KATA PENGANTAR
Puji
syukur Penulis panjatkan kehadirat Allah S.W.T atas limpahan rahmat dan
hidayah-nya, sehingga Penulis dapat menyelesaikan makalah ini.
Pembuatan
makalah ini untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Sistem Pemerintahan Daerah dalam
pembahasan UU No. 5 tahun 1974, UU No. 22 tahun 1999, UU No. 32 tahun 2004 dan
UU No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Pembuatan makalah ini
dilaksanakan atas bimbingan dari Eka Yulyana.S.ip, M.Si selaku dosen pembimbing
. Oleh karena itu perkenankan Penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada
Eka Yulyana.S.ip, M.Si sebagai dosen pembimbing mata kuliah Sistem Pemerintahan
Daerah
Saran
dan kritik yang bersifat membangun sangat penulis harapkan demi kesempurnaan
Penulisan Makalah ini. Akhir harapan penulis adalah semoga Penulisan Makalah
ini dapat bermanfaat, bagi penulis serta para pembaca Penulisan Makalah ini.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Undang-undang Pemerintahan Daerah merupakan
salah satu kebijakan politik yang dirancang untuk membangun format pemerintahan
yang bisa memberikan dukungan terhadap kekokohan keberadaan Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Salah satu upaya menjaga keutuhan NKRI,
struktur pemerintahan harus dirancang sentralistis. Ide revisi itu
berangkat dari kesatuan, sedangkan kemajemukan masyarakat daerah hanya
sekadar diakomodasi
Undang-undang
akan selalu berubah mengikuti zaman. Hal ini dikarenakan tidak semua pasal
dalam undang-undang pas atau sesuai untuk diterapkan disepanjang zaman.
Demikian juga dengan undang-undang tentang Pemerintahan Daerah. Dulu
undang-undang yang digunakan adalah UU No. 5 tahun 1974, kemudian seiring
berjalannya waktu diganti menjadi UU No. 22 tahun 1999. dan yang terakhir digunakan
sekarang adalah UU No. 32 tahun 2004. Sebelum UU No.5 digunakan, terlebih
dahulu ada UU No.18 tahun 1965.
Mengenai Pemerintahan Daerah,
diatur dalam Pasal 18 UUD 1945 yang selengkapnya berbunyi:
“Pembagian
Daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil dengan bentuk susunan
pamerintahannya ditetapkan dengan UU dengan memandang dan mengingati dasar
permusyawaratan dalam sistem Pemerintahan Negara, dan hak-hak asal-usul dalam
Daerah-Daerah yang bersifat istimewa ”
Dari
ketentuan pasal tersebut dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Wilayah Indonesia dibagi ke dalam
daerah-daerah, baik yang bersifat otonom maupun yang bersifat administratif
2. Daerah-daerah itu mempunyai pemerintahan
3. Pembagian wilayah dan bentuk susunan pemerintahannya
ditetapkan dengan atau atas kuasa UU
4. Dalam pembentukan daerah-daerah itu, terutama
daerah-daerah otonom dan dalam menentukan susunan pemerintahannya harus diingat
permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara dan hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah
yang bersifat istimewa.
Dalam makalah ini, akan kami bahas
mengenai perbedaan dalam UU No. 5 tahun 1974, UU No. 22 tahun 1999, UU No. 32
tahun 2004 dan UU No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Letak
geografis Indonesia yang berupa kepulauan sangat berpengaruh terhadap mekanisme
pemerintahan Negara Indonesia. Dengan keadaan geografis yang berupa kepulauan
ini menyebabkan pemerintah sulit mengkoordinasi pemerintahan yang ada di
daerah. Untuk memudahkan pengaturan atau penataan pemerintahan maka diperlukan
adanya berbagai suatu sistem pemerintahan yang dapat berjalan secara efisien
dan mandiri tetapi tetap dibawah pengawasan
dari pemerintah pusat.
Di
era reformasi ini sangat dibutuhkan sistem pemerintahan yang memungkinkan cepatnya
penyaluran aspirasi rakyat di daerah, namun itu juga tetap berada di bawah
pengawasan pemerintah pusat. Hal tersebut sangat diperlukan karena mulai
terdapat munculnya ancaman-ancaman terhadap keutuhan NKRI, hal tersebut
ditandai dengan banyaknya daerah-daerah yang ingin memisahkan diri dari Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Sumber daya alam daerah di Indoinesia yang tidak
merata juga merupakan salah satu penyebab diperlukannya suatu sistem
pemerintahan yang memudahkan pengelolaan sumber daya alam yang merupakan sumber
pendapatan daerah sekaligus menjadi pendapatan nasional.
Oleh
sebab itu, Pemerintah daerah di Lahirkan di Indonesia. Agar Masyarakat
Indonesia yang berada jauh dari Ibu kota bisa juga merasakan Kesejahteraan
hidup dalam suatu pemerintahan.
1.2 Perumusan
Masalah
Adapun
Perumusan masalah dalam Makalah ini antara lain:
1. Mengetahui Pengertian Dari Pemerintah
Daerah.
2. Mengetahui Fungsi Dan Tujuan Di Bentuknya Pemerintahan
Daerah.
3. Pentingnya Pemerintah Daerah Pada Pemerintahan
Di Indonesia.
4. Implementasi Pemerintahan Daerah Di Indonesia.
5. Sistem Pemerintah Daerah Indonesia
6. Perbandingan Undang-Undang
1.3
Tujuan
1.
Untuk Mengetahui Pengertian Dari Pemerintahan Daerah
2.
Untuk Mengetahui Fungsi Dan Tujuan Dibentuknya Pemerintah Daeerah
3.
Untuk Mengetahui Pentingnya Pemerintah Daerah
Di Indonesia
4.Untuk
Mengetahui Implementasi Pemerintahan Daerah Di Indonesia
5.
Untuk Mengetahui Sistem Pemerintahan Daerah Di Indonesia
6.
Untuk Mengetahui Perbandingan Undang-Undang
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Pemerintah Daerah
Definisi
Pemerintahan Daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 sebagaimana
telah diamandemen dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Pemerintahan
Daerah Pasal 1 ayat (2) adalah sebagai berikut:
“Pemerintahan
Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintahan daerah dan
DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi yang
seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945”.
Melihat
definisi pemerintahan daerah seperti yang telah dikemukakan di atas, maka yang
dimaksud pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan urusan-urusan yang menjadi urusan daerah
(provinsi atau kabupaten) oleh pemerintah daerah dan DPRD.
2.2 Fungsi dan Tujuan Pemerintah Daerah
2.2.1 Fungsi Pemerintah daerah
Berbagai
argument dan penjelasan mengenai fungsi Pemerintah Daerah
yaitu
:
1. Untuk terciptanya efisiensi-efektivas
penyelenggaraan pemerintahan. Pemerintahan berfungsi mengelola berbagai dimensi
kehidupan seperti bidang sosial, kesejahteraan masyarakat, ekonomi, keuangan,
politik, integrasi sosial, pertahanan, keamanan dalam negeri, dll. Selain itu
juga mempunyai fungsi distributif akan hal yang telah diungkapkan, fungsi
regulatif baik yang menyangkut penyediaan barang dan jasa, dan fungsi
ekstraktif yaitu memobilisasi sumber daya keuangan dalam rangka sarana
membiayai aktifitas penyelenggaraan negara.
2.
