HUKUM
ADAT DI INDONESIA
Pengertian Hukum Adat
Menurut Para Ahli - Berikut ini informasi seputar pengertian hukum adat menurut
para ahli yang mungkin anda cari untuk keperluan pendidikan. Silahkan dibaca
pengertian hukum adat menurut para ahli dibawah ini.
Hukum adalah
seperangkat norma dan aturan adat atau kebiasaan yang berlaku di suatu wilayah.
Istilah “kebiasaan” adalah terjemahan dari bahasa Belanda “gewoonte”, sedangkan
istilah “adat” berasal dari istilah Arab yaitu ”adah” yang berarti juga kebiasaan.
Jadi istilah kebiasaan dan istilah adat mempunyai arti yang sama yaitu
kebiasaan.
Menurut ilmu hukum,
kebiasaan dan adat itu dapat dibedakan pengertiannya. Perbedaan itu dapat
dilihat dari segi pemakaiannya sebagai perilaku atau tingkah laku manusia atau
dilihat dari segi sejarah pemakaian istilahnya dalam hukum di Indonesia.
Sebagai perilaku
manusia istilah biasa berarti apa yang selalu terjadi atau apa yang lazim
terjadi, sehingga kebiasaan berarti kelaziman. Adat juga bisa diartikan sebagai
kebiasaan pribadi yang diterima dan dilakukan oleh masyarakat.
Sejarah
perundang-undangan di Indonesia membedakan pemakaian istilah kebiasaan dan
adat, yaitu adat kebiasaan di luar perundangan dan adat kebiasaan yang diakui
oleh perundangan. Sehingga menyebabkan munculnya istilah hukum kebiasaan / adat
yang merupakan hukum tidak tertulis dan hukum yang tertulis. Di Negara Belanda
tidak membedakan istilah kebiasaan dan adat. Jika kedua-duanya bersifat hukum,
maka disebut hukum kebiasaan (gewoonterecht) yang berhadapan dengan hukum
perundangan (wettenrecht).
Istilah hukum adat
sendiri berasal dari istilah Arab “Huk’m” dan “Adah”. Kata huk’m (jama’:
ahakam) mengandung arti perintah atau suruhan, sedangkan kata adah berarti
kebiasaan. Jadi hukum adat adalah aturan kebiasaan.
Di Indonesia hukum adat
diartikan sebagai hukum Indonesia asli yang tidak tertulis dalam bentuk
perundang-undangan Republik Indonesia yang di sana-sini mengandung unsur agama.
Terminologi “Adat” dan
“Hukum Adat” seringkali dicampur aduk dalam memberikan suatu pengertian padahal
sesungguhnya keduanya adalah dua lembaga
yang berlainan.
Adat sering dipandang
sebagai sebuah tradisi sehingga terkesan sangat lokal, ketinggalan jaman, tidak
sesuai dengan ajaran agama dan lain-lainnya. Hal ini dapat dimaklumi karena
“adat” adalah suatu aturan tanpa adanya sanksi riil (hukuman) di masyarakat
kecuali menyangkut soal dosa adat yang erat berkaitan dengan soal-soal
pantangan untuk dilakukan (tabu dan kualat). Terlebih lagi muncul
istilah-istilah adat budaya, adat istiadat, dll.
Hukum Adat adalah wujud
gagasan kebudayaan yang terdiri atas nilai-nilai budaya, norma, hukum, dan
aturan-aturan yang satu dengan lainnya berkaitan menjadi suatu sistem dan
memiliki sanksi riil yang sangat kuat. Contohnya sejak jaman dulu, Suku Sasak
di Pulau Lombok dikenal dengan konsep Gumi Paer atau Paer. Paer adalah satu
kesatuan sistem teritorial hukum, politik, ekonomi, sosial budaya, kemanan dan
kepemilikan yang melekat kuat dalam masyarakat .
