutuskan, Pulau Sipadan dan Ligitan adalah wilayah
Malaysia berdasar kenyataan, Inggris dan Malaysia dianggap telah melaksanakan
kedaulatan yang lebih "efektif" atas pulau itu sebelum tahun 1969.
Indonesia menghormati keputusan itu, apalagi karena Pasal 5 Persetujuan 1997
tegas menyatakan, kedua pihak agree to accept the judgement of the Court given
pursuant to this Special Agreement as
and binding upon th.[1]
Pada tahun 1998 masalah sengketa Sipadan dan Ligitan
dibawa ke ICJ, kemudian pada hari Selasa 17 Desember 2002 ICJ. Secara rinci
tentang kronologi kasus Sipadan dan Ligitan dapat di lihat pada tabel di bawah
ini :
Tahun
|
Peristiwa
|
1969
|
Sengketa
Pulau Sipadan dan Ligitan muncul pertama kali pada perundingan mengenai batas
landas kontinen antara RI dan Malaysia di Kuala Lumpur (9-12 September 1969).
Hasil Kesepakatan: kedua pihak agar menahan diri untuk tidak melakukan
kegiatan-kegiatan yang menyangkut kedua pulau itu sampai penyelesaian
sengketa.
|
1970
|
Malaysia
melakukan tindakan sepihak dengan menerbitkan peta yang memasukkan kedua
pulau tersebut ke dalam wilayah nasionalnya, dan beberapa tahun kemudian
melakukan pembangunan dan pengelolaan fasilitas-fasilitas wisata di kedua
pulau itu.
|
1989
|
Pembahasan
sengketa oleh Presiden RI Soeharto dan PM Malaysia Mahathir Muhammad di
Yogyakarta, tahun 1989. Hasil kesimpulan: sengketa mengenai kedua pulau
tersebut sulit untuk diselesaikan dalam kerangka perundingan bilateral.
|
1997
|
Kedua pihak sepakat untuk mengajukan penyelesaian
sengketa tersebut ke Mahkamah Internasional dengan menandatangani dokumen
"Special Agreement for the Submission to the International Court of
Justice on the Dispute between Indonesian and Malaysia concerning the
Sovereignty over Pulau Ligitan and Pulau Sipadan" di Kuala Lumpur
pada tanggal 31 Mei 1997.
|
1998
|
Pada tanggal 2 November 1998, kesepakatan khusus
yang telah ditandatangani itu kemudian secara resmi disampaikan kepada
Mahkamah Internasional, melalui suatu "joint letter" atau
notifikasi bersama.
|
2000
|
Proses argumentasi tertulis ("written
pleadings") dari kedua belah pihak dianggap rampung pada akhir Maret
2000 di Mahkamah Internasional. Argumentasi tertulis itu terdiri atas
penyampaian "memorial", "counter memorial", dan
"reply" ke Mahkamah Internasional.
|
2002
|
Proses penyelesaian sengketa Pulau Sipadan dan
Ligitan di Mahkamah Internasional memasuki tahap akhir, yaitu proses
argumentasi lisan ("oral hearing"), yang berlangsung dari
tanggal 3-12 Juni 2002. Pada kesempatan itu, Menlu Hassan Wirajuda selaku
pemegang kuasa hukum RI, menyampaikan argumentasi lisannya ("agent’s
speech"), yang kemudian diikuti oleh presentasi argumentasi yuridis
yang disampaikan Tim Pengacara RI. Mahkamah Internasional kemudian menyatakan
bahwa keputusan akhir atas sengketa tersebut akan ditetapkan pada Desember
2002.
|
Pada tanggal 17 Desember 2002, Mahkamah
Internasional di Den Haag menetapkan Pulau Sipadan dan Ligitan menjadi bagian
dari wilayah kedaulatan Kerajaan Malaysia atas dasar “efektivitas” karena
Malaysia telah melakukan upaya administrasi dan pengelolaan konservasi alam
di kedua pulau tersebut.
|
2.2.
Putusan Mahkamah
Internasional
mengeluarkan keputusan tentang kasus sengketa
kedaulatan Pulau Sipadan-Ligatan antara Indonesia dengan Malaysia. Hasilnya,
dalam voting di lembaga itu, Malaysia dimenangkan oleh 16 hakim, sementara
hanya 1 orang yang berpihak kepada Indonesia. Dari 17 hakim itu, 15 merupakan
hakim tetap dari MI, sementara satu hakim merupakan pilihan Malaysia dan satu
lagi dipilih oleh Indonesia. Kemenangan Malaysia, oleh karena berdasarkan
pertimbangan effectivity (tanpa memutuskan pada pertanyaan dari perairan
teritorial dan batas-batas maritim), yaitu pemerintah Inggris (penjajah Malaysia)
telah melakukan tindakan administratif secara nyata berupa penerbitan ordonansi
perlindungan satwa burung, pungutan pajak terhadap pengumpulan telur penyu
sejak tahun 1930, dan operasi mercu suar sejak 1960-an.