Sebagai sarana pendidikan politik. Banyak kalangan ilmuan politik
berargumentasi bahwa pemerintahan daerah merupakan kancah pelatihan (training
ground) dan pengembangan demokrasi dalam sebuah negara. Alexis de’ Tocqueville
mencatat bahwa “town meetings are to leberty what primary schools are to
science; the bring it within the people reach, they teach men how to use and
how to enjoy it. John Stuart Mill dalam tulisannya “Represcentative Goverment”
menyatakan bahwa pemerintahan daerah akan menyediakan kesempatan bagi warga
masyarakat untuk berpartisipasi politik, baik dalam rangka memilih atau
kemungkinan untuk dipilih dalam suatu jabatan politik.
3.
Pemerintahan daerah sebagai persiapan untuk karir politik lanjutan. Banyak kalangan ilmuan politik sepakat bahwa
pemerintah daerah merupakan langkah persiapan untuk meniti karir lanjutan,
terutama karir di bidang politik dan pemerintahan ditingkat nasional.
4.
Stabilitas politik, Sharpe berargumentasi bahwa stabilitas politik nasional
mestinya berawal dari stabilitas politik pada tingkat lokal. Hal ini dilihat
dari terjadinya pergolakan daerah pada tahun 1957 – 1958 dengan puncaknya
adalah kehadiran dari PRRI dan PERMESTA, karena daerah melihat kenyataan
kekuasaan pemerintah Jakarta yang sangat dominan.
5.
Kesetaraan politik (political equality). Dengan dibentuknya pemerintahan daerah
maka kesetaraan politik diantara berbatgai komponen masyarakat akan terwujud.
6.
Akuntabilitas publik. Demokrasi memberikan ruang dan peluang kepada masyarakt,
termasuk didaerah, untuk berpartisipasi dalam segala bentuk kegiatan
penyelenggaraan negara.
2.2.2 Tujuan Pemerintah Daerah
Tujuan
dari Pemerintah Daerah adalah:
• mencegah pemusatan keuangan
• sebagai usaha pendemokrasian Pemerintah
Daerah untuk mengikutsertakan rakyat bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan
pemerintahan.
•
Penyusunan program-program untuk
perbaikan sosial ekonomi pada tingkat local sehingga dapat lebih realistis.
2.3 Pentingnya Pemerintah Daerah
Alasan
pentinya di bentuk Pemerintah Daerah Ialah:
1.
Kehidupan berbangsa dan bernegara selama ini sangat terpusat di Jakarta.
Sementara itu pembangunan di beberapa wilayah lain di lalaikan
2.
Pembagian kekayaan secara tidak adil dan merata
3.
Kesenjangan sosial (dalam makna seluas-luasnya) antara satu daerah dengan
daerah lain sangat terasa. Pembangunan fisik di satu daerah berkembang pesat
sekali, sedangkan pembangunan di banyak daerah masih lamban dan bahkan
terbengkalai. Sementara lain ada alesan lain yang didasarkan pada kondisi
ideal, sekaligus memberikan landasan filosofis bagi penyelenggaraan pemerintah
daerah (desentralisasi) sebagaimana dinyatakan oleh The Liang Gie sebagai
berikut : (Jose Riwu Kaho, 2001,h.8):
Dari sudut politik sebagai permainan kekuasaan, desentralisasi dimaksudkan untuk mencegah penumpukan
kekuasaan pada satu pihak saja yang pada akhirnya dapat menimbulkan tirani.
Dalam bidang politik, penyelenggaraan desentralisasi dianggap sebagai tindakan
pendemokrasian, untuk menarik rakyat ikut serta dalam pemerintahan dan melatih
diri dalam mempergunakan hak-hak demokrasi.
Dari sudut teknik organisatoris pemerintahan, alasan mengadakan pemerintahan
daerah (desentralisasi) adalah semata-mata untuk mencapai suatu pemerintahan
yang efisien. Apa yang dianggap lebih utama untuk diurus oleh pemerintah
setempat, pengurusannya diserahkan pada daerah.
Dari sudut kultur, desentralisasi perlu diadakan supaya adanya perhatian
sepenuhnya ditumpukan kepada kekhususan sesuatu daerah, seperti geografi,
keadaan penduduk, kegiatan ekonomi, watak kebudayaan atau latar belakang
sejarahnya.
Dari sudut kepentingan pembangunan ekonomi, desentralisasi diperlukan karena
pemerintah daerah dapat lebih banyak dan secara langsung dapat membantu
pembangunan tersebut.
2.4 Implementasi Pemerintah Daerah
Pemerintahan
Daerah saat ini telah menjadi dasar penyelenggara pemerintahan yang diterima
secara universal dengan berbagai macam bentuk aplikasi di setiap negara. Hal
ini sesuai dengan fakta bahwa tidak semua urusan pemerintahan dapat
diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat, mengingat kondisi geografis,
kompleksitas perkembangan masyarakat, kemajemukan struktuk sosial dan budaya
lokal serta adanya tuntutan demokratisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Sejak
diberlakukannya UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, banyak aspek
positif yang diharapkan dalam pemberlakuan Undang-Undang tersebut. Dan
implementasi dari Pemerintah Daerah ialah adanya Otonomi Daerah. Otonomi Daerah
memang dapat membawa perubahan positif di daerah dalam hal kewenangan daerah
untuk mengatur diri sendiri. Kewenangan ini menjadi sebuah impian karena sistem
pemerintahan yang sentralistik cenderung menempatkan daerah sebagai pelaku
pembangunan yang tidak begitu penting atau sebagai pelaku pinggiran. Tujuan
pemberian otonomi kepada daerah sangat baik, yaitu untuk memberdayakan daerah,
termasuk masyarakatnya, mendorong prakarsa dan peran serta masyarakat dalam
proses pemerintahan dan pembangunan.
Pada
masa lalu, pengerukan potensi daerah ke pusat terus dilakukan dengan dalih
pemerataan pembangunan. Alih-alih mendapatkan manfaat dari pembangunan, daerah
justru mengalami proses pemiskinan yang luar biasa. Dengan kewenangan yang
didapat daerah dari pelaksanaan Otonomi Daerah, banyak daerah yang optimis
bakal bisa mengubah keadaan yang tidak menguntungkan tersebut.
Beberapa
contoh keberhasilan dari berbagai daerah dalam pelaksanaan otonomi daerah
yaitu:
1.Di
Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah, masyarakat lokal dan LSM yang mendukung telah
berkerja sama dengan dewan setempat untuk merancang suatu aturan tentang
pengelolaan sumber daya kehutanan yang bersifat kemasyarakatan
(community-based). Aturan itu ditetapkan pada bulan Oktober yang memungkinkan
bupati mengeluarkan izin kepada masyarakat untuk mengelola hutan milik negara
dengan cara yang berkelanjutan.
2.
Di Gorontalo, Sulawesi, masyarakat nelayan di sana dengan bantuan LSM-LSM
setempat serta para pejabat yang simpatik di wilayah provinsi baru tersebut
berhasil mendapatkan kembali kontrol mereka terhadap wilayah perikanan
tradisional/adat mereka.
Kedua
contoh di atas menggambarkan bahwa pelaksanaan Otonomi Daerah dapat membawa
dampak positif bagi kemajuan suatu daerah. Kedua contoh diatas dapat terjadi
berkat adanya Otonomi Daerah di daerah terebut.
