BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
LATAR
BELAKANG
Papua adalah sebuah
provinsi terluas Indonesia yang terletak di bagian tengah Pulau Papua atau
bagian paling timur West New Guinea (Irian Jaya). Belahan timurnya merupakan
negara Papua Nugini atau East New Guinea.
Provinsi Papua dulu
mencakup seluruh wilayah Papua bagian barat, sehingga sering disebut sebagai
Papua Barat terutama oleh Organisasi Papua Merdeka (OPM), para nasionalis yang
ingin memisahkan diri dari Indonesia dan membentuk negara sendiri. Pada masa pemerintahan
kolonial Hindia-Belanda, wilayah ini dikenal sebagai Nugini Belanda (Nederlands
Nieuw-Guinea atau Dutch New Guinea). Setelah berada di bawah penguasaan
Indonesia, wilayah ini dikenal sebagai Provinsi Irian Barat sejak tahun 1969
hingga 1973. Namanya kemudian diganti menjadi Irian Jaya oleh Soeharto pada
saat meresmikan tambang tembaga dan emas Freeport, nama yang tetap digunakan
secara resmi hingga tahun 2002.
Nama provinsi ini
diganti menjadi Papua sesuai UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua.
Pada 2003, disertai oleh berbagai protes (penggabungan Papua Tengah dan Papua
Timur), Papua dibagi menjadi dua provinsi oleh pemerintah Indonesia; bagian
timur tetap memakai nama Papua sedangkan bagian baratnya menjadi Provinsi Irian
Jaya Barat (setahun kemudian menjadi Papua Barat). Bagian timur inilah yang
menjadi wilayah Provinsi Papua pada saat ini.
Kata Papua sendiri
berasal dari bahasa melayu yang berarti rambut keriting, sebuah gambaran yang
mengacu pada penampilan fisik suku-suku asli di Papua.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
TRADISI
PAPUA
A.
Tradisi
Sagu di Papua
Masyarakat Papua tidak
lepas dari sagu. Sebab, bahan makanan yang berasal dari tanaman keras ini
memunyai peran sosial dan ekonomi. Budaya sagu Papua juga tidak lepas dari
budaya leluhurnya. Bahkan dulu, untuk menokok sagu diawali dengan upacara
penghormatan kepada nenek moyang. Hal ini agar hasil yang didapat merupakan
sari sagu yang bagus dan memberi kesehatan warga.
Diperkirakan,
sedikitnya terdapat ratusan ribu hektare lahan sagu tersebar mulai dari
Bintuni, Mimika, Merauke, Waropen, Membramo, hingga Sentani. Tidak pelak, bila
Papua merupakan provinsi penghasil sagu terbesar di Indonesia, bahkan terluas
di dunia. Luas lahan sagu menghampar seluas 771.716 hektare atau sekitar 85
persen dari luas hutan sagu nasional.
Masyarakat Papua
mengenal budidaya sagu secara turun-temurun. Hal tersebut meliputi pemilihan
bibit, teknik penanaman, dan pengolahan hasil. Meski budidaya sagu masih
bersifat konvensional yang mengandalkan kondisi alam, termasuk pada pengolahan
hasil yang masih mengutamakan tenaga manusia.
Usia panen sagu
terbilang pendek. Pada usia tanam dua hingga tiga tahun, sari patinya sudah
dapat diambil. Sari pati tersebut berupa tepung berwarna putih. Lalu, biasanya,
masyarakat Papua memadatkannya dan disimpan di dalam keranjang agar tahan lama.
Setiap keranjang mampu menyimpan hingga 30 kilogram sagu. Proses menebang
sampai mendapatkan pati sagu memerlukan waktu maksimal sepekan. Tergantung
keterampilan masing-masing orang Papua.
Biasanya yang mencari
sagu dan memasaknya adalah tugas kaum perempuan. Sebab dipandang tidak
membutuhkan tenaga dan fisik ekstra. Apalagi mencari sagu di Papua tidaklah
sulit. Sedangkan kaum pria bertugas mencari lauk sagu dengan menangkap hewan
atau menombak dan menjaring ikan di hutan mangrove.
