BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Birokrasi dan politik
bagai dua mata uang yang tidak akan pernah terpisahkan satu sama lain.
Birokrasi dan politik memang merupakan dua buah institusi yang memiliki
karakater yang sangat berbeda, namun harus selalu saling mengisi. Dua karakter
yang berbeda antara dua institusi ini pada satu sisi memberikan sebuah ruang
yang positif bagi apa yang disebut dengan sinergi, namun acapkali juga tidak
dapat dipisahkan dengan aroma perselingkuhan.
Menurut Etzioni-Havely
(dalam Savirani:2005) birokrasi adalah organisasi hirarkis pemerintah yang
ditunjuk untuk menjalankan tugas melayani kepentingan umum. Ciri khas yang
melekat dalam tubuh birokrasi adalah bentuk organisasi yang berjenjang,
rekrutmen berdasarkan keahlian, dan bersifat impersonal. Birokrasi juga
merupakan unit yang secara perlahan mengalami penguatan, independen, dan kuat.
Penguasaan berbagai sumber daya oleh birokrasi menjadikan birokrasi menjadi
kekuatan besar yang dimiliki oleh negara. Sedangkan politik merupakan institusi
yang disebut juga dengan pusat kekuasaan. Kekuasaan yang dimiliki oleh politik
berlangsung dalam berbagai arena, seperti pembuatan, penerapan, dan evaluasi
kebijakan publik. Dalam arti yang lebih luas, segala sesuatu yang berkaitan
dengan partai, demokrasi, dan kebijakan disebut juga dengan politik.
Sementara birokrasi
adalah sebuah institusi yang mapan dengan segala sumber dayanya, namun pada
lain sisi sistem kenegaraan mensyaratkan politik masuk sebagai aktor yang
mengepalai birokrasi melalui mekanisme politik formal. Oleh karena itu,
birokrasi pemerintah tidak bisa dilepaskan dari kegiatan politik. Pada setiap
gugusan masyarakat yang membentuk tata pemerintahan formal, tidak bisa
dilepaskan dari aspek politik.
Pada gilirannya, birokrasi
mau tidak mau harus rela dikepalai oleh mereka yang umumnya bukan berasal dari
kalangan birokrasi. Artinya, kepentingan politik dengan sendirnya akan turut
bermain dalam sistem penyelenggaraan pemerintah. Persoalan yang mengemuka
adalah mampukah kepala daerah memberikan peluang kepada birokrasi yang
dipimpinya dengan arif untuk tetap
mengikuti kaidah demokrasi yang normatif.
Dalam berbagai macam pola
hubungan antara birokrasi dan politik,
institusi politik -sebagaimana diketahui bersama- terdiri atas
orang-orang yang berprilaku politik yang diorganisasikan secara politik oleh
kelompok-kelompok kepentingan dan berusaha untuk mempengaruhi pemerintah untuk
mengambil dan melaksanakan suatu kebijakan. Oleh karena itu, birokrasi
pemerintah secara langsung ataupun tidak langsung selalu berhubungan dengan
kelompok kepentingan politik tersebut.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah yang dimaksud dengan birokrasi?
2. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi
birokrasi?
3. Apakah yang dimaksud dengan politik?
4. Bagaimana birokrasi Indonesia sebelum
adanya reformasi birokrasi?
5. Bagaimana sejarah lahirnya reformasi
birokrasi di Indonesia?
6. Bagaimana Pelayanan Birokrasi Pemerintah
Terhadap Masyarakat Saat Ini?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk
memenuhi tugas yang diberikan oleh Dosen Sosiologi Pemerintahan
2. Untuk
mengetahui Birokrasi Pemerintahan
BAB II
PEMBAHASAN
A. Birokrasi
1. Pengertian Birokrasi
Jika dilihat dari segi
bahasa, birokrasi terdiri dari dua kata yaitu biro yang artinya meja dan krasi
yang artinya kekuasaan. Birokrasi memiliki dua elemen utama yang dapat
membentuk pengertian, yaitu peraturan atau norma formal dan hirarki. Jadi,
dapat dikatakan pengertian birokrasi adalah kekuasaan yang bersifat formal yang
didasarkan pada peraturan atau undang-undang dan prinsip-prinsip ideal
bekerjanya suatu organisasi. Secara etimologi birokrasi berasal dari istilah
“buralist” yang dikembangkan oleh Reineer von Stein pada 1821, kemudian menjadi
“bureaucracy” yang akhir-akhir ini ditandai dengan cara-cara kerja yang
rasional, impersonal dan leglistik (Thoha, 1995 dalam Hariyoso, 2002).
