HUKUM ISLAM DI INDONESIA
Hukum
Islam (Al-Qur’an) diturunkan dari Allah SWT yang dalam proses emanasinya
(ketersiarannya) dilakukan oleh seorang agen sakral, yaitu Muhammad, Rasulullah
SAW. Nabi Muhamad memainkan peran yang amat penting dalam tradisi hukum Islam,
bukan saja utusan Allah tetapi menjadi model percontohan bagi seluruh umat
manusia (rahmatan lil ‘alamain) dalam menjalankan hukum Allah demi keselamatan
di dunia dan di akhirat kelak. Segala sabda dan perilaku Nabi dicatat oleh para
sahabatnya, yang kemudian disebut sebagi hadits yang merupakan sumber hukum
kedua setelah al-Qur’an.
Kedua
sumber di atas merupakan sistem hukum yang disebut syari’ah. Kata syari’ah
diambil dari istilah Arab yang berarti “jalan”; yaitu jalan hidup yang telah
didesain oleh Allah dan Rasul-Nya untuk kehidupan semua orang Islam di dunia
ini sebagai persiapan untuk kehidupan di akhirat nanti.
Di
kalangan umat Islam masih terdapat kerancuan dalam memahami Syari’ah, Fiqh, dan
Hukum Islam. Kekacauan ini menyebabkan munculnya berbagai masalah dalam penerapan
hukum di masyarakat dan timbul ketidakseragaman mengenai hukum Islam dan
syari’at Islam.
Pengertian Syari’ah, fiqh dan hukum
Islam
Secara
lughawi (etimologi), syari’ah berarti “jalan ke tempat pengairan atau tempat
aliran air di sungai”. Kata syari’ah muncul dalam beberapa ayat dalam
al-Qur’an, seperti al-Maidah ayat 48, as-Syura ayat 13 dan al-Jatsiyah ayat 18
yang semuanya mengandung arti “jalan yang jelas yang membawa pada kemenangan”.
Menurut
istilah, syari’at adalah khitab Allah yang berhubungan dengan tindak tanduk
manusia di luar yang mengenai akhlak yang diatur tersendiri. Hasbi
ash-Shiddieqy mengartikan syari’at dengan “hukum-hukum dan aturan-aturan yang
ditetapkan Allah untuk hamba-Nya agar diikuti dalam hubungannya dengan Allah
dan hubungan sesama manusia. (Hasbi ash-Siddieqy, Filsafat Hukum Islam, Pustaka
Rizki Putra, Semarang, 2001, hal. 29).
Syari’ah
sebagai kumpulan norma-norma yang merupakan hasil dari proses tasyri’. Syari’ah
merupakan kata aturan yang ditetapkan yang menyangkut tingkah laku manusia.
Sedang tasyri’ adalah pengetahuan tentang cara, proses, dasar dan tujuan Allah
menetapkan hukum bagi tingkah laku manusia dalam kehidupan keagamaan dan
keduniaan.
Syari’ah
dalam konotasi hukum Islam terbagi menjadi dua macam, yaitu syari’ah Ilahi
(tasyri’ samawi), yaitu ketentuan-ketentuan hukum yang langsung dinyatakan
secara eksplisit dalam al-Qur’an dan Sunnah, dan syari’ah wadh’i (tasyri’
wadh’i) yaitu ketentuan hukum yang dilakukan oleh para mujtahid. Produk
pemikiran yang dilakukan para ulama’ mujtahid dalam syari’ah wadh’i diakui
sebagai syari’ah jika hal-hal yang dikaji itu merujuk kepada al-Qur’an dan
Sunnah, seperti qiyas atau maslahah.
Secara
sistematis kata fiqh bermakna “mengetahui sesuatu dan memahaminya secara baik
dan mendalam (Abu al-Hasan Ahmad Faris, Mu’jam Maqayis al-Lughah, III, al-Babi
al-Halabi, Cairo Mesir, 1970, hal. 442). Muhammad Abu Zahrah mengartikan fiqh
dengan “mengetahui hukum-hukum syara’ yang bersifat amaliah yang dikaji dari
dalil-dalil yang terinci (Abu Zahrah, Ushul Fiqh, Dar-al-Fikr al-Arabi, Cairo,
1958, hal. 6).
Dua
objek kajian fiqh, yaitu hukum-hukum syara’ yang bersifat amaliah dan
dalil-dalil terperinci dari al-Qur’an dan Sunnah yang menunjuk suatu kejadian
tertentu atau menjadi rujukan bagi kejadian-kejadian tertentu. Seperti riba
haram hukumnya karena telah ditetapkan dalam surat al-Baqarah ayat 279.
