BAB
II
TINJAUAN PUSATAKA
2.1.
Konsep Kinerja
Akhir – akhir ini
kinerja telah menjadi terminilogi atau konsep yang sering dipakai orang
dalam berbagai pembahasan dan pembicaraan ,khususnya dalam kerangka mendorong
keberhasilan organisasi atau sumber daya manusia .terlebih,saat ini
organisasi dihadapkan pada tentangan
kompetisi yang tinggi ; era kompetisi pasar global kemajuan teknologi
informasi, maupun tuntunan pelangan atau pengguna jasa layanan yang semakin
krisis.
Bahakan kinerja akan
selalu menjadi isu akual dalam organisasi karena – apa pun organisasinya –
kinerja merupakan pertanyaan kunci terhadap efektivitas atau keberhasilan
organisasi. Oraganisasi yang berhasil dan efektif merupakan organisasi dengan
invidu yang di dalam nya memiliki kinerja yang baik. Organisasi yang efektif
atau berhasil akan akan ditopang oleh
kinerja sumber daya manusia. Sebaliknya, tidak sedikit organisasi yang
gagal karena faktor kinerja sumber daya manusia. Dengan demikian, ada ke
sesuaian antara keberhasilan organisasi atau kinerja organisasi dengan kinerja
individu atau sumber daya manusia.
Selama ini masih
terjadi perbedaan pemahaman mengenai konsep kinerja. Di satu sisi, ada
pemahaman konsep kinerja yang lebih memfokuskan pada konteks organisasi,tetapi
di sisi lain ada yang lebih memfokuskanpada konteks individu atau sumber daya
manusia,bahakan,pencampuradukan pemahaman sering terjadi
Konsep kinerja pada
dasarnya merupakan perubahan atau pergeseran paradigma dari konsep
produktivitas.pada awalnya,orang sering kali menggunakan isilah produktivitas
untuk menyatakan kemampuan seseorang atau organisasi dalam mencapai tujuan atas
sasaran tertentu. Menurut Andersen (dalam
Sudarmanto, 2013:22) paradigma
produktivitas yang baru adalah paradingma kinerja secara akual yang menutut
pengukuran secara aktual keseluruhan kinerja organisasi ,tidak hanya efisiensi
atau dimensi fisik,tetapi juga dimensi non fisik (intangible).
Terkait dengan konsep
kinerja, Rummler dan Brache ( dalam Sudarmanto
2013:
7) mengemukakan ada 3 (tiga) level
kinerja,yaitu :
1.
Kinerja
organisasi; merupakan pencapaian hasil
(outcome) pada level atau unit analisis organisasi. Kinerja pada level
organisasi ini terkait dengan tujuan
organisasi, rancangan organisasi, manajemen organisasi.
2.
Kinerja
proses; merupakan kinerja pada proses tahapan dalam menghasilkan produk atau
pelayanan kinerja pada level proses ini di pengaruhi oleh tujuan proses,
rancangan proses, dan manajemen proses.
3.
Kinerja
individu/ pekerjaan; merupakan pencapaian atau efekitivitas pada tingkat
pengawai atau pekerjaan. Kinerja pada level ini dipengaruhi oleh tujuan
pekerjaan, rancangan pekerjaan, dan manajemen pekerjaan serta karakteristik
individu.
2.1.1.
Pengertian
Kinerja
Dalam berbagai literatur, pengertian tentang kinerja sangat
beragam.akan tetapi,dari berbagi perbedaan pengertian,dapat di kategorikan dalam dua garis besar
pengertian sebagai berikut
:
1.
Kinerja
merujuk pengertian sebagai hasil. Dalam konteks hasil, Menurut Bernardin ( Dalam Sudarmanto, 2013:141) menyatakan bahwa kinerja
merupakan catatan hasil yang diproduksi (di hasilkan ) atas fungsi pekerjaan
tertentu atau akitivitas- aktivitas selama priode waktu tertentu.dari devinisi
tersebut, Bernardin menekankan pengertian pengerian kinerja sebagai hasil, bukan karakter sifat ( trait) dan perilaku pengertian kinerja
sebagai hasil juga terkait dengan produktivitas dan evektivitas. Menurut Miner (dalam Sudarmanto 2013: 8) produktivitas merupakan hubungan antara jumlah barang dan jasa
yang di hasikan dengan jumlah tenaga kerja, modal, dan sumber daya yang di
gunakan dalam produksi itu
2.
Kinerja
merujuk pengertian sebagai perilaku. Terkait dengan
kinerja dengan kinerja sebagai perilaku, Murphy (dalam sudarmanto, 2013:8) menyatakan bahwa kinerja
merupakan seperangkat perilaku yang relevan dengan tujuan organisasi atau unit
organisasi tempat orang bekerja. Pengertian sebagai perilaku juga di kemukaan
oleh Mohrman (1989), Campbell (1993), cardy (1994) dan Dobbis ( 1994 ), Waldman
(1994) Ricard (dalam
Sudarmanto
2013:9)
kinerja merupakan sinonim dengan perilaku kinerja adalah sesuatu yang secara
akual orang kerjakan dan dapat diobservasi. Dalam pengertian ini., kinerja
mencakup tindakan – tindakan dan perilaku yang relavan dengan tujuan
organisasi. kinerja bukan konsekuensi atau hasil tindakan, tetapi tindakan itu sendiri.
2.1.2. Kinerja Aparatur Pemerintah
Masalah yang sering dijumpai
dalam suatu organisasi adalah kinerja aparatur. Intensitas pekerjaan yang
dilakukan oleh setiap aparatur berbeda-beda, hal tersebut sangat dimungkinkan
dipengaruhi oleh dorongan kerja atau motivasi kerja, komitmen, konsistensi
kerja, insentif dan kesejahteraan, iklim kerja serta dedikasi dan loyalitas
kerja aparatur. Dengan demikian motivasi, komitmen, konsistensi kerja, insentif
dan kesejahteraan, iklim kerja serta dedikasi
dan loyalitas kerja merupakan prakondisi yang dapat menentukan efektif
tidaknya kinerja aparatur pemerintah, sehingga dapat mempengaruhi besar
kecilnya peningkaan kualitas pelayanan masyarakat di lingkungan pemerintahan.
Kinerja istilah yang berkembang
dalam bahasa Indonesia, sedangkan dalam Bahasa Inggris istilah yang mendekati
adalah performance yang menurut kamus
Inggris-Indonesia karangan Echols
dan Shadily (2002:134) berarti
perbuatan, daya guna, prestasi, hasil.
Kinerja bisa diartikan
standar-standar kerja yang harus dicapai melalui proses kerja sesuai dengan
kewajiban dan besarnya tanggungjawab.
Kinerja menurut pendapat Peneliti
berarti kemampuan prestasi kerja
sekelompok orang yang dilakukan secara efisien dan efektif dan aparatur
pemerintah merupakan salah satu sumber daya manusia bagi pembangunan nasional
yang memiliki kedudukan sentral baik dalam rangka penyelenggaraan kehidupan
negara maupun dalam rangka kelancaran dan keberhasilan pembangunan.