Sementara itu, kegiatan pariwisata yang dilakukan
Malaysia tidak menjadi pertimbangan, serta penolakan berdasarkan chain of title
(rangkaian kepemilikan dari Sultan Sulu) akan tetapi gagal dalam menentukan
batas di perbatasan laut antara Malaysia dan Indonesia di selat Makassar.
Berikut ini ada tiga butir
Pokok-pokok Putusan Mahkamah Internasional dari sengketa pulau sipadan ligitan
,yaitu :
1. Menolak argumentasi Malaysia bahwa kedua pulau
sengketa pernah menjadi bagian dari wilayah yang diperoleh Malaysia berdasarkan
kontrak pengelolaan privat Sultan Sulu dengan
Sen-Overbeck/BNBC/Inggris/Malaysia. Mahkamah juga menolak argumentasi Malaysia
bahwa kedua pulau termasuk dalam wilayah Sulu/Spanyol/AS/Inggris yang kemudian
diserahkan kepada Malaysia berdasarkan terori rantai kepemilikan (Chain of Title
Theory). Menurut Mahkamah tidak satupun dokumen hukum atau pembuktian yang
diajukan Malaysia berdasarkan dalil penyerahan kedaulatan secara estafet ini
memuat referensi yang secara tegas merujuk kedua pulau sengketa.
2. Menolak argumentasi Indonesia bahwa kedua pulau
sengketa merupakan wilayah berada di bawah kekuasaan Belanda berdasarkan
penafsiran atas pasal IV Konvensi 1891. penafsiran Indonesia terhadap garis
batas 4° 10' LU yang memotong P. Sebatik sebagai allocation line dan berlanjut
terus ke arah timur hingga menyentuh kedua pulau sengketa juga tidak dapat di
terima Mahkamah. Kejelasan perihal status kepemilikan kedua pulau tersebut juga
tidak terdapat dalam Memori van Toelichting. Peta Memori van Toelichting yang
memberikan ilustrasi sebagaimana penafsiran Indonesia atas pasal IV tersebut
dinilai tidak memiliki kekuatan hukum
karena tidak menjadi bagian dari konvensi 1891.
mahkamah juga menolak dalil alternatif Indonesia mengingat kedua pulau sengketa
tidak disebutkan di dalam perjanjian kontrak 1850 dan 1878 sebagai bagian dari
wilayah Kesultanan Bulungan yang diserahkan kepada Pemerintah Kolonial Belanda.
3. Penguasaan efektif dipertimbangkan sebagai
masalah yang berdiri sendiri dengan tahun 1969 sebagai critical date mengingat
argumentasi hukum RI maupun argumentasi hukum Malaysia tidak dapat membuktikan
klaim kepemilikan masing-masing atas kedua pulau yang bersengketa Penyelesaian
sengketa yang akhirnya diserahakan kepada Mahkamah Internasional ini pada
hakikatnya merupakan keberhasilan diplomasi dari pihak Malaysia dan Indonesia.
Cara damai yang ditempuh Indonesia dan Malaysia akan memberikan dampak yang
besar bagi kawasan Asia Tenggara, seperti misalnya cara penyelesaian kedua
belah pihak (Malaysia-Indonesia) yang menyerahkan persoalan ini seutuhnya
kepada Mahkamah Internasional dapat ditiru sebagai salah satu model
penyelesaian klaim-klaim teritorial lain antar negara anggota ASEAN yang masih
cukup banyak terjadi, misalnya klaim teritorial Malaysia dan Thailand dengan
hampir semua negara tetangganya.
Satu hal yang perlu disesali dalam mekanisme
penyelesaian konflik Sipadan dan Ligitan adalah tidak dipergunakannya mekanisme
regional ASEAN. ASEAN, sebagai satu forum kerja sama regional, sangat minimal
perannya dalam pemecahan perbatasan. Hal ini karena dipandang sebagai persoalan
domestik satu negara dan ASEAN tidak ikut campur tangan di atasnya.
