Undang-Undang Pelayanan
Publik
Dari Wikipedia bahasa
Indonesia, ensiklopedia bebas
Undang-Undang Pelayanan
Publik (secara resmi bernama Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang
Pelayanan Publik) adalah undang-undang yang mengatur tentang prinsip-prinsip
pemerintahan yang baik yang merupakan efektifitas fungsi-fungsi pemerintahan
itu sendiri. perlayanan publik yang dilakukan oleh pemerintahan atau koporasi
yang efektif dapat memperkuat demokrasi dan hak asasi manusia, mempromosikan
kemakmuran ekonomi, kohesi sosial, mengurangi kemiskinan, meningkatkan
perlindungan lingkungan, bijak dalam pemanfaatan sumber daya alam, memperdalam
kepercayaan pada pemerintahan dan administrasi publik.
Negara berkewajiban
melayani setiap warga negara dan penduduk untuk memenuhi hak dan kebutuhan
dasarnya dalam kerangka pelayanan publik yang merupakan amanat Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, membangun kepercayaan masyarakat
atas pelayanan publik yang dilakukan penyelenggara pelayanan publik merupakan
kegiatan yang harus dilakukan seiring dengan harapan dan tuntutan seluruh warga
negara dan penduduk tentang peningkatan pelayanan publik, sebagai upaya untuk
mempertegas hak dan kewajiban setiap warga negara dan penduduk serta
terwujudnya tanggung jawab negara dan korporasi dalam penyelenggaraan pelayanan
publik, diperlukan norma hukum yang memberi pengaturan secara jelas, sebagai
upaya untuk meningkatkan kualitas dan menjamin penyediaan pelayanan publik
sesuai dengan asas-asas umum pemerintahan dan korporasi yang baik serta untuk
memberi perlindungan bagi setiap warga negara dan penduduk dari penyalahgunaan
wewenang di dalam penyelenggaraan pelayanan publik
Pengertian
Pelayanan Publik Menurut Para Ahli
Pelayanan adalah suatu
cara melayani, membantu menyiapkan, mengurus dan menyelesaikan keperluan
kebutuhan mayarakat, baik secara perorangan, kelompok dan atau golongan,
organisasi ataupun sekelompok anggota organisasi).
Dalam pengertian
pelayanan tersebut terkandung suatu kondisi bahwa yang melayani memiliki suatu
keterampilan, keahlian dibidang tertentu. Berdasarkan keterampilan dan keahlian
tersebut pihak aparat yang melayani mempunyai posisi atau nilai lebih dalam
kecakapan tertentu, sehingga mampu memberikan bantuan dalam menyelesaikan suatu
keperluan, kebutuhan individu atau organisasi.
Dalam pengertian
pelayanan tersebut secara konkrit diutarakan :
Pelayanan merupakan
salah satu tugas utama aparatur pemerintah, termasuk pelaku bisnis.
Obyek yang dilayani :
masyarakat (publik)
Bentuk pelayanan itu
berupa barang dan jasa yang sesuai dengan kepentingan kebutuhan masyarakat dan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dengan demikian
pelayanan publik dapat diartikan sebagai suatu proses pemenuhan kebutuhan
masyarakat terutama yang berkaitan dengan kepentingan umum dan kepentingan
golongan atau individu dalam bentuk barang dan jasa.
Pengertian Pelayanan
Publik Menurut Para Ahli # Pelayanan adalah suatu bentuk kegiatan pelayanan
yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah baik di pusat dan daerah maupun BUMN
dan BUMD dalam rangka pemenuhan kebutuhan masyarakat sesuai peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Dalam kamus besar bahasa Indonesia dinyatakan
bahwa pelayanan publik adalah suatu usaha untuk membantu menyiapkan (mengurus)
apa yang diperlukan orang lain.
Dalam pelaksanaannya
pelayanan dilakukan secara pelayanan profesional, dan prima artinya dilakukan
secara konkrit bahwa yang melayani harus memiliki suatu kemampuan dalam
melayani, menanggapi kebutuhan khas (unik, khusus, istimewa) orang lain agar
mereka puas. Pelayanan prima merupakan pelayanan yang memenuhi standar
pelayanan terhadap permintaan, keinginan, dan harapan masyarakat yang mempunyai
nilai yang tinggi dan bermutu (berkualitas).