Aparatur pemerintah dalam
melaksanakan tugasnya sehari-hari mengemban fungsi ganda yang tidak dapat
dipisahkan yaitu berbakti sebagai abdi negara dan berkarya sebagai abdi
masyarakat, sehingga untuk menjamin kelanjutan proses pembangunan perlu
ditingkatkan kesadaran akan rasa taggungjawabnya terhadap pengabdian dan
kesetiannya kepada cita-cita perjuangan bangsa dan negara berdasarkan Pancasila
dan Undang-Undang Dasar 1945.
Menurut peneliti untuk mengetahui
sampai sejauhmana efisiensi dan efektivitas kinerja aparatur kelurahan perlu
dilakukan penilaian kinerja aparatur seperti berikut ini:
-
Mengetahui
apakah seorang aparatur, baik dalam arti perorangan ataupun tim telah bekerja
sesuai dengan ketentuan dan peraturan yang berlaku serta dapat mencapai tujuan
yang diharapkan oleh institusi atau unit kerjanya;
-
Umpan
balik bagi kegiatan manajemen untuk upaya perbaikan dan pengembangan ke depan;
-
Mengetahui
perlu tidaknya dilakukan replacement (penempatan kembali sesuai bakat, minat
dan kemampuannya), baik secara parsial maupun komprehensif;
-
Mengetahui
perlu tidaknya diberikan pendidikan dan pelatihan kerja pegawai untuk
mengantisipasi tuntutan kebutuhan institusi atau unit kerjanya;
-
Kebutuhan
promosi, mutasi dan pemtusan hubungan kerja serta tindak lanjutnya.
Menurut Davis, Keith dan Newstrom
(1996:34) bahwa kinerja aparatur dapat ditelusuri dengan mengkaji
dimensi-dimensi sikap, perilaku, persepsi, kepatuhan, tanggungjawab dan
karakteristik kepribadian yang mencerminkan adanya kepedulian terhadap hubungan
kerja kemanusiaan dan kedinasan yang kondusif.
Lain halnya pendapat Paige
(1996:70) yang menyatakan bahwa perlu adanya rekayasa kinerja aparatur yang
handal amat terkait dengan usaha-usaha penataan ke luar dan ke dalam
lembaga-lembaga publik dengan cara mengaktifkan intensitas partisipasi (activating
participation) dan membina serta mengkoordinasikan perilaku yang ada pada
tataran transisional.
Berdasarkan pendapat di atas,
yang dimaksud dengan kinerja aparatur adalah prestasi kerja atau penampilan
kerja yang optimal, efisien dan efektif yang dilakukan oleh setiap aparatur di
dalam suatu unit kerja atau institusi dengan alat bantu kerja untuk memudahkan
pencapaian suatu tujuan institusi atau unit kerjanya. Kinerja aparatur terkait dengan berbagai faktor, antara lain:
motivasi, komitmen, konsistensi kerja, insentif dan kesejahteraan, iklim kerja
serta dedikasi dan loyalitas kerja.
Hal tersebut sesuai pendapat
George.R.Terry (dalam Sedarmayanti, 2000:104) menyatakan bahwa :
1.
Motivasi adalah keinginan yang terdapat dalam seorang
individu yang merangsangnya untuk melalukan tindakan.
2.
Komitmen adalah sikap dalam memegang teguh prinsip yang
telah diyakini benar, sehingga tidak mudah goyah dalam mengambil peran
tanggungjawab yang dibebankan kepada seorang aparatur.
3.
Konsistensi kerja adalah tidak mudah berubah atas
aturan main dalam bekerja berdasarkan mekanisme dan prosedur kerja yang ada.
4.
Insentif dan Kesejahteraan adalah perangsang kerja yang
dapat berupa material maupun finansial ataupun support moral yang dapat
membantu semangat bekerja serta meningkatkan kesejahteraan lahir maupun batin
pada diri seorang aparatur.
5.
Iklim kerja yang kondusif adalah suatu situasi dan kondisi
lingkungan kerja yang menyenangkan, sehingga dapat melahirkan ide-ide baru
dalam mengembangkan inovasi dan kreativitas kerja yang pada gilirannya
meningkatkan kinerja.
2.1.3.
Keterkaitan
Perilaku Aparatur Pemerintah dengan Kinerja Pegawai
Perilaku aparatur pemerintah mempunyai keterkaitan
yang erat dengan kinerja. Untuk itu akan dikemukakan pengertian perilaku birokrasi menurut
Ndraha dalam
buku yang berjudul Konsep Administrasi
dan Administrasi di Indonesia (1990:70), sebagai berikut:
“Perilaku birokrasi merupakan interaksi antara
individu dalam organisasi lingkungannya, karena perilaku birokrasi ditentukan
oleh fungsi individu dalam lingkungan organisasi. Struktur organisasi
pemerintah diwarnai oleh karakteristik, kapabilitas dan kapasitas individu atau
aparat selaku abdi Negara atau pemerintah dan pelayan masyarakat yang secara
hierarki sesuai dengan fungsi dan tanggung jawabnya”.
Pengertian kinerja pegawai menurut Sedarmayanti dalam
bukunya Manajemen Sumber Daya Manusia (1995:53),
bahwa : “kinerja yang juga berarti prestasi kerja, pelaksanaan kerja,
pencapaian kerja/hasil kerja/untuk kerja/penampilan kerja”.
Berdasarkan uraian diatas, mengenai arti perilaku
birokrasi dan kinerja. Perilaku birokrasi mempunyai keterkaitan dengan kinerja,
yaitu bahwa kedisiplinan yang dilaksanakan dalam organisasi dapat memperlancar
proses pelaksanaan kerja, karena dilaksanakan oleh para pegawai yang khususnya
bekerja sesuai dengan bidangnya, sehingga mereka mengerjakan tugas yang menjadi
tanggung jawabnya.
Wewenang seorang pegawai yang didapat dari tingkatan
yang lebih atas, memungkinkan pengawasan dilaksanakan secara langsung oleh
pimpinan terhadap bawahannya untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan kerja
pegawai dan untuk memudahkan pegawai melaporkan kegiatan pada pimpinannya,
sehingga tujuan organisasi dapat tercapai sesuai dengan rencana. Keadilan juga dapat meningkatkan kinerja
karena semua pekerjaan dilakukan tanpa pandang bulu dan status sosial
orang-orang yang dilayani, semua dan cara kerjanya tidak mengenal pilih kasih,
sehingga pelaksanaan kerja dapat memperoleh hasil yang sesuai dengan rencana
yang telah ditetapkan dan mencapai hasil kerja yang efektif dan efisien.
2.2.
Konsep
Pelayanan Publik
Pelayanan
pada dasarnya dapat didefinisikan sebagai aktivitas seseorang. Sekelompok dan/
organisasi baik maupun tidak langsung untuk memenuhi kebutuhan .pelayanan berarti melayani suatu jasa yang di butuhkan
oleh masyarakat dalam segala bidang
kegiatan
pelayanan kepada masyarakat merupakan salah satu tugas dan fungsi administrasi
negara.
Menurut
Lovelock ( dalam sedarmanyanti 2010:243).
pelayanan adalah suatu pendekatan organisasi total yang menjadi kualitas
pelayanan yang diterima penguna jasa, sebagai kekuatan penggrek utama dalam
pengoperasian bisnis.
Selanjutnya
Moenir ( dalam Harbani Pasolong, 2013:128), mengatakan bahwa
pelayanan adalah proses pemenuhan kebutuhan melalui aktivitas orang lain
secara langsung. Sementara itu, Menteri pendayagunaan apartur negara,
mengemukakan bahwa pelayanan adalah suatu kegiatan pelayanan dalam bentuk
barang atau jasa dalam rangka upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat.