Setelah ditemukan,
pohon sagu pun ditebang. Proses tersebut biasanya menghabiskan waktu sekitar
satu jam. Kemudian menguliti batangnya sehingga mendapatkan sagu yang berada di
dalam pohon. Bagian ini lalu diambil dan ditumbuk.
Cara menumbuknya
menggunakan pangkur. Bentuknya mirip cangkul. Hanya saja, pada bagian ujungnya
seperti tombak, melancip, dan lebih kecil. Proses menumbuk sagu ini sesuai nama
alat yang dipergunakan, yakni memangkur. Hasilnya, sagu tersebut mirip ampas
kelapa. Lalu sagu dikumpulkan ke dalam sebuah wadah bambu yang sudah dibelah.
Sagu selanjutnya dicampur air, lalu diperas. Air perasan inilah yang mengandung
inti sagu. Selanjutnya, air perasan dibiarkan beberapa saat supaya inti sagu
mengendap di dasar wadah. Perubahan warna air perasan dari putih menjadi
jernih, pertanda inti sagu telah mengendap dan terpisah dari air.
Air kemudian pun
dibuang. Sedangkan inti sagu dibentuk seperti bola tenis. Ada juga yang
dibentuk memanjang mirip lontong. Sagu-sagu itu lalu mereka letakan dan bawa
dengan tumang, keranjang yang terbuat dari rotan. Sagu pun siap dimasak dengan
cara dibakar. Sagu akan terasa lebih nikmat jika dimakan bersama sayuran jamur
yang berasal dari ampas remasan sagu yang sudah busuk. Dari satu pohon sagu
dapat dikonsumsi oleh 10 orang selama dua hingga tiga pekan. Bahkan, ada yang
sampai satu bulan.
B.
Tradisi
Potong Jari di Papua
Kesedihan saat telah
ditinggal pergi oleh orang yang cintai dan kehilangan salah satu anggota
keluarga sangat perih. Berlinangan air mata dan perasaan kehilangan begitu
mendalam. Terkadang butuh waktu yang begitu lama untuk mengembalikan kembali
perasaan sakit kehilangan dan tak jarang masih membekas dihati.
Lain halnya dengan
masyarakat pegunungan tengah Papua yang melambangkan kesedihan lantaran
kehilangan salah satu anggota keluarganya yang meninggal tidak hanya dengan
menangis saja. Melainkan ada tradisi yang diwajibkan saat ada anggota keluarga
atau kerabat dekat seperti; suami,istri, ayah, ibu, anak dan adik yang meninggal
dunia. Tradisi yang diwajibkan adalah tradisi potong jari. Jika kita melihat
tradisi potong jari dalam kekinian pastilah tradisi ini tidak seharusnya
dilakukan atau mungkin tradisi ini tergolong tradisi ekstrim. Akan tetapi bagi
masyarakat pegunungan tengah Papua, tradisi ini adalah sebuah kewajiban yang
harus dilakukan. Mereka beranggapan bahwa memotong jari adalah symbol dari
sakit dan pedihnya seseorang yang kehilangan sebagian anggota keluarganya.
Bisa diartikan jari
adalah symbol kerukunan, kebersatuan dan kekuatan dalam diri manusia maupun
sebuah keluarga. Walaupun dalam penamaan jari yang ada ditangan manusia hanya
menyebutkan satu perwakilan keluarga yaitu Ibu jari. Akan tetapi jika dicermati
perbadaan setiap bentuk dan panjang memiliki sebuah kesatuan dan kekuatan
kebersamaan untuk meringankan semua beban pekerjaan manusia. Satu sama lain
saling melengkapi sebagai suatu harmonisasi hidup dan kehidupan. Jika salah
satu hilang, maka hilanglah komponen kebersamaan dan berkuranglah kekuatan.