Istilah-istilah dalam
pemahaman adat didasarkan atas level-level
antara lain :
~ Adat adalah hukum dan
aturan yang berlaku di masyarakat dibuat atas dasar kesepakatan.
~ Adat yang diadatkan
yaitu komunitas yang mempunyai ketentuan-ketentuan hukum telah ditetapkan.
~ Adat yang teradat
yaitu jika produk hukum itu sudah menjadi adat kebiasaan masih tetap
diberlakukan di tengah masyarakatnya.
~ Adat Istiadat yaitu
kebiasaan-kebiasaan secara turun temurun yang didasarkan pada
kebiasaan-kebiasaan leluhur (lebih pada ketentuan-ketentuan tata cara ritual)
yang kini perlu mengalami perubahan untuk disesuaikan (transformasi) pada era
masa kini.
Dalam perkembangannya,
hukum adat mengandung dua arti yaitu :
1. Hukum kebiasaan yang bersifat tradisional
disebut juga hukum adat.
Adalah hukum yang
dipertahankan dan berlaku di lingkungan masyarakat hukum adat tertentu.
Contoh : hukum adat
Batak, hukum adat Jawa, dll.
2. Hukum kebiasaan.
Adalah hukum yang
berlaku dalam kehidupan masyarakat, dalam hubungan pergaulan antara yang satu
dan yang lain, dalam lembaga-lembaga masyarakat dan dalam lembaga-lembaga
kenegaraan, kesemuanya yang tidak tertulis dalam bentuk perundangan.
Ciri-ciri hukum adat
adalah :
1. Tidak tertulis dalam bentuk perundangan
dan tidak dikodifikasi.
2. Tidak tersusun secara sistematis.
3. Tidak dihimpun dalam bentuk kitab
perundangan.
4. Tidak tertatur.
5. Keputusannya tidak memakai konsideran
(pertimbangan).
6. Pasal-pasal aturannya tidak sistematis
dan tidak mempunyai penjelasan.
Tiga dimensi hukum adat
yang mengatur gerak hidup manusia dimuka bumi ini yaitu :
1. Dimensi Adat Tapsila
(Akhlakul Qarimah)
Yaitu dimensi yang
mengatur norma-norma dan etika hubungannya dengan lingkungan sosial budaya, pergaulan alam dan keamanan
lahir batin.
2. Dimensi Adat Krama
Yaitu dimensi yang
mengatur hukum dalam hubungan perluasan keluarga (perkawinan) yang sarat dengan
aturan-aturan hukum adat yang berlaku di masyarakat.
3. Dimensi Adat Pati /
Gama
Yaitu dimensi yang
mengatur tata cara dan pelaksanaan upacara ritual kematian dan keagamaan
sehingga dimensi adat Pati kerap disebut sebagai dimensi adat Gama (disesuaikan
dengan ajaran agama masing-masing).
Semua suku bangsa dan
etnis di Indonesia memiliki dan terikat secara kultural maupun sosial ekonomi
atas aturan dan tatanan nilai tradisional yang mengacu kepada adat dan hukum
adat dengan penselarasan hukum-hukum agama atau kepercayaan.
Melihat dalam
perspektif keberadaan kelembagaan adat dan hukum adat dalam kesehariannya
merupakan bentuk keaslian dari masyarakat setempat yang memiliki asas gotong
royong (partisipasi) karena didasarkan atas kebutuhan bersama. Nilai-nilai
gotong royong dan semangat kebersamaan ini sesungguhnya merupakan padanan dari
cita-cita masyarakat desa yaitu demokrasi, partisipasi, transparansi, beradat
dan saling menghormati perbedaan (keberagaman).
Tanpa disadari bahwa
nilai luhur dari semua aspek kehidupan telah diatur dengan norma-norma hukum
adat yang teradat. Masyarakat adat memiliki tatanan dan lembaga adat dengan
berbagai perangkat hukum yang dimiliki dan memiliki eksistensi yang kuat hingga
saat ini. Lembaga adat terbukti sebagai lembaga yang menyelesaikan
konflik-konflik yang tidak mampu ditangani oleh struktur lembaga formal.