Birokrasi dapat dirujuk kepada empat pengertian yaitu,
· Birokrasi dapat diartikan sebagai
kelompok pranata atau lembaga tertentu.
·
Birokrasi dapat diartikan sebagai suatu metoda
untuk mengalokasikan sumber daya
dalam suatu organisasi.
· “Kebiroan” atau mutu yang membedakan
antara birokrasi dengan jenis organisasi lain. (Downs, 1967 dalam Thoha, 2003)
· Kelompok orang yang digaji yang
berfungsi dalam pemerintahan. (Castle, Suyatno,
Nurhadiantomo, 1983)
Birokrasi Ideal Menurut Weber
Max Weber sebagai bapak
birokrasi mengatakan bahwa birokrasi menjadi elemen penting yang menghubungkan
ekonomi dengan masyarakat. Weber mengajukan sebuah model birokrasi ideal yang
memiliki karakteristik sebagai berikut (dalam Islamy, 2003):
· Pembagian Kerja (division of labour)
· Adanya prinsip hierarki wewenang (the
principle of hierarchi)
· Adanya sistem aturan (system of rules)
· Hubungan Impersonal (formalistic
impersonality)
· Sistem Karier (career system)
2. Faktor-faktor yang mempengaruhi
birokrasi:
a. Faktor budaya
· Budaya dan perilaku koruptif yang sudah
terlembaga (“uang administrasi” atau uang
“pelicin”)
· Budaya “sungkan dan tidak enak” dari
sisi masyarakat
· Masyarakat harus menanggung biaya
ganda karena zero sum game
· Internalisasi budaya dalam mekanisme
informal yang profesional
b. Faktor individu
· Perilaku individu sangat bersifat unik
dan tergantung pada mentalitas dan moralitas
· Perilaku individu juga terkait dengan
kesempatan yang dimiliki seseorang yang
memiliki jabatan dan otoritas
· Perilaku
opportunistik hidup subur dalam sebuah sistem yang korup
· Individu yang jujur seringkali
dianggap menyimpang dan tidak mendapat tempat
c. Faktor organisasi dan manajemen
· Meliputi struktur, proses, leadership,
kepegawaian dan hubungan antara pemerintah
dan masyarakat
·
Struktur birokrasi masih bersifat hirarkis
sentralistis dan tidak terdesentralisasi
·
Proses Birokrasi seringkali belum memiliki dan
tidak melaksanakan prinsip-prinsip
efisiensi, transparansi, efektivitas
dan keadilan
·
Birokrasi juga sangat ditentukan oleh peran
kepemimpinan yang kredibel
·
Dalam aspek kepegawaian, Birokrasi dipengaruhi oleh rendahnya gaji,
proses rekrutmen
yang belum memadai, dan kompetensi
yang rendah.
· Hubungan masyarakat dan pemerintah
dalam Birokrasi belum setara; pengaduan dan
partisipasi masyarakat masih belum
memiliki tempat (citizen charter)
d. Faktor politik
· Ketidaksetaraan sistem birokrasi
dengan sistem politik dan sistem hukum
· Birokrasi menjadi “Geld Automaten”
bagi partai politik
· Kooptasi pengangkatan jabatan
birokrasi oleh partai politik
B. Politik
1. Pengertian Politik
Politik adalah proses
pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat yang antara lain berwujud
proses pembuatan keputusan, khususnya dalam negara. Pengertian ini merupakan
upaya penggabungan antara berbagai definisi yang berbeda mengenai hakikat
politik yang dikenal dalam ilmu politik.
Politik adalah seni dan ilmu untuk
meraih kekuasaan secara konstitusional maupun nonkonstitusional.
Di samping itu politik juga dapat
ditilik dari sudut pandang berbeda, yaitu antara lain:
· politik adalah usaha yang ditempuh warga
negara untuk mewujudkan kebaikan
bersama (teori klasik Aristoteles)
· politik adalah hal yang berkaitan dengan
penyelenggaraan pemerintahan dan negara
· politik merupakan kegiatan yang
diarahkan untuk mendapatkan dan mempertahankan
kekuasaan di masyarakat
· politik adalah segala sesuatu tentang
proses perumusan dan pelaksanaan kebijakan
publik.
Dalam konteks memahami
politik perlu dipahami beberapa kunci, antara lain: kekuasaan politik,
legitimasi, sistem politik, perilaku politik, partisipasi politik, proses
politik, dan juga tidak kalah pentingnya untuk mengetahui seluk beluk tentang
partai politik.
