BAB
I
Pendahuluan
1.1 Latar belakang
Sesuai dengan
amanat Undang-undang Dasar 1945, Pemerintah Daerah berwenang untuk mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.
Pemberian otonomi luas kepada daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya
kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran
serta masyarakat. Disamping itu melalui otonomi luas, daerah diharapkan
mampu meningkatkan daya saing dengan memperhatikan prinsip demokrasi,
pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan serta potensi dan
keanekaragaman daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pemerintah
Daerah dalam rangka meningkatkan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah, perlu memperhatikan hubungan antar susunan pemerintahan
dan antar pemerintahan daerah, potensi dan keanekaragaman daerah. Aspek
hubungan wewenang memperhatikan kekhususan dan keanekaragaman daerah dalam
sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Aspek hubungan keuangan, pelayanan
umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya dilaksanakan secara
adil dan selaras. Disamping itu, perlu diperhatikan pula peluang dan tantangan
dalam persaingan global dengan memanfaatkan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi. Agar mampu menjalankan perannya tersebut, daerah diberikan
kewenangan yang seluas-luasnya disertai dengan pemberian hak dan kewajiban
menyelenggarakan otonomi daerah dalam kesatuan sistem penyenggaraan
pemerintahan negara.
Namun seiring
dengan adanya perubahan undang-undang mengenai pemerintahan daerah maka
kewenangan penyelenggaraan daerah juga berbeda dari masing-masing perubahan
tersebut. Dari semenjak kemerdekaan sampai dengan sekarang sudah terjadi
sembilan kali (9x) perubahan perundang-undangan yang mengatur tentang
pemerintahan daerah. Perubahan tersebut terjadi karena adanya berbagai
perubahan di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang disesuaikan dengan
perubahan zaman.
Berdasarkan
latar belakang tersebut, maka penulis tertarik untuk membuat makalah dengan
judul ” Analisis perubahan UU
pemerintahan Daerah mengenai Pemerintahan Desa”.
1.2 Rumusan masalah
Rumusan masalah
yang penulis angkat dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana sejarah perubahan Undang-undang tentang Pemerintahan Daerah dari
tahun 1957 sampai dengan sekarang ?
2. Bagaimana
sejarah Otonomi daerah dan pemerintahan Desa ?
1.3 Tujuan
Tujuan khusus dibagi
menjadi dua, yaitu :
1. Untuk mengetahui sejarah perubahan Undang-undang tentang Pemerintahan
Daerah dari tahun 1957 sampai dengan sekarang.
2. Untuk mengetahui sejarah Otonomi Daerah dan Pemerintahan Desa.
BABA
II
Pembahasan
2.1 Sejarah perubahan Undang-undang tentang
Pemerintahan Daerah dari tahun 1957 sampai dengan sekarang.
A. UU No. 5 Tahun 1974
Dalam
kerangka struktur sentralisasi kekuasaan politik dan otoritas administrasi, UU
No.5 tahun 1974 yang mengatur tentang pokok-pokok Pemerintahan Daerah dibentuk.
UU ini telah meletakkan dasar-dasar sistem hubungan pusat-daerah yang dirangkum
dalam tiga prinsip, yaitu:
a. Desentralisasi,
yaitu penyerahan urusan pemerintahan dari pemerintah atau daerah tingkat
atasnya kepada daerah
b. Dekonsentrasi,
yaitu, pelimpahan wewenang dari pemerintah atau kepala wilayah atau kepala
instansi vertikal tingkat atasnya kepada pejabat-pejabat di daerah
c. Tugas
perbantuan (medebewind), yaitu pengkoordinasian prinsip desentralisasi dan dekonsentrasi oleh kepala
daerah, yang memiliki fungsi ganda sebagai penguasa tunggal di daerah dan wakil
pemerintah pusat di daerah.
Akibat
dari prinsip-prinsip tersebut, maka dikenal dengan adanya daerah otonom dan
wilayah administratif.
Meskipun
harus diakui bahwa UU No.5/1974 adalah suatu komitmen politik, namun dalam
praktek yang terjadi adalah sentralisasi yang dominan dalam perencanaan maupun
implementasi pembangunan Indonesia. Salah satu fenomena yang paling menonjol
dari hubungan antara sistem Pemda dengan pembangunan adalah ketergantungan
Pemda yang tinggi terhadap pemerintah pusat.
Ada
beberapa karakteristik yang sangat menonjol dari prinsip penyelenggaraan Pemda
menurut UU ini:
Wilayah
negara dibagi ke dalam Daerah besar dan kecil yang bersifat otonom atau
administratif saja. Sekalipun tidak ada perbedaan yang tegas di antara
keduanya, tetapi kenyataannya sebuah wilayah pemerintahan mempunyai dua
kedudukan sekaligus, yaitu sebagai Daerah Otonom yang berpemerintahan sendiri
dan sebagai Wilayah Administratif yang merupakan representasi dari kepentingan
Pemerintah Pusat yang ada di Daerah.
Pemda
diselenggarakan secara bertingkat, yaitu Dati I, Dati II sebagai Daerah Otonom,
dan kenudian Wilayah Administatif berupa Propinsi, Kabupaten/Kotamadya, dan
Kecamatan.
DPRD
baik Tingkat I maupun II dan Kotamadya merupakan bagian dari Pemda. Prisip ini
baru pertama kali dalam sejarah perjalanan Pemda di Indonesia karena pada
umumnya DPRD terpisah dari Pemda.
Peranan
Mendagri dalam penyelenggaraan Pemda dapat dikatakan bersifat sangat eksesif
atau berlebihan yang diwujudkan dengan melakukan pembinaan langsung terhadap
Daerah.
UU
ini memberikan tempat yang sangat terhormat dan sangat kuat kepada Kepala
Wilayah ketimbang kepada Kepala Daerah. Keuangan Daerah, sebagaimana umumnya
dengan UU terdahulu, diatur secara umum saja. UU No.5/1974 meninggalkan prinsip
“otonomi yang riil dan seluas-luasnya” dan diganti dengan prinsip ”otonomi yang
nyata dan bertanggung jawab”
B.