Selain
membawa dampak positif bagi suatu daerah otonom, ternyata pelaksanaan Otonomi
Daerah juga dapat membawa dampak negatif. Pada tahap awal pelaksanaan Otonomi
Daerah, telah banyak mengundang suara pro dan kontra. Suara pro umumnya datang
dari daerah yang kaya akan sumber daya, daerah-daerah tersebut tidak sabar
ingin agar Otonomi Daerah tersebut segera diberlakukan. Sebaliknya, bagi
daerah-daerah yang tidak kaya akan sumber daya, mereka pesimis menghadapi era
otonomi daerah tersebut. Masalahnya, otonomi daerah menuntut kesiapan daerah di
segala bidang termasuk peraturan perundang-undangan dan sumber keuangan daerah.
Oleh karena itu, bagi daerah-daerah yang tidak kaya akan sumber daya pada
umumnya belum siap ketika Otonomi Daerah pertama kali diberlakukan.
Selain
karena kurangnya kesiapan daerah-daerah yang tidak kaya akan sumber daya dengan
berlakunya otonomi daerah, dampak negatif dari otonomi daerah juga dapat timbul
karena adanya berbagai penyelewengan dalam pelaksanaan Otonomi Daerah tersebut.
Berbagai
penyelewengan dalam pelaksanan otonomi daerah:
•
Adanya kecenderungan pemerintah daerah untuk mengeksploitasi rakyat melalui
pengumpulan pendapatan daerah.
• Keterbatasan sumberdaya dihadapkan dengan
tuntutan kebutuhan dana (pembangunan dan rutin operasional pemerintahan) yang
besar. Hal tersebut memaksa Pemerintah Daerah menempuh pilihan yang membebani
rakyat, misalnya memperluas dan atau meningkatkan objek pajak dan retribusi.
Padahal banyaknya pungutan hanya akan menambah biaya ekonomi yang akan
merugikan perkembangan ekonomi daerah. Pemerintah daerah yang terlalu intensif
memungut pajak dan retribusi dari rakyatnya hanya akam menambah beratnya beban
yang harus ditanggung warga masyarakat.
• Penggunaan dana anggaran yang tidak
terkontrol. Hal ini dapat dilihat dari pemberian fasilitas yang berlebihan
kepada pejabat daerah. Pemberian fasilitas yang berlebihan ini merupakan bukti
ketidakarifan pemerintah daerah dalam mengelola keuangan daerah.
•
Rusaknya Sumber Daya Alam. Rusaknya sumber daya alam ini disebabkan karena
adanya keinginan dari Pemerintah Daerah untuk menghimpun pendapatan asli daerah
(PAD), di mana Pemerintah Daerah menguras sumber daya alam potensial yang ada,
tanpa mempertimbangkan dampak negatif/kerusakan lingkungan dan prinsip
pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Selain itu, adanya
kegiatan dari beberapa orang Bupati yang menetapkan peningkatan ekstraksi
besar-besaran sumber daya alam di daerah mereka, di mana ekstraksi ini
merupakan suatu proses yang semakin mempercepat perusakan dan punahnya hutan
serta sengketa terhadap tanah. Akibatnya terjadi percepatan kerusakan hutan dan
lingkungan yang berdampak pada percepatan sumber daya air hampir di seluruh
wilayah tanah air. Eksploitasi hutan dan lahan yang tak terkendali juga telah
menyebabkan hancurnya habitat dan ekosistem satwa liar yang berdampak terhadap
punahnya sebagian varietas vegetasi dan satwa langka serta mikro organisme yang
sangat bermanfaat untuk menjaga kelestarian alam.
•
Bergesernya praktik korupsi dari pusat ke daerah. Praktik korupsi di daerah
tersebut terjadi pada proses pengadaan barang-barang dan jasa daerah
(procurement). Seringkali terjadi harga sebuah barang dianggarkan jauh lebih
besar dari harga barang tersebut sebenarnya di pasar.
•
Pemerintahan kabupaten juga tergoda untuk menjadikan sumbangan yang diperoleh
dari hutan milik negara dan perusahaan perkebunaan bagi budget mereka.
Berdasarkan
uraian diatas, dapat kita ambil kesimpulan bahwa pelaksanaan Otonomi Daerah di
Indonesia masih belum optimal. Walaupun di daerah Wonosobo dan Gorontalo
terdapat contoh nyata keberhasilan pelaksanaan Otonomi Daerah, tetapi kedua
daerah tersebut hanya merupakan contoh keberhasilan kecil dari pelaksanaan
Otonomi Daerah di Indonesia.
Secara
keseluruhan, pelaksanaan Otonomi Daerah di tempat-tempat lain di seluruh
pelosok Indonesia masih belum dapat berjalan dengan optimal.
Belum
optimalnya pelaksanaan Otonomi Daerah antara lain disebabkan karena adanya
berbagai macam penyelewengan yang dilakukan oleh berbagai pihak yang terlibat
dalam pelaksanaan Otonomi Daerah di daera-daerah otonom.
Banyak
hal yang dapat dilakukan untuk mengoptimalkan pelaksanaan Otonomi Daerah,
tetapi hal yang paling penting yang harus dilakukan untuk meningkatkan
pelaksanaan Otonomi Daerah itu adalah dengan meningkatkan kualitas Sumber Daya
Manusia sebagai pelaksana dari Otonomi Daerah tersebut. Sumber Daya Manusia
yang berkualitas merupakan subjek dimana faktor-faktor lain yang ikut
menentukan keberhasilan dalam pelaksanaan Otonomi Daerah ini bergantung. Oleh
karena itu, sangat penting sekali untuk meningkatkan kualitas Sumber Daya
Manusia karena inilah kunci penentu dari berhasil tidaknya pelaksanaan Otonomi
Daerah di Indonesia.
2.5 Sistem Pemerintah Daerah Indonesia
A. Sistem Pemerintahan Daerah Sebelum Kemerdekaan
Pemerintah
Daerah yang relatif otonom pertama kali didirikan oleh Pemerintah Kolonial
Belanda melalui Desentralisatie Wet Tahun 1903. Undang-undang ini hanya
mencakup wilayah Jawa dan Madura saja. Sebelum Tahun 1903, seluruh wilayah
Hindia Belanda diperintah secara sentral di bawah Gubernur Jenderal sebagai
Wakil Raja Belanda di tanah jajahan. Disamping itu, terdapat juga daerah-daerah
yang disebut ‘Swapraja’ yang diperintah oleh raja-raja pribumi setempat.
Raja-raja tersebut memerintah berdasarkan kontrak politik yang ditandatangani
dengan wakil Pemerintah Belanda dan diberikan tugas untuk menjalankan beberapa
tugas atas nama pemerintah kolonial, di antara kerajaan tersebut adalah
Yogyakarta, Surakarta, Deli dan Bone.
Perbedaan
sistem pemerintahan daerah sebelum dan sesudah UU Tahun 1903 terletak pada
eksistensi Dewan Daerah. Sebelum itu,
tidak terdapat sama sekali otonomi pemerintahan daerah. Semua unit
pemerintah bersifat administratif atas dasar prinsip dekonsentrasi. Setelah UU
Tahun 1903 diterbitkan, didirikanlah Dewan Daerah pada unit-unit pemerintahan
tertentu, di mana mereka diberikan kewenangan menggali pendapatan daerah guna
membiayai pemerintahan daerah. Anggota Dewan Daerah diangkat dari tokoh
setempat, namun Gubernur, Residen, atau Bupati tetap diangkat Pemerintah Pusat.
