BAB
I
PENDAHULUAN
Pelayanan publik
merupakan serangkaian aktivitas yang dilakukan pemerintah beserta aparaturnya
kepada masyarakat dalam mewujudkan peningkatan kualitas kehidupan masyarakat
sekaligus memberikan kepuasan kepada masyarakat yang dilayani.
Sebagai salah satu bentuk tanggung jawab
pemerintah kepada masyarakat, sudah tentunya suatu pelayanan publik yang
diselenggarakan pemerintah harus mencakup seluruh masyarakat yang
membutuhkannya, dan yang paling penting lagi adalah bagaimana masyarakat dapat
merasakan kepuasan dari layanan yang diberikan kepada mereka.
Kualitas pelayanan publik yang baik merupakan
salah satu agenda yang perlu ditingkatkan dalam periode reformasi yang kita
jalani saat ini. Karena sejalan dengan perubahan paradigma administrasi yang
dari waktu ke waktu mengalami kedinamisan, berimplikasi pada pentingnya
perubahan terhadap proses penyelenggaraan pelayanan publik.
Dalam
meningkatkan dimensi kualitas pelayanan publik tersebut, berbagai upaya telah
dilakukan oleh pemerintah, untuk menunjang keberhasilan pelaksanaan pembangunan
dan pemenuhan berbagai sendi-sendi kebutuhan masyarakat. Salah satu kebijakan
pemerintah dalam upaya melakukan perbaikan pelayanan kepada masyarakat adalah
dengan mengeluarkan kebijakan yang mengatur tata cara penyelenggaraan pelayanan
terpadu satu atap. Kebijakan ini juga
terkait sebagai suatu pedoman penyelenggaraan pelayanan prima di daerah,
sebagai bagian peningkatan pelayanan publik yang juga merupakan salah satu
esensi berotonom lewat pelaksanaan proses desentralisasi.
Pemerintah
daerah dalam hal ini sebagai penyedia layanan public senantiasa dituntut
kemampuannya meningkatkan kualitas layanan, mampu menetapkan standar layanan
yang berdimensi menjaga kualitas hidup, melindungi keselamatan dan
kesejahteraan rakyat. Kualitas layanan juga dimaksudkan agar semua masyarakat
dapat menikmati layanan yang secara tidak langsung menjamin hak-hak azasi warga
negara. Untuk mewujudkan kesemua hal diatas, maka salah satu konsep pemerintah
dalam pemberian pelayanan yang berkualitas adalah dengan melakukan pelayanan
terpadu satu atap, untuk memberikan segala kelancaran dan kemudahan layanan,
serta akuntabiltas layanan kepada masyarakat, sehingga pada akhirnya, sedikit
demi sedikit pengadopsian paradigma administrasi publik, khususnya dalam hal
pelayanan bisa diimplementasikan serta dipertangungjawabkan kepada masyarakat
selaku sasaran penyelenggaraan pelayanan berkualitas itu.
1.2
Rumusan Masalah
Dari
latar belakang diatas tentang “ sistem pelayanan publik satu atap” maka dapat dirumuskan beberapa masalah
diantaranya yaitu:
1.
Apa yang dimaksud dengan Pelayanan Satu
Atap ?
2.
Bagaiman Mekanisme Pelayanan Satu Atap
di Pemerintah Daerah dan Kendala apa saja yang Dihadapi ?
3.
Bagaimana Keadilan Dalam Pelayanan Umum
Satu Atap ?
4.
Bagaimana Sistem Administrasi Manunggal
Satu Atap (samsat) ?
1.3 Tujuan Penulisan
Adapun
tujuan Penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah Sistem Informasi Manajemen Pemerintahan,
selain itu juga memberikan suatu informasi sehubungan dengan Sistem Pelayanan
Publik Satu Atap, yaitu :
1.
Untuk mengetahui arti dari Pelayanan
Satu Atap
2.
Untuk mengetahui Mekanisme Pelayanan
Satu Atap di Pemerintah Daerah dan Kendala yang Dihadapi
3.
Untuk mengetahui Keadilan Dalam
Pelayanan Umum Satu Atap
4.