Pengetahuan itu didasarkan pada dalil tafsili. Dan fiqh digali dan ditemukan
melalui penalaran para mujtahid. Hasil pemahaman dan penalaran mujtahid
terhadap hukum syara’ dituangkan dalam bentuk ketentuan terperinci tentang
tingkah laku para mukallaf yang disebut fiqh. Pemahaman terhadap hukum syara’
senantiasa mengalami perubahan sesuai dengan perubahan situasi dan kondisi yang
menjalaninya. Karena fiqh adalah refleksi dari perkembangan kehidupan
masyarakat sesuai kondisi zaman, perubahan waktu dan situasi setiap masyarakat.
Pada hakekatnya fiqh adalah
:
1.
Ilmu yang menerangkan hukum syara’ dari setiap aktifitas mukallaf, baik yang
wajib, haram, makruh, mandub dan mubah.
2. Objek kajian fiqh adalah hal-hal yang bersifat amaliah.
3. Pengetahuan hukum syari’ah didasarkan pada dalil tafsili.
4. Fiqh digali dan ditemukan melalui penalaran (nazhar) dan ta’amul yang diistinbatkan dari ijtihad.
5. Fiqh sebagai ilmu merupakan seperangkat cara kerja, cara berpikir, terutama cara berpikir taksonomi dan cara berpikir logis untuk memahami kandungan ayat dan hadits hukum.
6. Fiqh adalah seperangkat norma yang mengatur hubungan antar manusia dalam hidup bermasyarakat(Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam, Rajawali Grasindo, Jakarta, 2007, hal. 45).
2. Objek kajian fiqh adalah hal-hal yang bersifat amaliah.
3. Pengetahuan hukum syari’ah didasarkan pada dalil tafsili.
4. Fiqh digali dan ditemukan melalui penalaran (nazhar) dan ta’amul yang diistinbatkan dari ijtihad.
5. Fiqh sebagai ilmu merupakan seperangkat cara kerja, cara berpikir, terutama cara berpikir taksonomi dan cara berpikir logis untuk memahami kandungan ayat dan hadits hukum.
6. Fiqh adalah seperangkat norma yang mengatur hubungan antar manusia dalam hidup bermasyarakat(Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam, Rajawali Grasindo, Jakarta, 2007, hal. 45).
Qanun
(hukum) adalah produk manusia melalui campur tangan kekuasaan negara dalam
menyelesaikan perkara tertentu. Qanun wadh’iyah (undang-undang) adalah
peraturan yang dibuat oleh pihak penguasa yang diperuntukan untuk masyarakat
atau untuk menata dengan baik segala sesuatu dalam kehidupan masyarakat.
(Oxford Advanced Learner’s Dictionary Current English, Oxford, The University
Press, 1964, hal. 476).
Qanun
adalah undang-undang yang berisi hukum Islam dengan tetap mempergunakan
prosedur / metodologi hukum Islam dalam menemukan hukum, seperti istihsan, urf,
maslahah dan siyasah syar’iyah. A.A. Fyzee, (Outlines of Muhammadan law,1955)
mengartikan “Canon Law of Islam” adalah hukum Islam, yakni keseluruhan perintah
Tuhan yang meliputi seluruh tingkah laku manusia.
Karakter Hukum Islam
Al-Qur’an
yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW hanya berisi sedikit ayat yang
mengandung doktrin hukum, sekitar 80 dari 500 ayat-ayat hukum yang dapat
dikatergorikan sebagai kode hukum.( Tahir Mahmood, Law in the al-Qur’an: A.
Draft Code, 1987). Oleh karena itu diperlukan sunnah untuk dapat memahami
pesan-pesan al-Qur’an yang berhubungan erat dengan problem hukum keseharian.
Sunnah
merupakan informasi yang kaya mengenai sabda dan perilaku Nabi yang mencakup
pula perintah, larangan, dan persetujuan Nabi mengenai kasus-kasus tertentu
yang muncul di kalangan sahabat pada saat itu. Sunnah adalah refleksi pemahaman
Rasul mengenai dialektika (seni berpikir secara teratur logis dan teliti yang
diawali dengan tesis, antitesis, dan sintesis) teks suci al-Qur’an dan konteks
sejarah pada masa hidupnya Nabi Muhammad SAW.
Semua
permasalahan hukum yang muncul pada saat itu di bawa kepada Nabi untuk mendapatkan
pemecahan. Nabi dalam menyelesaikan masalah yang diadukan umat Islam senantiasa
berpegang pada teks suci al-Qur’an untuk menjawabnya. Jika dalam al-Qur’an
tidak ditemukan solusi pemecahan dalam kasus-kasus tertentu, maka Nabi berperan
menjadi pemecah masalah hukum. Oleh karena itu dalam hukum Islam dikenal Allah
sebagai satu-satunya pembuat hukum dan Nabi dipahami sebagai legislator
(al-Syari’) setelah Allah.