B. Sistem Pemerintahan Daerah Paska Kemerdekaan
Sistem
pemerintahan daerah di Indonesia paska proklamasi ditandai dengan
diberlakukannya berbagai peraturan perudang-undangan tentang pemerintahan
daerah. Setiap undang-undang yang diberlakukan pada suatu kurun waktu tertentu
menandai terjadinya perubahan dalam sistem pemerintahan daerah, yang mana hal
ini sangat erat kaitannya dengan situasi politik nasional.
C. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1945
Diterbitkan
23 Nopember 1945 dan merupakan undang-undang Pemerintahan Daerah yang pertama
setelah kemerdekaan. Undang-undang tersebut didasarkan pasal 18 UUD 1945.
Sistem pemerintahan daerah berdasarkan undang-undang tersebut adalah
dibentuknya Komite Nasional Daerah pada setiap tingkatan daerah otonom
terkecuali di tingkat provinsi. Komite tersebut bertindak selaku badan
legislatif dan anggota-anggota diangkat oleh Pemerintah Pusat. Untuk menjalankan
roda pemerintahan daerah, Komite memilih lima orang dari anggotanya untuk
bertindak selaku badan eksekutif yang dipimpin Kepala Daerah. Kepala Daerah
menjalankan dua fungsi utama; Sebagai Kepala Daerah Otonom dan sebagai Wakil
Pemerintah Pusat di daerah tersebut. Sistem ini mencerminkan kehendak
Pemerintah untuk menerapkan desentralisasi dan dekonsentrasi dalam sistem
pemerintahan daerah, namun penekanannya lebih pada prinsip dekonsentrasi.
D. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1948
UU
No. 22 Tahun 1948 dikeluarkan 10 Juli 1948, dimaksudkan sebagai pengganti UU
Nomor 1 Tahun 1945 yang dianggap tidak sesuai dengan semangat kebebasan. UU 22
Tahun 1948 hanya mengatur tentang daerah otonom dan sama sekali tidak
menyinggung daerah administratif. Undang-undang tersebut hanya mengakui 3
tingkatan daerah otonom, yaitu provinsi, kabupaten atau kotamadya dan desa atau
kota kecil. Kekuasaan eksekutif dipegang oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(DPRD) dan pemerintahan sehari-hari dijalankan oleh Dewan Pemerintahan Daerah (DPD).
Kepala Daerah bertindak selaku Ketua DPD. Kepala Daerah diangkat oleh
Pemerintah dari calon-calon yang diusulkan oleh DPRD. Walau demikian, terdapat
klausul dalam Pasal 46 UU No. 22 Tahun 1948 yang memungkinkan Pemerintah untuk
mengangkat orang-orang pilihan Pemerintah Pusat, yang umumnya diambil dari
Pamong Praja untuk menjadi Kepala Daerah. Melalui klausul tersebut Pemerintah
sering menempatkan calon yang dikehendaki tanpa harus mendapatkan persetujuan
DPRD.
E.
Undang-undang Nomor 1 tahun 1957
UU
1 Tahun 1957 ditandai dengan penekanan lebih jauh lagi ke arah desentralisasi.
UU No. 1 Tahun 1957 adalah produk sistem parlementer liberal hasil Pemilihan
Umum pertama tahun 1955, di mana partai-partai politik menuntut adanya
Pemerintah Daerah yang demokratik.
F. Penetapan Presiden (Penpres) Nomor 6 Tahun 1959
Tanggal
16 Nopember 1959, sebagai tindak lanjut dari Dekrit Presiden, Pemerintah
mengeluarkan Penpres 6 tahun 1959 untuk mengatur Pemerintah Daerah agar sejalan
dengan UUD 1945. Dalam Penpres tersebut diatur bahwa Pemerintah Daerah terdiri
dari Kepala Daerah dan DPRD. Kepala daerah mengemban dua fungsi yaitu sebagai
eksekutif daerah dan wakil Pusat di daerah. Kepala Daerah juga bertindak selaku
Ketua DPRD. Sebagai eksekutif daerah, dia bertanggungjawab kepada DPRD, namun
tidak bisa dipecat oleh DPRD. Sedangkan sebagai wakil Pusat dia
bertanggungjawab kepada Pemerintah Pusat.
G. Undang-undang Nomor 18 Tahun 1965
Kebijakan
pada UU No. 18 Tahun 1965 merupakan arus balik dari kecenderungan sentralisasi
menuju desentralisasi. Hal ini nampak dari kebebasan yang diberikan kepada
Kepala daerah dan BPH untuk menjadi anggota partai politik tertentu. Dengan
demikian, kesetiaan atau loyalitas eksekutif daerah tidak lagi hanya kepada
Pemerintah Pusat. Pada masa ini terjadi tuntutan yang kuat untuk memberikan
otonomi yang seluas-luasnya kepada daerah dan tuntutan pendirian daerah otonomi
tingkat III yang berbasis pada Kecamatan. Kondisi tersebut akan memungkinkan
Parpol untuk mendapatkan dukungan politis dari grass-roots.
H. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974
Era
demokratisasi terpimpin telah berakhir dan diganti oleh era pemerintahan Orde
Baru. Dalam pengaturan pemerintahan daerah, UU 18 Tahun 1965 diganti dengan UU
No. 5 Tahun 1974. Ada tiga prinsip dasar yang dianut oleh UU No. 5 Tahun 1974, yaitu
desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Prakteknya, prinsip
dekonsentrasi lebih dominan. Struktur pemerintahan daerah terdiri dari kepala
Daerah Otonom dan sebagai Kepala Wilayah (yaitu Wakil Pemerintah di Daerah).
DPRD mempunyai kewenangan melakukan pemilihan calon Kepala Daerah, namun
keputusan akhir ada di tangan Pusat. Bangunan Pemerintah Daerah yang demikian,
kondusif untuk menciptakan landasan yang kuat untuk pembangunan ekonomi. Sistem
tersebut pada satu sisi telah menciptakan stabilitas, kondusif untuk
menjalankan program-program nasional yang dilaksanakan di daerah. Namun pada
sisi lain, kondisi telah menciptakan ketergantungan yang tinggi dalam
melaksanakan otonominya, seperti ketergantungan dalam aspek keuangan,
kewenangan, kelembagaan, personil, perwakilan termasuk pelayanan yang
dihasilkan oleh Pemerintah Daerah.