Masyarakat Adat
didefinisikan sebagai : Kelompok masyarakat yang memiliki asal-usul leluhur
(secara turun-temurun) di wilayah geografis tertentu, serta memiliki sistem
nilai, ideologi, ekonomi, politik, budaya, sosial dan wilayah sendiri. Artinya
suatu kelompok termasuk dalam masyarakat adat jika dia mempunyai sistem
tersendiri dalam menjalankan penghidupan (liveli-hood) mereka, yang terbentuk
karena interaksi yang terus menerus di dalam kelompok tersebut dan mempunyai
wilayah teritori sendiri, dimana sistem-sistem nilai yang mereka yakini masih
diterapkan dan berlaku bagi kelompok tersebut.
Dengan adanya UU No. 5
Thn. 1970 tentang Pemerintahan di Desa membuat sistem pemerintahan adat
tergusur dan kehilangan fungsinya. Karena UU tersebut menseragamkan struktur
kepemimpinan di desa dengan menempatkan Kepala Desa sebagai pemimpin tertinggi.
Padahal Kepala Desa diangkat oleh pemerintah, ketimbang Kepala Adat yang
dipilih oleh rakyatnya. Sejak itu lambat laun sistem pemerintahan masyarakat
adat kehilangan fungsinya, dimana sekarang sekedar menjadi simbol tanpa kekuasaan
yang berarti. Dewasa ini, adat hanya terbatas kepada ritual budaya yang
dipertahankan untuk nilai komersil, utamanya untuk mendongkrak sektor
pariwisata.
Jauh sebelum Negara
Kesatuan Republik Indonesia ini berdiri, harus diakui telah hidup masyarakat
dengan wujud kesatuan sosial dengan cirinya masing-masing yang terus-menerus
melembaga, sehingga menjadi suatu kebudayaan lengkap dengan tatanan aturan
tingkah lakunya. Interaksi yang terus menerus di antara mereka membuat mereka
mempunyai sistem politik, sistem ekonomi dan sistem pemerintahan sendiri.
Sistem Kebudayaan yang
beraneka itu, ternyata belumlah tuntas dibahas dan dipahami. Sedang pada
tatanan lain, adanya kemajemukan sistem budaya di Indonesia ini telah diakui
dari semboyan Negara yaitu "BHINNEKA TUNGGAL IKA" yang artinya
walaupun beraneka ragam budayanya, tetapi kita adalah satu kesatuan dalam
Negara Republik Indonesia.
Namun pada kenyataannya
yang terjadi di lapangan berkata lain. Banyak cerita pedih seputar keberadaan
masyarakat adat terutama jika berbicara hak dan akses mereka terhadap sumber
daya alam. Cerita penggusuran rakyat pribumi dari sumber-sumber kehidupannya
menghiasi sejarah pembangunan di negeri ini. Contohnya saja Suku Amungme dan
Komoro di Irian akibat eksploitasi pertambangan di tanah mereka, Suku Sakai di
Riau karena adanya eksploitasi perminyakan, dan orang-orang Dayak di Kalimantan
akibat eksploitasi di sektor kehutanan dan pertambangan.
Sebaiknya sebelum semua
menjadi terlambat, perhatian khusus dan penghargaan yang layak bagi masyarakat
adat harus segera dimulai, untuk menghindari kisah sedih bangsa Indian di
Amerika Utara dan suku Aborigin di Australia tidak terjadi di negeri yang
menjunjung tinggi falsafah Pancasila ini.
Adat merupakan
pencerminan daripada kepribadian sesuatu bangsa, merupakan salah satu
penjelmaan daripada jiwa bangsa yang bersangkutan dari abad ke abad.