Pengertian Pelayanan
Publik Menurut Para Ahli # Selanjutnya, Drs. H. Tamaruddin dalam Pengembangan
Pelaksanaan Pelayanan Prima menyebutkan : Tujuan dari pelayanan prima adalah
memuaskan dan atau sesuai dengan keinginan pelanggan. Untuk mencapai hal itu,
diperlukan kualitas pelayanan yang sesuai dengan kebutuhan dan atau keinginan
pelanggan. Zeithaml et el, (1990) seperti dikutip Yun, Yong, dan Loh (1998)
menyatakan bahwa mutu pelayanan didefinisikan oleh pelanggan, yaitu kesesuaian
antara harapan dan atau keinginan dengan kenyataan.
Lemahnya
Etika Pelayanan Publik Di Dalam Birokrasi
Misi aparat birokrasi
adalah memberikan pelayanan sebaik-baiknya kepada masyarakat, dengan
meningkatkan kualitas sumber daya manusia, sehingga bisa memberikan
kesejahteraan dan rasa keadilan pada masyarakat banyak. Pelayanan yang mengacu
terkait dengan prinsip-prinsip good governance, sebagaimana tuntutan reformasi
yaitu untuk mewujudkan clean government dalam penyelenggaraan negara yang
didukung prinsip-prinsip dasar kepastian hukum, akuntabilitas, transparansi,
keadilan, profesionalisme, dan demokratis seperti yang dikumandangkan oleh
World Bank, UNDP, United Nation, dan beberapa lembaga internasional lainnya.
Akan tetapi, dari
beberapa sumber menunjukkan masih ada aparat birokrasi yang mengabaikan
pekerjaan melayani, yang sebenarnya menjadi tanggung jawabnya. Hal itu,
terlihat dari birokrasi sedang berada dan bekerja pada lingkungan yang
hirarkis, birokratis, monopolis, dan terikat oleh political authority (Utomo,
2002). Keadaan ini yang membuat birokrasi menjadi membudaya yang rigid/kaku,
ada di lingkungan yang hanya sebatas following the instruction atau mengikuti
instruksi. Juga dikarenakan ada di dalam tightening control atau mengencangkan
kendali, maka birokrasi menjadi tidak memiliki inisiatif dan kreativitas. Hal
ini menjadi isu umum budaya birokrasi yang menginginkan balas jasa (Thoha,
2003). Budaya dan mental birokrat tersebut kontradiktif dengan pelayanan yang
terkait untuk mewujudkan prinsip-prinsip good and clean government, dan kurang
menempatkan masyarakat sebagai orang yang dilayani, dan justru sebaliknya.
Selanjutnya birokrasi
sangat sarat dengan banyak tugas dan fungsi, karena tidak saja terfokus kepada
pelayanan publik, tetapi juga bertugas dan berfungsi sebagai motor pembangunan
dan aktivitas pemberdayaan (public service, development and empowering).
Akibatnya menjadikan birokrasi sebagai lembaga yang tambun sehingga mengurangi
kelincahannya.
Birokrasi di Indonesia
hingga saat ini belum efektif. Para birokrat di mata publik memiliki citra
buruk dan cenderung korup. Mereka tidak dapat mengikuti situasi ekonomi,
sosial, dan politik yang sedang berkembang yang menuntut adanya sikap dinamis
dan terbuka. Waktu dan biaya yang tidak terukur adalah cermin tidak
profesionalnya kerja penopang birokrasi. Mereka masih melestarikan budaya
birokrasi kolonial. Inilah budaya birokrasi kita saat ini yang jauh dari kesan
melayani masyarakat. Perubahan kepemimpinan yang terjadi ditingkat nasional
maupun daerah ternyata tidak mampu mendorong reformasi yang terarah dalam
memperbaiki citra birokrat dan sistim birokrasi kita.
Para pejabat politik
baru pun harus berkonflik atau berkolusi di bawahnya karena dominasi mereka
yang begitu kuat. Karenanya di era reformasi ini, perubahan pejabat politik di
level nasional maupun daerah yang dimotori oleh partai politik baru dengan
minimnya jaringan birokrasi, pasti selami mengalami resistensi tinggi.
Bureaucratism
berdasarkan laporan World Competition Report Indonesia menduduki ranking 31
dari 48 negara. Dalam laporan tersebut Indonesia termasuk tinggi tingkat
korupsinya. Selanjutnya, ada juga mengenai pelayanan aparatur birorkasi untuk
negara berkembang, di dalamnya termasuk Indonesia.
Faktor buruknya
pelayanan aparat birokrasi disebabkan oleh: 1) Gaji rendah (56%), Sikap mental
aparat pemerintah (46%), Kondisi ekonomi buruk pada umumnya (32%), Administrasi
lemah dan kurangnya pengawasan (48%), dan lain-lain (13%). Persentase lebih
dari 100% disebabkan ada respons ganda dari responden (Smith). Dengan demikian,
maka diperlukan adanya reformasi birokrasi di Indonesia.
Kata reformasi sampai
saat ini masih menjadi idola atau primadona yang didambakan perwujudannya oleh
sebagian besar masyarakat Indonesia dalam rangka development, yang diarahkan
pada terwujudnya efisiensi, efektivitas, dan clean government. Kita semua tidak
menutup mata, bahwa situasi telah berubah, dunia sudah mengglobal, sistem dan
nilai pun berubah dan juga berkembang.
Era globalisasi
menyentak kita melakukan penyesuaian dan pemikiran yang strategis. Aktivitas
reformasi sebagai padanan lain dari change, improvement, atau modernization.
Arah yang akan dicapai reformasi adalah, efficiency, effectiveness, dan
responsiveness concern in their administrative system.
Khan (1981) memberi
pengertian reformasi sebagai suatu usaha perubahan pokok dalam suatu sistem
birorkasi yang bertujuan mengubah struktur, tingkah laku, dan keberadaan atau
kebiasaan yang telah lama. Sedangkan Quah (1976) mendefinisikan reformasi
sebagai suatu proses untuk mengubah proses prosedur birokrasi publik dan sikap
serta tingkah laku birokrat untuk mencapai efektivitas birokrasi dan tujuan
pembangunan nasional. Dari pengertian ini, maka reformasi ruang lingkupnya
tidak hanya terbatas pada proses dan prosedur, tetapi juga mengaitkan perubahan
pada tingkat struktur dan sikap serta tingkah laku (the ethics being). Hal ini,
berarti menyangkut permasalahan yang bersinggungan dengan authority atau formal
power (kekuasaan).
Oleh karena itu, 1)
perlu pemikiran pembenahan dan pengembalian fungsi dan misi birokrasi kepada
konsep, makna, prinsip yang sebenarnya. 2) Birokrasi sebagai komponen
pemerintah harus dikembalikan lagi untuk hanya terfokus kepada fungsi, tugas
prinsip pelayanan publik (public service). Dengan demikian, birokrasi akan
menjadi lebih lincah dan jelas kinerja atau performancenya. Tidak saja kinerja
organisasi atau lembaganya tetapi juga memudahkan untuk membuat performance
indicators dari masing-masing aparat atau birokrat. 3) Untuk itu, perlu adanya
kebijakan presiden melalui political will melakukan reformasi di bidang
birokrasi, dengan melepaskan birokrasi dari fungsi dan tugas dan misi
sesungguhnya tidak termasuk dalam kewenangannya. 4) Tetapi juga untuk
melepaskan birokrasi sebagai alat politik (netralitas), serta membebaskan
birokrasi untuk bersinergi dan berinteraksi dengan customer's oriented yang
pada hakikatnya adalah kepentingan pelayanan untuk masyarakat.
Birokrasi dan Pelayanan
Publik Pro-kontra revisi UU No.22/1999 telah mencuat menjadi wacana publik.
Disinyalir pelaksanaannya dapat melahirkan disintegrasi bangsa, kurang
terkontrolnya daerah, serta provinsi dan pusat menjadi powerless. Namun
sayangnya, hal-hal yang bersifat teknis luput dari perhatian. Dalam menyongsong
otonomi daerah setidaknya ada 4 hal teknis yang perlu dipersiapkan yakni 4 P:
pembiayaan, prasarana, partisipasi masyarakat, dan personil.
Penyiapan SDM baik
kuantitas dan kualitas (pendidikan, ketrampilan, mental) harus dilakukan.
Keempat hal teknis tersebut lupa dipersiapkan, sehingga implementasi dari UU
tersebut menjadi sedikit kacau. Penggalian dan pembangunan 4 P dapat
dilaksanakan dengan baik dan perlu adanya prasyarat sistem birokrasi yang
sehat. Dalam tulisan ini, penulis mencoba menyoroti aspek sistem birokrasi di
daerah yang perlu dibenahi.
Pada masa pemerintahan
Orde Baru, sistem birokrasi kita tidak jelas, dan cenderung menjadi lembaga
politik ketimbang lembaga administratif. Sehingga birokrasi menjadi lembaga
upeti, minta dilayani- bukan sebaliknya yang seharusnya melayani publik. Untuk
itu, refleksi kesejarahan birokrasi dapat dijadikan tonggak, bagaimana sistem
birokrasi tersebut harus dibentuk. Birokrasi menurut Martin Albrow digunakan
sejak tahun 1745 oleh Vincent de Gounnay untuk menerangkan pemerintahan Prusia.
Birokrasi lahir tepat pada waktunya, tatkala pemeliharaan ketertiban dan
ketenteraman dan kemudian upaya untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan
menempati prioritas pertama. Penerangan konsep ini berlangsung secara luas dan
berkembang di negara industri di Eropa dan Amerika. Birokrasi yang secara
etimologis berarti 'kekuasaan di belakang meja' atau meminjam definisi Lance
Castle adalah "orang-orang digaji yang berfungsi dalam pemerintahan".
Dalam kacamata awam birokrasi adalah aparat pemerintah (pegawai negeri), yang
dalam jargon Korpri sebagai abdi negara (yang melayani negara) bukan sebagai
abdi rakyat (civil servant) yang melayani masyarakat. Birokrasi juga dapat
diartikan sebagai government by bureaus, yaitu pemerintahan biro oleh personil
yang diangkat oleh penguasa. Kadangkala birokrasi diartikan sebagai
pemerintahan yang kaku, macet, dan segala tuduhan yang negatif terhadap
instansi yang berkuasa (red tape).
Rasanya kurang afdol
kalau kita membahas birokrasi tanpa menyinggung Weber. Walaupun sesungguhnya
Weber secara eksplisit tidak mendefinisikan birokrasi. Birokrasi rasional oleh
Weber dibebankan dengan birokrasi patrimonial. Pada pengertian pertama, birokrasi
yang dimaksud memisahkan secara tajam antara kantor dan si pemegang jabatan,
kondisi yang tepat untuk pengangkatan dan kenaikan pangkat, hubungan otoritas
yang disusun secara sistematis antara kedudukan, serta hak dan kewajiban yang
diatur dengan tugas. Sedangkan birokrasi patrimonial, kedudukan dan tingkah
laku seluruh hirarki sebagian besar bergantung pada hubungan
personal-kekeluargaan atau patront-client. Birokrasi yang paling rasional
terlebih dahulu mempersyaratkan proposisi-proposisi menurut legitimasi dan
otoritas, serta memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
Para anggota staf
secara pribadi bebas, hanya menjalankan tugas-tugas impersonal jabatan mereka.
Ada hirarki jabatan
jelas.
Fungsi-fungsi jabatan
ditentukan secara tegas.
Para pejabat diangkat
berdasarkan suatu kontrak.
Mereka dipilih dengan
kualifikasi profesional.
Memiliki gaji dan
pensiun.
Pos jabatan adalah
lapangan kerja pokoknya.
Terdapat struktur karir
dan promosi atas dasar merit sistem dan keunggulan.
Apa yang dikemukakan Weber
tentang birokrasi rasional merupakan lembaga administratif belaka. Secara
fungsional birokrasi dalam suatu negara diperlukan dan berguna memperlancar
urusan-urusan pemerintahan dan pelayanan publik. Birokrasi mendapat konotasi
positif. Sedangkan menurut pandangan Marx, The bureaucracy had eventually
become a caste which claimed to posess, through higher education, the monopoly
of the interpretation of the state's interests. Style birokrasi pada masa Orde
Baru mirip dengan sinyalemen Marx di atas, yang memonopoli interpretasi atas
kebenaran, ideologi, dan simbol-simbol negara. Meminjam istilah Karl D.Jackson
model birokrasi Orde Baru disebut bureaucratic polity yang salah satu cirinya
adalah bahwa suasana politik menentukan diri dan otonom vis a vis lingkungan
domestik. Politik terwujud sebagai persaingan antara lingkaran
birokrat-birokrat tingkat tinggi berpangkat tinggi dan perwira-perwira militer.
Kepolitikan birokrasi ini menurut Crouch dicirikan oleh 3 hal, yaitu lembaga
politik yang dominan adalah birokrasi ; Parlemen, parpol, kelompok kepentingan
berada dalam keadaan lemah tanpa mampu mengontrol birokrasi ; massa di luar
birokrasi secara politik adalah pasif.
Apa yang dikemukakan
oleh Jackson dan Crouch di atas, tidak terlepas dari strategi Soeharto dalam
mempertahankan kekuasaan selama 32 tahun dengan jalan mengkooptasi kekuatan
nonnegara berada dalam kontrol dirinya melalui legitimasi UU, pengebirian UUD
45, Keppres, serta mengucilkan dan menjebloskan kelompok oplosan. Sehingga
monopoli kekuasaan berada di tangannya. Kekuasaan Soeharto dan birokrasi selama
32 tahun tanpa terkontrol, hasilnya adalah kasus mega KKN serta, mental aparat
yang bobrok.
Setelah kita bicara
birokrasi secara makro-politis, maka kini kita akan membicarakan secara
mikro-administratif, yang dikaitkan dengan pelayanan publik. Telah menjadi
rahasia umum bahwa pelayanan umum di instansi pemerintah selama ini lamban,
ruwet, tidak efisien, dan bahkan menjengkelkan karena banyak calo yang
berkeliaran. Kita lihat di samsat, di loket stasiun misalnya, calo yang ada
tidak pernah bisa diberantas, malahan dilindungi karena mendatangkan fulus. Hal
ini memberi kesan bahwa birokrasi kita adalah ibarat 'benang kusut', akibatnya
masyarakat enggan berhadapan dengan birokrasi. Inilah sebuah paradoks birokrasi
kita, yang justru tidak mendinamisasi masyarakat. Maka pelayanan publik sebagai
fungsi utama Birokrasi mendesak untuk dibenahi dan disertai dengan law
enforcement yang tegas.
Sekadar untuk menengok
pelayanan publik secara formal, maka menurut keputusan Menpan nomor 81/1993
pelayanan publik adalah segala bentuk pelayanan umum yang dilaksanakan oleh
instansi pemerintah di pusat, di daerah, dan di lingkungan BUMN/D dalam bentuk
barang dan jasa, baik dalam pemenuhan kebutuhan masyarakat maupun dalam rangka
pelaksanaan ketentuan perundang-undangan. pelayanan publik menuntut tata
laksana, prosedur kerja, tata kerja, sistem kerja, wewenang, biaya, dll. Secara
ideal pelayanan umum yang dilaksanakan harus sedapat mungkin mendorong
kreativitas, prakarsa, serta peran serta masyarakat dalam pembangunan. Hubungan
aparat dengan masyarakat yang patront-client harus diubah menjadi hubungan
produsen-konsumen, atau govenrment-citizen di mana masyarakat merupakan primary
stakeholder.
Tuntutan masyarakat
sejalan dengan demokratisasi dan perkembangan teknologi, maka pelayanan publik
dituntut lebih efisien, serba cepat, computerised, transparansi, komunikatif.
Birokrasi modern mengemban misi fairer, faster, better and cheaper. Untuk ke
arah itu sistem harus dibenahi, dituntut aparat yang mempunyai skill yang
memadai, ramah, berpengetahuan luas, serta ditunjang alat yang canggih. Tanpa
itu semua sulit rasanya birokrasi kita mengantisipasi tuntutan pelayanan publik
masa-masa mendatang.
Birokrasi kita perlu
mengubah orientasi dari 'dilayani' ke 'melayani' demikian pula orientasi negara
perlu diubah dari 'beamstenstaat' ke 'peoplestate'. David Osborn dan Ted
Gaebler dalam "Reinventing Government" menyarankan adanya perubahan
orientasi pemerintahan di antaranya: pemerintahan lebih bertindak sebagai
pengarah daripada pelaksana, memberdayakan masyarakat untuk melayani diri
daripada memonopoli pelayanan, berorientasi pada hasil ketimbang input, lebih
mementingkan kebutuhan masyarakat luas ketimbang birokrasi, menyesuaikan dengan
perubahan tuntutan pasar, desentralisasi diperluas untuk meningkatkan
partisipasi masyarakat. Perubahan orientasi itu perlu bahkan harus, agar
birokrasi kita mampu menghasilkan public good dan public interest atau high
quality public goods and service.
Kalau orientasi
birokrasi tidak berubah, maka akan timbul ekses-ekses seperti
'immobilism-inability' to functio' (hambatan dan ketidakmampuan menjalankan
fungsi-fungsi secara efektif) 'takenism' (pernyataan sikap mendukung secara
terbuka, tetapi sesungguhnya hanya melakukan partisipasi minimal dalam
pelaksanaannya), maupun 'procrastination' (bentuk partisipasi dengan kualitas
pelayanan diturunkan). Dalam realitasnya pemberian pelayanan oleh Pemda kepada
masyarakat cenderung birokratis, dan inefesiensi. Jumlah personil birokrasi
"unskilled over loaded". Fenomena tersebut menimbulkan beberapa
masalah yang berkenaan dengan pelayanan publik, di antaranya:
Masalah akuntabilitas
pelayanan publik.
Masalah pilihan
penyedia pelayanan (choices).
Pengadaan pelayanan
yang kompetitif.
Desentralisasi
manajemen.
Kualitas Pelayanan
20
Bentuk Pelanggaran dalam Pelayanan Publik
Penundaan Berlarut
Dalam proses pemberian
pelayanan umum kepada masyarakat, penyelenggara layanan secara berkali-kali
menunda atau mengulur-ulur waktu dengan alasan yang tidak dapat dipertanggung-
jawabkan sehingga proses administrasi yang sedang dikerjakan menjadi tidak
tepat waktu sebagaimana ditentukan (secara patut) dan mengakibatkan pelayanan
umum tidak ada kepastian.
Tidak Menangani
Penyelenggara layanan
sama sekali tidak melakukan tindakan yang semestinya wajib dilakukan (menjadi
kewajibannya) dalam rangka memberikan pelayanan umum kepada masyarakat.
Persekongkolan
Penyelenggara Layanan
bersekutu dan turut serta melakukan kejahatan, kecurangan, melawan hukum dalam
memberikan pelayanan umum kepada masyarakat.
Pemalsuan
Perbuatan meniru suatu
secara tidak sah atau melawan hukum untuk kepentingan menguntungkan diri
sendiri, orang lain dan/atau kelompok sehingga menyebabkan tidak dapat
dilaksanakannya pelayanan umum kepada masyarakat secara baik.
Diluar Kompetensi
Dalam proses pemberian
pelayanan umum, seorang pejabat publik memutuskan sesuatu yang bukan menjadi
wewenangnya sehingga masyarakat tidak memperoleh pelayanan secara baik.
Tidak Kompeten
Dalam proses pemberian
pelayanan umum, penyelenggara layanan tidak mampu atau tidak cakap dalam
memutuskan sesuatu sehingga pelayanan yang diberikan kepada masyarakat menjadi
tidak memadai (tidak cukup baik).
Penyalahgunaan Wewenang
Seorang pejabat publik
menggunakan wewenangnya (hak dan kekuasaan untuk bertindak) untuk keperluan
yang tidak sepatutnya sehingga menjadikan pelayanan umum yang diberikan tidak
sebagaimana mestinya.
Bertindak
Sewenang-wenang
Seorang penyelenggara
layanan menggunakan wewenangnya (hak dan kekuasaan untuk bertindak) melebihi
apa yang sepatutnya dilakukan sehingga tindakan dimaksud bertentangan dengan
ketentuan yang berlaku dan mengakibatkan pelayanan umum tidak dapat diberikan secara
memadai.
Permintaan Imbalan
Uang/Korupsi
Dalam proses pemberian
pelayanan umum kepada masyarakat, seorang penyelenggara layanan meminta imbalan
uang dan sebagainya atas pekerjaan yang sudah semestinya dia lakukan (secara
cuma-cuma) karena merupakan tanggung jawabnya. Seorang pejabat atau
penyelenggara layanan menggelapkan uang negara, perusahaan (negara), dan
sebagainya untuk kepentingan pribadi atau orang lain sehingga menyebabkan
pelayanan umum tidak dapat diberikan kepada masyarakat secara baik.