I. Undang-undang Nomor
22 Tahun 1999
UU
No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, dimaksudkan untuk mengoreksi UU
5 Tahun 1974 yang dirasa sentralistik
menjadi desentralistik dan mendekatkan pelayanan masyarakat menjadi pelayanan
local, serta meningkatkan pendidikan politik masyarakat. Prinsif otonomi
seluas-luasnya menjiwai hampir di semua pasal. Bahkan manajemen kepegawaian dan
keuangan yang di UU pendahulunya diatur dengan ketat oleh Pusat didelegasikan
secara penuh kepada Daerah. Sebagian besar istilah yang dipakai di UU ini
mengadopsi dari UU No. 5 Tahun 1974, namun istilah “subsidi”, “ganjaran” dan
“sumbangan” dihapus sama sekali, diganti dengan dana perimbangan. Menurut UU
ini, Pemerintah Daerah terdiri dari Kepala Daerah dan perangkat Daerah; DPRD
berada di luar Pemerintah Daerah berfungsi sebagai Badan legislatif Daerah yang
mengawasi jalannya pemerintahan. Otonomi daerah tetap dititik beratkan di
Kabupaten/Kota, namun Bupati/Walikota tidak lagi bertindak selaku Wakil
Pemerintah di Daerah. Fungsi ini dipegang hanya oleh Gubernur sebagai bagian
dari Integrated Prefectoral System, Secara eksplisit, UU ini juga menyebutkan
tidak ada hubungan hierarkhis antara Provinsi dan Kabupaten/Kota. Dalam
penyelenggaraannya, ternyata otonomi daerah yang diselenggarakan berdasarkan UU
No. 22 Tahun 1999 menghadapi berbagai potensi permasalahan, antara lain (1) terjadinya konflik kewenangan
seperti di Pelabuhan, Kehutanan, Investasi, Otorita Batam, dan banyak lagi
lainnya; (2) Lembaga Daerah membengkak, pengelompokan tugas tidak tepat, biaya
organisasi tinggi, biaya operasi dan infrastruktur terabaikan; (3) rekruitmen,
pembinaan dan mutasi personil tidak berdasar kompetensi dan profesionalisme,
pendekatan kedaerahan didahulukan; (4) sarana dan prasarana organisasi
terabaikan, teknologi informasi belum terpakai optimal; (5) manajemen
pembangunan dan pelayanan belum mengalami reformasi (perubahan) mendasar; (6)
dalam menggali sumber penerimaan daerah telah terjadi pula berbagai ekses
antara lain: peningkatan PAD yang menimbulkan biaya ekonomi tinggi,
ketergantungan daerah dari DAU yang mematikan kreatifitas daerah dan penerimaan
sah lainnya yang belum dioptimalkan; (7) standar pelayanan minimum yang belum
terumuskan dengan baik; dan (8) DPRD dalam system perwakilan (baru) menjadi
sangat powerfull, Kepala Daerah (eksekutif) tersandera oleh Laporan
Pertanggungjawaban.
J. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan
Daerah.
Dalam
rangka penyelenggaraan Pemerintahan Daerah sesuai amanat UUD 1945 yang telah di
amandemen, maka UU No. 22 Tahun 1999 telah diganti dengan UU No. 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah. Ini
merupakan penyempurnaan dalam rangka menyesuaikan dengan keadaan,
ketatanegaraan dan tuntutan penyelenggaraan otonomi daerah.
Secara
garis besar penyempurnaan terhadap UU No. 22 Tahun 1999 didasarkan untuk
penyesuaian ketentuan di dalam UU No. 22 Tahun 1999 dengan UUD 1945, Ketetapan
dan Keputusan MPR serta penyerasian dan penyelarasan dengan undang¬-undang
bidang politik dan undang-undang lainnya. Di samping itu juga melakukan
penyempurnaan terhadap ketentuan di dalam UU No. 22 Tahun 1999 yang menimbulkan
permasalahan, menyebabkan penafsiran ganda dan belum lengkap.
Pelaksanaan
desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia memasuki babak baru dengan
terbitnya UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang telah
diundangkan pada tanggal 15 Oktober 2004. Undang-undang tersebut secara
substansial mengubah beberapa paradigma
penyelenggaraan Pemerintahan Daerah dalam UU No. 22 Tahun 1999. Salah satunya
adalah desentralisasi dan dekonsentrasi dipandang sebagai sesuatu yang bersifat
kontinum bukan bersifat dikotomis. Secara filosofi, keberadaan Pemerintahan
Daerah disebabkan karena adanya masyarakat pada daerah otonomi. Pemerintahan
Daerah dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat, sehingga
keberadaan Pemerintahan Daerah dalam rangka pemberian pelayanan merupakan inti
dari penyelenggaraan otonomi daerah. Orientasi pemberian pelayanan kepada
masyarakat ini dapat dilihat antara lain dalam hal pembentukan daerah yang
dimaksudkan untuk meningkatkan pelayanan publik, mempercepat kesejahteraan
masyarakat, serta sebagai sarana pendidikan politik di tingkat lokal. Untuk itu
maka pembentukan daerah mempertimbangkan berbagai faktor seperti kemampuan
ekonomi, potensi daerah, luas wilayah, kependudukan dan pertimbangan dari aspek
politik, sosial budaya, pertahanan dan keamanan serta pertimbangan dan syarat
lain yang memungkinkan daerah itu menyelenggarakan dan mewujudkan tujuan
dibentuknya otonomi daerah. Dalam pembentukan daerah, UU No. 32 Tahun 2004 juga
mengatur persyaratan administrasi, teknis dan fisik kewilayahan. Hal ini dimaksudkan agar pembentukan daerah
dapat menjamin terselenggaranya pelayanan secara optimal
Akar
masalah yang muncul adalah kesalahan dalam mempersepsikan otonomi daerah.
Otonomi seringkali diukur dengan kemampuan keuangan daerah. Akibatnya konsep
“urusan” lebih dikaitkan dengan “keuangan”, yaitu hak daerah untuk menggali
sumber keuangan dan bukan untuk memberikan pelayanan. Akibatnya, terjadi perebutan urusan antar tingkatan
pemerintahan dengan justifikasinya masing-masing yang bermuara pada
terlantarnya pelayanan masyarakat.
Orientasi
pelayanan masyarakat di dalam UU No. 32 Tahun 2004, dicerminkan dalam pembagian
urusan antar tingkat pemerintahan. Pembagian urusan pemerintahan dalam konteks
desentralisasi merupakan penyerahan urusan pemerintahan dari Pemerintah kepada
daerah otonom. Urusan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah hanyalah
urusan yang menjadi kewenangan Pemerintah saja (eksekutif), tidak termasuk
urusan yang menjadi kewenangan legislatif (pembuatan UU) dan urusan yang
menjadi kewenangan yudikatif (peradilan), Pembagian urusan pemerintahan
berangkat dari adanya diktum tidak mungkin urusan diselenggarakan semuanya oleh
Pemerintah atau semuanya diserahkan kepada daerah.
Berkenaan
dengan pembagian urusan pemerintahan terdapat pembagian urusan yang spesifik.
Pertama, urusan yang sepenuhnya menjadi urusan Pemerintah Pusat, meliputi
politik luar negeri, pertahanan, keamanan, moneter dan fiskal nasional,
yustisi, dan agama. Kedua, urusan yang bersifat concurrent atau urusan yang
dapat dikelola bersama antara Pusat, provinsi, atau pun kabupaten/Kota.
Pembagian urusan ini diatur dalam pasal
11 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004, dengan menggunakan kriteria eksternalitas,
akuntabilitas, dan efisiensi dalam rangka mewujudkan proporsionalitas pembagian
urusan pemerintahan, sehingga ada kejelasan siapa melakukan apa. Dalam urusan
bersama yang menjadi kewenangan daerah terbagi dua, yakni urusan wajib dan
urusan pilihan. Urusan wajib adalah urusan pemerintahan yang berkaitan dengan
pelayanan dasar seperti pendidikan dasar, kesehatan, pemenuhan kebutuhan hidup
minimal, prasarana lingkungan dasar dan sebagainya. Sedangkan yang bersifat
pilihan adalah hal yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan
kesejahteraan.