Untuk mengetahui Sistem Administrasi Manunggal Satu Atap
(samsat)
BAB
II
PEMBAHASAN
Menurut Kotler dalam
Laksana (2008) pelayanan adalah setiap tindakan atau kegiatan yanga dapat
ditawarkan oleh suatu pihak kepada pihak lain, yang pada dasarnya tidak
berwujud dan tidak mengakibatkan kepemilikan apapun. Sedangkan Gronroos dalam
Tjiptono (2005) menyatakan bahwa pelayanan merupakan proses yang terdiri atas
serangkaian aktivitas intangible yang biasa (namun tidak harus selalu) terjadi
pada interaksi antara pelanggan dan karyawan, jasa dan sumber daya, fisik atau
barang, dan sistem penyedia jasa, yang disediakan sebagai solusi atas masalah
pelanggan.
Pelayanan publik
(public service) oleh birokrasi publik merupakan salah satu perwujudan dari fungsi
aparatur negara sebagai abdi masyarakat disamping abdi negara. Pelayanan publik
oleh birokrasi publik dimaksudkan untuk mensejahterakan masyarakat (warga
negara) dari suatu negara sejahtera (walfare state). Pelayanan umum oleh
Lembaga Administrasi Negara (1998) diartikan sebagai segala bentuk kegiatan
pelayanan umum yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah dan di lingkungan
Badan Usaha Milik Negara/daerah dalam bentuk barang atau jasa, baik dalam
rangka upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat maupun dalam rangka pelaksanaan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pelayanan prima
merupakan terjemahan dari excellent sevice yang artinya pelayanan terbaik.
Pelayanan prima sebagai strategi adalah suatu pendekatan organisasi total yang
menjadikan kualitas pelayanan yang diterima pengguna jasa sebagai penggerak
utama pencapaian tujuan organisasi.
Arti pelayanan prima
berorientasi pada kepuasan pengguna layanan. Penanganan layanan secara
professional menjadi kunci keberhasilan, oleh karena itu diperlukan sumber daya
manusia yang memiliki kompetensi yang relevan dengan bidang-bidang layanan yang
dikelola. Hal tersebutlah yang juga sedikit demi sedikit ditransformasikan
dalam penyelenggaraan pelayanan melalui pola layanan satu atap atau sering
disebut layanan terpadu pada suatu tempat oleh beberapa instansi. Sebenarnya
pola layanan satu atap awalnya dilatar belakangi untuk mempercepat perijinan
investasi dalam upaya untuk meningkatkan kuantitas penanaman modal oleh pihak
swasta asing maupun domestik di Indonesia melalui instansi Badan Koordinasi
Penanaman Modal, akan tetapi pola layanan satu atap ini juga dinilai mampu
untuk memenuhi kebutuhan layanan yang dibutuhkan oleh masyarakat, khususnya
oleh masyarakat di daerah yang berada dalam cakupan sasaran layanan pemerintah
daerah. Pelayanan satu atap, yaitu pola pelayanan
umum yang dilakukan secara terpadu pada suatu tempat/tinggal oleh beberapa
instansi pemerintah yang bersangkutan sesuai kewenangannya masing-masing.
Pola
pelayanan satu atap diatur melalui kebijakan yang dikeluarkan oleh Menteri
Pemberdayaan Aparatur Negara (Menpan) melalui Surat Keputusan Menteri PAN Nomor
63/KEP/M.PAN/7/2003 tentang pedoman pelaksanaan pelayanan satu atap antara lain
disebutkan bahwa dalam menghadapi era globalisasi yang penuh tantangan dan
peluang, aparatur negara dalam hal ini dititik beratkan kepada aparatur
pemerintah hendaknya memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya, berorientasi
pada kebutuhan dan kepuasan penerima pelayanan, sehingga dapat meningkatkan
daya saing dalam pemberian pelayanan barang dan jasa. SK Menpan itu selanjutnya
menjelaskan bahwa pelayanan publik adalah segala kegiatan pelayanan yang
dilaksanakan oleh penyelenggara pelayanan publik sebagai upaya pemenuhan
kebutuhan penerima pelayanan maupun pelaksanaan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Melalui
kebijakan dari Menpan inilah maka pengimplementasian pelayanan terpadu satu
atap di pemerintah daerah dapat dikembangkan lewat kebijakan operasional di
berbagai daerah, baik melalui perda maupun keputusan kepala daerah. Lewat
pelayanan satu atap, maka proses pemenuhan layanan kepada masyarakat akan dapat
dilaksanakan dengan cepat, tepat, efektif, efisien dan akuntabel sebagaimana
tujuan dari paradigma Good Governance. Layanan satu atap juga berguna bagi
percepatan proses pembangunan di berbagai daerah seiring dengan pelaksanaan
otonomi daerah di negara kita.
Menurut
penilaian lain, sistem pelayanan satu atap ini dinilai dapat meminimalkan atau
bahkan menghilangkan pungutan-pungutan liar yang ada termasuk korupsi dan
biaya-biaya yang tidak resmi dari calo-calo. Sehingga pengurusan segala
perijinan dan non perijinan tentu dapat lebih murah dan cepat dan hanya pada
satu tempat saja. Manfaat yang akan diperoleh oleh instansi atau pemerintah
daerah yang menerapkan sistem ini tentu saja peningkatan pendapatan asli
daerahnya dan juga akan memberikan nilai positif terhadap mitos tentang kinerja
pegawai negeri yang lambat dan terkesan ogah-ogahan dalam memberikan pelayanan
kepada masyarakat.
Seperti yang telah
disampaikan diatas, pola pelayanan satu atap dapat juga dikembangkan di
pemerintah daerah dalam rangka mempercepat proses pemberian layanan publik
kepada masyarakat. Secara garis besar pemenuhan layanan publik kepada
masyarakat mencakup dua aspek, yakni public goods dan public regulation. Public
Goods menyangkut ketersediaan sarana dan prasarana publik yang dibutuhkan
masyarakat, sementara public regulation menyangkut pemenuhan pelayanan yang dibutuhkan
masyarakat dalam hal memperoleh perizinan (hal untuk melakukan tindakan hukum
yang legal seperti membuka usaha) dan hal dalam pemenuhan kebutuhan yang
sifatnya non-perizinan (hak untuk mendapat pengakuan seperti memperoleh KTP).
Secara umum mekanisme
pelayanan satu atap dilaksanakan oleh tiap pemerintah daerah di daerah
masing-masing disesuaikan dengan pemenuhan kebutuhan masyarakat yang
membutuhkan pelayanan akan pemenuhan segala hal yang mereka butuhkan.
Beberapa layanan yang
dapat diberikan melalui sistem pelayanan satu atap ini antara lain : KTP, Akta
Kelahiran, Akte Perkawinan, Akte Perceraian, Akte Kematian, Ijin Ganguan (HO),
Ijin mendirikan bangunan, Surat Tanda Daftar Industri (STDI), Tanda Daftar
Usaha Perdagangan (TDUP), Tanda Daftar Perusahaan (TDP), Tanda Daftar Gudang
(TDG), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Nomor Pokok Wajib Pajak Daerah (NPWPD),
Sewa Petak Toko Milik Pemda, Pajak Pertunjukan dan Keramaian Umum, Ijin
Pendirian Perusahaan Angkutan Umum, Reklame, Pendaratan, Ijin Lokasi, Penetapan
Lokasi dan masih banyak lainnya.
Mekanisme pelayanan
satu atap dilakukan dengan integrasi secara menyeluruh antara instansi-instansi
yang terkait. Artinya terdapat suatu sistem yang menghubungkan atau yang
mengkoneksikan instansi-instansi yang memiliki keterkaitan terhadap suatu
pengurusan yang dibutuhkan masyarakat.
Data-data yang dahulu telah tercatat atau tersimpan sebagai data base
mengenai pengguna jasa atau pembuat dokumen lain telah terintegerasi dan akan
terkoneksi pada sistem ini. Sehingga berbagai layanan yang diperlukan akan
mudah dan cepat serta murah untuk diselesaikan dengan hasil yang maksimal
akurat serta minim kesalahan. Kemudian data yang diterima dari pengguna jasa
tersebut akan masuk ke setiap instansi yang terkait.
Secara umum sistem yang
dikembangkan ini meliputi dari sistem aplikasi dan data base yang semuanya
disimpan dibeberapa server jumlahnya tergantung dari integritas layanan yang
tersedia dan load masing-masing layanan. Kemudian server tersebut akan
terhubung dengan beberapa tempat kerja (kantor) yang mempunyai fasilitas
layanan satu atap tersebut melalui jaringan komputer atau telekomunikasi.
Sehingga pengguna akan dapat melakukan proses layanan yang tersedia atau
melakukan proses monitoring dan kontroling bagi pengguna yang mempunyai
kewenangan.
Dengan sistem yang
terintegerasi ini pula proses monitoring dan kontrol dapat diakses sehingga
akan mempermudah bagi kepala dinas ataupun Bupati / Walikota sebagai penanggung
jawab pada ruang lingkup kerjanya akan dapat lebih mudah melakukan
pekerjaannya. Segala perbuatan mengenai pungutan liar dan segala macam bentuk
kecurangan yang dilakukan akan dapat diminalisir dengan hadirnya sistem layanan
satu atap ini.
Akan tetapi dengan
adanya Sistem Informasi Manajemen Satu Atap ini juga harus diimbangi dengan
sumber daya manusia yang memadai. Teknologi informasi yang semakin canggih
menuntut pegawai pemerintah untuk lebih memahami dan dapat mengoperasikannya
sehingga dapat tercipta suatu pelayanan yang efektif dan efisien. Pada kenyataannya
para pegawai masih belum secara maksimal menguasai konsep serta teknologi
pelayanan secara terpadu. Sehingga banyak pemerintah daerah atau instansi yang
telah menerapkan sistem pelayanan terpadu ini belum secara maksimal dalam
memberikan pelayanannya masih banyak memakan waktu. Khusus dalam pembuatan KTP
sistem pelayanan satu atap ini masih memungkinkan beberapa masyarakat memiliki
identitas ganda. Kebijakan yang berbeda dalam masa otonomi daerah juga
memberikan beberapa kendala terhadap sistem pelayanan satu atap, seperti dalam
memberikan sebuah ijin di suatu pemerintah daerah memiliki beberapa kriteria
yang dapat berbeda.
Kendala
yang lain adalah belum semua wilayah di beberapa pemerintah daerah memliki
koneksi antar sesama instansi sehingga data belum secara kolektif terkumpul.
Layanan satu atap pun terkadang masih belum bisa secara pasti diterapkan karena
beberapa calon pelanggan harus tetap mengurus beberapa kekurangan dokumen
kelengkapan di kantor instansi yang lain.
Pelayanan prima. Sebuah
rangkaian kata yang indah dan telah lama didengungkan oleh kalangan swasta dan
Pemerintah. Kalangan swasta merespon pelayanan prima sebagai suatu kunci
marketing yang strategis. Tidak mengherankan apabila pelatihan dan penanaman
etika yang mengarah pada pelayanan prima di kalangan swasta menjadi standar
pendidikan personalnya. Bukanlah sesuatu yang mengherankan bila kita masuk ke
sebuah bank swasta, maka kita akan disambut dengan ramah, mulai dari senyum dan
salam dari satpam yang membukakan pintu sampai dengan pelayanan yang memuaskan
dari para petugasnya. Bandingkan bila kita masuk ke sebuah Kecamatan untuk
mengurus perpanjangan KTP, maka kita akan menemukan sikap dingin para petugas,
tidak banyak senyum, serba formil dan tidak jarang disambut oleh para calo yang
mencari mangsa.
Komitmen untuk
menyelenggarakan pelayanan prima sebenarnya sudah mulai tampak dalam birokrasi
di Indonesia. Keseriusan ini ditandai dengan sangat besarnya belanja Tehnologi
Informasi bagi kepentingan pelayanan umum dan secara bertahap meninggalkan
perangkat konvensional, walaupun secara tehnis dan administratif belum banyak
terjadi sinergi lintas instansi dan integrasi database pelayanan umum,
setidaknya upaya untuk meningkatkan efektifitas dan efisiensi dalam pelayanan
umum telah ada.
Saat ini di kalangan
Pemerintahan dikenal adanya dua pola pelayanan, yaitu pola distributif dan pola
sentralistis. Pola distribusi merupakan pola yang paling banyak digunakan oleh
Pemerintah, khususnya Pemerintah Daerah, dimana pelayanan umum dikelola secara
sektoral pada berbagai instansi. Proses birokrasi pelayanan umum yang
memerlukan koordinasi lintas instansi dilakukan juga dengan dua pola, yaitu
pertama, pelanggan/masyarakat yang harus berjalan dari satu meja pada satu
instansi ke meja lain pada instansi yang lain. Dan pola kedua, dokumen
persyaratan milik pelanggan dimasukkan ke salah satu instansi, selanjutnya
birokrasi yang menyalurkan dari satu meja pada satu instansi ke meja lain pada
instansi yang lain pula melalui kordinasi lintas instansi. Artinya, proses
legalisasi hingga diterbitkannya sebuah dokumen publik merupakan wewenang
masing-masing instansi.
Pola ini sebenarnya
merupakan pola klasik dan cenderung tertutup, sehingga masyarakat kurang
memperoleh informasi jelas terhadap proses kemajuan pengajuan dokumen
publiknya. Meskipun ditetapkan nilai rupiah secara pasti sebagai biaya yang
diperlukan, pada prakteknya biaya akan melebihi dari ketentuan yang berlaku.
Standarisasi waktu pelayanan birokrasi biasanya juga kurang bisa dimonitor oleh
pelanggan/masyarakat, sehingga cepat lambatnya proses birokrasi menjadi sangat
relatif, tergantung dari ini dan itu dalam birokrasi. Pola ini yang mendorong
masyarakat dan birokrat untuk menyepakati “uang pelicin”.
Pola kedua adalah
sentralistik. Pola ini mulai diterapkan di beberapa daerah. Secara umum pola
ini diimplementasikan melalui pembentukan Unit Palayanan Satu Atap sebagai satu
unit mandiri dengan mencabut proses pelayanan umum dari instansi sektoralnya,
dari mulai pengadaan blangko dokumen publik hingga perlengkapannya. Sebagian
besar kegiatan administrasi dan tehnis dilakukan oleh Unit Pelayanan Satu Atap,
sedangkan instansi sektoral lebih banyak hanya menangani laporan administratif
saja.
Pada tahap awal pembentukannya
pola sentralistik ini sering mendapat banyak tantangan, khususnya dari instansi
sektoralnya karena lahan basah mereka bakal hilang. Banyak pihak yang
mencurigai bahwa pembentukan institusi ini merupakan upaya untuk merebut lahan
penghasilan instansi sektoral. Potensi konflik pada awal pembentukannya sangat
tinggi. Biasanya hanya melalui keputusan politik pola sentralistik dalam
pelayanan umum ini bisa berlangsung.
Pola sentralistis ini
biasanya sudah tertata secara lebih baik. Transparansi dalam setiap proses
birokrasi lebih nyata. Pada beberapa daerah bahkan berani memberi kompensasi
terhadap keterlambatan pelayanan umum yang diberikan, namun sisa sakit hati
dari instansi sektoral tetap tidak bisa dihilangkan, sehingga terjadi
disharmonisasi dalam internal birokrasi.
Sebuah unit pelayanan
terpadu pun sebenarnya menyimpan berbagai fenomena yang menjadi salah satu
penyebab penolakan instansi untuk bergabung. Integrasi pelayanan umum tentu
saja akan melibatkan lintas instansi dalam sebuah proses birokrasi.
Simpul-simpul birokrasi yang basah akan serta merta menjadi lahan kering.
Simpul-simpul kering itu pada umumnya terdapat pada simpul tengah. Simpul
tengah ini misalnya para surveyor pada penerbitan SITU (Surat Ijin Tempat
Usaha). Tanpa integrasi pelayanan umum, para surveyor ini pada umumnya mendapat
komisi besar dari para pengusaha yang akan membuka usaha, terutama
perusahaan-perusahaan besar. Sudah menjadi hal yang lumrah apabila oknum
birokrat tersebut berusaha keras lahan basah itu hilang seketika.
Menyelenggarakan
pelayanan umum bukan hanya berbicara masalah proses dari satu meja ke meja yang
lainnya, namun juga bersangkutan dengan pengadaan dokumen publik ataupun
perlengkapan lainnya. Kita lihat contoh dokumen Kartu Tanda Penduduk (KTP)
misalnya, dimana dalam satu tahun dimungkinkan pengadaan blangko KTP mencapai
ratusan ribu lembar, bahkan untuk kelas Kota Metropilitan dan Ibu Kota Propinsi
bisa mencapai jutaan lembar blangko KTP. Belum termasuk sarana pendukungnya,
seperti tinta, kertas serta perangkat komputernya.
Permainan
Yang Adil
Untuk menghindari
saling curiga antar birokrat dan melancarkan urusan masyarakat dalam pelayanan
umum, maka Unit Pelayanan Umum Satu Atap tidak mutlak harus “merebut” pelayanan
umum dari seluruh instansi dan menjadikannya sentralistik. Upaya merebut lahan basah
tersebut hanya akan mendatangkan penentangan kuat sejak proposal pembentukan
Unit Pelayanan Satu Atap ini, sehingga konsep peningkatan pelayanan prima
justru menjadi “perang saudara” para birokrat. Bila diawali dengan konflik
seperti ini, maka hanya kekuatan politik yang mampu mengambil peran, dan ketika
atmosfer politik berubah, maka akan dimunculkan skenario baru oleh birokrat
untuk melakukan distribusi pelayanan umum (pelayanan umum dikembalikan ke
setiap instansi sektoral) dan itu berarti masyarakat harus bersusah payah lagi
pergi dari satu instansi ke instansi lain untuk mengurus satu dokumen
publiknya. Pemerintah Daerah pun terlihat kurang konsisten dalam
menyelenggarakan pelayanan umum.
Melalui pemahaman
kemampuan Tehnologi Informasi sebenarnya untuk membangun sebuah Unit Pelayanan
Satu Atap bisa dilakukan melalui penggabungan pola sentralistis dan
distributif. Penggabungan kedua pola ini mencoba mengambil jalan tengah yang
“adil” tanpa melalui proses saling serobot lahan basah antar birokrat namun
masyarakat tetap diuntungkan karena proses pelayanan publik dilaksanakan satu
pintu.
Realisasi dari pola ini
secara prinsip hampir sama dengan pola sentralistik di atas, namun dalam
prakteknya tidak mengambil pelayanan umum yang ada pada instansi sektoral atau
hanya memfungsikan instansi sektoral dalam hal reporting saja, namun tetap
memfungsikannya sebagai penyedia bahan dan perlengkapan, tenaga operator
komputer, pelaksanaan survey dan kegiatan-kegiatan birokrasi pelayanan umum
lainnya. Artinya instansi sektoral masih secara distributif menjalankan fungsi
pelayanan umumnya. Unit Palayanan Umum Terpadu Satu Atap merupakan kantor
bersama walaupun untuk memudahkan koordinasi ditunjuk satu pejabat struktural
dibantu beberapa pejabat fungsional yang bertugas memonitor dan mengendalikan
pelaksanaan pelayanan umum agar berjalan dengan baik.
Dengan demikian secara
tehnis pelayanan umum itu dikelola oleh masing-masing instansi sektoral hanya
saja dalam operasionalnya dilaksanakan secara fisik dan dikoordinasikan oleh
Unit Palayanan Umum Terpadu Satu Atap. Dengan tetap memfungsikan instansi
sektoral seperti itu, maka penolakan terhadap pembangunan Unit Palayanan Umum
Terpadu Satu Atap secara bijak dapat dihindari. Fungsi-fungsi koordinasi lintas
instansi dilakukan secara online. Upaya untuk memanfaatkan aplikasi dan
database pelayanan umum yang sudah running well dapat ditempuh guna menghemat
biaya dan memberikan rasa nyaman bagi instansi sektoral bahwa apa yang
dikerjakan oleh Unit Palayanan Umum Terpadu Satu Atap hanyalah semata membantu
tugas mereka. Bila perlu status server dapat didistribusikan juga ke instansi
sektoral dengan catatan implementasi networking berjalan baik.
Secara konseptual,
sebenarnya pola tidak lagi tepat disebut sebagai pelayanan satu atap, namun
dalam kajian tehnis lebih tepat disebut sebagai Unit Pelayanan Satu Jaringan,
karena walaupun dilaksanakan dalam satu atap namun cakupan jaringan pelayanan
birokrasinya lebih luas dari pada yang terlihat secara fisik. Upaya
pemberdayaan instansi terkait dalam wujud integrasi pelayanan umum ini akan
menunjukkan peningkatan kualitas koordinasi birokrasi yang selama ini dianggap
sebagai sesuatu yang kurang mampu dilakukan oleh birokrat itu sendiri.
Pemangkasan
birokrasi sesuai dengan kesepakatan lintas instansi sektoral tetap harus
dilakukan sehingga mampu meminimalisir interaksi antara masyarakat dengan
birokrat yang memungkinkan dihindarinya KKN. Dengan pola yang adil ini,
akhirnya masyarakat tidak menjadi korban sengketa internal birokrasi yang sebenarnya
hanya berebut rejeki di lahan basah. Dari sisi transparansi, memang masih
terdapat sesuatu yang sepertinya disembunyikan oleh para birokrat melalui pola
gabungan ini, karena sisi internal dalam hal pengadaan perlengkapan bagi
kepentingan pelayanan umum memang kurang tersentuh perubahan. Namun demikian
setidaknya secara internal terdapat transparansi (baca : tahu-sama tahu) antar
instansi sektoral dengan Unit Palayanan Umum Terpadu Satu Atap. Masyarakat juga
bisa merasakan adanya transparansi, dimana mereka bisa memantau dokumen publik
yang mereka usulkan secara online maupun melalui sms (tergantung pada sistem
yang dikembangkan). Relatif belum banyaknya Pemerintah Daerah yang
mengimplementasikan pola Unit Palayanan Umum Terpadu Satu Atap ini semata memang
bukan hanya karena kemampuan SDM dan penetrasi Tehnologi Informasi yang rendah.
Faktor mental birokrat ternyata memberi andil cukup besar bagi terwujudnya
pelayanan prima ini.
Sistem Administrasi
Manunggal Satu Atap (disingkat Samsat), atau dalam Bahasa Inggris One Roof
System, adalah suatu sistem administrasi yang dibentuk untuk memperlancar dan
mempercepat pelayanan kepentingan masyarakat yang kegiatannya diselenggarakan
dalam satu gedung. Contoh dari samsat adalah dalam pengurusan dokumen kendaraan
bermotor. Samsat merupakan suatu sistem kerjasama secara terpadu antara Polri,
Dinas Pendapatan Provinsi, dan PT Jasa Raharja (Persero) dalam pelayanan untuk menerbitkan STNKdan
Tanda Nomor Kendaraan Bermotor yang dikaitkan dengan pemasukan uang ke kas
negara baik melalui Pajak Kendaraan Bermotor (PKB), Bea Balik Nama Kendaraan
Bermotor, dan Sumbangan Wajib Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan (SWDKLJJ), dan
dilaksanakan pada satu kantor yang dinamakan "Kantor Bersama Samsat".
Dalam hal ini, Polri memiliki fungsi
penerbitan STNK; Dinas Pendapatan Provinsi menetapkan besarnya Pajak Kendaraan
Bermotor (PKB) dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBN-KB); sedangkan PT
Jasa Raharja mengelola Sumbangan Wajib Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan
(SWDKLLJ).
Lokasi Kantor Bersama Samsat umumnya berada di lingkungan
Kantor Polri setempat, atau di lingkungan Satlantas/Ditlantas Polda setempat. Samsat
ada di masing-masing provinsi, serta memiliki unit pelayanan di setiap
kabupaten/kota.
SEJARAH DAN DASAR HUKUM SAMSAT
·
Sampai dengan tahun 1974
Proses perpanjang STNK harus membuang
waktu cukup lama karena mesti mendatangi tiga kantor. Membayar pajak harus
datang ke kantor pajak. Esoknya, mereka yang hendak membayar Sumbangan Wajib
Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan (SWDKLLJ) dan harus mendatangi kantor
Asuransi Jasa Raharja. Dan mereka pun harus mendatangi kantor polisi lalu
lintas untuk memperoleh STNK. Masing-masing instansi belum terintegrasi.
·
1974-1976
Dengan Tujuan Registrasi dan Identifikasi
Forensik Ranmor dan data pengemudi lebih akurat, kecepatan dan kemudahan
pelayanan kepada masyarakat, dilakukan ujicoba pembentukan SAMSAT di Polda
Metro Jaya.
·
1976-1988
Berdasarkan INBERS 3 Menteri, Menhankam,
Menkeu & Mendagri No. Pol. KEP/13/XII/1976, No.KEP-1693/MK/IV/12/1976, 311
TAHUN 1976 bahwa Konsep SAMSAT diberlakukan di seluruh Indonesia Kepolisian RI,
PT Jasa Raharja (Persero) & Dinas Pendapatan Provinsi bersama-sama. Meski
demikian masing-masing instansi menerbitkan tanda bukti untuk setiap pelunasan
kewajiban di SAMSAT.
·
1988-1993
Berdasarkan INBERS, Menhankam, Menkeu
& Mendagri No. INS/03/X/1988, No. 5/IMK.013/1988, No. 13A Tahun 1988
dilakukan penyederhanaan dokumen yaitu ·
Formulir permohonan/pendaftaran STNK/Pajak/SWDKLLJ digabung jadi satu.
Ø Tanda
Pelunasan Pembayaran SWDKLLJ PT Jasa Raharja (Persero)yang tercantum dalam
STNK/STCK berlaku sebagai pengganti polis Asuransi (sertifikat)
·
1993-1999
Diberlakukan revisi masa berlaku STNK
dan TNKB dari 1 tahun menjadi 5 tahun namun setiap tahunnya melakukan
pengesahan STNK berdasarkan INBERS Panglima Angatan Bersenjata, Menkeu &
Mendagri No. INS/02/II/1993, No. 01/IMK.01/1993, No.2A Tahun 1993. Mekanisme
Perpanjangan STNK dibentuk 5 pokja (loket) untuk pelayanan.
·
1999 sd. Sekarang
Berdasarkan INBERS Menhankam, Menkeu
& Mendagri No. Pol. INS/03/M/X/1999, No. 6/IMK.014/1999, No. 29 Tahun 1999
menetapkan penyempurnaan dan penyederhanaan sistem operasi pelayanan dari
5loket menjadi 2 loket.
Ø Pembayaran
SWDKLLJ yang tertera pada SKPD berfungsi sebagai pengganti polis asuransi
(sertifikat).
Ø Tanda
Pelunasan dan Pengesahan digabung dengan Surat Ketetapan Pajak Daerah (SKPD)
yang telah divalidasi cash register sebagai tanda bukti pembayaran.
BAB
III
PENUTUP
Pelayanan satu atap, yaitu pola pelayanan umum yang
dilakukan secara terpadu pada suatu tempat/tinggal oleh beberapa instansi
pemerintah yang bersangkutan sesuai kewenangannya masing-masing. Pola
pelayanan satu atap diatur melalui kebijakan yang dikeluarkan oleh Menteri
Pemberdayaan Aparatur Negara (Menpan) melalui Surat Keputusan Menteri PAN Nomor
63/KEP/M.PAN/7/2003 tentang pedoman pelaksanaan pelayanan satu atap antara lain
disebutkan bahwa dalam menghadapi era globalisasi yang penuh tantangan dan
peluang, aparatur negara dalam hal ini dititik beratkan kepada aparatur
pemerintah hendaknya memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya, berorientasi
pada kebutuhan dan kepuasan penerima pelayanan, sehingga dapat meningkatkan
daya saing dalam pemberian pelayanan barang dan jasa. SK Menpan itu selanjutnya
menjelaskan bahwa pelayanan publik adalah segala kegiatan pelayanan yang
dilaksanakan oleh penyelenggara pelayanan publik sebagai upaya pemenuhan
kebutuhan penerima pelayanan maupun pelaksanaan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Beberapa layanan yang
dapat diberikan melalui sistem pelayanan satu atap ini antara lain : KTP, Akta
Kelahiran, Akte Perkawinan, Akte Perceraian, Akte Kematian, Ijin Ganguan (HO),
Ijin mendirikan bangunan, Surat Tanda Daftar Industri (STDI), Tanda Daftar
Usaha Perdagangan (TDUP), Tanda Daftar Perusahaan (TDP), Tanda Daftar Gudang
(TDG), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Nomor Pokok Wajib Pajak Daerah (NPWPD),
Sewa Petak Toko Milik Pemda, Pajak Pertunjukan dan Keramaian Umum, Ijin Pendirian
Perusahaan Angkutan Umum, Reklame, Pendaratan, Ijin Lokasi, Penetapan Lokasi
dan masih banyak lainnya.
Sistem pelayanan satu
atap sebenarnya memiliki konsep yang tepat dalam hal peningkatan pelayanan
terhadap masyarakat sekaligus sebagai sebuah sistem yang dapat menciptakan
penambahan pendapatan baik dilihat dari jumlah peningkatan pengguna layanan
maupun dari sisi mengurangi "kebocoran" pendapatan daerah yang
terkorupsi oleh para oknum aparat.
Penerapan sistem dalam
pelayanan satu atap juga hendaknya dapat dikembangkan lagi dengan memperhatikan
konsep kerja atau konsep bisnis dari pemerintah daerah yang memberikan layanan
satu atap tersebut, sehingga kondisi yang demikian akan memunculkan ketepatan
penggunaan dari setiap teknologi yang di aplikasikan pada sistem tersebut.
Meski
memberikan suatu percepatan penyelenggaraan pelayanan publik, pelayanan satu atap masih tetap harus
ditingkatkan baik dalam segi kualitas sumber daya manusia, sistem teknologi
yang diharapkan, kebijakan setiap pimpinan dari setiap kepala daerah dalamn
langkah menyempurnakan pelayanan kepada masyarakat, yang pada akhirnya
memberikan kepuasan kepada masyarakat. Disamping itu juga tentunya diperlukan
suatu proses pelayanan yang akuntabel sehingga setiap kegiatan penyelenggaraan
pelayanan publik itu dapat dipertanggung jawabkan kepada masyarakat maupun
kepada pihak yang bertindak sebagai pengawas lebih tinggi untuk bahan evaluasi
dan perbaikan di masa-masa yang akan datang.
0 komentar:
Posting Komentar