Oleh karena itu, maka
tidap bangsa didunia ini memiliki adat kebiasaan sendiri-sendiri yang satu
dengan yang lainnya tidak sama. Justru oleh karena ketidak samaan itu kita
dapat mengatakan bagwa adat itu
merupakan unsur yang terpenting yang memberikan identitas kedpa bangsa
yang bersangkutan. Tingkatan peradaban, maupun cara penghidupan yang modern,
ternyata tidak mampu menghilangkan adat kebiasaan yang hidup dalam masyarakat;
paling-paling yang terlihat dalam proses kemajuan zaman itu adalah, bahwa adat
tersebut menyesuaikan diri dengan keadaan dan kehendak zaman, sehingga adat itu
menjadi kekal serta tetap segar.
Ditegaskan bahwa Adat
merupakan endapan kesusilaan dalam masyarakatm yaitu bahwa : kaidah-kaidah adat
itu berupa kaidah-kaidah kesusilaan yang kebenarannya telah mendapat pengakuan
umum dalam masyarakat itu. Meskipunm ada perbedaan sifat atau perbedaan corak
antara kaidah-kaidah kesusilaan dan kaidah –kaidah hukum, namun bentuk-bentuk
perbuatan yang menurut hukum di larang atau disuruh itu adalah menurut
kesusilaan bentuk-bentuk yang dibela atau dianjurkan juga, sehingga pada
hakikinya dalam patokan lapangan itu juga hukum itu berurat pada kesusilaan.
Apa yang tidak dapat terpelihara lagi hanya oleh kaidah kesusilaan,
diihtiyarkan pemeliharaannya dengan kaidah hukum.
Melacak asal muasal
hukum adat adalah dengan cara memahami akar dimana kaidah-kaidah kesusilaan itu
diakui dan diyakini mempunyai daya mengikat dan memaksa bagi masyarakat adat.
Dengan demikian kaidah-kaidah kesusilaan atau norma yang mereka yakini tersebut
menjadi baku dan kokoh sehingga menjadi hukum adat. Norma dan hukum mempunyai
hubungan dengan kesusilaan, langsung atau tidak langsung. Dengan demikian maka
dalam sistem hukum yang sempurna tidak ada tempat bagi sesuatu yang tidak
selaras atau yang bertentangan dengan kesusilaan. Demikian juga dengan hukum
Adat; teristimewa disini dijumpai perhubungan dan persesuaian yang langsung
antara hukum dan kesusilaan; pada akhirnya hubunghan antra Hukum dan Adat yaitu
sedemikian langsungnya sehingga istilah buat yang di sebut “Hukum Adat” itu
tidak dibutuhkan oleh rakyat biasa yang
memahamkan menurut halnya sebutan “Adat” itu, atau dalam artinya sebagai
(Adat) sopan-santun atau dalam artinya sebagai hukum.
Hukum adat pada umumnya
belum/tidak tertulis dalam lembaran-lembaran hukum. Oleh karena itu para ahli
hukum mengatakan “memang hukum keseluruhannya di Indonesia ini tidak teratur,
tidak semurna, tidak tegas. Oleh orang
asing hukum adat dianggap sebagai peraturan-peraturan “ajaib” yang sebagian
simpang siur. Karena sulit dimengerti.
Dan oleh karena ketidak tahuan itu mereka menyebutnya demikian.
Apabila mau mencermati
urat akar hukum adat secara sungguh-sungguh dengan penuh perasaan maka
sebenarnya banyak hal yang mengagumkan, yaitu adat-istiadat dahulu dan
sekarang, adat-istiadat yang hidup, yang berkembang serta yang berirama.
Memang tidak semua kebiasaan-kebiasaan,
tradisi, atau adat itu merupakan hukum. Ada perbedaan antara
adat-istiadat/tradisi dengan hukum adat.