Adanya
pengaturan yang bersifat wajib, sangat terkait dengan kebutuhan mendasar
masyarakat, sehingga menjadi kewajiban bagi Pemerintah Daerah untuk menyediakan
pelayanan yang prima. Adanya pengaturan tersebut dimaksudkan untuk
menghindarkan daerah melakukan urusan yang kurang relevan dengan kebutuhan warganya
dan tidak terperangkap untuk melakukan urusan atas pertimbangan pendapatan
semata. Selanjutnya agar penyediaan pelayanan kepada masyarakat mampu memenuhi
ukuran kelayakan minimal, pelaksanaan pelayanan kepada masyarakat oleh
Pemerintah Daerah harus berpedoman kepada Standar Pelayanan Minimal (SPM) yang
ditetapkan oleh Pemerintah. Selain melaksanakan urusan yang bersifat wajib,
dalam menyelenggarakan otonomi, daerah juga mempunyai kewajiban sebagaimana
diatur dalam Pasal 22 UU No. 32 Tahun 2004, sebagai penegasan bahwa
Pemerintahan Daerah merupakan sub-sistem dari sistem pemerintahan Nasional
dalam perspektif pemberian pelayanan umum. Sebagai implikasi dari penataan
urusan perlu dilakukan penataan kelembagaan yang pada prinsipnya merupakan
pewadahan dari urusan yang diserahkan kepada daerah yaitu lembaga Pemerintahan
Daerah (Pemerintah Daerah dan DPRD), serta ditetapkan organisasi dan tata kerja
Perangkat Daerah melalui Peraturan Daerah.
Aspek
penting lainnya adalah aspek demokratisasi yang diukur dari unsur keterlibatan
masyarakat dalam menentukan pejabat publik di daerah. Berdasarkan konsep ini,
pemerintahan dapat dikatakan demokratis apabila para pejabat yang memimpin
Pemerintahan Daerah itu dipilih secara langsung dan bebas oleh masyarakat
dengan cara yang terbuka dan jujur. Oleh sebab itu, maka berdasarkan UU No. 32
Tahun 2004 ditegaskan bahwa Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah akan dipilih
secara langsung oleh rakyat yang selambat-lambatnya akan dilaksanakan pada
bulan Juni Tahun 2005. Melalui Pemilihan yang demokratis ini diharapkan akan
memperkuat posisi Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang dipilih secara
langsung oleh rakyat dalam mewujudkan Hubungan Kemitraan antara Pemerintah
Daerah dan DPRD. Hubungan antara Pemerintah Daerah dan DPRD merupakan hubungan
kerja yang kedudukannya setara dan bersifat kemitraan. Kedudukan yang setara
bermakna bahwa di antara lembaga pemerintahan daerah itu memiliki kedudukan
yang sama dan sejajar, artinya tidak saling membawahi. Hal ini tercermin dalam
membuat kebijakan daerah berupa Peraturan Daerah. Hubungan kemitraan bermakna
bahwa antara Pemerintah Daerah dan DPRD adalah sama-sama mitra sekerja dalam
membuat kebijakan daerah untuk melaksanakan Otonomi Daerah sesuai fungsi
masing-masing, sehingga antar kedua lembaga itu membangun suatu hubungan kerja
yang sifatnya saling mendukung, bukan merupakan lawan ataupun pesaing dalam
melaksanakan fungsi masing-masing. Keberadaan DPRD yang merupakan lembaga
perwakilan rakyat daerah haruslah mampu menciptakan check and balances
disamping melalui fungsi anggaran yaitu dalam menyusun APBD juga melalui fungsi
legislasi dan pengawasan terhadap Pemerintah Daerah, untuk menciptakan
penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dari praktek KKN.
K. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan
Daerah.
UU
No. 23 tahun 2014 merupakan makanan pokok bagi praja Institut Pemerintahan
Dalam Negeri yang nantinya akan dijadikan acuan dalam bertugas di pemerintah
daerah. Secara keseluruhan undang-undang tersebut memiliki kesamaan dengan UU
No. 32 tahun 2004 namun ada beberapa pasal yang mengalami perubahan.
Kemudian
ditambahkan, prinsip secara umum atau garis besar UU Nomor 23 tahun 2014 ini
merupakan kombinasi UU Nomor 5 tahun 1974 dan UU Nomor 32 tahun 2004. Sehingga
fungsi Gubernur bukan hanya sebagai kepala daerah melainkan juga sebagai kepala
wilayah .
Di
sisi lain, pada pasal 2 dinyatakan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia (
NKRI ) dibagi atas daerah provinsi, provinsi dibagi atas daerah kabupaten dan
kota, kabupaten/kota dibagi atas kecamatan dan kecamatan dibagi atas kelurahan
dan/atau desa. Jadi, pasal ini menegaskan bahwa atasan kepala desa/lurah adalah
camat, atasan camat adalah bupati/walikota, dan seterusnya.
karna
melaksanakan urusan pemerintahan umum. Bupati dan walikota melibatkan urusan
pemerintahan umum kepada camat, otomatis camat merupakan kepala wilayah.
2.6 Perbandingan
Undang-Undang
A. UU No. 5 Tahun 1974
Dalam
kerangka struktur sentralisasi kekuasaan politik dan otoritas administrasi, UU
No.5 tahun 1974 yang mengatur tentang pokok-pokok Pemerintahan Daerah dibentuk.
UU ini telah meletakkan dasar-dasar sistem hubungan pusat-daerah yang dirangkum
dalam tiga prinsip, yaitu:
a. Desentralisasi, yaitu penyerahan urusan
pemerintahan dari pemerintah atau daerah tingkat atasnya kepada daerah
b. Dekonsentrasi, yaitu, pelimpahan wewenang
dari pemerintah atau kepala wilayah atau kepala instansi vertikal tingkat
atasnya kepada pejabat-pejabat di daerah
c. Tugas perbantuan (medebewind), yaitu pengkoordinasian
prinsip desentralisasi dan dekonsentrasi
oleh kepala daerah, yang memiliki fungsi ganda sebagai penguasa tunggal di
daerah dan wakil pemerintah pusat di daerah.
Akibat
dari prinsip-prinsip tersebut, maka dikenal dengan adanya daerah otonom dan
wilayah administratif.
Meskipun
harus diakui bahwa UU No.5/1974 adalah suatu komitmen politik, namun dalam
praktek yang terjadi adalah sentralisasi yang dominan dalam perencanaan maupun
implementasi pembangunan Indonesia. Salah satu fenomena yang paling menonjol
dari hubungan antara sistem Pemda dengan pembangunan adalah ketergantungan
Pemda yang tinggi terhadap pemerintah pusat.
Ada
beberapa karakteristik yang sangat menonjol dari prinsip penyelenggaraan Pemda
menurut UU ini:
1.
Wilayah negara dibagi ke dalam Daerah besar dan kecil yang bersifat otonom atau
administratif saja. Sekalipun tidak ada perbedaan yang tegas di antara
keduanya, tetapi kenyataannya sebuah wilayah pemerintahan mempunyai dua
kedudukan sekaligus, yaitu sebagai Daerah Otonom yang berpemerintahan sendiri
dan sebagai Wilayah Administratif yang merupakan representasi dari kepentingan
Pemerintah Pusat yang ada di Daerah.
2.
Pemda diselenggarakan secara bertingkat, yaitu Dati I, Dati II sebagai Daerah
Otonom, dan kenudian Wilayah Administatif berupa Propinsi, Kabupaten/Kotamadya,
dan Kecamatan.
3.
DPRD baik Tingkat I maupun II dan Kotamadya merupakan bagian dari Pemda. Prisip
ini baru pertama kali dalam sejarah perjalanan Pemda di Indonesia karena pada
umumnya DPRD terpisah dari Pemda.