Nabi
dipercayai memiliki sifat sakral yang berfungsi sebagai garansi terhadap
keputusan-keputusan hukum yang dikeluarkannya. Tanpa karakter sakral ini, maka
doktrin yang mewajibkan umat Islam untuk mengikuti keputusan-keputusan Nabi
dalam menafsirkan al-Qur’an tidak akan mungkin terformulasikan/terumuskan dalam
bentuk yang tepat.(Daniel Brown, Retheinking Tradition in Modern Islamic
Thought, Cambridge Univ.Press,1996).
Karakteristik
hukum Islam adalah sempurna (ta’amul), harmonis (wasathiyah), dan dinamis
(harakah). Muhammad Ali al-Sayis mengatakan bahwa karakteristik hukum Islam
yang paling menonjol ada tiga hal, yaitu 1. Tidak menyusahkan dan selalu
menghindari kesusahan dalam pelaksanaannya, 2. Menjaga kemaslahatan manusia
dan, 3. Selalu melaksanakan keadilan dalam penerapannya (Muhammad Ali al-Sayis,
Tarikh al-Fiqh al-Islam, Qoriah, Mesir, tt, hal.25). Karakter-karakter di atas
sesuai dengan prinsip-prinsip yang terkandung dalam surat al-‘Araf ayat 157,
yaitu tidak susah, sedikit beban, berangsur-angsur, ada kelonggaran dan sesuai
dengan kemaslahatn umum.
Perkembangan sumber hukum Islam
Al-Qur’an
dan Sunnah merupakan sumber utama hukum Islam, dan itu tetap bertahan dalam
waktu lama. Akan tetapi karena permasalahan hukum semakin kompleks di wialayah
Islam, maka umat Islam memerlukan metodologi yang mapan untuk memecahkan
permaslahan-permasalahan hukum yang muncul berdasarkan sumber-sumber utama
hukum Islam.
Para
yuris Islam merespon kebutuhan ini dengan mengembangkan prosedur ijma’ dan
qiyas yang menekankan pentingnya akal dalam pengambilan keputusan hukum. Qiyas
terdiri dari dua macam, yaitu qiyas ‘illah (causative inference) dan qiyas
dalalah (indicative inference). Dengan ijma’ pemikiran para ahli hukum dapat
diaplikasikan dalam proses penetapan hukum suatu kasus, dan melalui qiyas
kasus-kasus yang timbul dapat dipecahkan melalui deduksi analogi.
Beberapa
sumber hukum lain muncul seagai metodologi baru untuk merespon masalah-masalah
hukum baru yang tidak mampu dipecahkan melalui sumber-sumber hukum yang ada
(al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas), yaitu Istishab, Istislah atau maslahah
al-mursalah atau istihsan, ‘amal ahl al-Madinah, shar’ man qablana dan ‘urf
yang dapat dipergunakan untuk memecahkan problem hukum yang muncul belakangan.
Istishab
adalah presumsi hukum (legal presumption) yang mencakup semua presumsi yang
diterima hukum, seperti presumsi tidak bersalah dan presumsi semua benda adalah
halal kecuali jika secara eksplisit dilarang (Abdur Rahman I Doi, Shariah: The
Islamic Law, 1990).
Istislah,
maslahah musrasalah dan istihsan adalah sumber hukum yang menekankan pentingnya
merujuk kepada kepentingan umum (interes publik) sebagai alat penguji terhadap
keabsahan suatu solusi hukum. Dengan istislah berarti preferen juristik
(juristic preference) yang didasarkan pada apa yang dipandang sebagai yang
terbaik bagi kepentingan publik.
Sedang
maslahah mursalah juristic preferencenya dilandasi oleh kepentingan kemakmuran
publik, dan istihsan berarti preferen juristik yang melibatkan pertimbangan pemilihan
satu aturan hukum ketimang aturan yang lain, karena faktor lingkungan, sebagai
bagian interes publiknya.
Amal
ahl al-Madinah merupakan terma yang menunjuk kepada perilaku masyarakat Madinah
yang hidup dalam waktu yang lama bersama Nabi. Shar’u man qablana esensinya
adalah hukum yang dibuat oleh masarakat sebelum Nabi Muhammad SAW, seperti
ajaran hukum Nabi Musa dalam kitan Taurat dan Isa dalam Injil. ‘Urf adalah
sumber hukum yang mendasarkan diri pada adat kebiasaan masyarakat setempat (Abd
al-Wahhab Khallaf, ‘Ilm Ushul al-Fiqh,1956).
Dari
‘Urf ini para yuris Islam membuat kaidah hukum (formulasi maksim) al-‘adah
muhakkamah (adat menjadi dasar penetapan hukum). Agar adat yang dijadikan dasar
penetapan hukum itu tidak melanggar ajaran dasar al-Qur’an dan Sunnah, maka
ditentukan syarat-syarat validitas sebagai berikut:
1.