Menurut Van Vollen Hoven ahli hukum adat Barat mengatakan hanya adat
yang bersaksi memupunyai sifat hukum serta merupakan hukum adat. Sanksinya
adalah berupa reaksi dari masyarakt hukum yang bersangkutan. Reaksi adat
masyarakat hukum yang bersangkutan ini dalam pelaksanaannya sudah barang tentu
dilakukan oelh penguasa masyarakat hukum dimaksud. Penguasa masyarakt hukum
yang bersangkutan menjatuhkan sanksinya terhadap si pelanggar peraturan adat,
menjatuhkan keputusan hukum. Hukum adat disebut hukum jika ada dua unsur
didalamnya.pertama, Unsur kenyataan, bahwa adat itu dalam keadaan yang sama
selalu diindahkan oleh rakya. Kedua, Unsur psikologis bahwa terdapat adanya
keyakinan pada rakyat, bahwa adat dimasud mempunyai kekuatan hukum dan punya
sanksi yang mengikat. Dengan dua unsur diatas ini lah yang menimbulkan
kewajiban hukum (opinio yuris neccessitatis)
1. Corak-Corak Hukum
Adat Indonesia
Hukum adat kita
mempunyai corak-corak tertentu adapun corak-corak yang terpenting adalah :
1. Bercorak Relegiues-
Magis :
Menurut kepercayaan
tradisionil Indonesia, tiap-tiap masyarakat diliputi oleh kekuatan gaib yang
harus dipelihara agar masyarakat itu tetap aman tentram bahagia dan lain-lain.
Tidak ada pembatasan antara dunia lahir dan dunia gaib serta tidak ada
pemisahan antara berbagai macam lapangan kehidupan, seperti kehidupan manusia,
alam, arwah-arwah nenek moyang dan kehidupan makluk-makluk lainnya.
Adanya
pemujaan-pemujaan khususnya terhadap arwah-arwah darp pada nenek moyang sebagai
pelindung adat-istiadat yang diperlukan bagi kebahagiaan masyarakat. Setiap
kegiatan atau perbuatan-perbuatan bersama seperti membuka tanah, membangun
rumah, menanam dan peristiwa-pristiwa penting lainnya selalu diadakan
upacara-upacara relegieus yang bertujuan agar maksud dan tujuan mendapat berkah
serta tidak ada halangan dan selalu berhasil dengan baik.
Arti Relegieus Magis
adalah :
ü bersifat kesatuan batin
ü ada kesatuan dunia lahir dan dunia gaib
ü ada hubungan dengan arwah-arwah nenek moyang
dan makluk-makluk halus lainnya.
ü percaya adanya kekuatan gaib
ü pemujaan terhadap arwah-arwah nenek moyang
ü setiap kegiatan selalu diadakan
upacara-upacara relegieus
ü percaya adnya roh-roh halus, hatu-hantu yang
menempati alam semesta seperti terjadi gejala-gejala alam, tumbuh-tumbuhan,
binatang, batu dan lain sebagainya.
ü Percaya adanya kekuatan sakti
ü Adanya beberapa pantangan-pantangan.
2. Bercorak Komunal
atau Kemasyarakatan
Artinya bahwa kehidupan
manusia selalu dilihat dalam wujud kelompok, sebagai satu kesatuan yang utuh.
Individu satu dengan yang lainnya tidak dapat hidup sendiri, manusia adalah
makluk sosial, manusia selalu hidup bermasyarakatan, kepentingan bersama lebih
diutamakan dari pada kepentingan perseorangan..
Secara singkat arti
dari Komunal adalah :
ü manusia terikat pada kemasyarakatan tidak
bebas dari segala perbuatannya.
ü Setiap warga mempunyai hak dan kewajiban
sesuai dengan kedudukannya
ü Hak subyektif berfungsi sosial
ü Kepentingan bersama lebih diutamakan
ü Bersifat gotong royong
ü Sopan santun dan sabar
ü Sangka baik
ü Saling hormat menghormati
3. Bercorak Demokrasi
Bahwa segala sesuatu
selalu diselesaikan dengan rasa kebersamaan, kepentingan bersama lebih
diutamakan dari pada kepentingan-kepentingan pribadi sesuai dengan asas
permusyawaratan dan perwakilan sebagai system pemerintahan.
Adanya musyawarah di
Balai Desa, setiap tindakan pamong desa berdasarkan hasil musyawarah dan lain
sebagainya.
4. Bercorak Kontan :
Pemindahan atau
peralihan hak dan kewajiban harus dilakukan pada saat yang bersamaan yaitu
peristiwa penyerahan dan penerimaan harus dilakukan secara serentak, ini
dimaksudkan agar menjaga keseimbangan didalam pergaulan bermasyarakat.
5. Bercorak Konkrit
Artinya adanya tanda
yang kelihatan yaitu tiap-tiap perbuatan atau keinginan dalam setiap
hubungan-hubungan hukum tertentu harus dinyatakan dengan benda-benda yang
berwujud. Tidak ada janji yang dibayar dengan janji, semuanya harus disertai
tindakan nyata, tidak ada saling mencurigai satu dengan yang lainnya.
2. Dasar Hukum Sah
Berlakunya Hukum Adat
Dalam Batang Tubuh UUD
1945, tidak satupun pasal yang mengatur tentang hukum adat. Oleh karena itu,
aturan untuk berlakunya kembali hukum adat ada pada Aturan Peralihan UUD 1945
Pasal II, yang berbunyi :
“Segala badan Negara
dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru
menurut Undang-Undang Dasar ini”.
Aturan Peralihan Pasal
II ini menjadi dasar hukum sah berlakunya hukum adat. Dalam UUDS 1950 Pasal 104
disebutkan bahwa segala keputusan pengadilan harus berisi alasan-alasannya dan
dalam perkara hukuman menyebut aturanaturan Undang-Undang dan aturan adat yang
dijadikan dasar hukuman itu. Tetapi UUDS 1950 ini pelaksanaannya belum ada,
maka kembali ke Aturan Peralihan UUd 1945.
Dalam Pasal 131 ayat 2
sub b. I.S. menyebutkan bahwa bagi golongan hukum Indonesia asli dan Timur
asing berlaku hukum adat mereka, tetapi bila kepentingan sosial mereka
membutuhkannya, maka pembuat Undang-Undang dapat menentukan bagi mereka :
1. Hukum Eropa
2. Hukum Eropa yang telah diubah
3. Hukum bagi beberapa golongan bersama dan
4. Hukum baru yaitu hukum yang merupakan
sintese antara adat dan hukum mereka yaitu hukum Eropa.
Pasal 131 ini ditujukan
pada Undang-Undangnya, bukan pada hakim yang menyelesaikan sengketa Eropa dan
Bumi Putera. Pasal 131 ayat (6) menyebutkan bahwa bila terjadi perselisihan
sebelum terjadi kodifikasi maka yang berlaku adalah hukum adat mereka, dengan syarat
bila berhubungan dengan Eropa maka yang berlaku adalah hukum Eropa. Dalam UU
No. 19 tahun 1964 pasal 23 ayat (1) menyebutkan bahwa segala putusan pengadilan
selain harus memuat dasar-dasar dan alasan-alasan putusan itu jug aharus memuat
pula pasal-pasal tertentu dari peraturan yang bersangkutan atau sumber hukum
tidak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili. UU No. 19 tahun 1964 ini
direfisi jadi UU No. 14 tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman
karena dalam UU No. 19 tersebut tersirat adanya campur tangan presiden yang
terlalu besar dalam kekuasaan yudikatif. Dalam Bagian Penjelasan Umum UU No. 14
tahun 1970 disebutkan bahwa yang dimansud dengan hukum yang tidak tertulis itu
adalah hukum adat.
Dalam UU No. 14 tahun
1970 Pasal 27 (1) ditegaskan bahwa hakim sebagai penegak hukum dan keadilan
wajib menggali, mengikuti dan memahami nilainilai hukum yang hidup di
masyarakat.
Dari uraian di atas
dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa yang menjadi dasar berlakunya hukum adat
di Indonesia adalah :
1. Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang menjadi
dasar berlakunya kembali UUD 1945.
2. Aturan Peralihan Pasal II UUD 1945
3. Pasal 24 UUD 1945 tentang kekuasaan
kehakiman
4. Pasal 7 (1) UU No. 14/ 1970 tentang
Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman.
3. Sumber-Sumber Hukum
Adat
Sumber-sumber hukum
adat adalah :
1. Adat-istiadat atau kebiasaan yang
merupakan tradisi rakyat
2. Kebudayaan tradisionil rakyat
3. Ugeran/ Kaidah dari kebudayaan Indonesia
asli
4. Perasaan keadilan yang hidup dalam
masyarakat
5. Pepatah adat
6. Yurisprudensi adat
7. Dokumen-dokumen yang hidup pada waktu
itu, yang memuat ketentuan - ketentuan hukum yang hidup.
8. Kitab-kitab hukum yang pernah
dikeluarkan oelh Raja-Raja.
9. Doktrin tentang hukum adat
10. Hasil-hasil penelitian tentang hukum
adatNilai-nilai yang tumbuh dan berlaku dalam masyarakat.
4. Pembidangan Hukum
Adat
Mengenai pembidangan
hukum adat tersebut, terdapat pelbagai variasi, yang berusaha untuk mengidentifikasikan
kekhususan hukum adat, apabiladibandingkan dengan hukum Barat. Pembidangan
tersebut biasanya dapat diketemukan pada buku-buku standar, dimana sistematika
buku-buku tersebut merupakan suatu petunjuk untuk mengetahui pembidangan mana
yang dianut oleh penulisnya. Van Vollen Hoven berpendapat, bahwa pembidangan
hukum adat, adalah sebagai berikut :
1. Bentuk-bentuk masyarakat hukum adat
2. Tentang Pribadi
3. Pemerintahan dan peradilan
4. Hukum Keluarga
5. Hukum Perkawinan
6. Hukum Waris
7. Hukum Tanah
8. Hukum Hutang piutang
9. Hukum delik
10. Sistem sanksi.
Soepomo Menyajikan
pembidangnya sebagai berikut :
1. Hukum keluarga
2. Hukum perkawinan
3. Hukum waris
4. Hukum tanah
5. Hukum hutang piutang
6. Hukum pelanggaran
Ter Harr didalam
bukunya “ Beginselen en stelsel van het Adat-recht”, mengemukakan pembidangnya
sebagai berikut :
1. Tata Masyarakat
2. Hak-hak atas tanah
3. Transaksi-transaksi tanah
4. Transaksi-transaksi dimana tanah
tersangkut
5. Hukum Hutang piutang
6. Lembaga/ Yayasan
7. Hukum pribadi
8. Hukum Keluarga
9. Hukum perkawinan.
10. Hukum Delik
11. Pengaruh lampau waktu
Pembidangan hukum adat
sebagaimana dikemukakan oleh para sarjana tersebut di atas, cenderung untuk
diikuti oleh para ahli hukum adat pada dewasa ini. Surojo Wignjodipuro,
misalnya, menyajikan pembidangan, sebagai berikut :
1. Tata susunan rakyat Indonesia
2. Hukum perseorangan
3. Hukum kekeluargaan
4. Hukum perkawinan
5. Hukum harta perkawinan
6. Hukum (adat) waris
7. Hukum tanah
8. Hukum hutang piutang
9. Hukum (adat) delik
Tidak jauh berbeda
dengan pembidangan tersebut di atas, adalah dari Iman Sudiyat didalam bukunya
yang berjudul “Hukum Adat, Sketsa Asa” (1978), yang mengajukan pembidangan,
sebagai berikut :
1. Hukum Tanah
2. Transaksi tanah
3. Transaksi yang bersangkutan dengan tanah
4. Hukum perutangan
5. Status badan pribadi
6. Hukum kekerabatan
7. Hukum perkawinan
8. Hukum waris
9. Hukum delik adat.
0 komentar:
Posting Komentar