Menurut Gronroos ( dalam Ratminto dan Winarsih, 2013:2) pelayanan adalah:
suatu akitivitas atau serangkai
aktivitas yang bersifat tidak kasat mata (tidak dapat di raba ) yang terjadinya
sebagai akibat adanya interaksi antara
konsumen dengan karayawan atau hal- hal yang disediakan oleh perusahaan pemberi
pelayanan yang di maksudkan untuk memecahkan permasalahan kosumen/pelanggan.
Salah
satu fungsi pemerintahan yang kini semakin disorot masyarakat adalah pelayanan
publik yang diselenggarakan oleh instansi-instansi pemerintah yang
menyelenggarakan pelayanan publik. Peningkatan kualitas pelayanan publik yang
diselenggarakan instansi pemerintahan kini semakin mengemuka; bahkan menjadi
tuntutan masyarakat. Persoalan yang sering dikritisi masyarakat atau para
penerima layanan adalah persepsi terhadap kualitas yang melekat pada selurus
aspek pelayanan. Ivancevich, Lorenzi,
Skinner dan Crosby dalam Ratminto dan Atik46,
berpendapat bahwa pelayanan adalah produk-produk yang tidak kasat mata
(tidak dapat diraba) yang melibatkan usaha-usaha manusia dan menggunakan peralatan.
Senada
dengan pendapat itu, Gronroos (dalam Ratminto dan Atik, 2009 :2) berpendapat bahwa :
Pelayanan adalah suatu aktivitas atau
serangkaian aktivitas yang bersifat tidak kasat mata (tidak dapat diraba) yang
terjadi sebagai akibat adanya interaksi antara konsumen dengan karyawan atau
hal-hal lain yang disediakan oleh perusahaan pemberi pelayanan yang dimaksudkan
untuk memecahkan Permasalahan konsumen/pelanggan.
Mengenai pelayanan yang diselenggarakan oleh
instansi pemerintah, Keputusan Menpan Nomor 63 Tahun 2003 mendefinisikan
pelayanan umum sebagai berikut :
Segala
bentuk pelayanan yang dilaksanakan oleh Instansi Pemerintah di Pusat, di
Daerah, dan dilingkungan Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah
dalam bentuk barang dan atau jasa, baik dalam rangka upaya pemenuhan kebutuhan
Masyarakat maupun dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Cukup
banyak jenis pelayanan publik yang diselenggarakan unit-unit kerja
pemerintahan. Dalam hal ini, Ratminto dan Atik (2005 :4) menjelaskan :
Di
Indonesia, konsepsi pelayanan
Administrasi pemerintahan seringkali dipergunakan secara bersama-sama atau
dipakai sebagai sinonim dari konsepsi pelayanan perijinan dan pelayanan umum,
serta pelayanan public. Keempat istilah tersebut dipakai sebagai Terjemahan
dari public service. Hal ini dapat
dilihat dalam dokumen pemerintah sebagaimana dipakai oleh Kementrian
Pendayagunaan Aparatur Negara.
Pada
dasarnya pelayanan publik
merupakan salah satu jenis pelayanan yang mengacu pada
kebutuhan atau kepentingan masyarakat
dan menjadi tanggungjawab pemerintah. Menurut Ratminto dan Atik (2009 :5) :
Pelayanan
publik atau pelayanan umum dapat didefinisikan sebagai
segala bentuk jasa pelayanan, baik dalam bentuk barang public maupun jasa
public yang pada prinsipnya menjadi tanggungjawab dan dilaksanakan oleh
Instansi Pemerintah di Pusat, di Daerah, dan di lingkungan Badan Usaha Milik
Negara atau Badan Usaha Milik Daerah, dalam rangka upaya pemenuhan kebutuhan
masyarakat maupun dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Dengan
demikian pelayanan publik yang diselenggarakan oleh instansi pemerintah dapat
terdiri atas penyediaan aneka barang, sarana, prasarana yang termasuk untuk
kepentingan publik. Sedangkan pelayanan
Administrasi pemerintahan atau pelayanan perijinan, dapat didefinisikan sebagai segala bentuk jasa
pelayanan yang pada prinsipnya menjadi tanggung jawab dan dilaksanakan oleh
Instansi Pemerintah di Pusat, di Daerah, dan dilingkungan Badan Usaha MIlik
Negara atau Badan Usaha Milik Daerah, baik dalam rangka upaya pemenuhan
kebutuhan Masyarakat maupun dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan
perundang-undangan, yang bentuk produk pelayanannya adalah ijin atau warkat.
Pelayanan publik atau pelayanan umum
dan pelayanan Administrasi pemerintahan atau perijinan diselenggarakan dalam
mewujudkan administrasi kemasyarakatan dan atau pemenuhan kebutuhan masyarakat,
seperti misalnya Kantor Pertanahan menerbitkan sertifikat tanah untuk
memberikan jaminan kepastian hukum atas kepemilikan tanah, Dinas Kependudukan menerbitkan Akta
Kelahiran, Kartu Tanda Penduduk untuk memberi kejelasan identitas warga
masyarakat, Dinas Perdagangan menerbitkan Izin Usaha untuk memberikan kejelasan
hukum dalam berusaha dan lain sebagainya.
Pelayanan publik
atau pelayanan umum
dan pelayanan administrasi pemerintahan atau pelayanan perijinan juga
mungkin diselenggarakan sebagai pelaksanaan peraturan perundang-undangan.
Misalnya karena adanya ketentuan peraturan perundang-undangan yang
mengatur bahwa setiap pengendara harus
memiliki Surat Ijin Mengemudi, maka diselenggarakan pelayanan pembuatan Surat
izin Mengemudi.
Berdasarkan
organisasi yang menyelenggarakannya, menurut Ratminto dan Atik (2009 :8)
pelayanan publik atau pelayanan umum dapat dibedakan menjadi dua, yaitu :
a. Pelayanan publik
atau pelayanan umum yang diselenggarakan oleh organisasi publik.
b. Pelayanan publik atau pelayanan umum yang
diselenggarakan oleh organisasi privat. Pelayanan public atau pelayanan umum
diselenggarakan oleh organisasi private dapat dibedakan lagi menjadi : yang
bersifat primer dan yang bersifat sekunder.
Perbedaan di
antara ketiga jenis pelayanan publik atau pelayanan umum
tersebut, menurut Ratminto dan Atik (2009 :10) adalah sebagai
berikut :
a. Pelayanan publik yang diselenggarakan oleh
privat. Ini adalah semua penyediaan barang atau jasa publik yang
diselenggarakan oleh swasta, seperti misalnya rumah sakit swasta, PTS,
perusahaan pengangkutan milik swasta.
b. Pelayanan publik yang diselenggarakan oleh
pemerintah dan bersifat primer. Ini adalah semua penyediaan barang/jasa publik
yang diselenggarakan oleh pemerintah yang didalamnya pemerintah merupakan
satu-satunya penyelenggara dan pengguna/klien mau tidak mau harus
memanfaatkannya. Misalnya adalah pelayanan di kantor imigrasi, pelayanan
penjara dan pelayanan perijinan.
c. Pelayanan publik yang diselenggarakan oleh
pemerintah dan bersifat sekunder. Ini adalah segala bentuk penyediaan
barang/jasa publik yang diselenggarakan oleh pemerintah, tetapi didalamnya
pengguna/klien tidak harus mempergunakannya karena adanya beberapa penyelenggara
pelayanan, misalnya program asuransi tenaga kerja, program pendidikan dan
pelayanan yang diberikan oleh BUMN.