Adat itu harus secara umum dipraktikkan oleh masyarakat atau sebagian tertentu
dari masyarakat;
2. Adat harus betul-betul menjadi kebiasaan pada waktu akan ditetapkan sebagai rukujukan hukum;
3. Adat harus dipandang batal ab initio jika ternyata bertentangan dengan sumber utama hukum Islam;
4. Dalam kasus perselisihan, adat akan diterima sebagai sumber hukum hanya jika tidak ada pihak bersangkutan yang menolak adat tersebut. (Tahir Mahmood, Custom as a Source of Law in Islam, 1965).
2. Adat harus betul-betul menjadi kebiasaan pada waktu akan ditetapkan sebagai rukujukan hukum;
3. Adat harus dipandang batal ab initio jika ternyata bertentangan dengan sumber utama hukum Islam;
4. Dalam kasus perselisihan, adat akan diterima sebagai sumber hukum hanya jika tidak ada pihak bersangkutan yang menolak adat tersebut. (Tahir Mahmood, Custom as a Source of Law in Islam, 1965).
Tujuan Hukum
Hukum Islam mempunyai tujuan untuk kebahagiaan, kesejahteraan dan keselamatan umat manusia di dunia dan akhirat. Hukum Islam bersendi dan berasaskan hikmah dan kemaslahatan dalam hidup. Syari’at Islam adalah keadilan, rahmat (kasih sayang), kemaslahatan dan kebijaksnaan. Hukum Islam itu adil dan menempatkan keadilan Allah di tengah-tengah hambanya, kasih sayang Allah diantara makhluk-makhluknya (Ibnu Qayyim, I’lmu al-Muwaqqi’in, Makatabah Tijariyah al-Qahirah, Mesir, 1955, hal. 14-15).
Hukum Islam mempunyai tujuan untuk kebahagiaan, kesejahteraan dan keselamatan umat manusia di dunia dan akhirat. Hukum Islam bersendi dan berasaskan hikmah dan kemaslahatan dalam hidup. Syari’at Islam adalah keadilan, rahmat (kasih sayang), kemaslahatan dan kebijaksnaan. Hukum Islam itu adil dan menempatkan keadilan Allah di tengah-tengah hambanya, kasih sayang Allah diantara makhluk-makhluknya (Ibnu Qayyim, I’lmu al-Muwaqqi’in, Makatabah Tijariyah al-Qahirah, Mesir, 1955, hal. 14-15).
Hukum
sebagai alat rekayasa sosial yang dapat mempengaruhi moral masyarakat harus
memberi manfaat bagi masyarakat. Tujuan syari’at atau penetapan hukum menurut
para ahli fiqh (Yuris Islam) adalah:
1.
Mendidik individu agar menjadi sumber kebajikan bagi masyarakat;
2. Menetapkan keadilan, dan
3. Menciptakan kemaslahatan yang dikaitkan dengan lima pokok kunci pemeliharaan dalam syari’at Islam, yaitu, agama, nyawa, akal, keturunan, dan harta milik.
2. Menetapkan keadilan, dan
3. Menciptakan kemaslahatan yang dikaitkan dengan lima pokok kunci pemeliharaan dalam syari’at Islam, yaitu, agama, nyawa, akal, keturunan, dan harta milik.
Kemaslahatan
itu bertingkat-tingkat cara pemenuhannya, yaitu:
1.
Kemaslahatan yang bersifat primer (dlorury) yang diharuskan adanya lima pokok
di atas;
2. Kemaslahatan yang bersifat penting/sekunder (Hajji) yang adanya merupakan keringanan/dispensai (rukhsakh);
3. Kemaslahatan yang bersifat asoseris (tahsini), yaitu suatu kebutuhan yang sifatnya hanya sebagai pelengkap,yang bisa diabaikan jika menyangkut hal-hal pokok.
2. Kemaslahatan yang bersifat penting/sekunder (Hajji) yang adanya merupakan keringanan/dispensai (rukhsakh);
3. Kemaslahatan yang bersifat asoseris (tahsini), yaitu suatu kebutuhan yang sifatnya hanya sebagai pelengkap,yang bisa diabaikan jika menyangkut hal-hal pokok.
Mohammad
Salam Madkur menjelaskan bahwa untuk menjaga kelima kebutuhan pokok di atas,
Islam telah mengadopsi dua strategi, yaitu: (1) penanaman kesadaran agama dan
jiwa manusia dan pengembangan keasadaran kemanusiaan melalui pendidikan moral,
dan (2) penggunaaan prinsip hukuman pencegahan (deterrent punishment) sebagai
asas hukum pidana Islam (M. Salam Madkur, Human Rights from an Islamic
Worldview: An Outline of Hudud, Ta’zir & Qisas).
Sedang
menurut teori ilmu hukum modern tujuan hukum dapat dikaji dalam tiga sudut
pandang, yaitu:
1.