4.
Peranan Mendagri dalam penyelenggaraan Pemda dapat dikatakan bersifat sangat
eksesif atau berlebihan yang diwujudkan dengan melakukan pembinaan langsung
terhadap Daerah.
5.
UU ini memberikan tempat yang sangat terhormat dan sangat kuat kepada Kepala
Wilayah ketimbang kepada Kepala Daerah.
6.Keuangan
Daerah, sebagaimana umumnya dengan UU terdahulu, diatur secara umum saja. `UU
No.5/1974 meninggalkan prinsip “otonomi yang riil dan seluas-luasnya” dan
diganti dengan prinsip ”otonomi yang nyata dan bertanggung jawab ”
B. UU No. 22 Tahun 1999
UU
No.22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah ditetapkan pada 7 Mei 1999 dan
berlaku efektif sejak tahun 2000. Undang-undang ini dibuat untuk memenuhi
tuntutan reformasi, yaitu mewujudkan suatu Indonesia baru, Indonesia yang lebih
demokratis, lebih adil, dan lebih sejahtera.
UU
No.22 tahun 1999 membawa perubahan yang sangat fundamental mengenai mekanisme
hubungan antara Pemerintah Daerah dengan Pemerintah Pusat. Perubahan yang jelas
adalah mengenai pengawasan terhadap Daerah. Pada masa lampau , semua Perda dan
keputusan kepala daerah harus disahkan oleh pemerintah yang lebih tingkatannya,
seperti Mendagri untuk pembuatan Perda Provinsi/ Daerah Tingkat I, Gubernur
Kepala Daerah mengesahkan Perda Kabupaten/ Daerah Tingkat II.
Dengan
berlakunya UU No.22 tahun 1999, Daerah hanya diwajibkan melaporkan saja kepada
pemerintah di Jakarta. Namun, pemerintah dapat membatalkan semua Perda yang
bertentangan dengan kepentingan umum atau dengna peraturan puerundangan yang
lebih tinggi tingkatannya atau peraturan perundangan yang lain. (Pasal 114 ayat
1).
Ada
beberapa ciri khas yang menonjol dari UU ini:
1.
Demokrasi dan Demikratisasi, diperlihatkan dalam dua hal, yaitu mengenai
rekrutmen pejabat Pemda dan yang menyangkut proses legislasi di daerah.
2.
Mendekatkan pemerintah dengan rakyat, titik berat otonomi daerah diletakkan
kepada Daerah Kabupaten dan Kota, bukan kepada Daerah Propinsi.
3.
Sistem otonomi luas dan nyata, Pemda berwenang melakukan apa saja yang
menyangkut penyelenggaraan pemerintah, kecuali 5 hal yaitu yang berhubungan
dengan kebijaksanaan-kebijaksanaan politik luar negeri, pertahanan dan keamanan
negara, moneter, sistem peradilan, dan agama.
4.
Tidak menggunakan sistem otonomi bertingkat, Daerah-daerah pada tingkat yang
lebih rendah menyelenggarakan urusan yang bersifat residual, yaitu yang tidak
diselenggarakan oleh Pemda yang lebih tinggi tingkatannya.
5.
No mandate without founding, penyelenggaraan tugas pemerintah di Daerh harus
dibiayai dari dana Anggaran Belanja dan Pendapatan Negara.
6.
Penguatan rakyat melalui DPRD, penguatan tersebut baik dalam proses rekrutmen
politik lokal, ataupun dalam pembuatan kebijakan publik di Daerah.
C. UU No. 32 Tahun 2004
Dengan
diundangkannya UU No.32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, pada tanggal 15
Oktober 2004, UU No.22 tahun 1999 dinyatakan tidak berlaku lagi. Sebenarnya
antara kedua undang-undang tersebut tidak ada perbedaan prinsipal karena
keduanya sama-sama menganut asas desentralisasi. Pemerintah Daerah berhak
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonnomi dan
tugas pembantuan. Otonomi yang luas, nyata, dan bertanggung jawab.
UU
No.32 tahun 2004 mengatur hal-hal tentang; pembentukan daerah dan kawasan
khusus, pembagian urusan pemerintahan, penyelenggaraan pemerintahan,
kepegawaian daerah, perda dan peraturan kepala daerah, perencanaan pembangunan
daerah, keuangan daerah, kerja sama dan penyelesaian perselisihan, kawasan
perkotaan, desa, pembinaan dan pengawasan, pertimbangan dalamkebijakan otonomi
daerah.
Menurut
UU No.32 tahun 2004 ini, negara mengakui dan menghormati satuan-satuan
pemerintah daerah yang bersifat khusus dan istimewa. Sehubungan dengan daerah
yang bersifat khusus dan istimewa ini, kita mengenal adanya beberapa bentuk
pemerintahan yang lain, seperti DKI Jakarta, DI Aceh, DI Yogyakarta, dan
provinsi-provinsi di Papua.
Bagi
daerah-daerah ini secara prinsip tetap diberlakukan sama dengan daerah-daerah
lain. Hanya saja dengan pertimbangan tertentu, kepada daerah-daerah tersebut,
dapat diberikan wewenang khusus yang diatur dengan undang-undang. Jadi, bagi
daerah yang bersifat khusus dan
istimewa, secara umum berlaku UU No.32 tahun 2004 dan dapat juga diatur dengan
UU tersendiri.
Ada
perubahan yang cukup signifikan untuk mewujudkan kedudukan sebagai mitra
sejajar antara kepala derah dan DPRD yaitu
kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat dan
DPRD hanya berwenang meminta laporan keterangan pertanggung jawaban dari kepala
daerah.
Di
daerah perkotaan, bentuk pemerintahan terendah disebut “kelurahan”. Desa yang
ada di Kabupaten/Kota secara bertahap dapat diubah atau disesuaikan statusnya
menjadi kelurahan sesuai usul dan prakarsa pemerintah desa, bersama Badan
Permusyawaratan Desa yang ditetapkan dengan perda. Desa menjadi kelurahan tidak
seketika berubah dengan adanya pembentukan kota, begitu pula desa yang berada
di perkotaan dalam pemerintahan kabupaten.
UU
No.32/2004 mengakui otonomi yang dimiliki desa ataupun dengan sebutan lain.
Otonomi desa dijalankan bersama-sama oleh pemerintah desa dan badan
pernusyawaratan desa sebagai perwujudan demokrasi.
D.
UU No. 23 tahun 2014
UU
No. 23 tahun 2014 merupakan makanan pokok bagi praja Institut Pemerintahan
Dalam Negeri yang nantinya akan dijadikan acuan dalam bertugas di pemerintah
daerah. Secara keseluruhan undang-undang tersebut memiliki kesamaan dengan UU
No. 32 tahun 2004 namun ada beberapa pasal yang mengalami perubahan.
Kemudian
ditambahkan, prinsip secara umum atau garis besar UU Nomor 23 tahun 2014 ini
merupakan kombinasi UU Nomor 5 tahun 1974 dan UU Nomor 32 tahun 2004. Sehingga
fungsi Gubernur bukan hanya sebagai kepala daerah melainkan juga sebagai kepala
wilayah .