Ada
lima karakteristik yang dapat dipakai untuk membedakan ketiga jenis pelayanan
publik tersebut. Menurut
Ratminto dan Atik
(2009 :10) kelima karakteristik yang dimaksud adalah sebagai berikut :
a. Adaptabilitas layanan. Ini berarti derajat
perubahan layanan sesuai dengan tuntutan perubahan yang diminta oleh pengguna.
b. Posisi tawar pengguna/klien. Semakin tinggi
posisi tawar pengguna/klien, maka akan semakin tinggi pula peluang pengguna
untuk meminta pelayanan yang lebih baik.
c. Tipe pasar. Karakteristik ini menggambarkan
jumlah penyelenggara pelayanan yang ada, dan hubungannya dengan pengguna/klien.
d. Lokus kontrol. Karakteristik
ini menjelaskan siapa yang
memegang kontrol atas transaksi, apakah pengguna ataukah penyelenggara
pelayanan.
e. Sifat pelayanan. Hal ini menunjukkan
kepentingan pengguna atau penyelenggara pelayanan yang lebih dominan.
Karakteristik
pelayanan yang diselenggarakan oleh pihak swasta tentu berbeda dengan pelayanan
yang diselenggarakan instansi pemerintah. Dalam hal perbedaan ini,
pelayanan publik yang diselenggarakan oleh swasta, adaptabilitas pelayanan
sangat tinggi. Penyelenggara pelayanan selalu berusaha untuk merespon keinginan
pengguna karena posisi tawar pengguna yang sangat tinggi. Apabila keinginan
pengguna tidak direspon, maka pengguna akan beralih kepada penyelenggara
pelayanan yang lain. Jelas sekali bahwa locus kontrol ada dipihak
pengguna/klien. Dengan demikian sifat pelayanannya adalah pelayanan yang
dikendalikan oleh pengguna.
Tidak
demikian halnya dengan pelayanan publik yang diselenggarakan oleh instansi
pemerintah seperti misalnya pelayanan Akta Kelahiran. Locus kontrol terletak
pada instansi pemerintah, bukan pada warga masyarakat yang membutuhkan
pelayanan tersebut. Dalam konteks ini, pelayanan publik yang diselenggarakan
oleh pemerintah dan bersifat sekunder, adaptabilitas tidaklah setinggi
sebagaimana terjadi di privat. Terkadang pelayanan yang diberikan memang
mengalami perubahan, tetapi perubahan ini terjadi bukan karena tuntutan
pengguna. Disini locus kontrol masih di pihak penyelenggara pelayanan tidak
terlalu tinggi karena sudah ada lebih
dari satu penyelenggara pelayanan. Jenis pasarnya adalah oligopoly. Intervensi
kepentingan pemerintah mungkin tidak terlalu tinggi, tetapi masih ada
intervensi kepentingan lembaga penyelenggara pelayanan. Dengan demikian sifat
pelayanannya dikendalikan oleh penyelenggara pelayanan. Beberapa contoh
pelayanan publik jenis ini adalah program KB, usaha-usaha yang dilakukan oleh
BUMN dan BUMD.
Pelayanan publik yang berhubungan
dengan pemerintah, menurut
Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik tersebut, pelayanan publik adalah kegiatan atau
rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap warga negara dan penduduk
atas barang, jasaatau pelayanan administratif yang disediakan oleh
penyelenggara pelayanan publik. Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik pada Bab I,
Pasal 1 ayat 1 ditegaskan bahwa :
Penyelenggara
pelayanan publik yang selanjutnya disebut Penyelenggara adalah setiap institusi
penyelenggara negara, korporasi, lembaga independen yang dibentuk berdasarkan
undang-undang untuk kegiatan pelayanan publik, dan badan hukum lain yang
dibentuk semata-mata untuk kegiatan pelayanan publik.
Dalam
penyelenggaraan pelayanan publik oleh pemerintah yang bersifat primer,
adaptabilitas sangat rendah. Intervensi pemerintah sangat tinggi, dan locus
kontrol juga ada di tangan pemerintah. Konsekuensinya, posisi tawar pengguna
sangat rendah dan sifat pelayanannya ditentukan oleh pemerintah. Sedangkan
bentuk pasarnya adalah monopoli. Contoh pelayanan jenis ini adalah pelayanan
pajak, pertahanan, polisi, dan perizinan.
Indeks
Kepuasan Masyarakat adalah tingkat kepuasan masyarakat dalam memperoleh
pelayanan yang diperoleh dari penyelenggara atau pemberi pelayanan sesuai
dengan harapan dan kebutuhan masyarakat. Instansi pemerintah sebagai
penyelenggara pelayanan publik hendaknya selalu mengutamakan kepuasan
masyarakat di dalam menyelenggarakan pelayanan publik. Ukuran keberhasilan penyelenggaraan
pelayanan publik ditentukan oleh tingkat kepuasan penerima pelayanan. Kepuasan
penerima pelayanan dicapai apabila penerima pelayanan memperoleh pelayanan
sesuai dengan yang dibutuhkan dan diharapkan. Oleh karena itu, setiap
penyelenggara pelayanan secara berkala harus melakukan survey indeks kepuasan
masyarakat terhadap pelayanan yang diberikan kepada masyarakat.
2.3. Model
Pelayanan Publik
Untuk menyediakan berbagai jenis kebutuhan masyarakat akan barang
maupun pelayanan, berbagai pakar
berargumentasi bahwa tidak selamanya pemerintah harus memenuhi kebutuhan
tersebut sendiri, dalam arti pemerintah bertindak sebagai penyedia barang atau
pelayanan. Bahkan sejak tahun 1980-an di negara-negara maju dengan konsep New
Public Management, terdapat dorongan dan upaya untuk mengurangi
keterlibatan langsung pemerintah dalam kegiatan penyediaan pelayanan secara
angsung, tapi lebih banyak menyerahkannya kepada swasta ataupun masyarakat.
Pemerintah lebih banyak berperan dalam hal pengaturan atau regulasi dalam
penyediaan barang atau pelayanan tersebut.
Pengembangan berbagai alternatif model-model penyediaan barang atau
pelayanan, khususnya untuk barang dan pelayanan yang bersifat common-pool
goods dan collective goods. Misalnya saja pakar administrasi Caiden
sejak tahun 1984 dalam bukunya Public
Administration, telah mengidentifikasi beberapa bentuk penyediaan pelayanan
publik yang dapat dipilih oleh pemerintah.Bentuk model voluntir (voluntarism), mekanisme pasar, suplier
eskternal, kerjasama antar lembaga pemerintah, perusahaan milik negara,
kontraktor swasta atau pun organisasi nirlaba. Model-model sistem penyediaan
layanan publik tersebut menurutnya dapat dipilih pemerintah untuk memenuhi
tuntutan kebutuhan masyarakat yang semakin meningkat akan layanan publik.