Pandangan falsafah hukum (teori etis) yang menitikberatkan tujuan hukum untuk
merealisir atau mewujudkan keadilan baik yang bersifat distributif atau
keadilan proporsional maupun keadilan kumulatif yang memastikan setiap orang
memperoleh hak yang sama;
2. Pandangan sosiologi hukum (teori Utilitis) yang menakankan bahwa tujuan hukum adalah memberikan kemanfaatan atau kebahagiaan yang sebesar-besarnya bagi warga masyarakat; dan
3. Pandangan ilmu hukum normatif (aliran yuridis dogmatik) yang menekankan tujuan hukum dengan terwujudnya kepastian hukum.
2. Pandangan sosiologi hukum (teori Utilitis) yang menakankan bahwa tujuan hukum adalah memberikan kemanfaatan atau kebahagiaan yang sebesar-besarnya bagi warga masyarakat; dan
3. Pandangan ilmu hukum normatif (aliran yuridis dogmatik) yang menekankan tujuan hukum dengan terwujudnya kepastian hukum.
Menurut
Sudikno Mertokusumo (1999:145) dalam upaya menegakkan hukum, maka ketiga unsur
tujuan hukum di atas harus diperhatikan. Kepastian hukum merupakan perlindungan
yustiabel terhadap tindakan sewenang-wenang. Masyarakat menghendaki adanya
suatu kepastian hukum agar masyarakat lebih tertib. Masyarakat juga
mengharapkan kemanfaatan dari penegakan hukum.
Substansi Hukum Islam
Hukum
Islam mengatur seluruh aspek kehidupan manusia agar selamat di dunia dan di
akhirat. Hukum Islam mengontrol, mengatur dan meregulasi (pengaturan) semua
perilaku privat maupun publik seseorang.
Tingkah
laku manusia diatur dan dibagi dalam dua klasifikai besar yang terpisah tapi
saling mempengaruhi. Pertama adalah hubungan Allah dengan manusia yang diatur
melaluihukum kewajiban ibadah. Ibadah merupakan refleksi atas ketundukan
manusia kepada Allah, seperti. Kedua adalah hubungan antara sesama manusia,
yaitu aturan hukum yang mengatur segala aktivitas dalam kehidupan manusia
sehari-hari.
Hukum
Islam memberi aturan yang spesifik tentang shalat, puasa, zakat, dan haji serta
bantuan-bantuan sosial seperti infak dan shadaqah, tetapi juga berisi aturan
tentang barbagai hal seperti makanan halal, diet, perkawinan, hubungan seksual,
pemeliharaan anak dan masalah-masalah domestik lainnya. Hukum Islam juga
mengatur tatanan tentang bagaimana sesorang harus harus bertingkah laku dalam
kehidupan bermasyarakat dan berinteraksi dengan kelompok lain, aturan tentang
transaksi bisnis, penyelesaian konflik bahkan aturan perang (Sohail H.Hashmi,
Saving and Taking Life in War Three Modern Muslim Views 89, 1999).
Perkembangan
substantif hukum Islam senantiasa menyambut positif nilai-nilai dari luar yang
dipandang masih masuk dalam batas ajaran Islam. Aspek-aspek substantif hukum
yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW sudah mengalamai percampuran antara ide
hukum yang suci (sakral) dengan tradisi setempat, yaitu hukum adat masyarakat
Arab.
Dalam
hukum keluarga misalnya, Islam tetap mempertahankan perkawinan sebagai lembaga
sakral. Perkawinan dalam Islam bertujuan untuk menjaga kemurnian dan kebersihan
hubungan genealogis ras manusia. Nabi telah melakukan penghapusan beberapa
praktik adat Arab yang bertentangan dengan hukum Islam, seperti poliandri,
hubungan seksual di luar nikah, adopsi, perceraian berulang-ulang, dan lain
sebagainya. Nabi juga terus melakukan modifikasi dalam masalah poligami dan
mahar.
Perkawinan
dalam Islam mengandung tiga unsur penting; legal, sosial, dan agama. Secara
legal, perkawinan merupakan sebuah kontrak, ia dilakukan atas persetujuan kedua
belah pihak dan tanpa persetujuan untuk memutus hubungan tersebut. Secara
sosial, perkawinan telah memberi penghormatan kepada wanita karena ia
memperoleh status lebih tinggi dibanding sebelum nikah terlebih pada masyarakat
Arab pada masa pra-Islam yang dipandang sebagai makhluk tanpa hak. Secara
agama, perkawinan harus dilakukan menurut tata cara yang dibenarkan oleh agama,
seperti telah memenuhi syarat rukunnya, wali, saksi, ijab, qabul, dan mahar.
Hukum perkawinan Islam telah memadukan antar aspek ibadah dan aspek muamalah.
Perkawinan
Islam masih mempertahankan praktik poligami yang secara umum ditemukan dalam
masyarakat Arab, kemudian oleh Islam dibatasi hanya empat isteri dengan syarat
suami dapat membuktikan kemampuannya berlaku adil terhadap isteri-isterinya.
Mahar dalam adat Arab merupakan pembayaran yang diberikan kepada ayah si
pengantin perempuan atau keluarganya, maka Nabi memperbaiki masalah mahar ini
dengan cara mahar tersebut adalah hadiah perkawinan yang diberikan oleh si
suami kepada isterinya untuk dimiliki sebagai hak milik pribadi si isteri
tersebut.
Hukum
waris dalam Islam menganut prinsip-prinsip: (1) suami dan isteri saling
mewarisi; (2) keturunan dari jalur laki-laki/ayah dan saudara sama-sama dapat
mewarisi; (3) orang tua dan kakek-nenek dapat mewarisi meskipun ada keturunan
laki-laki; (4) seorang perempuan mendapat bagian setengah dibanding seorang
laki-laki.
Hukum
waris Islam dapat dikategorikan sebagai sistem warisan nir wasiat (intestate
disposition) dalam arti harta warisan tidak dapat dibagikan sesuai dengan
kemauan pewarisnya, melankan si pewaris harus tunduk mengikuti aturan-aturan
Allah dalam al-Qur’an. Dalam hukum waris tradisi Arab, si pewaris bebas
memberikan dan menentukan kepada siapa dan berapa banyak harta yang akan diwariskan
(testamentary disposition).
Hukum pidana Islam membedakan tiga
kategori kriminal.
Kategori pertama terdiri dari beberapa tindak
kriminal yang disebut hudud yang hukumannya telah ditentukan dalam al-Qur’an
dan Sunnah. Yang termasuk dalam kelompok ini adalah murtad, pencurian, hubungan
seksual di luar nikah, menuduh orang bebuat zina. Kelompok
Kategori
kedua adalah qisas, yaitu kejahatan yang hukumannya lebih didasarkan balas
dendam. Perbuatan kriminal yang masuk dalam kategori ini adalah semua jenis
tindakan kriminal yang bertentangan dengan prinsip kehidupan manusia, seperti
pembunuhan, penyerangan, dan semua kejahatan yang mengaharuskan hukuman
retalisasi atau retribusi oleh si pelaku kepada korban atau keluarganya. Bentuk
hukumannya bisa berupa pembayaran diyat. Qisas pada dasarnya memberikan hak
penentuan hukuman kepada keluarga korban, apakah mereka menginginkan agar si
pelaku dihukum seberat-beratnya atau memberikan ampunan sepenuhnya kepada
pelaku kajehatan.
Kategori
ketiga adalah ta’zir, yaitu semua jenis tindakan kriminal yang secar umum
dipandang ofensif atau merusak sistem masyarakat (kriminal ringan/ minor
felonies), sehingga bentuk humannya pun tidak ditentukan secara pasti. Hakim
diberi hak untuk menentukan jenis hukuman sesuai dengan besar kecilnya
kejahatan yang dilakukan, sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan.
Dengan ta’zir
ini hukuman tidak semata-mata dibatasi pada asumsi pencegahan (deterrence) atau
balasan (retribution) sebagaimana diatur dalam hadd dan qisas, tetapi mengikuti
perkembangan pemikiran filsafat hukum modern.
Bisnis
adalah salah satu alat yang diperlukan untuk melangsungkan kehidupan manusia di
dunia ini, yang merupakan persiapan untuk kehidupan di akhiratn nanti. Prinsip
utama bisnis Islam adalah melarang semua bentuk manipulasi pasar, eksploitasi
dan penipuan. Islam juga mencegah terjadinya berbagai bentuk transaksi yang
mengandung unsur ketidakpastian (gharar) karena dapat menimbulkan penipuan dan
perselisihan. Islam melarang praktik riba (bunga) sebagai respon atas praktik
ketidakadilan sosial ekonomi yang tertjadi pada masa pra-Islam.
Prinsip
keuangan Islam harus memenuhi empat kriteria, yaitu: (1) pelarangan praktik
riba, (2) bagi hasil dan kerugian, (3) pelarangan tindakan spekulasi, dan (4)
kesakralan kontrak perjanjian (Zamir Iqbal, Islamic Banking Gains Momentum,
Expands Market and Competes with Conventional Banking in Arab States, 1998).
Hukum Islam di Indonesia
Islam
datang ke Indonesia jauh sebelum pengaruh Barat datang, ada yang mengatakan
abad ke-11 ada pula yang berpendapat abad ke-13. Tetapi masyarakat nusantara
pada saat itu telah memiliki warisan dari agama Budha dan Hindu yang sangat
kuat. Dengan demikian Islam datang ke Indonesia dengan kondisi masyarakat yang
sangat beragam (plural) dalam hal tradisi dan nilai-nilai keagamaan.
Karena
masyarakat Indonesia yang sangat beragam, maka pendekatan sufisme menjadi
pilihan yang tepat bagi para pendakwah Islam di masa-masa awal melalui para
wali. Para walisongo lah yang menjadi pelaku utama gerakan dakwah dan
memperoleh banyak pengikut. Dalam berdakwah para wali itu tidak menolak
nilai-nilai agama yang sudah dianut oleh masyarakat pada waktu itu, bahkan
sering menyatukan praktik keagamaan masyarakat pribumi dengan ajaran Islam
(lihat: Idrus H.A., Kitab Asrar Walisongo, CV.Bahagia, Pekalongan, 1999).
Dalam
proses Islamisasi pada saat itu Ppara wali menerapkan konsep mewarnai, bukan
menentang masyarakat dalam berdakwah. Pola seperti itu mendapat respon positif
dari masyarakat. Dengan memanfaatkan Sinkretisme (penyesuaian/keseimbangan)
antara dua aliran, Islam dan budaya lokal, maka terciptalah berbagai elemen
dari bebagai tradisi menjadi sebuah bentuk baru. (Lihat Clifford Geertz, The
Religion of Java, New Haven: Yale University Press, 1968).
Masyarakat
pribumi mengenal agama Islam di awal sejarah melalui tradisi heterodoksi
(menyimpang dari kepercayaan resmi). Islam disebarkan secara damai ke berbagai
daerah dan kepulauan yang praktik agama Budha/Hindu dan tradisi animisme maupun
dinamisme masih menjadi kepercayaan yang dominan. Kemampuan para wali dalam
mengadopsi dan menyesuaikan dengan adat dan praktik lokal yang bukan Islam,
serta praktik ibadah dan cara pandang mereka sangat cocok dengan gerakan massa
rakyat.
Sufi
telah menjadi bagian integral (tak terpisahkan) dari praktik keagamaan
masyarakat serta spiritualitas Islam. Berkat perjuangan merekalah gerakan
penyebaran Islam di Nusantara memperoleh hasil yang sangat mengagumkan bagi
perkembangan karakter Islam di Indonesia.
Hukum
Islam Indonesia terbentuk dari hasil usaha untuk memasukkan ajaran hukum Islam
ke dalam situasi yang berbeda dari situasi dan kondisi tempat asal hukum Islam
lahir. Umat Islam Indoensia berusaha melakukan domestikasi (penjinakan) tradisi
hukum yang berasal dari ajaran Islam dan mempraktikannya dengan cara
mengintergasikan hukum itu dalam korpus (lingkungan kumpulan) hukum Indonesia
yang lebih luas (Kelompok realis-kontekstual).
Di
lain pihak muncul kelompok konservatif-literal yang mengritik praktik keagamaan
yang selama ini berlangsung. Kelompok konservatif-literal ini cenderung melihat
hukum Islam sebagai hukum ideal yang tidak boleh diubah, meskipun telah terjadi
perubahan masa dan keadaan. Menurut mereka kinerja hukum suci harus baku dan
abadi, dan orang wajib menerima kebakuan hukum tersebut.
Untuk
mencapai terwujudnya hukum Islam versi Indonesia perlu dilakukan dengan memfokuskan
usaha untuk mereformulasikan teori hukum Islam (ushul al-fiqh) sesuai dengan
kebutuhan hukum masyarakat Indonesia melalui penalaran hukum secara mandiri
(ijtihad) dengan berbagai metodologi dan pendekatan baru yang bisa berfungsi
sesuai dengan pemahaman hukum masyarakat Indonesia (Lihat Ahmad Hasan,
Al-Boerhan, Persis, Bandung, 1928).
Substansif
hukum Islam Indonesia cenderung mengakomodasi aturan-aturan non-Islam yang
masuk ke dalam sistem hukum agama melalui rekayasa hukum. Hukum perkawinan
misalnya, semua agama yang ada di Nusantara selalu melibatkan pemimpin/tokoh
komunitas (ulama, tetua adat, sesepuh) dalam upacara pernikahan. Pernikahan
bukan lagi menjadi sebuah kontrak individu antara suami dan isteri tetapi lebih
banyak melibatkan pihak-pihak yang terkait yang sifatnya komunal. Di era
modern, inisiasi maupun pemutusan hubungan pernikahan adalah objek regulasi
kantor pemerintah (KUA-Catatn Sipil) dan Pengadilan (Agama-Negeri).
Dalam
hukum perceraian, konsep Islam tentang ta’liq talaq diubah. Institusi ini
awalnya bernama djanji dalem (janji mulia) yang dikenal dalam kebudayaan Jawa
abad ke-17 ketika Raja Mataram membuat ketentuan diputus bila kedapatan
melakukan tindakan yang selah terhadap isteri (Jan Prins, Adat Law and Muslim
Religious Law in Modern Indonesia, 1951). Tujuan utama institusi ini adalah
fokus untuk menjaga hak-hak tradisional isteri dalam pernikahan, sehingg setiap
pelanggaran hukum yang dilakukan oleh suami otomatis akan memutus hubungan
pernikahan.
Dua
pendekatan
Dalam
budaya hukum di Indonesia terdapat tiga tradisi normatif hukum; yaitu hukum
adat pribumi, hukum Islam dan hukum sipil Belanda. Hukum adat adalah tradisi
hukum yang iikuti oleh masyarakat pribumi, ia terbentuk berdasarkan nilai-nilai
normatif yang mengakar sejak lama dan dianggap memenuhi rasa keadilan dan
harmoni masyarakat itu. Hukum adat terbentuk berdasarkan sikap hidup masyarakat
komunal dan hukumnya pun bersifat komunal.
Hukum
Islam dan hukum sipil Belanda merupakan dua tradisi hukum yang diimpor dari
luar yang masuk Nusantara melalui penyebaran Islam dan kolonialisasi Belanda,
namun hukum adat dan hukum Islam kadang begitu menyatu dalam satu wilayah
hukum, sebagian wilayah hukum adat dianggap sebagai wilayah hukum Islam (Franz
dan Keebet von Badan-Beckmann, Adat and Islam und Staat- Rechtspluralismus in
Indonesia, 2005).Proses asimilasi dan akulturasi (percampuran) budaya dalam
waktu lama dan terus menerus antara masyarakat pribumi dengan norma dan
nilai-nilai asing menyebabkan terjadinya pluralisme hukum di Indonesia.
Hukum
Islam yang berlaku di Indonesia dapat dibagi menjadi dua bagian ; pertama,
hukum Islam berlaku secara yuridis formal, yakni sebagian dari hukum Islam yang
mengatur hubungan manusia dengan manusia lainnya dan berada dalam masyarakat
(mu’amalah) dan sebagian telah menjadi hukum positif berdasarkan peraturan
perundang-undangan. Kedua, hukum Islam berlaku secara normatif, yaitu hukum
Islam yang mempunyai sanksi atau padanan hukum masyarakat muslim mengenai
normatif hukum Islam dan bersifat normatif seperti pelaksanaan ibadah shalat,
puasa, zakat, dan haji yang termasuk dalam kategori ibadah murni (ibadah
mahdah).
Kedua
hukum di atas (yuridis formal dan normatif) telah menjadi hukum yang hidup
(living law) dalam masyarakat Indonesia. Secara sosiologis dan kultural, hukum
Islam di Indonesia telah mengalir dan berurat-akar di masyarakat. Hal ini
menandakan bahwa hukum Islam memang fleksibel dan elastis dapat menyesuaikan
dengan budaya dan lingkungan setempat.
Fonemena
hukum Islam sebagai hukum yang hidup di masyarakat telah melahirkan satu teori
credo atau syahadah di kalangan pemerhati hukum Islam seperti H.A.R. Gibb yang
mengatakan bahwa orang yang telah menerima Islam sebagai agamanya berarti ia
telah menerima otoritas hukum Islam atas dirinya.
Prof.
Rifyal Ka’bah menengarai terdapat perbedaan dari segi pendekatan tentang
penegakan syari’at Islam di Indonesia. Ada yang cenderung menggunakan
pendekatan struktural dan ada pula yang cenderung menggunakan pendekatan
kultural.
Pendekatan
struktural menginginkan penegakkan syari’at tersutruktur dalam sistem hukum
Nasioanl dengan hukum subtansial da hukum acara yang jelas dan penegakan yang
jelas melalui lembaga penegakkan hukum. Bila penegakan syari’at tidak
terstruktur, dikhawatirkan tidak efektif dalam mewujudkan tujuan syari’at,
yaitu menjega kepentingan umum dengan sebaik-baiknya.
Kecenderungan
ini mendapat dukungan dalam bidang politik melalui sejarah Piagam Jakarta,
Departemen Agama, MPR, DPR, pendirian Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah, pendirian
bank-bank syari’ah, Badan Arbitrasi Syari’ah, Dewan Syari’ah Nasional, dan
lain-lain.
Undang-undang
yang bernafaskan hukum Islam semakin banyak dilahirkan oleh parlemen. Seperti
Undang-undang No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, Undang-undang Nomor
17 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Haji, Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional, Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang
Perubahan atas UU Nomor 7 Tahun 1989, Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syari’ah, Undang-undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi.
Sementara
pendekatan kultural menginginkan penegakan syari’at tumbuh dari pembiasaan
masyarakat melalui usaha persuasif seperti, pendidikan, percontohan yang baik,
dan lain-lain sesuai dengan penegertian agama.
0 komentar:
Posting Komentar