Sesungguhnya, ASEAN sendiri sudah merancang terbentuknya sebuah Dewan Tinggi
(High Council) untuk menyelesaikan masalah-masalah regional. Dewan ini bertugas
untuk memutuskan persoalan-persoalan kawasan termasuk masalah klaim teritorial.
Namun keberatan beberapa anggota untuk membagi sebagian kedaulatannya merupakan
hambatan utama dari terbentuknya Dewan Tinggi ini.
Akibat jatuhnya Sipadan dan Ligitan ke tangan
Malaysia terjadi dampak domestik yang tak kalah hebatnya, banyak komentar
maupun anggapan bahwa Departemen Luar Negeri-lah penyebab utama lepasnya
Sipadan- Ligitan mengingat seharusnya Deplu dibawah kepemiminan Mentri Luar
Negeri.[2]
2.3.
Penyelesaian Sengketa
Internasional Dengan Cara Hukum
Kekuatan hukum yang mengikat antara masing-masing
pihak yang bersengketa. Selain arbitrase, lembaga lain yang dapat ditempuh
untuk menyelesaikan sengketa internasional melalui jalur hukum adalah
pengadilan internasional. Pada saat ini ada beberapa pengadilan internasional
dan pengadilan internasional regional yang hadir untuk menyelesaikan berbagai
macam sengketa internasional. Misalnya International Court of Justice
(ICJ), International Criminal Court, International Tribunal on
the Law of the Sea, European Court for Human Rights, dan
lainnya.
Penyelesaian sengketa internasional melalui jalur
hukum berarti adanya pengurangan kedaulatan terhadap pihak-pihak yang
bersengketa. Karena tidak ada lagi keleluasaan yang dimiliki oleh para pihak,
misalnya seperti memilih hakim, memilih hukum dan hukum acara yang digunakan.
Tetapi dengan bersengketa di pengadilan internasional, maka para pihak akan
mendapatkan putusan yang mengikat masing-masing pihak yang bersengketa. Dalam
mengantisipasi negosiasi pada tahap berikutnya,maka perlu
terus dilakukan pengkajian mendalam untuk memperkuat posisi tawar menawar kita.
Landasan hukum yang kuat akan menjadi modal dasarnya, namun harus didukung
dengan kepiawaian dalam seni bernegosiasi untuk menyakinkan pihak lawan.
Apabila atas dasar hasil kajian yang mendalam dan komprehensif, posisi
Indonesia secara yuridis sangat kuat, maka penyelesaian secara hukum harus
tetap dibuka kemungkinannya. Dengan alasan apapun, opsi perangsebaiknya tidak
digunakan untuk mencegah berulangnya kejadian serupa, maka Pemerintah Indonesia
harus menangani secara lebih serius masalah wilayah perbatasan dan pulau- pulau
yang berbatasan dengan negara tetangga. Bayangkan saja untuk memperjuangkan
Sipadan-Ligitan di Mahkamah Internasional harus keluar dana lebih dari Rp16
miliar. Dan itu bukan uang yang sedikit terlebih lagi kehilangan satu pulau
berarti ancaman terhadap integritas wilayah Indonesia. Hal ini penting, karena
sengketa pulau yang dimiliki Indonesia bukan saja Sipadan-Ligitan, tetapi
banyak pulau lainnya. Selain itu, ini juga bisa menjadi preseden buruk.[3]
2.4.
Cara atau Sikap yang
Harus Dilakukan Indonesia Jika Mengatasi Kasus yang Sama
Terhadap pertanggungjawaban pemerintah untuk
mempertahankan eksistensi keutuhan wilayah. Ahli hukum internasional, Hilangnya
Pulau Sipadan dan Lingitan di Mahkamah Internasional, menjadi pelajaran yang
sangat berharga sekali, harus diakui bahwa pemerintah memang tidak menggunakan
bantuan dari pengacara atau pakar hukum internasional dari Indonesia, kecuali
ahli-ahli dari Deplu sendiri. Dari sekian ribu pengacara yang ada di Indonesia,
menurut Havas, belum ada satupun yang memiliki keterampilan yang memadai untuk
berlaga di Mahkamah Internasional. Salah satunya adalah memperkuat dan
memperbanyak ahli hukum yang menguasai pengetahuan tentang hukum internasional.