Sejalan dengan pendapat Caiden, Savas (2000) mengembangkan model-model pelayanan publik
dengan melihat keterlibatan aktor-aktor yang berperan dalam penyediaan layanan
publik tersebut. Menurutnya dalam pelayanan publik ada tiga aktor yang terlibat, yaitu konsumen,
produsen dan pengatur atau arranger. Pertama,konsumenadalah
pihakpihakyang menggunakan atau menikmatipelayanan atau barang, baik bersifat
individumaupun kelompok.Aktor kedua, produsen adalahpihak yang secara langsung
berfungsi atauberperan sebagai penyedia layanan publik.
Produsen dari layanan publik bisa lembaga pemerintah, asosiasi yang
dibentuk secarasukarela oleh masyarakat, perusahaan swasta atauorganisasi
nirlaba. Aktor ketiga adalah pengaturatau arranger atau disebut juga oleh Savas
(2000) dengan service provider, yaitu pihak-pihak yangmenentukan atau
memilih produsen yang akanmenyediakan suatu jenis pelayanan. Padaumumnya
pengatur ini adalah institusipemerintah, namun bisa juga asosiasi ataukonsumen
suatu layanan itu sendiri. Menurut Savas (2000) dalam konteks barang atau
layanan publik, pengatur ini dapat dipandang sebagai unitpengambi lan keputusan
kolektif yangmengartikulasikan tuntutan terhadap suatukebutuhan barang atau
layanan publik.
Savas (2000) mengidentifikasi sepuluh bentuk model kelembagaan
penyediaan layanan publik dengan melihat siapa yang menjadi produsen dan
arrangernya, apakah pemerintah atau swasta. Model-model layanan publik yang
melibatkan pemerintah baik sebagai produsen maupun arranger adalah sebagai
berikut:
a. Government
service
b. Intergovernmental
agreement
c. Government
vending
d. Contracts
e. Franchise
f. Grants
g.Free
Market
h.Voluntary service
i.Selft service
j. Voucher
Model pertama yaitu government service yaitu model pelayanan yang
pada umumnya dilakukan dan diterapkan di berbagai negara, khususnya
negara-negara berkembang, baik oleh pemerintah pusat maupun lokal atau oleh
perusahaanperusahaan miliki negara atau pemerintah daerah. Adapun model-mode
penyediaan layanan publik yang dapat dikategorikan sebagai alternatif di
samping model pelayanan yang sepenuhnya dilakukan dan diatur oleh pemerintah
adalah lima model pengaturan yang digagas oleh Savas (2000) yaitu intergovernmental
agreement, government vending, contracts, franchise,dan grants.
a. Intergovernmental
agreement
Layanan publik dengan model kesepakatan antar lembaga pemerintah
pemerintah atau intergovernmental agreement adalah bentuk penyediaan layanan
publik dimana lembaga lembaga pemerintah bertindak baik sebagai produsen maupun
arranger. Kerjasama ini dapat dilakukan baik antar satu lembaga
pemerintah dengan lembaga pemerintah lainnya dalam satu daerah, ataupun antara
satu lembaga pemerintah di satu daerah dengan lembaga pemerintah didaerah
lainnya. Melalui model ini dua atau lebih lembaga pemerintah dapat menyewa atau
membayar satu sama lain untuk menyediakan suatu layanan publik. Bentuk layanan
publik seperti ini menurut Savas (2000) sudah biasa dilakukan di negara-negara
maju. Dengan kata lain suatu lembaga pemerintah dapat melakukan penghematan
atau efisiensi dalam membiayai penyediaan suatu layanan publik. Inilah salah
satu keuntungan model layanan publik semacam ini antara lain pemerintah dapat lebih menghemat anggaran layanan
publiknya dari pada menyediakannya sendiri. Namun kelemahan yang harus
diantisipasi dari model layanan seperti ini menurut Caiden ( 1982 ) adalah
sulitnya untuk mengidentifikasi tanggung jawab dan akuntabilitas.
b. Government vending
Model penyediaan layanan publik melalui government vending ini
pemerintah bertindak sebagai produsen sedangkan pihak swasta sebagai arranger
atau pengatur. Dengan demikian pemerintah bersaing dengan perusahaan-perusahaan
swasta yang menyediakan layanan publik sejenis. Savas (2000) menyatakan bahwa
model penyediaan layanan publik semacam ini dapat diterapkan untuk jenis-jenis
pelayanan di bidang pendidikan, perlindungan keamanan, pemeliharaan jalan,
taman dan tempat rekreasi, pengumpulan sampah dan transportasi.
c. Kontrak (Contracts)
Model penyediaan layanan publik dengan menggunakan model kontrak
pemerintah bertindak sebagai arranger dan perusahaan swasta sebagai produsen.
Harding dan Preker (dalam Murti, 2006) menyatakan bahwa kontrak adalah ”a
purchasing mechanism used to acquire a specified service, of a defined
quantity, quality, at an agreed-on price, from specific provider, for a
specified period”. Dengan kata lain kontrak adalah suatu mekanisme
pembelian yang digunakan untuk mendapatkan pelayanan tertentu, dengan kuantitas
dan kualitas tertentu, dan harga yang disepakati dari suatu penyedia pelayanan
tertentu selama suatu periode waktu tertentu. Dalam model ini menurut Savas
(2000) idealnya pemerintah adalah: ”(1) penerjemah tuntutan pelayanan publik
yang diekspresikan secara demokratis, (2) agen pembeli yang terampil, (3)
pengawas yang canggih dari barang atau pelayanan yang dibeli dari sektor
swasta, (4) pengumpul pajak yang efisien, dan (5) pembayar yang kuat yang
membayar secara tepat waktu kepada kontraktor.
d. Franchise
Model penyediaan layanan publik yang disebut dengan franchise atau
hak monopoli didefinisikan Savas (2000: 79) sebagai ”an award of monopoly
privileges to a private firm to supply a particular service in a specific area,
usually with price regulation by government agency”. Dengan kata lain
franchise diartikan sebagai pemberian hak monopoli dari pemerintah kepada
perusahaan swasta untuk memberikan
pelayanan-pelayanan tertentu yang sistem pembayarannya diatur oleh institusi
pemerintah. Dalam model ini pemerintah
bertindak sebagai arranger sementara perusahaan swasta bertindak sebagai
produsen pelayanan publik. Peran kedua pihak tersebut dibedakan dari cara
pembayaran kepada produsen. Pemerintahselaku arranger membayar kepada
perusahaan swasta atas pelayanan yang dikontrak, sementarakonsumen membayar
produsen atas pelayananyang diberikannya.
Seperti
halnya dalam model kontrak, dalam model ini pun menurut Kitchen (2005)
kesepakatan yang dituangkan dalam dokumen hukum merupakan faktor penting yang
akan mengikat kedua belah pihak dan yang harus dilaksanakan oleh keduanya.
e. Grants atau subsidi pemerintah
Model penyediaan layanan publik dengan menggunakan mode grants menurut
Savas (2000) adalah subsidi yang diberikan oleh pemerintah kepada produsen atau
penyelenggara layanan publik. Subsidi ini dapat berbentuk uang, keringanan
pajak atau keuntungan pajak lainnya, pinjaman bunga rendah atau jaminan
pinjaman. Dampak dari subsidi ini menurutnya adalah untuk menurunkan tarif
layanan publik tertentu untuk konsumen yang berhak mendapatkannya sehingga
konsumen memperoleh pelayanan tersebut dari produsen yang diberi subsidi
tersebut.Dengan demikian dalam model ini organisasi baik perusahaan swasta yang
mencari keuntungan ataupun organisasi nir-laba bertindak sebagai produsen
sedangkan pemerintah dan konsumen bertindak sebagai co-arranger.