C. Gambaran Umum Birokrasi di
Indonesia Sebelum Reformasi
Birokrasi di Indonesia
menurut Karl D Jackson merupakan bureaucratic polity. Model ini merupakan
birokrasi dimana negara menjadi akumulasi dari kekuasaan dan menyingkirkan
peran masyarakat dari politik dan pemerintahan. Ada pula yang berpendapat bahwa
birokrasi di Indonesia merupakan birokrasi Parkinson dan Orwel. Hal ini
disampaikan oleh Hans Dieter Evers. Birokrasi Parkinson merujuk pada
pertumbuhan jumlah anggota serta pemekaran struktural dalam birokrasi yang
tidak terkendali. Birokrasi Orwel merujuk pada pola birokratisasi yang
merupakan proses perluasan kekuasaan pemerintah yang dimaksudkan sebagai
pengontrol kegiatan ekonomi, politik dan social dengan menggunakan regulasi
yang bila perlu ada suatu pemaksaan.
Dari model yang
diutarakan di atas dapat dikatakan bahwa birokrasi yang berkembang di Indonesia
pada masa Orde Baru adalah birokrasi yang berbelit-belit, tidak efisien dan
mempunyai pegawai birokrat yang makin membengkak.
Keadaan ini pula yang menyebabkan
timbulnya penyimpangan-penyimpangan berikut, seperti :
· Maraknya tindak KKN
·
Tingginya keterlibatan
birokrasi dalam partai politik sehingga pelayanan terhadap
masyarakat tidak maksimal
· Pelayanan publik yang diskriminatif
· Penyalahgunaan wewenang
· Pengaburan antara pejabat karir dan
non-karir
D. Sejarah Reformasi Birokasi di
Indonesia
Reformasi politik 1998
adalah pintu gerbang Indonesia menuju sejarah baru dalam dinamika politik
nasional. Reformasi politik yang diharapkan dapat beriringan dengan reformasi
birokrasi, fakta menunjukan, reformasi birokrasi mengalami hambatan signifikan
hingga kini, akibatnya masyarakat tidak dapat banyak memetik manfaat nyata dari
reformasi politik 1998.
Pasca reformasi, ikhtiar
untuk melepaskan birokrasi dari kekuatan dan pengaruh politik gencar dilakukan.
Kesadaran pentingnya netralitas birokrasi mencuat terus-menerus. BJ Habibie,
Presiden saat itu, mengeluarkan PP Nomor 5 Tahun 1999 (PP No.5 Tahun 1999),
yang menekankan kenetralan pegawai negeri sipil (PNS) dari partai politik.
Aturan ini diperkuat dengan pengesahan UU Nomor 43 Tahun 1999 tentang
Pokok-Pokok Kepegawaian untuk menggantikan UU Nomor 8 Tahun 1974.
Saat membentuk yang
pertama setelah Gus Dur terpilih, sedang terjadi keributan tentang pengangkatan
Sesjen di Departemen Kehutanan dimana sesjen tersebut adalah orang dari partai
yang sama dengan menteri kehutanan saat itu. Begitu juga terjadi di beberapa
departemen dan di Diknas, BUMN, dan lain-lain. Ada beberapa eselon yang
diangkat yang dia merupakan orang dari partai yang sama dengan menteri yang
membawahi departemen tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa bagaimana suatu
birokrasi pemerintahan tidak terlepas dari intervensi partai politik.
Kemudian ada pula
tindakan presiden Abdurrahman Wahid yang menghapuskan Departemen Penerangan dan
Departemen Sosial, dengan alas an bahwa departemen tersebut bermasalah, banyak
KKN, dan departemen itu dianggap telah mencampuri hak-hak sipil warga negara.
Penghapusan dua
departemen tersebut dapat dikatakan sesuai dengan prinsip reinventing
government atau ada pula yang menganggap hal ini sebagai langkah
debirokratiasasi dan dekonstruksi masa lalu yang dianggap terlalu berlebihan
mengintervensi kemerdekaan dan kemandirian publik.
Aturan induk netralitas
politik birokrasi Indonesia sudah ada pada pasal 4 Peraturan Pemerintah 1999,
yang menyatakan bahwa PNS dalam menyelenggarakan tugas pemerintahan dan
pembangunan tidak bertindak diskriminatif, khususnya dalam memberikan pelayanan
kepada masyarakat.
Dalam pemerintahan
Megawati, para menteri dalam masa itu melestarikan tradisi Golkar, yaitu semua
organisasi pemerintah dikaburkan antara jabatan karier dengan non karier, serta
jabatan birokrasi dengan jabatan politik. Hal ini menunjukkan bahwa pada masa
ini harapan untuk melakukan reformasi birokrasi tidak akan terlaksana. Hingga
pada tahun 2004 barulah dimulai reformasi birokrasi secara riil dengan
pembentukan UU.