Menurut Director of Treaties on Political,
Security and Teritorial
A�airs
Deplu,
Arif Havas Oegroseno, Indonesia minim sekali orang yang ahli di bidang hukum
internasional. Namun, tidak seharusnya ketiadaan para pakar hukum internasional
membuat kita menjadi tidak percaya diri. Jangan menggunakan pengacara asing
karena, Selain itu, ia juga berpendapat bahwa pengacara dalam negeri memiliki sense
ofbelonging yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan pengacara asing.
Sedangkan, pengacara-pengacara asing relatif melihat kasus tersebut dari sisi
bisnisnya semata
Persengketaan antara Indonesia
dengan Malaysia, mencuat pada tahun 1967 ketika dalam pertemuan teknis hukum
laut antara kedua negara, masing-masing negara ternyata memasukkan pulau
Sipadan dan pulau Ligitan ke dalam batas-batas wilayahnya. Kedua negara lalu
sepakat agar Sipadan dan Ligitan dinyatakan dalam keadaan status status
quo akan tetapi ternyata pengertian ini berbeda. Pihak Malaysia membangun
resor parawisata baru yang dikelola pihak swasta Malaysia karena Malaysia
memahami status quo sebagai tetap berada di bawah Malaysia sampai persengketaan
selesai, sedangkan pihak Indonesia mengartikan bahwa dalam status ini berarti
status kedua pulau tadi tidak boleh ditempati/diduduki sampai persoalan atas
kepemilikan dua pulau ini selesai. karena kita taat pada hukum internasional
yang melarang mengunjungi daerah status quo, ketika anggota kita pulang dari
sana membawa laporan, malah dimarahi. Sedangkan Malaysia malah membangun resort
di sana SIPADAN dan Ligitan tiba-tiba menjadi berita, awal bulan lalu. Ini,
gara-gara di dua pulau kecil yang terletak di Laut Sulawesi itu dibangun
cottage. Di atas Sipadan, pulau yang luasnya hanya 4 km2 itu, kini, siap
menanti wisatawan. Pengusaha Malaysia telah menambah jumlah penginapan menjadi
hampir 20 buah. Dari jumlahnya, fasilitas pariwisata itu memang belum bisa
disebut memadai. Tapi pemerintah Indonesia, yang juga merasa memiliki
pulau-pulau itu, segera mengirim protes ke Kuala Lumpur, minta agar pembangunan
di sana disetop dahulu. Alasannya, Sipadan dan Ligitan itu masih dalam
sengketa, belum diputus siapa pemiliknya. Pada tahun 1969 pihak Malaysia secara
sepihak memasukkan kedua pulau tersebut ke dalam peta nasionalnya
Pada tahun 1976, Traktat Persahabatan dan Kerja Sama di Asia Tenggara atau TAC (Treaty of Amity and
Cooperation in Southeast Asia) dalam KTT pertama ASEAN di
pulau Bali
ini antara lain menyebutkan bahwa akan membentuk Dewan Tinggi ASEAN untuk
menyelesaikan perselisihan yang terjadi di antara sesama anggota ASEAN akan
tetapi pihak Malaysia menolak beralasan karena terlibat pula sengketa dengan Singapura
untuk klaim pulau Batu Puteh,
sengketa kepemilikan Sabah
dengan Filipina serta sengketa kepulauan Spratley di
Laut Cina Selatan
dengan Brunei Darussalam, Filipina, Vietnam, Cina,
dan Taiwan.
Pihak Malaysia pada tahun 1991 lalu menempatkan sepasukan polisi hutan (setara
Brimob) melakukan pengusiran semua warga negara Indonesia serta meminta pihak
Indonesia untuk mencabut klaim atas kedua pulau.
Setelah hampir 30 tahun, perundingan
tiba pada jalan buntu, karena baik Indonesia yang bertahan pada posisi dan argumentasi
bahwa kedua pulau tersebut telah menjadi bagian wilayahnya sejak masa
penjajahan Belanda, maupun Malaysia yang juga meyakini kedaulatannya atas
pulau-pulau tersebut sejak masa colonial Inggris, tetap bertahan pada posisi
masing-masing. Pada 1997 kedua belah pihak sepakat menempuh jalan hukum yaitu
dengan menyerahkan sengketa tersebut kepada Mahkamah Internasional.
Sikap pihak Indonesia yang
ingin membawa masalah ini melalui Dewan Tinggi ASEAN dan selalu menolak membawa
masalah ini ke ICJ
kemudian melunak. Dalam kunjungannya ke Kuala
Lumpur pada tanggal 7 Oktober 1996, Presiden Soeharto
akhirnya menyetujui usulan PM Mahathir tersebut yang pernah diusulkan pula oleh
Mensesneg Moerdiono dan Wakil PM Anwar
Ibrahim, dibuatkan kesepakatan "Final and Binding,"
pada tanggal 31 Mei 1997, kedua negara menandatangani persetujuan tersebut.