Dalam hal ini pemerintah memilih produsen tertentu yang akan menerima
subsidi, dan konsumen memilih produsen tertentu. Dengan demikian baik
pemerintah maupun masyarakat sebagai konsumen melakukan pembayaran kepada
produsen. Contoh model penyediaan layanan seperti ini misalnya dalam bidang
pendidikan, sekolah-sekolah swasta mendapatkan subsidi dari pemerintah untuk
setiap murid yang mendaftar di sekolah yang bersangkutan, subsidi bagi lembagalembaga
kesehatan yang nirlaba, subsidi kepada perusahaan swasta yang membangun dan
mengelola perumahan untuk masyarakat berpenghasilan rendah, dan lain
sebagainya. Contoh model penyediaan layanan seperti ini misalnya dalam bidang
pendidikan, sekolah-sekolah swasta mendapatkan subsidi dari pemerintah untuk
setiap murid yang mendaftar di sekolah yang bersangkutan, subsidi bagi
lembagalembaga kesehatan yang nirlaba, subsidi kepada perusahaan swasta yang
membangun dan mengelola perumahan untuk masyarakat berpenghasilan rendah, dan
lain sebagainya.
Dari lima model yang telah diuraikan tersebut terlihat bahwa dalam model
government vending dan intergovernmental agreements, pemerintah bertindak
sebagai produsen penyedia layanan publik. Tiga model lainnya yaitu kontrak, franchise
(hak monopoli) dan grants (subsidi) merupakan model pelayanan dimana
pemerintah bertindaksebagai arranger, sedangan pihak swasta atau masyarakat
bertindak sebagai produsen pelayanan publik.
Di samping ketiga model tersebut, ada satu model yang juga dikembangkan
dan telah banyak diterapkan yaitu model kemitraan antara pemerintah dan swasta
atau disebut public-private partnership (PPP). Model ini menurut Johnson (1992) merujuk
kepada “suatu hubungan formal dimana satu atau lebih unit kerja pemerintah dan
kelompok non-pemerintahan bergabung
bersama-sama dalam menyediakan sumber daya dan memelihara pengawasan
terhadap projek kerjasama tersebut”.
Sedangkan Klijn dan Teisman (2000, dalam Yusuf, Wallace dan Hackbart:
2006) menyebutkan bahwa public private partnership adalah “suatu
komitmen di antara pemerintah dan sektor swasta dalam jangka waktu tertentu
dimana mitra-mitra kerja tersebut membangun produk secara bersama-sama dan
membagi resiko, biaya serta keuntungan yang ditimbulkan dari produk tersebut”.
Senada dengan pendapat tersebut Lawther (2002, dalam Thai dan Viga: 2006)
menyatakan bahwa Public-Private Partnership adalah “suatu bentuk
pengaturan peran dan hubungan dimana dua atau lebih kelompok pemerintah dan
swasta berkoordinasi atau menggabungkan sumbersumber daya komplementernya untuk
mencapai tujuannya masing-masing melalui pencapaian satu atau lebih sasaran
secara bersama-sama”.
Sedangkan Kumar dan Prasad (2004, dalam Pusat Kajian dan Pendidikan dan
Pelatihan Aparatur III LAN: 2008) mengidentifikasi 5 (lima) tipe umum dari
model public-private partnership. Bentuk-bentuk tersebut adalah kontrak
pelayanan, kontrak pengelolaan, sewa, konsesi Build – Operates – Transfers (BOT),
dan Build – Operates – Own lepas. Dalam spektrum investasi tersebut
menurut mereka kontrak pelayanan (service contract) merupakan bentuk
kemitraan yang lebih banyak menitikberatkan pada peran pemerintah, baik dari
sisi investasi maupun penyediaan jasa layanan. Adapun pada sisi lain dengan
bentuk build operatesown secara lepas merupakan bentuk kemitraan yang
menitikberatkan investasi dan penyediaan pelayanan pada sektor swasta. Dalam
hal ini pemerintah hanya berperan sebagai fasilitator dan regulator.
2.4. Pemerintahan Desa
Pemerintah pada tanggal 15 Januari 2014 telah
menetapkan UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa.
Dalam konsideran UU tersebut diisampaikan bahwa Desa memiliki hak asal
usul dan hak tradisional dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat
setempat dan berperan mewujudkan cita-cita kemerdekaan berdasarkan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Kemudian bahwa dalam perjalanan ketatanegaraan
Republik Indonesia, Desa telah berkembang dalam berbagai bentuk sehingga perlu
dilindungi dan diberdayakan agar menjadi kuat, maju, mandiri, dan demokratis
sehingga dapat menciptakan landasan yang kuat dalam melaksanakan pemerintahan
dan pembangunan menuju masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera.
Konstruksi hukum terhadap struktur pemerintahan desa,
sebenarnya masih menggunakan konstruksi hukum yang diterapkan selama ini. Hal
ini dapat kita telusuri dari teks hukum pada pasal 1 angka UU No 6 Tahun 2014
yang menyatakan, bahwa Pemerintahan Desa adalah penyelenggaraan urusan
pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem pemerintahan
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Penyelenggaraan urusan pemerintahan dan kepentingan
masyarakat setempat, karena disini ada dua konsep, yakni pertama,
penyelenggaraan urusan pemerintahan, kedua, kepentingan masyarakat setempat. Untuk
memahami ini, harus dipahami lebih dahulu apa yang dimaksud dengan desa,
apabila memperhatikan secara cermat teks hukum UU No 6 Tahun 2014 tentang Desa
pada pasal 1 angka 1 memberikan batasan tentang desa berikut ini :
Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan
nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang
memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan
pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat,
hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem
pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Berdasarkan rumusan pasal 1 angka 1, terjawablah,
bahwa desa memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan,
kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul,
dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati. Jadi yang dimaksud
penyelenggaraan urusan pemerintahan adalah “untuk mengatur”, untuk mengurus
urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat.
Dasar yang
digunakan adalah berdasarkan (1) prakarsa masyarakat, (2) berdasarkan hak asal
usul atau hak tradisional. Pertanyaan siapa yang berwenang untuk mengatur dan
mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat? Pertanyaan ini
dijawab dalam rumusan pada Pasal 1 angka 3 yang menyatakan, bahwa Pemerintah Desa adalah Kepala Desa atau yang
disebut dengan nama lain dibantu perangkat Desa sebagai unsur penyelenggara
Pemerintahan Desa. Jadi yang berwenang adalah pemerintah desa, yakni Kepala
Desa dibantu perangkat desa, sebagai unsur penyelenggaran pemerintahan desa.
Ini artinya disamping Kepala desa dan perangkat desa ada unsur lain
penyelenggara pemerintahan desa.
Unsur lain dimaksud dalam UU No 6 Tahun 2014
sebagaimana pada Pasal 1 angka 4 UU No 6 Tahun 2014 yakni Badan Permusyawaratan Desa atau yang disebut
dengan nama lain adalah lembaga yang melaksanakan fungsi pemerintahan yang
anggotanya merupakan wakil dari penduduk Desa berdasarkan keterwakilan wilayah
dan ditetapkan secara demokratis.