E. Pelayanan Birokrasi
Pemerintah Terhadap Masyarakat Saat Ini
Sekarang ini masih banyak
masalah yang menimpa masyarakat mengenai pelayanan umum, seperti masalah
perijinan, pembuatan, perpanjangan surat-surat yang dibutuhkan masyarakat,
misalnya pembuatan KTP, Kartu Keluarga, dan surat-surat pengantar untuk
diajukan ke instansi yang lebih tinggi. Masalah timbul dari masyarakat yang
tidak merasa puas dengan pelayanan yang diberikan, dan beberapa faktor internal
pada kinerja pelayan publik pada kecamatan sebagai instansi tingkat
pemerintahan yang berwenang baik dalam masalah pelayanannya seperti berapa lama
pembuatan, kinerja pelayannya ataupun mengenai biaya.
Penyelenggaraan pelayanan
oleh pemerintah yang cenderung menganggap bahwa sebaik apapun dalam memberikan
pelayanan pada masyarakat, toh tidak akan merubah gaji dan pendapatan mereka.
Profesionalisme bukan menjadi tujuan utama mereka. Mereka mau melayani hanya
karena tugas dari pimpinan instansi atau
karena sebagai pegawai pemerintah, bukan karena tuntutan profesionalisme kerja.
Ini yang membuat keberpihakannya kepada masyarakat menjadi sangat rendah. Pelayan
publik akan bersikap ramah kepada mesyarakat pengguna layanan kalau ada
“sesuatu” yang memberikan keuntungan atau melatar belakanginya, seperti
hubungan pertemanan, status sosial ekonomi warga dan lain-lain. Bagi masyarakat
pengguna layanan yang kebetulan mempunyai kenalan, sebagai kerabat, saudara,
orang kaya yang dapat memberikan “ucapan terima kasih”, serta mereka yang
mempunyai status sosial terpandang di masyarakat, biasanya akan memperoleh
“perlakuan khusus” dari para pelayan publik. Dalam situasi demikian, maka
budaya antri menjadi hilang, sebaliknya budaya pelayanan “jalan pintas’ menjadi
pilihan stategis dan menjadi hal yang biasa dilakukan. Ini hanya mungkin
dilakukan oleh masyarakat yang memiliki kelebihan uang, status, dan sejenisnya
yang tidak dimiliki oleh masyarakat biasa.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Penyelenggaraan
pemerintahan yang baik dan demokratis mensyaratkan kinerja dan akuntabilitas
aparatur yang makin meningkat. Hal ini mengindikasikan bahwa reformasi
birokrasi merupakan kebutuhan dan harus sejalan dengan perubahan tatanan
kehidupan politik, kemasyarakatan, dan dunia usaha. Dalam peta tantangan
nasional, regional, dan internasional, aparatur negara dituntut untuk dapat
mewujudkan profesionalisme, kompetensi dan akuntabilitas. Pada era globalisasi,
aparatur negara harus siap dan mampu menghadapi perubahan yang sangat dinamis
dan tantangan persaingan dalam berbagai bidang. Saat ini masyarakat Indonesia
sedang memasuki era yang penuh tuntutan perubahan serta antusiasme akan
pengubahan. Ini merupakan sesuatu yang di Indonesia tidak dapat dibendung lagi.
Oleh karena itu, reformasi di tubuh birokrasi indonesia harus terus dijalankan
demi terciptanya pelayanan prima bagi masyarakat seperti yang telah dilakukan
oleh departemen keuangan.
B. Saran
Untuk memayungi reformasi
birokrasi, diupayakan penataan perundang-undangan, antara lain dengan
menyelesaikan rancangan undang-undang yang telah ada. Dengan demikian, proses
reformasi birokrasi dapat berjalan dengan baik dengan adanya legalitas secara
hukum dalam pelaksanaannya.
Untuk membangun bangsa
yang bermartabat, harus dilakukan bersama oleh pemerintah dan masyarakat dalam
menciptakan pemerintah yang lebih baik dari able government ke better
government dan trust government. Selain itu, diharapkan masyarakat dapat lebih
partisipatif dalam pelaksanaan reformasi birokrasi, prinsip-prinsip good
governance, pelayanan publik, penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan yang
baik, bersih, dan berwibawa, serta pencegahan dan percepatan pemberantasan
korupsi.
DAFTAR PUSTAKA: