"Metode Berubah, Indonesia Masih di
Jajaran Negara Bermasalah dengan Korupsi"
Setiap
tahun Transparency International (TI) meluncurkan Corruption Perception Index
(CPI), sebuah indeks pengukuran tingkat korupsi global. CPI merupakan indeks
agregat yang dihasilkan dari penggabungan beberapa indeks yang dihasilkan
berbagai lembaga. Indeks ini mengukur tingkat persepsi korupsi sektor publik,
yaitu korupsi yang dilakukan oleh pejabat negara dan politisi1.
CPI yang pertama kali diluncurkan pada tahun 1995, digunakan oleh banyak pihak
sebagai referensi untuk melihat sebuah gambaran yang sangat umum tentang
situasi korupsi di suatu negara.
Perubahan
Metode
Sebagai sebuah indeks pengukuran yang telah
lama digunakan oleh publik, CPI telah beberapa kali mengalami perubahan metode.
Pada tahun ini, CPI kembali melakukan perubahan terhadap metodenya. Perubahan
yang dilakukan terhadap metode CPI selalu berorientasi perbaikan agar instrumen
pengukuran ini makin bisa diandalkan.
Salah
satu kelemahan metode CPI sebelum ini adalah indeks tidak dapat diperbandingkan
antar waktu. Artinya, CPI dengan metode lama bukanlah instrumen yang tepat
untuk mengukur perubahan situasi korupsi suatu negara (meskipun pada kenyataannya,
banyak negara melakukan hal tersebut, termasuk Indonesia). Metode CPI yang baru
memungkinkan perbandingan antar waktu, dengan melakukan agregasi terhadap skor
dari indeks-indeks sumber dan bukan melakukan agregasi terhadap urutan (rank)
dari negara-negara pada indeks sumber. Dengan metode yang lama, perubahan skor
antar tahun sebuah negara bisa disebabkan karena perubahan yang terjadi di
negara lain, dan bukan karena perubahan di negara itu sendiri. Hal ini
menyebabkan skor suatu negara tidak bisa diperbandingkan antar tahun. Dengan
metode yang baru, skor antar tahun suatu negara dapat diperbandingkan.Sehingga
perubahan skor tersebut bisa diinterpretasikan sebagai representasi perbaikan
atau kelemahan usaha pemberantasan korupsi.
Perubahan lain yang dilakukan adalah
rentang skala dari CPI. Untuk menandai perubahan signifikan terhadap metode
penghitungan CPI, dan membedakannya dengan metode yang lama, maka rentang
indeks diubah. Rentang indeks CPI lama 0-10 (0 dipersepsikan sangat korup, 10
sangat bersih) diubah menjadi 0-100 (0 dipersepsikan sangat korup, 100 sangat
bersih). Konversi skor CPI sebelum tahun 2012 ke rentang yang baru, tentunya
tidak sesederhana mengkalikan skor lama dengan angka 10. Hal ini mengingat skor
CPI pra 2012 dihasilkan dari penghitungan yang berbeda metodenya dengan CPI
2012 dan seterusnya. Hal ini penting, terutama bagi pihak-pihak yang sudah
terlanjur menggunakan CPI menjadi indikator perubahan, seperti di Indonesia.
Skor
CPI Indonesia dan konsekuensi perubahan
Secara global, 5 negara dengan skor
tertinggi adalah Denmark (90), Finlandia (90), Selandia Baru (90), Swedia (88),
dan Singapura (87). 5 negara terbawah adalah Somalia (8), Korea Utara (8),
Afghanistan (8), Sudan (13) dan Myanmar (15).
Tahun ini skor Indonesia adalah 32, pada
urutan 118 dari 176 negara yang diukur. Indonesia sejajar posisinya dengan
Republik Dominika, Ekuador, Mesir dan Madagaskar. Di kawasan ASEAN posisi
Indonesia bisa dilihat di bawah ini:
Negara
|
Skor CPI
|
Peringkat
|
Singapura
|
87
|
5
|
Brunei Darussalam
|
55
|
46
|
Malaysia
|
49
|
54
|
Thailand
|
37
|
88
|
Filipina
|
34
|
108
|
Indonesia
|
32
|
118
|
Vietnam
|
31
|
123
|
Myanmar
|
15
|
172
|
Secara regional Indonesia tidak banyak
mengalami perubahan, masih di jajaran bawah apabila dibandingkan skor CPI-nya.
Skor 32 menunjukkan bahwa Indonesia masih
belum dapat keluar dari situasi korupsi yang sudah mengakar. Mengantisipasi hal
ini, TI-Indonesia akan terus dan memperkuat gerakan anti korupsi berbasis
masyarakat dengan mengembangkan gerakan sosial anti korupsi yang melibatkan
berbagai kelompok dalam masyarakat, serikat buruh dan pekerja, asosiasi
profesi, asosiasi pengusaha. Di sisi lain, Strategi Nasional Pemberantasan
Korupsi harus lebih banyak diimplementasikan secara konsekuen, dan bukan
didiskusikan terus menerus dalam seminar.
Karena itu TI-Indonesia mendorong agar:
1.
Penyidikan dan penindakan kasus-kasus
korupsi skala besar terus didorong.
2.
Kemandirian dan kredibilitas kejaksaan,
kepolisian dan pengadilan dalam menangani kasus tindak pidana korupsi terus
ditingkatkan.
3.
pelemahan terhadap KPK harus dihentikan
4.
Pelayanan publik dan perijinan usaha harus
terus dipermudah.
5.
Sementara secara teknis, target capaian
pemerintah yang tertuang di dalam strategi ini, yang salah satu indikatornya
adalah CPI, harus direvisi dan disesuaikan dengan rentang indeks yang baru.
Jakarta, 5 Desember 2012
Natalia Soebagjo
Sekretaris
Jenderal TI-Indonesia
0 komentar:
Posting Komentar