Kata kuncinya adalah lembaga yang melaksanakan fungsi
pemerintahan. Pertanyaannya adalah karena kedua lembaga Kepala desa dan BPD
sama-sama melaksanakan fungsi pemerintahan, yakni pemerintahan desa. Penyelenggara pemerintahan desa berdasarkan UU No 6 Tahun 2014 dalam Pasal 23 UU No 6 Tahun 2014 memberikan
penegasan, yakni bahwa Pemerintahan Desa diselenggarakan oleh Pemerintah Desa.
Jelas yang dimaksud pemerintah desa, dikembalikan pada pasal 1 angka 3 UU No 6
Tahun 2014, yakni Pemerintah Desa adalah
Kepala Desa atau yang disebut dengan nama lain dibantu perangkat Desa sebagai
unsur penyelenggara Pemerintahan Desa. Jika demikian BPD kedudukannya adalah
hanya lembaga yang melaksanakan fungsi pemerintahan yang anggotanya merupakan
wakil dari penduduk Desa berdasarkan keterwakilan wilayah dan ditetapkan secara
demokratis.
Hal ini ditegaskan juga pada Pemerintah Desa Pasal 25
bahwa Pemerintah Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 adalah Kepala Desa
atau yang disebut dengan nama lain dan yang dibantu oleh perangkat Desa atau
yang disebut dengan nama lain.
Berdasarkan konstruksi hukum yang demikian, jelas
Kepala Desa memiliki kedudukan yang strategis sebagai Penyelenggara
Pemerintahan Desa. Namun ketika melaksanakan kewenangan desa dua lembaga
tersebut mempunyai kedudukan yang sama, yakni Kepala Desa dan BPD.
Untuk memahami, perlu dipahami konstruksi hukum
terhadap Kewenangan Desa sebagaimana
dimaksud Pasal 18 UU no 6 Tahun 2014,
Kewenangan Desa meliputi kewenangan di bidang penyelenggaraan Pemerintahan
Desa, pelaksanaan Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan
pemberdayaan masyarakat Desa berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul,
dan adat istiadat Desa. Pasal 19 Kewenangan Desa meliputi:
a. kewenangan berdasarkan hak
asal usul;
b. kewenangan lokal berskala
Desa;
c. kewenangan yang ditugaskan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah
Provinsi, atau Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota; dan
d. kewenangan lain yang ditugaskan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah
Provinsi, atau Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Pada pasal 2, pelaksanaan kewenangan berdasarkan hak
asal usul dan kewenangan lokal berskala Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal
19 huruf a dan huruf b diatur dan diurus oleh Desa. Pada Pasal 21 pelaksanaan kewenangan yang ditugaskan dan
pelaksanaan kewenangan tugas lain dari Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi,
atau Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf
c dan huruf d diurus oleh Desa.
Pada teks
hukum Pasal 19 perlu dipahami konstruksi
hukumnya, bahwa ada kewenangan yang diurus oleh desa dan ada kewenangan
yang berasal dari penugasan dari pemerintah, pemerintah daerah provinsi, dan
pemerintahan kabupaten/ kota. Pertanyaannya kewenangan yang berasal dari
penugasan dari pemerintah, pemerintah daerah provinsi, dan pemerintahan
kabupaten/ kota meliputi apa saja ? Jika kita mengacu pada UU No 6 Tahun 2014,
hal tersebut ditegaskan pada pasal Pasal
22 yang menyatakan bahwa : (1) Penugasan dari Pemerintah dan/atau Pemerintah
Daerah kepada Desa meliputi penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan
Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat
Desa. (2) Penugasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disertai biaya.
Berdasarkan Pasal 22 ada empat penugasan yang bisa datang
dari pemerintah, dan atau pemerintah daerah (bisa Pemerintaha Daerah Provinsi,
bisa Pemerintah daerah Kabupaten Kota) yakni; Pertama, penyelenggaraan
Pemerintahan Desa. Kedua , pelaksanaan Pembangunan Desa. Ketiga, pembinaan
kemasyarakatan Desa dan Keempat, pemberdayaan masyarakat Desa.
Untuk memahami biaya, maka Kepala desa dan pembantu serta BPD
mempelajari bagaimana baiknya berdasarkan UU No 6 Tahun 2014 hanya ada dua
konsep yang diberikan batasan dalan Ketentuan Umum Pasal 1, yakni: Pembangunan
Desa dan Pemberdayaan desa sebagaimana pernyataan berikut ini: Pembangunan Desa
adalah upaya peningkatan kualitas hidup dan kehidupan untuk sebesar-besarnya
kesejahteraan masyarakat Desa. (pasal 1 angka 8) dan Pemberdayaan Masyarakat
Desa adalah upaya mengembangkan kemandirian dan kesejahteraan masyarakat dengan
meningkatkan pengetahuan, sikap, keterampilan, perilaku, kemampuan, kesadaran,
serta memanfaatkan sumber daya melalui penetapan kebijakan, program, kegiatan,
dan pendampingan yang sesuai dengan esensi masalah dan prioritas kebutuhan
masyarakat Desa. (pasal 1 angka 12).
Keempat hal tersebut di atas, berdasarkan UU No 6 Tahun 2014 pada Pasal
26 ayat (1) Kepala Desa bertugas
menyelenggarakan Pemerintahan Desa, melaksanakan Pembangunan Desa, pembinaan
kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa.
Kewenangan yang dimiliki oleh Kepala Desa dalam menyelenggaraka keempat hal tersebut diatas, pada Pasal 26
ayat (2) menyatakan, bahwa Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), Kepala Desa berwenang:
a. memimpin penyelenggaraan Pemerintahan Desa;
b. mengangkat dan memberhentikan perangkat Desa;
c. memegang kekuasaan pengelolaan Keuangan dan Aset Desa;
d. menetapkan Peraturan Desa;
e. menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa;
f. membina kehidupan masyarakat Desa;
g. membina ketenteraman dan ketertiban masyarakat Desa;
h.membina dan meningkatkan perekonomian Desa serta mengintegrasikannya
agar mencapai perekonomian skala produktif untuk sebesar-besarnya kemakmuran
masyarakat Desa;
i. mengembangkan sumber
pendapatan Desa;
j. mengusulkan dan menerima pelimpahan sebagian kekayaan negara guna
meningkatkan kesejahteraan masyarakat Desa;
k. mengembangkan kehidupan sosial budaya masyarakat Desa;
l. memanfaatkan teknologi tepat
guna;
m. mengoordinasikan Pembangunan Desa secara partisipatif;
n. mewakili Desa di dalam dan di luar pengadilan atau menunjuk kuasa
hukum untuk mewakilinya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
dan
o. melaksanakan wewenang lain yang sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Berdasarkan
kewenangan yang dimiliki oleh kepala desa, maka secara hukum memiliki tanggung
jawab yang besar, oleh karena itu untuk efektif harus ada pendelegasian
kewenangan kepada para pembantunya atau memberikan mandat. Oleh karena itu
dalam melaksanakan kewenangan Kepala Desa diberikan sebagaimana ditegaskan pada
pasal 26 ayat (3) UU No 6 Tahun 2014, yaitu : Dalam melaksanakan tugas sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Kepala Desa berhak:
a. mengusulkan struktur organisasi dan tata kerja Pemerintah Desa;
b. mengajukan rancangan dan menetapkan Peraturan Desa;
c. menerima penghasilan tetap setiap bulan, tunjangan, dan penerimaan
lainnya yang sah, serta mendapat jaminan kesehatan;
d. mendapatkan pelindungan hukum atas kebijakan yang dilaksanakan; dan
e. memberikan mandat pelaksanaan tugas dan kewajiban lainnya kepada
perangkat Desa.
