BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Wujud etika pemerintahan tersebut
adalah aturan-aturan ideal yang dinyatakan dalam UUD baik yang dikatakan oleh
dasar negara (pancasila) maupun dasar-dasar perjuangan negara (teks
proklamasi). Di Indonesia wujudnya adalah pembukaan UUD 1945 sekaligus
pancasila sebagai dasar negara (fundamental falsafah bangsa) dan doktrin
politik bagi organisasi formil yang mendapatkan legitimasi dan serta keabsahan
hukum secara de yure maupun de facto oleh pemerintahan RI, dimana pancasila
digunakan sebagai doktrin politik organisasinya
1.2 Rumusan masalah
Ø Bagaimana
perkembangan etika dan noma bagi para pejabat pada saat ini ?
Ø Bagaimana
sikap pemerintahan menyikapi permasalahan etika dan norma dikalangan para
pejabat ?
1.3 Tujuan makalah
Adapun tujuan makalah
ini untuk mempublikasikan penyimpangan yang sering dilakukan oleh para birokrat
diindonesia.
1. Memberikan
infomasi bahwa ada seorang pejabat yang sudah memimpin dalam kurun waktu dua
priode dan ingin menjabat kembali.
2. Penolakan
pejabat daerah terhadap pemerintah pusat terhadap kenaikan BBM (Bahan Bakar
Minyak)
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 DEFINISI ETIKA,MORAL,ETIKET
Biasanya
bila kita mengalami kesulitan untuk memahami arti sebuah kata maka kita akan
mencari arti kata tersebut dalam kamus. Tetapi ternyata tidak semua kamus
mencantumkan arti dari sebuah kata secara lengkap. Hal tersebut dapat kita
lihat dari perbandingan yang dilakukan oleh K. Bertens terhadap arti kata
‘etika’ yang terdapat dalam Kamus Bahasa Indonesia yang lama dengan Kamus
Bahasa Indonesia yang baru. Dalam Kamus Bahasa
Ø PENGERTIAN
ETIKA
Indonesia
yang lama (Poerwadarminta, sejak 1953 -
mengutip dari Bertens,2000), etika mempunyai arti sebagai : “ilmu pengetahuan
tentang asas-asas akhlak (moral)”. Sedangkan kata ‘etika’ dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia yang baru (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1988 -
mengutip dari Bertens 2000), mempunyai arti :
1.
ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban
moral (akhlak);
2.
kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak;
3.
nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat.
Dari
perbadingan kedua kamus tersebut terlihat bahwa dalam Kamus Bahasa Indonesia
yang lama hanya terdapat satu arti saja yaitu etika sebagai ilmu. Sedangkan
Kamus Bahasa Indonesia yang baru memuat beberapa arti. Kalau kita misalnya
sedang membaca sebuah kalimat di berita surat kabar “Dalam dunia bisnis etika
merosot terus” maka kata ‘etika’ di sini bila dikaitkan dengan arti yang
terdapat dalam Kamus Bahasa Indonesia yang lama tersebut tidak cocok karena
maksud dari kata ‘etika’ dalam kalimat tersebut bukan etika sebagai ilmu
melainkan ‘nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau
masyarakat’. Jadi arti kata ‘etika’ dalam Kamus Bahasa Indonesia yang lama
tidak lengkap.
K.
Bertens berpendapat bahwa arti kata ‘etika’ dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
tersebut dapat lebih dipertajam dan susunan atau urutannya lebih baik dibalik,
karena arti kata ke-3 lebih mendasar daripada arti kata ke-1. Sehingga arti dan
susunannya menjadi seperti berikut :
1.
Nilai dan norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok
dalam mengatur tingkah lakunya.Misalnya, jika orang berbicara tentang etika
orang Jawa, etika agama Budha, etika Protestan dan sebagainya, maka yang
dimaksudkan etika di sini bukan etika sebagai ilmu melainkan etika sebagai
sistem nilai. Sistem nilai ini bisaberfungsi dalam hidup manusia perorangan
maupun pada taraf sosial.
2.
kumpulan asas atau nilai moral.Yang dimaksud di sini adalah kode etik. Contoh :
Kode Etik Jurnalistik
3.
ilmu tentang yang baik atau buruk.
Etika
baru menjadi ilmu bila kemungkinan-kemungkinan etis (asas-asas dan nilai-nilai
tentang yang dianggap baik dan buruk) yang begitu saja diterima dalam suatu
masyarakat dan sering kali tanpa disadari menjadi bahan refleksi bagi suatu
penelitian sistematis dan metodis. Etika di sini sama artinya dengan filsafat
moral.
Ø PENGERTIAN
MORAL
Istilah
Moral berasal dari bahasa Latin. Bentuk tunggal kata ‘moral’ yaitu mos
sedangkan bentuk jamaknya yaitu mores yang masing-masing mempunyai arti yang
sama yaitu kebiasaan, adat. Bila kita membandingkan dengan arti kata ‘etika’,
maka secara etimologis, kata ’etika’ sama dengan kata ‘moral’ karena kedua kata
tersebut sama-sama mempunyai arti yaitu kebiasaan,adat. Dengan kata lain, kalau
arti kata ’moral’ sama dengan kata ‘etika’, maka rumusan arti kata ‘moral’
adalah nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau
suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Sedangkan yang membedakan hanya
bahasa asalnya saja yaitu ‘etika’ dari bahasa Yunani dan ‘moral’ dari bahasa
Latin. Jadi bila kita mengatakan bahwa perbuatan pengedar narkotika itu tidak
bermoral, maka kita menganggap perbuatan orang itu melanggar nilai-nilai dan
norma-norma etis yang berlaku dalam masyarakat. Atau bila kita mengatakan bahwa
pemerkosa itu bermoral bejat, artinya orang tersebut berpegang pada nilai-nilai
dan norma-norma yang tidak baik.
‘Moralitas’
(dari kata sifat Latin moralis) mempunyai arti yang pada dasarnya sama dengan
‘moral’, hanya ada nada lebih abstrak. Berbicara tentang “moralitas suatu
perbuatan”, artinya segi moral suatu perbuatan atau baik buruknya perbuatan
tersebut. Moralitas adalah sifat moral atau keseluruhan asas dan nilai yang
berkenaan dengan baik dan buruk.
Dalam
Kamus Umum Bahasa Indonesia diberikan beberapa arti dari kata “etiket”, yaitu :
1.
Etiket (Belanda) secarik kertas yang ditempelkan pada kemasan barang-barang
(dagang) yang bertuliskan nama, isi, dan sebagainya tentang barang itu.
2.
Etiket (Perancis) adat sopan santun atau tata krama yang perlu selalu
diperhatikan dalam pergaulan agar hubungan selalu baik.
2.2 Perbedaan Etiket dengan Etika
K.
Bertens dalam bukunya yang berjudul “Etika” (2000) memberikan 4 (empat) macam
perbedaan etiket dengan etika, yaitu :
1.
Etiket menyangkut cara (tata acara) suatu perbuatan harus dilakukan manusia.
Misal : Ketika saya menyerahkan sesuatu kepada orang lain, saya harus
menyerahkannya dengan menggunakan tangan kanan. Jika saya menyerahkannya dengan
tangan kiri, maka saya dianggap melanggar etiket.
Pengertian
Etika menyangkut cara dilakukannya suatu perbuatan sekaligus memberi norma dari
perbuatan itu sendiri. Misal : Dilarang mengambil barang milik orang lain tanpa
izin karena mengambil barang milik orang lain tanpa izin sama artinya dengan
mencuri. “Jangan mencuri” merupakan suatu norma etika. Di sini tidak
dipersoalkan apakah pencuri tersebut mencuri dengan tangan kanan atau tangan
kiri.
2.
Etiket hanya berlaku dalam situasi dimana kita tidak seorang diri (ada orang
lain di sekitar kita). Bila tidak ada orang lain di sekitar kita atau tidak ada
saksi mata, maka etiket tidak berlaku. Misal : Saya sedang makan bersama
bersama teman sambil meletakkan kaki saya di atas meja makan, maka saya
dianggap melanggat etiket. Tetapi kalau saya sedang makan sendirian (tidak ada
orang lain), maka saya tidak melanggar etiket jika saya makan dengan cara
demikian.
Arti Etika selalu berlaku, baik kita
sedang sendiri atau bersama orang lain. Misal: Larangan mencuri selalu berlaku,
baik sedang sendiri atau ada orang lain. Atau barang yang dipinjam selalu harus
dikembalikan meskipun si empunya barang sudah lupa.
3.
Etiket bersifat relatif. Yang dianggap tidak sopan dalam satu kebudayaan, bisa
saja dianggap sopan dalam kebudayaan lain. Misal : makan dengan tangan atau
bersendawa waktu makan.
Etika
bersifat absolut. “Jangan mencuri”, “Jangan membunuh” merupakan prinsip-prinsip
etika yang tidak bisa ditawar-tawar.
4..
Etiket memandang manusia dari segi lahiriah saja. Orang yang berpegang pada
etiket bisa juga bersifat munafik. Misal : Bisa saja orang tampi sebagai
“manusia berbulu ayam”, dari luar sangan sopan dan halus, tapi di dalam penuh
kebusukan.
Etika
memandang manusia dari segi dalam. Orang yang etis tidak mungkin bersifat
munafik, sebab orang yang bersikap etis pasti orang yang sungguh-sungguh baik.
2.3 Pengertian Etika Organisasi Pemerintah
Dalam
pengertian sempit, etika sama maknanya dengan moral, yaitu adat istiadat atau
kebiasaan. Akan tetapi, etika juga merupakan bidang studi filsafat atau ilmu
tentang adat atau kebiasaan. Sementara itu dalam konteks organisasi, pengertian
etika organisasi yaitu pola sikap dan perilaku yang diharapkan dari setiap
individu dan kelompok anggota organisasi, yang secara keseluruhan akan
membentuk budaya organisasi (organizational culture) yang sejalan dengan tujuan
maupun filosofi organisasi yang bersangkutan.
2.4 UU Etika Pemerintahan
Karena
tidak ada aturan hukum tertulis yang dilanggar, pemerintah pusat merasa
kesulitan untuk melarang tindakan yang tidak etis tersebut. Dari sini,
pemerintah pusat merasa perlu untuk menyusun UU ini. Pemerintah sedang
berancang-ancang untuk membuat Undang-Undang (UU) Etika Pemerintahan. Dengan
merancang UU ini, pemerintah berharap masalah-masalah etika di pemerintahan
selama ini dapat diatur dan diperjelas (Koran Jakarta, 24/4/2012).
Masalah
yang dimaksud mungkin banyak. Namun, yang paling menyita perhatian adalah kasus
para kepala daerah yang turut berdemonstrasi menentang pemerintah pusat
menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM). Turut disorot pula sikap kepala
daerah yang sudah menjabat selama dua periode berniat mencalonkan kembali
sebagai wakil kepala daerah.
\Pemerintah
pusat menganggap telah terjadi situasi yang rumit. Di satusisi, pemerintah
pusat menganggap bahwa kerap terjadi pelanggaran etika yang dilakukan kepala
daerah. Namun, di sisi lain, banyak kepala daerah menganggap mereka melakukan
tindakan yang benar karena tidak melanggar peraturan perundang-undangan. Karena
tidak ada aturan hukum tertulis yang dilanggar, pemerintah pusat merasa
kesulitan untuk melarang tindakan yang tidak etis tersebut. Dari sini,
pemerintah pusat merasa perlu untuk menyusun UU ini.
Sekalipun
niat awal pembentukan UU Etika baik, secara normatif, patut dipertanyakan
urgensinya karena sistem hukum sesungguhnya telah mengantisipasi permasalahan
tersebut. Sekiranya terjadi sesuatu yang debatable mengenai boleh tidaknya
suatu tindakan yang tidak diatur dalam peraturan tertulis, solusinya mencari
hukum.
Misalnya,
menggunakan logika hukum serta menggali nilai-nilai hukum yang terdapat pada
norma hukum dan asas hukum, perasaan hukum dan keadilan masyarakat, atau mencari
nilai filosofis yang terkandung dalam suatu peraturan hukum.Satjipto Rahardjo
menjelaskan konsep ini dengan contoh sederhana. Sekiranya ada orang waras yang
buang air kecil di kelas, tindakan orang tersebut salah. Kesimpulan tersebut
tidak harus berpatokan pada ada tidaknya aturan tertulis yang menyatakan,
"dilarang buang air kecil di kelas", namun dapat berpatokan pada asas
kepantasan yang hidup dalam masyarakat, buang air kecil harus di toilet.
Mekanisme
serupa sesungguhnya juga dapat menjadi solusi pada kasus-kasus etika dalam
pemerintahan. Upaya untuk mencegah kepala daerah berdemonstrasi menentang
kebijakan pemerintah pusat tidaklah harus diatur dengan peraturan tertulis,
cukup merujuk pada asas-asas umum pemerintahan yang baik (AUPB).
Salah
satu poin dari AUPB tersebut menyatakan suatu wewenang yang sah tidak boleh
untuk menarik wewenang yang sah dari penguasa lainnya (Laydersdoff dalam
Erliyana, 2007). Kepala daerah memang berwenang menyerap aspirasi warganya,
namun wewenang tersebut tidak boleh untuk "mengganggu" wewenang
pemerintah pusat. Terkait unjuk rasa kepala daerah yang menentang kenaikan
harga BBM, itu erat dengan wewenang pemerinta pusat sebab penentuan harga BBM
merupakan masalah yang terkait dengan fiskal dan moneter. Dua hal tersebut,
menurut Pasal 10 Ayat (3) UU 32/2004, merupakan kewenangan pemerintah pusat.
Lebih dari itu, semangat konsep pemerintahan didesain menuntut agar pemerintah
daerah senantiasa segaris dengan pusat. Konsep ini terefleksikan dari Pasal 1
(1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa Indonesia adalah negara kesatuan. Dengan
demikian, kasus demonstrasi kepala daerah dapat dikatakan sebagai tindakan yang
tidak etis.
Pendekatan
serupa juga dapat untuk membendung kasus kepala daerah yang sudah selesai
menjabat selama dua periode namun masih ingin mencalonkan diri sebagai wakil
kepala daerah dalam pilkada selanjutnya. Pemerintah tidak perlu repot-repot
membuat aturan tertulis untuk melarang niat tersebut karena pemerintah dapat
menolak berdasarkan doktrin hukum.
Hipotesis Lord Acton menyatakan kekuasaan cenderung korup telah diakui
dan menjadi sebuah doktrin dalam ilmu hukum. Berdasarkan hipotesis tersebut,
besaran serta durasi kekuasaan senantiasa harus dibatasi.
Khusus
untuk pembatasan durasi kekuasaan, sistem pemerintahan telah menyepakati masa
dua periode adalah masa yang maksimal dalam memangku jabatan (Pasal 7 UUD 1945,
Pasal 110 Ayat 3 UU 32/2004). Oleh karena itu, upaya akal-akalan untuk menjabat
ketiga kalinya patut dipandang sebagai tindakan yang tidak etis.
Maka
dari itu, elaborasi tersebut memberi pesan bahwa etis atau tidak etisnya suatu
tindakan sudah dapat terlihat jelas sekalipun tanpa mengatur etika dalam suatu
peraturan tertulis. Untuk itu, wacana UU Etika Pemerintahan tidak perlu.Lebih
dari itu, mengatur etika dalam bentuk peraturan tertulis dapat mengunci
fleksibilitas penemuan hukum tadi. Apabila UU ini lahir, pemerintah dan
masyarakat baik secara sadar maupun tidak akan terdorong untuk menggunakan UU
ini sebagai kiblat. Akibatnya, penggalian nilai hukum dari asas, norma, atau
sumber lainnya terpinggirkan.
Padahal,
suatu peraturan tidak akan pernah sempurna mengatur secara lengkap seluruh
hidup masyarakat sehingga selalu saja ditemukan kekurangan dalam aturan
tersebut.
Perlu
pula diwaspadai sifat dari peraturan tertulis yaitu cepat usang. Peraturan
selalu berjalan tertatih-tatih di belakang kenyataan. Akibatnya, jika di masa
depan terdapat kejadian yang dianggap tidak etis, namun tidak diatur dalam UU
ini, pelanggar juga dapat menghindar karena tidak diatur dalam UU. Dengan demikian, baik kiranya pemerintah
mempertimbangkan kembali rencana penyusunan UU Etika Pemerintahan. Selain
karena dipandang tidak perlu, pengaturan etika dalam peraturan tertulis justru
akan mengurangi fleksibilitas para pemangku kepentingan dalam menilai etis
tidaknya suatu tindakan pemerintah.
2.5 Masalah Etika Organisasi Pemerintah
Dewasa
ini, banyak sekali kasus-kasus muncul berkaitan dengan penyelewengan etika
organisasi pemerintah. Salah satu contoh
nyata yang masih saja dilakukan oleh individu dalam organisasi pemerintah yaitu
KKN.
Adapun
definisi KKN yaitu suatu tindak penyalahgunaan kekayaan negara (dalam konsep
modern), yang melayani kepentingan umum, untuk kepentingan pribadi atau
perorangan. Akan tetapi praktek korupsi sendiri, seperti suap atau sogok, kerap
ditemui di tengah masyarakat tanpa harus melibatkan hubungan negara.
Praktek
KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) di Indonesia tergolong cukup tinggi. Contoh
di bidang perbankan khususnya, keberadaan UU No. 10 Tahun 1998 ternyata tidak
cukup ampuh menjerat atau membuat jera para pelaku KKN. Dari data yang ada ,
diketahui ada beberapa kasus yang cukup mencolok dengan nominal kerugian negara
yang cukup besar.
Sebutlah
kasus penyelewengan dana BLBI yang sampai saat ini sudah berlangsung hampir 10
tahun tidak selesai. Para tersangka pelakunya masih ada yang menghirup udara
bebas, dan bahkan ada yang di vonis bebas dan masih leluasa menjalankan
aktivitas bisnisnya. Yang lebih parah lagi, terungkap juga bukti penyuapan yang
melibatkan salah satu pejabat Jampidsus beberapa waktu yang lalu.
Praktek
KKN dalam organisasi pemerintah khususnya, menjadi masalah berkaitan dengan
etika organisasi pemerintah Karena ini merupakan penyelewengan dari apa yang
seharusnya dilakukan dan dimiliki oleh seorang individu dalam organisasi
pemerintah, yakni melayani rakyat dengan baik dan berusaha memberikan yang
terbaik bagi rakyat. Akan tetapi, dengan
adanya peraktek KKN jelas merugikan bangsa dan negara.
2.6 Pengertian etika
Istilah
“etika” berasal dari bahasa yunani kuno. Kata yunani kuno ethos dalam bentuk
tunggal mempunyai banyak arti tempat tinggal yang biasa, padang rumput,
kandang, kebiasaan, adat, akhlak, watak, perasaan, skap, cara berfikir . dalam
bentuk jamak (ta etha) artinya adalah: adat kebiasaan. Dan arti terahir inilah
yang menjadi latar belakang bagi terbentuknya istilah “etika” yang oleh filusuf
yunani besar aristoteles (384-322 s.M.)
Dalam
pengertian sempit, etika sama maknanya dengan moral, yaitu adat istiadat atau
kebiasaan. Akan tetapi, etika juga merupakan bidang studi filsafat atau ilmu
tentang adat atau kebiasaan.
Berikut
beberapa pengertian yang berkaitan dengan etika:
a) Etika:
(etik) sistem dari prinsip-prinsip moral, dapat juga berupa rules of conduct,
kode sosial (sicial code), etika
kehidupan. Dapat berartijuga ilmu pengetahuan tentang moral, atau cabang
filsafat
b) Ethos:
(jiwa) karakteristik dari masyarakat tertentu atau kebudayaan tertentu
(community,society).
c) Esprit:
(semangat) semangat d,crops, loyalitas, dan cinta pada kesatuan, kelompok,
masyarakat, pemerintah dan lain-lain.
d) Rule
:(ketentuan dan peratuaran) ketentuan-ketentuan dalam setiap pergaulan
masyarakat yang memberi pedoman atau
pengawasan tentang benar dan salah
e) Norma
: merupakan standar kriteria pola, patokan yang mantap dari masyarakat atau
pemerintah.
f) Moral
: pengerian tentang benar atau salah, prinsip-prinsip yang berhubungan
benar dan salah.
2.7 Pengertian pemeritah
a. Pemerintahan dalam arti luas adalah
pemerintah/ lembaga-lembaga Negara yang menjalankan segala tugas pemerintah
baik sebagai lembaga eksekutif, legislative maupun yudikatif. Dengan segala
fungsi dan kewenganya
b. Pengertian Pemerintah Secara etimologi, pemerintah bersala dari
perkataan perintah, Pamudji ( 1995 : 23 ) mengartikan kata – kata tersebut
sebagai berikut :
· Perintah adalah perkataan yang
bermaksud menyuruh melakukan sesuatu.
· Pemerintah adalah kekuasaan memerintah
sesuatu ngara ( daerah negara atau badan yang tertinggi yang memerintah suatu
negara ).
· Pemerintah adalah perbuatan ( cara,
hal urusan dan sebagainya ) memerintah
Perbedaan pengertian “pemerintah“
dan “pemerintahan “ lazimnya disebut bahwa “ pemerintah “ adalah lembaga atau
badan publik yang mempunyai fungsi untuk melakukan upaya mencapai tujuan negara
sedangkan “ pemerintahan “ dari aspek dinamikanya.
2.8 Pengertian etika pemerintahan
Sudah
di jelas kan bagai mana pengertian mengenai etika dan pemerintah ataupun
pemerintahan. Jadi pengertian etika pemerintahan itu sendiri adalah Ajaran
untuk berperilaku yang baik dan benar sesuai dengan nilai-nilai keutamaan yang
berhubungan dengan hakikat manusia
2.9 Pendekatan filsafat terhadap etika pemerintahan Negara
1. Filsafat Idealisme Sokrates( 470-399 sM
) bahwa kebenaran dan kebaikan nilai
obyektif yang harus dijunjung tinggi oleh semua orang.
2. Filsafat
Idealisme dari Plato (namanya aslinya Aristokles, 427-347sM ). Kebenaran
sejati apa yang tergam-bar dalam ide. “ Pemerintahan Negara Ideal adalah
komunitas etical untuk mencapai kebajikan dan kebaikan”.
a. Filsuf Idealisme Thomas Hobbes (
1588-1679 ) bahwa terkenal dengan Teori Perjanjian Sosial dalam pemerintahan,
Kedaulatan kekuasaan absulut dan abadi, kekuasaan itu tertinggi dibatasi dengan
UU.
b. Filsuf
Idealisme John Locke ( 1632-1707 ) dengan Teori Perjanjian bahwa kebahagiaan dan kesusilaan dihubungkan
dengan peraturan yaitu : perintah Tuhan, UU Negara dan hukum pendapat umum dengan prinsip liberty, eguality dan
personality.
c. Filsuf Reusseauu dengan teori “ Contract
Social “ . Manusia mempunyai kekuasaan dan hak secara kodrat, kekuasaan negara
berasal dari negara dan negara berasal dari rakyat. Intinya pemerintah yang
berkuasa tidak monarkhi absolut.
d. Filsuf Hegel dengan metode dialektika
tentang pemerintahan negara bahwa : negara penjelmaan dari ide, rakyat ada demi
negara agar ide kesusilaan, negara mempunyai hukum tertinggi terhadap
negara bagi kebahagiaan rakyat
2.10 Nilai_niali etika dalam pemerintahan
Etika
pemerintahan disebut selalu berkaitan dengan nilai-nilai keutamaan yang
berhubungan dengan hak-hak dasar warga negara selaku manusia sosial (mahluk
sosial). Nilai-nilai keutamaan yang dikembangkan dalam etika pemerintahan
adalah :
Penghormatan
terhadap hidup manusia dan HAM lainnya.
kejujuran
baik terhadap diri sendiri maupun terhadap manusia lainnya (honesty). Keadilan
dan kepantasan merupakan sikap yang terutama harus diperlakukan terhadap orang
lain.
kekuatan
moralitas, ketabahan serta berani karena benar terhadap godaan (fortitude).
Kesederhanaan dan pengendalian diri (temperance).
Nilai-nilai agama dan sosial budaya
termasuk nilai agama agar manusia harus bertindak secara profesionalisme dan
bekerja keras.
2.11 Wujud etika dalam pemerintahan
Wujud
etika pemerintahan tersebut adalah aturan-aturan ideal yang dinyatakan dalam
UUD baik yang dikatakan oleh dasar negara (pancasila) maupun dasar-dasar
perjuangan negara (teks proklamasi). Di Indonesia wujudnya adalah pembukaan UUD
1945 sekaligus pancasila sebagai dasar negara (fundamental falsafah bangsa) dan
doktrin politik bagi organisasi formil yang mendapatkan legitimasi dan serta keabsahan
hukum secara de yure maupun de facto oleh pemerintahan RI, dimana pancasila
digunakan sebagai doktrin politik organisasinya
2.11 Mewujudkan pemerintah yang baik dan sehat (Good
governance)
a. Pemerintahan yang konstitusional (
Constitutional )
b. Pemerintahan yang legitimasi dalam proses
politik dan administrasinya ( legitimate )
c. Pemerintahan yang digerakkan sektor
publik, swsata dan masyarakat ( public, private and society sector )
d. Pemerintahan yang digerakkan sektor publik,
swsata dan masyarakat ( public, private and society sector )
·
Prinsip Penegakkan Hukum,
·
Akuntabilitas,
·
Demokratis,
·
Responsif,
·
Efektif dan Efisensi,
·
Kepentingan Umum,
·
Keterbukaan,
·
Kepemimpinan Visoner dan
·
Rencana Strategis
e. Pemerintahan yang menguatkan fungsi
: kebijakan publik (Public Policy ), pelayanan publik ( Public
Service ), otonomi daerah ( Local Authonomy ), pembangunan (Development ), pemberdayaan
masyarakat ( Social Empowering )
dan privatisasi ( Privatization )
.
2.12 Prinsip Negara hukum dalam system penyelenggaraan
pemerintahan
a. Supremasi Hukum ( Suprmacy of Law )
b. Persamaan dalam hukum ( Eguality before
the Law)
c. Asas Legalitas ( Due Process of Law );
d. Pembatasan Kekasaan ;
e. Organ-organ pemerintahan yng independen;
f. Peradilan yang bebas dan tidak memihak;
g. Peradilan Tata Usaha
Negara(Constitutional Court );
h. Peradilan Tata Negara;
i. Perlindungan Hak asasi Manusia;
j. Bersifat Demokratis ( Democratische
Rechtsaats )
k. Berfungsi sarana mewujudkan tujuan
bernegara (welfare Rechtstaat)
l. Transparansi dan Kontrol Sosial
2.13 Landasan etika pemerintahan Indonesia
1) Falsafah
Pancasila dan Konstitusi/UUD 1945 Negara RI;
2) TAP
MPR No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme ;
3) UU
No. 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan Bebas dari
Korupsi, Kolusi dan Nepotisme;
4) UU
No. 43 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas UU No. 8 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian ( LN No. 169
dan Tambahan LN No. 3090 );
5) UU
No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang dirubah dengan UU No. 3
Tahun 2005 dan UU No. 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah ;
6) PP
No. 60 tentnag Disiplin Pegawai Negeri .
2.14 Masalah Etika dalam pemerintah
Dewasa
ini, banyak sekali kasus-kasus muncul berkaitan dengan penyelewengan etika
organisasi pemerintah. Salah satu contoh
nyata yang masih saja dilakukan oleh individu dalam organisasi pemerintah yaitu
KKN.
Adapun
definisi KKN yaitu suatu tindak penyalahgunaan kekayaan negara (dalam konsep
modern), yang melayani kepentingan umum, untuk kepentingan pribadi atau
perorangan. Akan tetapi praktek korupsi sendiri, seperti suap atau sogok, kerap
ditemui di tengah masyarakat tanpa harus melibatkan hubungan negara.
Praktek
KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) di Indonesia tergolong cukup tinggi. Contoh
di bidang perbankan khususnya, keberadaan UU No. 10 Tahun 1998 ternyata tidak
cukup ampuh menjerat atau membuat jera para pelaku KKN. Dari data yang ada ,
diketahui ada beberapa kasus yang cukup mencolok dengan nominal kerugian negara
yang cukup besar.
Sebutlah
kasus penyelewengan dana BLBI yang sampai saat ini sudah berlangsung hampir 10
tahun tidak selesai. Para tersangka pelakunya masih ada yang menghirup udara
bebas, dan bahkan ada yang di vonis bebas dan masih leluasa menjalankan
aktivitas bisnisnya. Yang lebih parah lagi, terungkap juga bukti penyuapan yang
melibatkan salah satu pejabat Jampidsus beberapa waktu yang lalu.
Praktek
KKN dalam organisasi pemerintah khususnya, menjadi masalah berkaitan dengan
etika organisasi pemerintah Karena ini merupakan penyelewengan dari apa yang
seharusnya dilakukan dan dimiliki oleh seorang individu dalam organisasi
pemerintah, yakni melayani rakyat dengan baik dan berusaha memberikan yang
terbaik bagi rakyat. Akan tetapi, dengan
adanya peraktek KKN jelas merugikan bangsa dan negara.
BAB III
PENUTUPAN
Kritik dan Saran
Mungkin
kalau kita tidak terlalu ambisius menghilangkan seluruh KKN sekaligus tetapi
secara sistimatis dalam suatu program, memusatkan pada masalah korupsi dulu,
maka program pemberantasan KKN akan lebih jalan. Ketentuan mengenai pidana
ekonomi, mengenai korupsi telah cukup jelas dan dapat dilaksanakan untuk
menyidik dan memberi sanksi ke pada mereka yang melanggarnya. Dalam proses ini
sebagian dari masalah kolusi dan nepotisme juga akan terungkap dan bisa
dilaksanakan penindakan terhadap pelanggarnya.
Akan
tetapi berkaitan dengan masalah kolusi dan nepotisme yang tidak berkaitan
dengan korupsi, yang dilanggar mungkin ketentuan kepegawaian atau masalah etik.
Yang jelas adalah untuk ke depan, bagaimana memasukkan rambu-rambu menghalangi
tumbuhnya kolusi dan nepotisme ini dalam peraturan kepegawaian dan ketentuan
mengenai tender, kontrak, serta ketentuan mengenai ‘governance’ pada umumnya.
Mengenai langkah ke depan menghilangkan masalah KKN saya menekankan pada sikap
untuk menjauhi kebiasaan hidup lebih besar pasak dari tiang pada tulisan lain.
Kesimpulan
Dari
uraian di atas, dapat diambil beberapa kesimpulan , antara lain:
1. Rendahnya moralitas para pelaku bisnis
perbankan inilah yang menjadi faktor utama terjadinya kecurangan dan berbagai
penyimpangan dalam bisnis.
2. Etika seseorang dapat mulai ditanamkan
semenjak ia masih kecil, ketika dirinya masih merupakan sosok pibadi yang lugu
dan utuh
DAFTAR PUSTAKA
http://aiardian.wordpress.com/2009/07/22/contoh-makalah-etika-pemerintahan/
http://politikana.com/baca/2011/03/05/etika-pemerintahan.html
Inu Kencana, Sistem Pemerintahan
Indonesia,Gema Insane Press,Jakarta,19991.
Uni
Sosial Demokrat, http://www.unisosdem.org
Fernanda,
M.Soc.Sc, Drs.Desi. 2006.Etika Organisasi Pemerintah:Modul Pendidikan Dan
Pelatihan Prajabatan Golongan III.Jakarta.Lembaga Administrasi Negara
http://fisipfacebook.blogspot.com/2009/06/definisi-etikamoraletiket.html
0 komentar:
Posting Komentar