Indonesia meratifikasi pada tanggal 29 Desember 1997 dengan Keppres Nomor 49
Tahun 1997 demikian pula Malaysia
meratifikasi pada 19 November 1997.[4]
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Penyelesaian sengketa yang dilakukan oleh Indonesia
dan Malaysia dalam menentukan kedaulatan di Pulau Sipadan dan Ligitan merupakan
suatu cara penyelesaian sengketa secara damai,dimana Indonesia dan Malaysia
memilih Mahkamah Internasional untuk menyelesaikan sengketa ini, dasar hukum di
dalam penyelesaian sengketa ini adalah pasal 2 ayat 3 dan pasal 33 Piagam PBB.
Sengketa Pulau Sipadan dan Ligitan disebabkan karena adanya ketidakjelasan
garis perbatasan yang dibuat oleh Belanda dan Inggris yang merupakan negara
pendahulu dari Indonesia dan Malaysia di perairan timur Pulau Borneo, sehingga
pada saat Indonesia dan Malaysia berunding untuk menentukan garis perbatasan kedua
negara di Pulau Borneo, masalah ini muncul karena kedua pihak saling
mengklaimkedaulatan atas Pulau Sipadan dan Ligitan. Berbagai pertemuan
bilateral dilakukan oleh kedua negara dalam upaya melakukan pemecahan atas
sengketa ini namun sengketa ini tidak dapat diselesaikan, sehingga kedua negara
sepakat untuk menyerahkan penyelesaian sengketa ini kepada Mahkamah
Internasional. Berbagai macam argumentasi dan bukti yuridis dikemukakan kedua
pihak dalam persidangan di Mahkamah Internasional, dan pada akhirnya Mahkamah
Internasional memutuskan bahwa kedaulatan atas Pulau Sipadan dan Ligitan
merupakan milik Malaysia atas dasar prinsip okupasi, dimana Malaysia dan
Inggris sebagai negara pendahulu lebih banyak melaksanakan efektivitas di Pulau
Sipadan dan Ligitan.
3.2. Saran
Sebagai negara kepulauan yang
berwawasan nusantara, maka Indonesia harus menjaga keutuhan wilayahnya.
Pulau-pulau terluar biasanya adalah daerah terpencil, miskin bahkan tidak
berpenduduk dan jauh dari perhatian Pemerintah.
Keberadaan pulau-pulau ini
secara geografis sangatlah strategis, karena berdasarkan pulau inilah batas
negara kita ditentukan. Pulau-pulau ini seharusnya mendapatkan perhatian dan
pengawasan serius agar tidak menimbulkan permasalahan yang dapat menggangu
keutuhan wilayah Indonesia, khususnya pulau yang terletak di wilayah perbatasan
dengan negara negara yang tidak/ belum memiliki perjanjian (agreement) dengan
Indonesia. Dari 92 pulau terluar yang dimiliki Indonesia terdapat 12 pulau yang
harus mendapat perhatian khusus, Pulau-pulau tersebut adalah Pulau Rondo,
Berhala, Nipa, Sekatung, Marore, Miangas, Fani, Fanildo, Dana, Batek, Marampit
dan Pulau Bras.
Jangan takut bersikap tegas,
kalau memang harus perang, rakyat Indonesia pasti mendukung demi keutuhan NKRI.
Karena NKRI adalah harga mati.
DAFTAR
PUSTAKA
[1]
Adolf Huala, 2006 , Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, Sinar Grafika
Jakarta.
3 Moh
Burhan Tsani,1990, Hukum dan Hubungan Internasional.Liberty:Yogyakarta
4
Sumaryo Suryokusumo, 1997, Studi Kasus Hukum Organisasi Internasional, Alumni:Bandung.
(6 Maret 2014)
[1]
Adolf
Huala, 2006 , Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, Sinar Grafika Jakarta.(4
Maret 2014)
[2]http://newsprincezza.blogspot.com/2008/08/indonesia-malaysia-sipadan-ligitan.html. (6 Maret 2014)
[3] Moh Burhan
Tsani,1990, Hukum dan Hubungan Internasional.Liberty:Yogyakarta
[4]
Sumaryo
Suryokusumo, 1997, Studi Kasus Hukum Organisasi Internasional, Alumni:Bandung.
(6 Maret 2014)