UU
No. 22 Tahun 1999
UU
No.22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah ditetapkan pada 7 Mei 1999 dan
berlaku efektif sejak tahun 2000. Undang-undang ini dibuat untuk memenuhi
tuntutan reformasi, yaitu mewujudkan suatu Indonesia baru, Indonesia yang lebih
demokratis, lebih adil, dan lebih sejahtera.
UU
No.22 tahun 1999 membawa perubahan yang sangat fundamental mengenai mekanisme
hubungan antara Pemerintah Daerah dengan Pemerintah Pusat. Perubahan yang jelas
adalah mengenai pengawasan terhadap Daerah. Pada masa lampau , semua Perda dan
keputusan kepala daerah harus disahkan oleh pemerintah yang lebih tingkatannya,
seperti Mendagri untuk pembuatan Perda Provinsi/ Daerah Tingkat I, Gubernur
Kepala Daerah mengesahkan Perda Kabupaten/ Daerah Tingkat II.
Dengan
berlakunya UU No.22 tahun 1999, Daerah hanya diwajibkan melaporkan saja kepada
pemerintah di Jakarta. Namun, pemerintah dapat membatalkan semua Perda yang
bertentangan dengan kepentingan umum atau dengna peraturan puerundangan yang
lebih tinggi tingkatannya atau peraturan perundangan yang lain. (Pasal 114 ayat
1).
Ada
beberapa ciri khas yang menonjol dari UU ini:
1. Demokrasi
dan Demikratisasi, diperlihatkan dalam dua hal, yaitu mengenai rekrutmen
pejabat Pemda dan yang menyangkut proses legislasi di daerah.
2. Mendekatkan
pemerintah dengan rakyat, titik berat otonomi daerah diletakkan kepada Daerah
Kabupaten dan Kota, bukan kepada Daerah Propinsi.
3. Sistem
otonomi luas dan nyata, Pemda berwenang melakukan apa saja yang menyangkut
penyelenggaraan pemerintah, kecuali 5 hal yaitu yang berhubungan dengan
kebijaksanaan-kebijaksanaan politik luar negeri, pertahanan dan keamanan
negara, moneter, sistem peradilan, dan agama.
4. Tidak
menggunakan sistem otonomi bertingkat, Daerah-daerah pada tingkat yang lebih
rendah menyelenggarakan urusan yang bersifat residual, yaitu yang tidak
diselenggarakan oleh Pemda yang lebih tinggi tingkatannya.
5. No
mandate without founding, penyelenggaraan tugas pemerintah di Daerh harus
dibiayai dari dana Anggaran Belanja dan Pendapatan Negara.
6. Penguatan
rakyat melalui DPRD, penguatan tersebut baik dalam proses rekrutmen politik
lokal, ataupun dalam pembuatan kebijakan publik di Daerah.
C. UU No. 32 Tahun 2004
Dengan
diundangkannya UU No.32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, pada tanggal 15
Oktober 2004, UU No.22 tahun 1999 dinyatakan tidak berlaku lagi. Sebenarnya
antara kedua undang-undang tersebut tidak ada perbedaan prinsip karena keduanya
sama-sama menganut asas desentralisasi. Pemerintah Daerah berhak mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonnomi dan tugas
pembantuan. Otonomi yang luas, nyata, dan bertanggung jawab.
UU
No.32 tahun 2004 mengatur hal-hal tentang; pembentukan daerah dan kawasan
khusus, pembagian urusan pemerintahan, penyelenggaraan pemerintahan,
kepegawaian daerah, perda dan peraturan kepala daerah, perencanaan pembangunan
daerah, keuangan daerah, kerja sama dan penyelesaian perselisihan, kawasan
perkotaan, desa, pembinaan dan pengawasan, pertimbangan dalamkebijakan otonomi
daerah.
Menurut
UU No.32 tahun 2004 ini, negara mengakui dan menghormati satuan-satuan
pemerintah daerah yang bersifat khusus dan istimewa. Sehubungan dengan daerah
yang bersifat khusus dan istimewa ini, kita mengenal adanya beberapa bentuk
pemerintahan yang lain, seperti DKI Jakarta, DI Aceh, DI Yogyakarta, dan
provinsi-provinsi di Papua.
Bagi
daerah-daerah ini secara prinsip tetap diberlakukan sama dengan daerah-daerah
lain. Hanya saja dengan pertimbangan tertentu, kepada daerah-daerah tersebut,
dapat diberikan wewenang khusus yang diatur dengan undang-undang. Jadi, bagi
daerah yang bersifat khusus dan
istimewa, secara umum berlaku UU No.32 tahun 2004 dan dapat juga diatur dengan
UU tersendiri.
Ada
perubahan yang cukup signifikan untuk mewujudkan kedudukan sebagai mitra
sejajar antara kepala derah dan DPRD yaitu
kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat dan
DPRD hanya berwenang meminta laporan keterangan pertanggung jawaban dari kepala
daerah.
Di
daerah perkotaan, bentuk pemerintahan terendah disebut “kelurahan”. Desa yang
ada di Kabupaten/Kota secara bertahap dapat diubah atau disesuaikan statusnya
menjadi kelurahan sesuai usul dan prakarsa pemerintah desa, bersama Badan
Permusyawaratan Desa yang ditetapkan dengan perda. Desa menjadi kelurahan tidak
seketika berubah dengan adanya pembentukan kota, begitu pula desa yang berada
di perkotaan dalam pemerintahan kabupaten.
UU
No.32/2004 mengakui otonomi yang dimiliki desa ataupun dengan sebutan lain.
Otonomi desa dijalankan bersama-sama oleh pemerintah desa dan badan pernusyawaratan
desa sebagai perwujudan demokrasi.
2.2 Sejarah Pemerintahan Desa dan Uraian Perubahan UU
mengenai Pemerintahan Desa
A.