Patut disadari, bahwa
disamping kewenangan dan hak yang dimiliki Kepala Desa memiliki kewajiban yang
ditegaskan dalam UU No 6 Tahun 2014 pada pasal 26 ayat (4) Dalam melaksanakan
tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Desa berkewajiban:
a. memegang teguh dan mengamalkan Pancasila, melaksanakan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta mempertahankan dan memelihara
keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika;
b. meningkatkan kesejahteraan masyarakat Desa;
c. memelihara ketenteraman dan ketertiban masyarakat Desa;
d. menaati dan menegakkan peraturan perundang-undangan;
e. melaksanakan kehidupan demokrasi dan berkeadilan gender;
f.melaksanakan prinsip tata Pemerintahan Desa yang akuntabel,
transparan, profesional, efektif dan efisien, bersih, serta bebas dari kolusi,
korupsi, dan nepotisme;
g. menjalin kerja sama dan koordinasi dengan seluruh pemangku
kepentingan di Desa;
h. menyelenggarakan administrasi Pemerintahan Desa yang baik;
i. mengelola Keuangan dan Aset Desa;
j. melaksanakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Desa;
k. menyelesaikan perselisihan masyarakat di Desa;
l. mengembangkan perekonomian masyarakat Desa;
m. membina dan melestarikan nilai sosial budaya masyarakat Desa;
n. memberdayakan masyarakat dan lembaga kemasyarakatan di Desa;
o. mengembangkan potensi sumber daya alam dan melestarikan lingkungan
hidup; dan
p. memberikan informasi kepada masyarakat Desa.
Kewenangan,
hak, Kewajiban Kepala Desa masih dibebani sebuah kewajiban kepada pemerintahan
Kabupaten/Kota, sebagaimana ditegaskan pada Pasal 27 Dalam melaksanakan tugas,
kewenangan, hak, dan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26, Kepala Desa
wajib:
a. menyampaikan laporan penyelenggaraan Pemerintahan Desa setiap akhir
tahun anggaran kepada Bupati/Walikota;
b. menyampaikan laporan penyelenggaraan Pemerintahan Desa pada akhir
masa jabatan kepada Bupati/Walikota;
c. memberikan laporan keterangan penyelenggaraan pemerintahan secara
tertulis kepada Badan Permusyawaratan Desa setiap akhir tahun anggaran; dan
d. memberikan dan/atau menyebarkan informasi penyelenggaraan
pemerintahan secara tertulis kepada masyarakat Desa setiap akhir tahun
anggaran.
Agar Kepala Desa tidak “terjebak pada pelanggaran
hukum” maka Kepala Desa diberikan larangan sebagaimana ditegaskan, Pasal 29 UU
no 6 Tahun 2014. Kepala Desa dilarang:
a.
merugikan
kepentingan umum;
b. membuat
keputusan yang menguntungkan diri sendiri, anggota keluarga, pihak lain,
dan/atau golongan tertentu;
c.
menyalahgunakan wewenang, tugas, hak, dan/atau kewajibannya;
d. melakukan
tindakan diskriminatif terhadap warga dan/atau golongan masyarakat tertentu;
e. melakukan
tindakan meresahkan sekelompok masyarakat Desa;
f. melakukan
kolusi, korupsi, dan nepotisme, menerima uang, barang, dan/atau jasa dari pihak
lain yang dapat memengaruhi keputusan atau tindakan yang akan dilakukannya;
g. menjadi
pengurus partai politik;
h. menjadi
anggota dan/atau pengurus organisasi terlarang;
i. merangkap
jabatan sebagai ketua dan/atau anggota Badan Permusyawaratan Desa, anggota Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Daerah Republik
Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi atau Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Kabupaten/Kota, dan jabatan lain yang ditentukan dalam peraturan
perundangan-undangan;
j. ikut serta
dan/atau terlibat dalam kampanye pemilihan umum dan/atau pemilihan kepala
daerah;
k. melanggar
sumpah/janji jabatan; dan
l.
meninggalkan tugas selama 30 (tiga puluh) hari kerja berturut-turut
tanpa alasan yang jelas dan tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Berdasarkan kewenangan, hak dan kewajiban serta
larangan, maka perlu dipahamidan dilaksanakan asas-asas penyelenggaraan
pemerintahan desa yang ditegaskan oleh UU No 6 Tahun 2014 pada Pasal 24
Penyelenggaraan Pemerintahan Desa berdasarkan asas:
a. kepastian hukum;
b. tertib penyelenggaraan pemerintahan;
c. tertib kepentingan umum;
d. keterbukaan;
e. proporsionalitas;
f. profesionalitas;
g. akuntabilitas;
h. efektivitas dan efisiensi;
i. kearifan lokal;
j. keberagaman; dan
k. partisipatif.
Agar penyelenggaran Pemerintahan desa terlaksana
secara demokratis di desa trerdapat forum yang kemudian dinamakan musyawarah
desa. Didalam UU No 6 Tahun 2014 diberikan batasan yang tegas apa yang dimaksud
musyawarah desa, yakni pada Pasal 1 angka 5 yang menayatkan, bahwa Musyawarah
Desa atau yang disebut dengan nama lain adalah musyawarah antara Badan
Permusyawaratan Desa, Pemerintah Desa, dan unsur masyarakat yang
diselenggarakan oleh Badan Permusyawaratan Desa untuk menyepakati hal yang
bersifat strategis.
Hal yang penting adalah berkaitan dengan keuangan desa
penghasilan desa berdasarkan UU No 6
Tahun 2014 pada Pasal 66:
(1) Kepala Desa dan perangkat Desa memperoleh penghasilan tetap setiap
bulan.
(2) Penghasilan tetap Kepala Desa dan perangkat Desa sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) bersumber dari dana perimbangan dalam Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara yang diterima oleh Kabupaten/Kota dan ditetapkan
dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota.
(3) Selain penghasilan tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala
Desa dan perangkat Desa menerima tunjangan yang bersumber dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Desa.
(4) Selain penghasilan tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala
Desa dan perangkat Desa memperoleh jaminan kesehatan dan dapat memperoleh
penerimaan lainnya yang sah.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai besaran penghasilan tetap sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan tunjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) serta
penerimaan lainnya yang sah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dalam
Peraturan Pemerintah.
Berdasarkan
uraian di atas, maka di
lokus penelitian ada Keputusan Kepala Desa Nomor 08/ KPTS/2012 tentang
makanisme mengunakan sistem pelayanan 1 ( satu) pintu. Mekanisme pelayanan satu
pintu dimaksud adalah proses pelayanan dilaksanakan / dipusatkan di balai desa
baik dari segi pengurusan penandatanganan maupun pembayaran kontrol segala
jenis administarasi ( mulai dari kependudukan,keuangan,kesra,maupun
pembangunan).
0 komentar:
Posting Komentar