Kolusi dan Nepotisme
Dalam proses pemberian
pelayanan umum kepada masyarakat, penyelenggara layanan melakukan tindakan
tertentu untuk mengutamakan sanak famili sendiri tanpa kriteria objektif dan
tidak dapat dipertanggungjawabkan (tidak akuntable), baik dalam memperoleh
pelayanan maupun untuk dapat duduk dalam jabatan atau posisi dilingkungan
pemerintahan.
Penyimpangan Prosedur
Dalam proses pemberikan
pelayanan umum, penyelenggara layanan tidak mematuhi tahapan kegiatan yang
telah ditentukan dan secara patut, baik berdasarkan peraturan
perundang-perundang-undangan yang berlaku atau asas-asas kepatutan yang berlaku
umum.
Melalaikan Kewajiban
Dalam proses pemberian
pelayanan umum, seorang penyelenggara layanan bertindak kurang hati-hati dan
tidak mengindahkan apa yang semestinya menjadi tanggungjawabnya.
Bertindak Tidak Layak/
Tidak Patut
Dalam proses pemberian
pelayanan umum, penyelenggara layanan melakukan sesuatu yang tidak wajar, tidak
patut, dan tidak pantas sehingga masyarakat tidak mendapatkan pelayanan
sebagaimana mestinya.
Penggelapan Barang
Bukti
Seorang pejabat publik
terkait dengan proses penegakan hukum telah menggunakan barang, uang dan
sebagainya secara tidak sah, yang merupakan alat bukti suatu perkara sehingga
mengakibatkan pelayanan umum yang semestinya diterima pihak yang berperkara
menjadi terganggu.
Penguasaan Tanpa Hak
Seorang pejabat publik
memenguasai sesuatu yang bukan milik atau kepunyaannya secara melawan hak,
mengakibatkan pelayanan umum terkait dengan hak tersebut tidak diperoleh
sipemilik hak.
Bertindak Tidak Adil
Dalam proses pemberian
pelayanan umum, seorang peneyelenggara layanan melakukan tindakan memihak,
melebihi atau mengurangi dari yang sewajarnya, sehingga masyarakat memperoleh
pelayanan tidak sebagaimana mestinya.
Intervensi
Penyelenggara layanan
melakukan campur tangan terhadap kegiatan yang bukan menjadi tugas dan
kewenangannya sehingga mempengaruhi proses pemberian pelayanan umum kepada
masyarakat.
Nyata-nyata Berpihak
Dalam proses pemberian
pelayanan umum, seorang pejabat publik bertindak berat sebelah dan lebih
mementingkan salah satu pihak tanpa memperhatikan ketentuan berlaku sehingga
keputusan yang diambil merugikan pihak lainnya.
Pelanggaran
Undang-Undang
Dalam proses pemberian
pelayanan umum, penyelenggara layanan secara sengaja melakukan tindakan
menyalahi atau tidak mematuhi ketentuan perundangan yang berlaku sehingga
masyarakat tidak memperoleh pelayanan secara baik.
Perbuatan Melawan Hukum
Dalam proses pemberian
pelayanan umum, penyelenggara layanan melakukan perbuatan bertentangan dengan
ketentuan berlaku dan kepatutan sehingga merugikan masyarakat yang semestinya
memperoleh pelayanan umum.
*) Dikutip dari buku
“Panduan Investigasi untuk Ombudsman Indonesia”, diterbitkan oleh Komisi
Ombudsman Nasional, tahun 2003.
dapat disimpulkan :
pelayanan publik : melayani sepenuh hati, ikhlas karena untuk kepentingan bersama bukan individu / golongan harus adil tanpa terkecuali.
Materi :
http://ondyx.blogspot.com/2014/01/lemahnya-etika-pelayanan-publik-di.html
http://upkp2.batangkab.go.id/20-bentuk-pelanggaran-dalam-pelayanan-publik/
http://elfriza.blogspot.com/2014/09/pengertian-pelayanan-publik-menurut.html