Di
sisi lain, pada pasal 2 dinyatakan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia (
NKRI ) dibagi atas daerah provinsi, provinsi dibagi atas daerah kabupaten dan kota,
kabupaten/kota dibagi atas kecamatan dan kecamatan dibagi atas kelurahan
dan/atau desa. Jadi, pasal ini menegaskan bahwa atasan kepala desa/lurah adalah
camat, atasan camat adalah bupati/walikota, dan seterusnya.
karna
melaksanakan urusan pemerintahan umum. Bupati dan walikota melibatkan urusan
pemerintahan umum kepada camat, otomatis camat merupakan kepala wilayah.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1.
Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh
pemerintahan daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan
prinsip otonomi yang seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
2. Berbagai argument dan penjelasan mengenai
fungsi Pemerintah Daerah
yaitu
:
• Untuk terciptanya efisiensi-efektivas
penyelenggaraan pemerintahan.
• Sebagai sarana pendidikan politik.
• Pemerintahan daerah sebagai persiapan untuk
karir politik lanjutan.
• Stabilitas politik, Sharpe berargumentasi
bahwa stabilitas politik nasional mestinya berawal dari stabilitas politik pada
tingkat lokal
• Kesetaraan politik (political equality).
• Akuntabilitas publik.
3.
Tujuan dari Pemerintah Daerah adalah:
• mencegah pemusatan keuangan
• sebagai usaha pendemokrasian Pemerintah
Daerah untuk mengikutsertakan rakyat bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan
pemerintahan.
• Penyusunan program-program untuk perbaikan
sosial ekonomi pada tingkat local sehingga dapat lebih realistis.
4. Alasan pentinya di bentuk Pemerintah Daerah
Ialah:
• Kehidupan berbangsa dan bernegara selama
ini sangat terpusat di Jakarta. Sementara itu pembangunan di beberapa wilayah
lain di lalaikan
• Pembagian kekayaan secara tidak adil dan
merata
• Kesenjangan sosial (dalam makna
seluas-luasnya) antara satu daerah dengan daerah lain sangat terasa.
5. Sejak diberlakukannya UU No. 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah, banyak aspek positif yang diharapkan dalam
pemberlakuan Undang-Undang tersebut. Otonomi Daerah dapat membawa perubahan
positif di daerah dalam hal kewenangan daerah untuk mengatur diri sendiri.
Istilah
|
UU No.5/1974
|
UU No.22/1999
|
UU No.32/2004
|
Pemerintah
Pusat
|
Perangkat
NKRI yang terdiri dari presiden beserta pembantu-pembantunya
|
Perangkat
NKRI yang terdiri dari presiden beserta para menteri menurut asas
desentralisasi
|
Presiden
Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945
|
Desentralisasi
|
Penyerahan
urusan pemerintahan dari pemerintah atau daerah tingkat atasnya kepada daerah
menjadi urusan rumah tangganya
|
Penyerahan
wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom dalam kerangka
NKRI
|
Penyerahan
wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan
mengurus urusan pemerintahan dalam sistem NKRI
|
Dekonsentrasi
|
Pelimpahan
wewenang dari pemerintah atau kepala wilayah atau kepala instansi vertikal
tingkat atasnya kepada pejabat-pejabat daerah
|
Pelimpahan
wewenang dari pemerintah pusat kepada gubernur sebagai wakil pemerintah
dan/atau perangkat pusat di daerah
|
Pelimpahan
wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil
pemerintah dan/atau kepada instansi vertikal wilayah tertentu
|
Tugas
pembantuan
|
Tugas
untuk turut serta dalam melakukan urusan pemerintahan yang ditugaskan kepada
pemerintah daerah oleh pemerintah atau Pemda tingkat atasnya dengan kewajiban
mempertanggungjawabkan kepda yang menugaskan
|
Penugasan
dari pemerintah kepada daerah dan desa, dari daerah ke desa untuk
melaksanakan tugas tertentu yang disertai pembiayaan, sarana, dan prasarana
serta SDM dengan kewajiban melaporkan pelaksanaannya dan
mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskan
|
Penugasan
dari pemerintah kepada daerah dan/atau desa dari pemerintah provinsi kepada
kabupatean/kota dan/atau desa serta dari pemerintah kabupatean/kota kepada
desa untuk melaksanakan tugas tertentu
|
Otonomi
daerah
|
Hak,
wewenag, dan kewajiban untuk mengatur dan mengururs rumah tangganya sendiri
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku
|
Kewenangan
daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat
menurut prakarsa sendiri berdasar aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan
perundang-undangan
|
Hak,
wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri
urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan
peraturan perundang-undangan
|
Daerah
otonom
|
Keaatuan
masyarakat hukum yang mempunyai batas wilayah tertentu yang berhak, berwenang, dan berkewajiban
mengatur serta mengurus rumah tangganya sendiri dalam ikatan NKRI, sesuai
dengan perundang-undangan yang berlaku
|
Keaatuan
masyarakat hukum yang mempunyai batas wilayah tertentu, berwenang mengatur
dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri
berdasarkan aspirasi masyarakat dalam NKRI
|
Keaatuan
masyarakat hukum yang mempunyai batas wilayah yang berwenang mengatur dan
mengurus urusan pemerintaha dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan
aspirasi masyarakat dalam NKRI
|
Wilayah
admininstrasi
|
Lingkungan
kerja perangkat pemerintah yang menyelenggarakan pelaksanaan tugas
pemerintahan umum di daerah. Wilayah kerja Gubernur selaku wakil pemerintah
|
Wilayah
kerja Gubernur selaku wakil pemerintah
|
|
Kelurahan
|
Suatu
wilayah yang ditempati oleh sejmlah penduduk yang mempunyai organisasi
pemerintahan terendah langsung dibawah camat, yang tidak berhak
menyelenggarakan rumah tangga sendiri.
|
Wilayah
kerja lurah sebagai perangkat daerah kabupaten dan/atau daerah kota di bawah
kecamatan
|
|
Pemerintah
daerah
|
Kepala
daerah dan dewan perwakilan rakyat daerah
|
Kepala
daerah beserta perangkat daerah otonom yang lain sebagai badan eksekutif
daerah
|
Gubernur,
Bupati, atau Walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara Pemda
|
Pemerintahan
daerah
|
Penyelenggaraan
Pemda otonom oleh Pemda dan DPRD dan/ atau daerah kota di bawah kecamatan
|
Penyelenggaraan
urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan
tugas pembantuan dengan prinsip otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip
otonomi seluas-luasnya dalam sistem prinsip NKRI
|
|
Desa
|
Suatu
wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat
|
Kesatuan
wilayah masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur menurut asas
desentralisasi
|
Kesatuan
masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk
mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul
dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem
Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
|
3.2 Saran
Penulis
menyadari bahwa materi yang penulis jelaskan masih terdapat banyak kekurangan.
Sehingga untuk mengetahui lebih luas tentang Pemerintah Daerah, pembaca dapat
memperoleh dari berbagai sumber lainnya, seperti buku, referensi, ataupun
internet.
DAFTAR PUSTAKA
http://hitamandbiru.blogspot.com/2012/08/perbandingan-undang-undang-nomor-5.html#ixzz3Vk1gSlwU
http://brainly.co.id/tugas/1723432
Google:http//www.otonomidaerah.com.
“latar belakang munculnya otonomi daerah.”
Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah
Widarta.2001.
Cara Mudah Memahami Otonomi Daerah. Jakarta : Larela Pustaka Utama
1 komentar:
izin mempelajari pak dan mengcopy juga kutip
Posting Komentar