OTONOMI
DAERAH
UU 22 tahun 1999 dan UU 32 tahun
2004 meletakkan substansi otonomi daerah dalam hubungan pemerintah pusat dan pemerintah
daerah bertujuan demokratisasi sistem pemerintahan, meningkatkan pelayanan
publik dan meningkatkan kepercayaan masyarakat melalui tata kepemerintahan yang
lebih cepat tanggap, akuntabel dan transparan melalui penyerahan bagian tugas
pemerintah pusat yang sebaiknya menjadi tugas pemerintah daerah dan menahan
selebihnya. PP 38/2007 membagi wewenang pemerintah pusat dan pemda berdasar
kriteria eksternalitas, akuntabilitas dan efisiensi.
Dalam upaya meningkatkan derajat UU
otonomi daerah – yang dalam kenyataan- masih bersifat nominal (diterapkan
secara tebang pilih, yang diterapkan sebagian dan/atau yang bertentangan dengan
UU) dan yang masih bersifat semantik (sekadar jargon, yang masih digunakan
sebagai sekadar sarana pidato politik) menjadi sebuah konstitusi bersifat
normatif yang diterapkan dan dipatuhi secara paripurna, KSAP membangun
pertanggungjawaban berbasis akuntansi & laporan keuangan.
Sebagai sebuah produk
per-undang-undangan, PP 71/2010 tentang standar akuntansi pemerintahan dibentuk
untuk mencipta keadilan akuntansi, mencipta ketertiban dan akuntabilitas
keuangan berbentuk LK, memberi manfaat transparansi keuangan bagi publik.
Keadilan akuntansi adalah upaya mitigasi risiko sistem politik berbentuk
kekuasaan eksekutif terlampau besar, membangun keseimbangan kekuasaan dengan
pertanggungjawaban keuangan negara antara pemerintah pusat dan pemerintah
daerah, menghapus disharmoni APBN dan APBD, kepatutan keadilan alokasi dana
APBN dan APBD berbasis aspirasi rakyat, sementara audit LK akan menguji
kewajaran pertanggungjawaban akuntansi dan pelaporan LK pemerintahan.
Karena itu PP 71/2010 bertujuan
membangun nilai luhur ketertiban kuasa anggaran dan perbendaharaan bersifat
akuntabel, transparan dan demokratis, mencipta iklim keuangan negara nan aman,
damai, adil bagi kesejahteraan dan kebahagiaan rakyat banyak.
UUD menentukan bahwa entitas NKRI
terbagi menjadi entitas daerah provinsi, entitas provinsi terbagi menjadi
beberapa entitas kabupaten dan kota. Entitas daerah provinsi, kabupaten dan
kota mengatur dan mengurus sendiri sesuai UU otonomi daerah dan tugas
perbantuan melalui pembentukan peraturan daerah, masing-masing membentuk DPRD
mandiri dengan anggota DPRD dan kepala pemerintahan daerah yang terpilih secara
demokratis melalui pemilihan umum daerah, sehingga layak disebut entitas
pelaporan LK.
UU 6 tahun 2014 tentang Desa
menggambarkan itikad negara untuk mengotomikan desa, dengan berbagai
kemandirian pemerintahan desa seperti pemilihan umum calon pemimpin desa,
anggaran desa, semacam DPRD desa, dan kemandirian pembuatan peraturan desa
semacam perda, menyebabkan daerah otonomi NKRI menjadi provinsi, kabupaten atau
kota, dan desa. Reformasi telah mencapai akarnya, kesadaran konstitusi desa dan
dusun diramalkan akan mendorong proses reformasi berbasis otonomi daerah
bersifat hakiki.
Dalam buku berjudul Hukum Konstitusi
dan Konsep Otonomi, Kajian Politik Hukum tentang Konstitusi, otonomi Daerah dan
Desa Pasca Perubahan Konstitusi karangan Dr. Didik Sukriono, S.H,M.H., Beliau
menguraikan bahwa UU 13/2003, UU 1/2004, UU 15/2004, UU 32/2004 dan UU 33/2004
menimbulkan berbagai wacana keterbatasan kemampuan DPRD membentuk RPJMD,
ketidak konsistenan RPJMD dan APBD, wacana mis-alokasi anggaran, eforia perda
tentang pajak dan pungutan daerah dan pembatalannya oleh Mendagri, wacana
disekitar dana dekonsentrasi dan dan tugas pembantuan, lalu PP 7/2008
diterbitkan untuk mengatasi dua isu terakhir tersebut. Permendagri 24 tahun
2006 mendorong pelayanan terpadu bertujuan agar layanan pemda makin baik,
murah, cepat dan sederhana, namun dihambat keterbatasan anggaran pemda, standar
pelayanan minimum belum tersusun, keterbatasan kesadaran dan kemampuan
berakuntabilitas, prosedur layanan berbelit-belit, kekurangan SDM dan
koordinasi pemda dengan pemangku kepentingan.
UU 32/2004 menampilkan Peraturan
Daerah, Peraturan Kepala Daerah dan Keputusan Kepala Daerah. Peraturan Daerah
mencakupi beban penduduk (pajak, retribusi dll), pembatasan kekebasan penduduk
dan hak penduduk, serta pengaturan lain sesuai perundang-undangan NKRI
Reformasi membawa perubahan,
pemekaran berkelanjutan daerah otonom telah menunjukkan gejala berlebihan dalam
bentuk keinginan berpisah dan separatisme kedaerahan berciri eforia pemekaran
lanjutan berbagai pemerintah daerah sedemikian rupa kecilnya sehingga
mengurangi daya ekonomi setiap pemerintahan daerah, meningkatnya biaya
birokrasi dan rentang alokasi APBN, penurunan skala ekonomi (economies of
scale) yang menyebabkan Indonesia memasuki era ekonomi mahal (diseconomies),
penurunan pelayanan publik, penurunan daya saing negara, berpotensi separatisme
ekstrim berupa penolakan menjadi bagian NKRI, berkonsekuensi bahwa PP 71/2010
harus diterapkan oleh setiap daerah otonom yang baru.
B.
SEJARAH
PEMERINTAHAN DESA
Sejak ribuan tahun lalu, sebuah
masyarakat beradat-istiadat khusus membentuk sebuah masyarakat
berkepemerintahan otonom, siap berperang dengan masyakarat ekslusif lain,
sering disebut oleh para antropolog sebagai suku-asli, tribe dan otonomi asli.
UU 6/2014 tentang Desa mengangkat kembali otonomi desa berbasis jati diri desa,
mengakomodasi keanekaragaman & keunikan budaya tiap desa, didalam sebuah
negara kesatuan Republik Indonesia.
Secara struktural, organisasi negara
mengatur kepemerintahan hanya sampai tingkat kecamatan, sehingga organ di bawah
kecamatan diklasifikasi sebagai organ masyarakat, sehingga masyarakat desa
disebut sebagai masyarakat yang mengatur dirinya sendiri dan mendirikan
pemerintahan desa yang mengatur dirinya sendiri sebagai sebuah otoritas lokal
bertaraf desa, pada Perubahan UUD 1945 Pasal 18 B disebut sebagai otonomi
khusus yang mendapat pengakuan dan penghormatan sebagai masyarakat hukum adat
yang sesuai prinsip NKRI.
Dr. Didik Sukriono, S.H,M.H.
selanjutnya menjelaskan bahwa pada pemerintahan penjajahan Belanda,
Regenringsreglement (RR) Pasal 71 tahun 1854 mengatur pengesahan/pemilihan
kepala desa dan pemerintah desa, memberi hak desa mengatur/mengurus rumah
tangga desa sendiri.
Pada pemerintahan penjajahan Jepang,
Osamu Seirei No 7/2604 (tahun 1944) mengatur pemilihan/pemberhentian kepala
desa bersebutan Kuco. UU 1/ 1945 menempatkan desa sebagai otonomi terbawah,
berhak mengatur kepemerintahan desa sendiri.
UU 22/1948 memberi perlindungan
eksistensi desa sebagai sebuah masyarakat memiliki asal-usul khas dan berhak
mengaturdan mengurus pemerintahan desa sendiri, dan dengan sebutan desa (di
pulau Jawa dan Bali), desa negeri, nagari (di Minangkabau), negeri, kota kecil
negeri, mukim, huta, sosor, kampung, dusun atau marga (di Palembang), mukim,
desa, gampong (pada pemerintahan Aceh) dan sebutan lain sebagai Daerah otonom
Tingkat III.
UU 1/1957 membadi daerah otonom
menjadi daerah otonom biasa dan daerah swapraja. UU 19/1965 melakukan
penyeragaman desapraja dan pembentukan daerah tingkat III.
TAP MPR IV/MPR/1978 tentang GBHN berisi rencana memperkuat pemerintahan desa agar semakin mampu menggerakkan masyarakat desa berpartisipasi dalam pembangunan NKRI dan mampu menyelenggarakan administrasi kepemerintahan desa yang efektif, melalui sebuah UU tentang Peemerintahan Desa.
TAP MPR IV/MPR/1978 tentang GBHN berisi rencana memperkuat pemerintahan desa agar semakin mampu menggerakkan masyarakat desa berpartisipasi dalam pembangunan NKRI dan mampu menyelenggarakan administrasi kepemerintahan desa yang efektif, melalui sebuah UU tentang Peemerintahan Desa.
UU 5/1979 adalah sebuah upaya
menghapus otonomi desa, menyeragamkan nama, bentuk, susunan dan kedudukan
pemerintahan desa sebagai sebuah kepemerintahan adminsitratif. Desa berada
dibawah kecamatan, kepala desa dibawah camat yang melakukan kepemerintahan
vertikal.
Iklim reformasi melahirkan UU 22
/1999 yang berupaya mengutamakan pengalihan pengaturan desa dari tingkat
nasional menuju tingkat daerah, dari birokrasi ke institusi masyarakat lokal,
memberi pengakuan keunikan dan keanekaragaman desa atau dengan nama lain
sebagai masyarakat berkepemerintahan sendiri & mandiri sebagai
pengejawantahan istilah “ istimewa” pada Pasal 18 UUD 1945. Desa adalah
subsistem dan sebuah kepemerintahan yang diatur oleh kabupaten melalui perda.
Sebagai subsistem kabupaten, tak seberapa jelas apakah desa berada di dalam
rumah tangga kabupaten atau di luar rumah tangga kabupaten. Untuk membangun
kepemerintahan mandiri berbasis demokrasi, UU menampilkan Badan Perwakilan Desa
(BPD)
UU 32/2004 menyatakan bahwa desa
adalah subyek hukum, negara mengakui desa sebagai kesatuan masyarakat hukum
berdasar sejarah asal-usul dan adat istiadat. Desa adalah self governing
community berdaulat dan berbasis musyawarah, bukan entitas otonom yang disebut
local self government seperti halnya kabupaten. Pada sisi lain, desa
ditempatkan di dalam pemerintahan kabupaten/kota. UU sekali lagi berupaya
mempertegas otonomi desa, mengubah istilah BPD menjadi Badan Permusyawaratan
Desa, setara MPR NKRI.
Sejak beberapa tahun terakhir
sebelum awal tahun 2014, tertengarai upaya pemerintah meningkatkan Peraturan
Pemerintah RI Nomor 72 tahun 2005 tentang desa, Peraturan Menteri Dalam Negeri
Nomor 28 tahun 2006 tentang Pembentukan, Penghapusan, Penggabungan Desa dan
Perubahan Status Desa menjadi Kelurahan, serta Peraturan Menteri Dalam Negeri
Nomor 29 tahun 2006 tentang Pedoman Pembentukan dan Mekanisme Penyusunan
Peraturan Desa, menjadi sebuah UU 6 tahun 2014 tentang Desa dengan berbagai
perubahan mendasar, disahkan DPR pada hari Rabu tanggal 18 Desember 2013 dan
diundangkan pada 15 Januari 2014.
Sesungguhnya, dalam sejarah
pengaturan Desa, telah ditetapkan beberapa pengaturan tentang Desa, yaitu
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 tentang Pokok Pemerintahan Daerah,
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah,
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah,
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1965 tentang Desa Praja Sebagai Bentuk Peralihan
Untuk Mempercepat Terwujudnya Daerah Tingkat III di Seluruh Wilayah Republik
Indonesia, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di
Daerah, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa,
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, dan terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah,
bertransformasi menjadi UU 6 tahun 2014 tentang Desa yang diundangkan pada 15
Januari 2014.
Falsafah Bhineka Tunggal Ika menguat
tatkala UU 6 tahun 2014 mengakui dan melindungi keaneka ragaman adat istiadat,
UU Desa secara eksplisit bermaksud melestarikan adat cq budaya asli sebagai
kebhinekaan yang menyatu dibawah peraturan perUUan NKRI. UU 6 tahun 2014
tentang desa mengatur desa atau sebutan lain, desa adat atau sebutan lain,
serta secara ringan mengatur dusun. Undang-Undang 6 tahun 2014 mengatur materi
mengenai Asas Pengaturan Desa, Kedudukan Desa dan Jenis Desa, Penataan Desa,
Kewenangan Desa, Penyelenggaraan Pemerintahan Desa, Hak dan Kewajiban Desa dan
Masyarakat Desa, Peraturan Desa, Keuangan Desa dan Aset Desa, Pembangunan Desa
dan Pembangunan Kawasan Perdesaan, Badan Usaha Milik Desa, Kerja Sama Desa,
Lembaga Kemasyarakatan Desa dan Lembaga Adat Desa, serta Pembinaan dan
Pengawasan. Selain itu, Undang-Undang ini juga mengatur dengan ketentuan khusus
yang hanya berlaku untuk Desa Adat.
Dengan konstruksi menggabungkan
fungsi self-governing community dengan local self government, diharapkan
kesatuan masyarakat hukum adat yang selama ini merupakan bagian dari wilayah
Desa, ditata sedemikian rupa menjadi Desa dan Desa Adat. Desa dan Desa Adat
pada dasarnya melakukan tugas yang hampir sama. Sedangkan perbedaannya hanyalah
dalam pelaksanaan hak asal-usul, terutama menyangkut pelestarian sosial Desa
Adat, pengaturan dan pengurusan wilayah adat, sidang perdamaian adat,
pemeliharaan ketenteraman dan ketertiban bagi masyarakat hukum adat, serta
pengaturan pelaksanaan pemerintahan berdasarkan susunan asli.
Desa Adat memiliki fungsi
pemerintahan, keuangan Desa, pembangunan Desa, serta mendapat fasilitasi dan
pembinaan dari pemerintah Kabupaten/Kota. Dalam posisi seperti ini, Desa dan
Desa Adat mendapat perlakuan yang sama dari Pemerintah dan Pemerintah Daerah.
Oleh sebab itu, di masa depan Desa dan Desa Adat dapat melakukan perubahan
wajah Desa dan tata kelola penyelenggaraan pemerintahan yang efektif,
pelaksanaan pembangunan yang berdaya guna, serta pembinaan masyarakat dan
pemberdayaan masyarakat di wilayahnya. Dalam status yang sama seperti itu, Desa
dan Desa Adat diatur secara tersendiri dalam Undang-Undang ini. Desa Adat pada
prinsipnya merupakan warisan organisasi kepemerintahan masyarakat lokal yang
dipelihara secara turun-temurun yang tetap diakui dan diperjuangkan oleh
pemimpin dan masyarakat Desa Adat agar dapat berfungsi mengembangkan
kesejahteraan dan identitas sosial budaya lokal. Desa Adat memiliki hak asal
usul yang lebih dominan daripada hak asal usul Desa sejak Desa Adat itu lahir
sebagai komunitas asli yang ada di tengah masyarakat. Desa Adat adalah sebuah
kesatuan masyarakat hukum adat yang secara historis mempunyai batas wilayah dan
identitas budaya yang terbentuk atas dasar teritorial yang berwenang mengatur
dan mengurus kepentingan masyarakat Desa berdasarkan hak asal usul.
Kesatuan masyarakat hukum adat yang
masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara
Kesatuan Republik Indonesia merupakan pusat kehidupan masyarakat yang bersifat
mandiri. Dalam kesatuan masyarakat hukum adat tersebut dikenal adanya lembaga
adat yang telah tumbuh dan berkembang di dalam kehidupan masyarakatnya. Dalam
eksistensinya, masyarakat hukum adat memiliki wilayah hukum adat dan hak atas
harta kekayaan di dalam wilayah hukum adat tersebut serta berhak dan berwenang
untuk mengatur, mengurus, dan menyelesaikan berbagai permasalahan kehidupan masyarakat
Desa berkaitan dengan adat istiadat dan hukum adat yang berlaku. Lembaga adat
Desa merupakan mitra Pemerintah Desa dan lembaga Desa lainnya dalam
memberdayakan masyarakat Desa. UU 6 tahun 2014 menonjolkan aspek kearifan lokal
sebagai asas yang menegaskan bahwa di dalam penetapan kebijakan harus
memperhatikan kebutuhan dan kepentingan masyarakat Desa, karena itu UU amat
mementingkan desa adat sebagai ulayat atau wilayah adat adalah wilayah
kehidupan suatu kesatuan masyarakat hukum adat, dengan syarat bahwa desa adat
selaras dengan perundang-undangan NKRI, desa adat wajib mengakomodasi
keberagaman dalam penyelenggaraan Pemerintahan Desa Adat yang tidak boleh
mendiskriminasi kelompok masyarakat tertentu.
Menurut Penjelasan UU 6, Negara
Kesatuan Republik Indonesia terdiri atas hampir 73 ribu desa atau sebutan lain
setara desa, sementara wikipedia mencatat bahwa jumlah desa telah mencapai
79.075 desa. Apabila hampir sebanyak 73 ribu desa tersebut dalam kondisi
produktif, sehat dan bertumbuh, maka NKRI sehat dan berkembang. Apabila
produktivitas desa modern meningkat maka PDB dan pendapatan perkapita regional
akan berkembang, diramalkan devisa ekspor hasil pertanian & kelautan
meningkat dahsyat akan memperkuat ketahanan ekonomi dan fiskal NKRI.
Karena UU Desa, maka desa terangkat
dari obyek pembangunan- sekarang menjadi subyek pembangunan. Diramalkan bagian
APBN dan APBD untuk pembangunan sarana dan prasarana desa serta dusun pada
tahun-tahun yang akan datang akan meningkat secara signifikan, berkonsekuensi
pertanggungjawaban keuangan desa perlu ditingkatkan. Kepala Desa mendapat gaji
dari negara.
Kepemerintahan NKRI terbagi menjadi
pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Pada tataran pemerintah daerah, selain
kebupaten/kota mandiri sebagai pemerintah daerah otonom, pemerintah desa juga
mempunyai ciri otonomi tertentu dalam pengelolaan dan pengaturan desa
masing-masing.
Presiden NKRI memimpin
kepemerintahan Pemerintah Pusat dibantu Wakil Presiden NKRI dan para Menteri,
dengan catatan Menteri Dalam Negeri dibantu Gubernur Provinsi sebagai interface
pemerintah pusat dengan pemerintah daerah otonom. Menteri yang menangani Desa
saat ini adalah Menteri Dalam Negeri. Dalam kedududukan ini Menteri Dalam
Negeri menetapkan pengaturan umum, petunjuk teknis, dan fasilitasi mengenai
penyelenggaraan pemerintahan Desa, pelaksanaan Pembangunan Desa, pembinaan
kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa.
Bupati/walikota memimpin pemerintah
daerah otonom dibantu perangkat organisasi kabupaten/kota mandiri seperti sekretariat,
para camat, lurah dan kepala desa. Sebuah desa mungkin terbagi menjadi beberapa
dusun.
Tahap selanjutnya otonomi daerah
berlangsung. Sejak 1 Januari 2014 seluruh Kabupaten/Kota bertanggungjawab akan
pengelolaan Pajak Bumi dan Bangunan Sektor Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2),
berhak menentukan tarif PBB-P2 sendiri sampai batas maksimum nasional sebesar
0,3% tersesuai kondisi perekonomian dan tingkat hidup daerah masing-masing,
meningkatkan PAD dan sebagian tentu saja dialirkan kembali dalam bentuk belanja
kabupaten dalam RAPBD untuk maslahat sebesar-besarnya desa dan dusun dibawah
kabupaten tersebut.
Sebuah desa adalah sebuah yuridiksi
hukum berkegiatan utama pertanian, ekstraktif dan pengelolaan sumber-daya-alam
lain, sebuah kawasan yang digunakan sebagai tempat pemukiman perdesaan,
pelayanan jasa kepemerintahan desa, pelayanan sosial dan kegiatan ekonomi.
Rencana Undang-Undang tentang Desa menjelaskan bahwa desa atau yang disebut
dengan nama lain, selanjutnya disebut desa adalah sebuah kesatuan masyarakat
hukum yang memiliki batas wilayah desa.
Dalam batas wilayah hukum desa
tersebut masyarakat desa tersebut berwewenang untuk mengatur & mengurus
sendiri kepentingan masyarakat setempat sambil tetap merujuk pada hukum
nasional dan program pembangunan nasional.
Pengaturan dan pengurusan sendiri
tersebut harus berdasar (1)hak asal-usul yang masih hidup & berlaku,
(2)adat istiadat yang masih hidup & berlaku, (3)kondisi unik sosial dan
budaya setempat yang hidup & masih berlaku (4)tersesuai perkembangan
masyarakat dan (5)prinsip NKRI yang diramu secara unik menjadi peraturan
perundang-undangan desa itu sendiri diumumkan sebagai Berita Daerah (sejalan
dengan berita negara, lembaran negara NKRI).
Sebagai sebuah yuridiksi hukum
seolah-olah miniatur mandiri kepemerintahan NKRI, sebuah desa membentuk Badan
Permusyawaratan Desa, membangun Peraturan Desa sebagai
peraturan-per-undang-undangan desa tersebut yang ditetapkan oleh Kepala Desa
setelah dimusyawarahkan bersama Badan Permusyawaratan Desa (BPD), didalamnya
termaktub peraturan desa tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJM
Desa) dan diturunkan menjadi rencana pembangunan tahunan desa yang disebut
Rencana Kerja Pemerintah Desa (RKP Desa) terintegrasi keatas dengan
program-program pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang masuk ke desa
tersebut (Pasal 66), terintegrasi kebawah dengan dusun-dusun (Pasal 67). Desa
terbentuk melalui sebuah ketetapan hukum pembentukan desa dengan status desa.
Sebuah desa terdiri atas beberapa dusun. Pemerintah desa atau yang disebut
dengan nama lain adalah kepala desa dan perangkat desa. Perangkat desa adalah
Badan Permusyawaratan Desa atau sebutan lain, Lembaga Kemasyarakatan Desa atau
sebutan lain, dan Lembaga Adat Desa dilengkapi dengan sebuah Badan Usaha Milik
Desa (BUM Desa).
Jumlah seluruh kelurahan sekitar
8.000 kelurahan, sedang jumlah desa disekitar 73.000 desa sampai 79.075 desa. Kelurahan
dan desa mempunyai persamaan dan perbedaan sebagai berikut.
·
Pertama, pada umumnya, sebuah kota terbagi menjadi
beberapa kecamatan dan kelurahan, sebuah kabupaten terbagi menjadi beberapa
kecamatan dan desa. Sebuah kecamatan dapat terdiri atas beberapa kelurahan dan
desa.
·
Kedua, desa dan kelurahan berada di bawah pengawasan
dan pembinaan pemerintah kabupaten/kota, yang dapat dilimpahkan kepada Camat
(Pasal 84(2), keduanya–desa dan kelurahan-mendapat alokasi atau bagian APBN dan
APBD.
·
Ketiga, sebuah desa lebih mempunyai karateristik
kegiatan pertanian dan ekstraktif, sedang sebuah kelurahan lebih mempunyai
karakteristik industri yaitu bahwa 70% penduduk mempunyai mata percaharian
nonpertanian. Sebuah desa baru layak dibentuk apabila telah berusia lima tahun
atau lebih, apabila desa tersebut berpenduduk dan berkeluarga dalam jumlah
minimum tertentu sesuai nama pulau. Desa dapat berubah status menjadi kelurahan
apabila terjadi kenaikan jumlah penduduk & keluarga dan/atau perubahan
mendasar struktur perekonomian berbasis pertanian dan ekstraktif menjadi
perekonomian berbasis industri.
·
Keempat, selain kebupaten/kota mandiri sebagai
pemerintah daerah otonom, pemerintah desa juga mempunyai ciri otonomi tertentu.
Desa mempunyai status lebih mandiri dibanding kelurahan, pengelolaan desa
berbasis masyarakat, karena itu desa berwewenang mengatur & mengurus
kepentingan masyarakat desa (Paragraf 15) ditambah wewenang limpahan
kabupaten/kota dan UU(Pasal 16), desa berhak menentukan struktur organisasi dan
tata-kerja, memilih kepala desa, BPD, perangkat desa seperti sekretaris desa,
pelaksana teknis dan perangkat kewilayahan (Pasal 23), memiliki RPJP, RPJM,
memiliki semacam DPRD Kabupaten, kepala desa berwewenang sebagai
hakim-perdamaian dengan keputusan final dan mengikat (Paragraf 24(6), desa
memiliki aset desa dan sumber pendapatan dan berwewenang menentukan belanja
pemerintah desa sendiri. Karena mandiri, Desa bersama BPD dapat berprakarsa
melebur desa menjadi kelurahan, berarti secara sukarela melepas status desa
mandiri demi kepentingan masyarakat umumnya, demi peningkatan kualitas hidup,
pelayanan dan pemberdayaan masyarakat khususnya, menjaga kesatuan &
persatuan NKRI (Pasal 21) umumnya, meningkatkan pelayanan dasar & kehidupan
demokrasi khususnya.
·
Kelima, kepala desa dipilih warga desa, ditetapkan
oleh Bupati/walikota dan disumpah (Pasal 25 dan 45(3)). Para eksekutif desa
ditetapkan atau diangkat dan diberhentikan oleh bupati/walikota, sekretaris
daerah dan camat. Ciri pembatas otonomi desa dalam tataran NKRI yang lain
adalah bahwa bupati/walikota membentuk panitia pemilihan kepala desa dengan
pembiayaan APB Desa bersumber dari APBD kabupaten/kota, kepala desa dapat
diberhentikan sementara oleh Bupati/walikota apabila menjadi terdakwa pidana
dan diganti sementara oleh pejabat kepala desa yang dipilih dari PNS
kabupaten/kota (Pasal 32), disidik (Pasal 33) berdasar persetujuan tertulis
bupati/walikota, diberhentikan oleh bupati/walikota apabila terdakwa terbukti
bersalah dan mendapat keputusan tetap dari pengadilan sebagai terpidana,
dipulihkan kepada jabatan semula yang belum habis dijalani, apabila tidak
terbukti bersalah dan dinyatakan bebas oleh pengadilan (Pasal 29). Sekretaris
desa diangkat/diberhentikan sekretaris kabupaten/kota atas-nama
bupati/walikota(Pasal 35), sedang SDM perangkat desa selebihnya diangkat dan
diberhentikan oleh Camat (Pasal 36) mungkin berdasar usulan kepala desa (Pasal
24(3)a). Pakaian dinas serta penghasilan tetap kepala desa dan perangkat desa
ditetapkan dalam APB bersumber dari APBD kabupaten/kota. Tatacara pemilihan dan
pemberhentian kepala desa akan diatur dalam sebuah peraturan pemerintah.
·
Keenam, kepala desa adalah pemegang kekuasaan
pengelolaan keuangan desa (Pasal 61) secara implisit bertanggungjawab atas
realisasi anggaran desa, perbendaharaan desa, akuntansi dan pelaporan LK desa.
Desa dapat berubah menjadi kelurahan
atau sebaliknya, kelurahan dapat berubah status menjadi desa atau desa dan
kelurahan (Pasal 13). Apabila desa berubah status menjadi kelurahan, maka
seluruh barang milik desa dan sumber pendapatan pemerintah desa dialihkan
menjadi kekayaan pemerintah kabupaten/kota (Pasal 11(1)) untuk kepentingan
masyarakat dan pendanaan menjadi bagian anggaran pendapatan & belanja
daerah kabupaten/kota mandiri (Pasal 11(3)).
Sebuah kabupaten atau kota mandiri
terbagi menjadi beberapa kecamatan, terbagi lagi menjadi beberapa kelurahan.
Camat adalah perangkat daerah kabupaten /kota, lurah adalah perangkat kerja
kecamatan. Disamping kecamatan dan kelurahan, sebuah kabupaten/kota dibagi-bagi
menjadi beberapa desa dengan pengelolaan berbasis masyarakat (Pasal 2).
Perencanaan strategis kabupaten/kota disusun berdasar perencanaan pembangunan
desa, sedang perencanaan desa berbasis perencanaan dusun (Pasal 67) adalah hampiran
bottom-up-planning, ditambah berbagai program pemerintah pusat cq berbagai
kementerian yang dianggarkan khusus untuk desa, program pemerintah provinsi
untuk pembangunan kawasan perdesaan lintas kabupaten (Pasal 71) berciri
top-down-planning, demikian pula program pemerintah daerah kabupaten untuk
pembangunan kawasan perdesaan dalam sebuah kabupaten tersebut sendiri (Pasal
70) melalui peraturan bupati/walikota yang terintegrasi dengan program
pembangunan kawasan perdesaan lintas kabupaten pada tingkat provinsi berciri
top-down & bottom-up planning. Integrasi pembangunan lintas kabupaten dan
kawasan perdesaan lintas kabupaten oleh pemerintah provinsi adalah
top-down-planning, dimaksud untuk mengembangkan sinergi antar desa pada
umumnya, pada khususnya untuk membangun daya saing NKRI dan skala ekonomi
industri-industri secara nasional. Desa diupayakan tidak menjadi ajang
perebutan kekuasaan partai politik, NKRI membutuhkan kepala desa bukan politisi
(Pasal 25 d dan h), bervisi modern dan berani yang dipilih penduduk desa
melalui pemungutan suara (Pasal 43). Integrasi dan kerjasama prakarsa sendiri
dapat dilakukan antar-desa tanpa program provinsi dan kabupaten adalah hampiran
lateral-planning, prakarsa desa membuat kerjasama dengan pihak bukan pemerintahan,
program memikat investor dan semacamnya dalam upaya meningkatkan pendapatan
asli desa (Pasal 24(4)) dan produk domestik bruto desa (GDP desa) adalah
hampiran business-planning dan international planning (Pasal 75).
UU 6 tahun 2014 tersebut menyatakan
bahwa mengingat kedudukan, kewenangan, dan Keuangan Desa yang semakin kuat,
penyelenggaraan Pemerintahan Desa diharapkan lebih akuntabel yang didukung
dengan sistem pengawasan dan keseimbangan antara Pemerintah Desa dan lembaga
Desa. Lembaga Desa, khususnya Badan Permusyawaratan Desa yang dalam
kedudukannya mempunyai fungsi penting dalam menyiapkan kebijakan Pemerintahan
Desa bersama Kepala Desa, harus mempunyai visi dan misi yang sama dengan Kepala
Desa sehingga Badan Permusyawaratan Desa tidak dapat menjatuhkan Kepala Desa
yang dipilih secara demokratis oleh masyarakat Desa.
BAB
III
Penutup
3.1 Simpulan
Dari Pemaparan
diatas dapat kami simpulkan bahwa :
1.
Sejarah
perubahan Undang-undang tentang Pemerintahan Daerah dari tahun 1957 sampai
dengan sekarang dapat digambarkan sebagai berikut :
a.
Pada
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1957 diterapkan sistem Desentralisasi
b.
Pada
Undang-undang Nomor 18 Tahun 1965 diterapkan sistem Sentralisasi
c.
Pada
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 diterapkan sistem Sentralisasi
d.
Pada
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 diterapkan sistem Desentralisasi
e.
Pada
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 diterapkan sistem Desentraisasi namun dalam
pelaksanaannya masih setengah hati.
2.
Pengaturan
Kewenangan Pemerintah Daerah terkait dengan perubahan undang-undang tentang
Pemerintahan Daerah selalu mengalami perubahan sesuai dengan Sistem
Pemerintahan yang diterapkan pada saat undang-undang bersangkutan diberlakukan.
3.
Desa adalah perwujudan sejati NKRI, peningkatan
kesejahteraan desa (bukan sekadar kota besar) adalah perwujudan demokrasi
ekonomi bagi rakyat banyak, GDP desa dan income percapita desa adalah
perwujudan tingkat hidup sejati bangsa Indonesia (bukan sekadar UMR), karena
itu modernisasi produktif (bukan konsumtif), sistem demokrasi serta rerata
pendidikan angkatan kerja di desa adalah segalanya.
Desa adalah
perwujudan kebijakan otonomi daerah paling sejati melanjutkan otonomi tataran
kabupaten/kota mandiri, dan UU Desa memfasilitasi berbagai persyaratan sebagai
entitas pelaporan Laporan Keuangan.
Reformasi
keuangan sejati NKRI adalah laporan keuangan desa berbasis Standar Akuntansi
Pemerintahan, utopia Indonesia Baru adalah LK Desa Beropini WTP yang kemudian
dikonsolidasi dan menjadi lampiran LK Kabupaten/Kota, karena Indonesia sejati
adalah kumpulan desa-desa.
Menurut kami
UU Desa masih harus dilengkapi berbagai peraturan pelaksanaan dan kebijakan
lanjutan untuk memecahkan hambatan isolasi desa karena hukum adat, membangun
hubungan positif dengan struktur pemerintahan supradesa (kecamatan,
kabupaten/kota, provinsi dan pemerintah pusat), mendorong produktivitas melalui
modernisasi industrialisasi desa berbasis hukum adat tanpa perlu berubah status
menjadi kelurahan, modernisasi sistem keuangan masyarakat desa dan mendorong
politik buka-pintu-desa & kemudahan akses penamam modal dari luar desa,
memberi perlindungan demokrasi sehat dalam desa dan menghapus segala bentuk
premanisme dalam desa, melindungi desa dari eksploitasi pihak pihak tertentu
dalam dan luar desa, melepas birokrasi desa dari politik kontraproduktif
berbagai partai politik, melepad ketergantungan desa pada APBN/APBD,
pembangunan khusus desa miskin budaya dan sumber daya alam, dan mendorong
kerjasama produktif antar desa, menahan transmigrasi, imigrasi dan urbanisasi
yang berisiko mematikan sebuah masyarakat adat.
3.2 Saran
Menurut
pendapat kelompok kami, dalam perjalanan bangsa Indonesia banyaknya perubahan
yang terjadi, salah satunya dalam Undang-undang mengenai Pemerintahan daerah
yang salah satunya mengatur dalam Otonomi Daerah.
Yang
dimana pemerintah pusat melimpahkan wewenang kepada Pemerintahan daerah, dalam
pelimpahan wewenang ini mengatur dalam Perda (Peraturan daerah) dan pengelolaan
Sumber Daya Alam (SDA). Akan tetapi dalam mengimplementasikan kedaerah
terjadinya banyak permasalahan didaerah-daerah, dan masih banyaknya keraguaan
atau setengah hati yang dilakukan pemerintah pusat kepada pemerintahan daerah.
salah
satunya penyalahgunaan wewenang oleh kepala daerah, sehingga munculnya raja-raja
kecil didaerah sehingga menjalankan otomi daerah terhambat dalam segi
pelaksanaanya, banyaknya perdebatan dari pakar-pakar politik yang dimana dengan
adanya Otomi daerah ini banyak daerah yang merasakan kecemburuan terhadap
daerah-daerah yang memiliki Otonomi daerah maupun khusus.
Daftar pustaka
Perundang-undangan :
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1957
tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 1965
tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1974
tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah
http://www.fakultashukum-universitaspanjisakti.com/informasi-akademis/bahan-kuliah/41-sejarah-undang-undang-pemerintahan-daerah.html
0 komentar:
Posting Komentar