Alasan lainya adalah
"Wene opakima dapulik welaikarek mekehasik" atau pedoman dasar hidup
bersama dalam satu keluarga, satu fam/marga, satu honai (rumah), satu suku,
satu leluhur, satu bahasa, satu sejarah/asal-muasal, dan sebagainya (Hisage,
Yulianus Joli, 07:2005). Kebersamaan sangatlah penting bagi masyarakat
pegunungan tengah Papua. Hanya luka dan darah yang tersisa. Pedih-perih yang
meliput suasana. Luka hati orang yang ditinggal mati anggota keluarga baru
sembuh jika luka di jari sudah sembuh dan tidak terasa sakit lagi. Mungkin
karena itulah masyarakat pegunungan papua memotong jari saat ada keluarga yang
meninggal dunia.
Salah seorang Ibu di
Papua yang pernah melakukan tradisi potong jari
Menurut informasi yang
telah berkembang, bahwa pemotongan jari umumnya dilakukan oleh kaum ibu. Akan
tetapi tidak menutup kemungkinan pemotongan dilakukan oleh anggota orang tua
keluarga laki-laki atau perempuan. Jika tersebut kasus yang meninggal adalah
istri yang tak memiliki orang tua, maka sang suami yang menanggungnya. Seperti
yang telah tercontoh dalam Film karya anak bangsa berjudul “Denias, Senandung
di atas Awan”. Pemotongan jari juga diartikan sebagai upaya pencegahan kembali
atau penolakan musibah yang telah merenggut nyawa salah satu anggota keluarga.
Terkisah tentang
kepercayaan pemotongan jari penolakan musibah agar tak terulang perenggutan
nyawa telah terbukti melalui sumber yang menyebutkan bahwasanya bertemu dengan
seorang ibu dari suku moni daerah Paniai pegunungan tengah Papua menceritakan
tentang kelingkingnya yang terpotong bukan karena kematian keluarga melainkan
digigit ibu kandungnya saat baru lahir. Peristiwa pemotongan kelingking
terpaksa dilakukan karena sebelumnya banyak anak kecil yang baru lahir
meninggal dunia. Dengan segala harapan agar peristiwa yang dialami anak-anak
lain tidak terjadi pada anaknya maka ibu kandungnya memotong jari kelingkingnya
dengan menggigit hingga terputus jari kelingkingnya. Sumber menyebutkan bahwa
memang terbukti ibu dari suku moni yang di temui telah memberikan banyak cucu
dan cicit kepada sang ibu kandungnya yang menggigit jari kelingkingnya hingga
putus.
Tradisi potong jari
juga dilakukan oleh para Yakuza di Jepang. Tradisi ini muncul dari kaum Bakuto
yang berartikan kaum penjudi. Tradisi potong jari disebut dengan yubitsume.
Berbeda dengan yang ada di Papua pemotongan jari sebagai penolakan musibah yang
merenggut nyawa atau bentuk berkabung karena anggota keluarga meninggal dunia.
Akan tetapi yubitsume (potong jari) dilakukan sebagai penyesalan atapun sebagai
bentuk hukuman. Awalnya hukuman yubitsume bersifat simbolik, karena ruas atas
jari kelingking yang dipotong membuat si empunya tangan menjadi lebih sulit
memegang pedang dengan kuat. Hal ini menjadi simbol kesungguhan dan ketaatan
terhadap pemimpin.
Tradisi potong jari di
Papua dilakukan dengan berbagai cara ada yang menggunakan benda tajam seperti
pisau, kapak atau parang. Cara lainya yaitu mengikat jari dengan seutas tali
sampai beberapa lama waktunya sehingga menyebabkan aliran darah terhenti dan
pada saat aliran darah berhenti baru dilakukan pemotongan jari.
Selain tradisi
pemotongan jari, ada juga tradisi yang dilakukan dalam upacara berkabung.
Tradisi tersebut adalah tradisi mandi lumpur. Mandi lumpur dilakukan oleh
kelompok atau anggota dalam jangka waktu tertentu. Mandi lumpur mempunyai
konotasi berarti setiap orang yang telah meninggal dunia telah kembali kea lam.
Manusia berawal dari tanah dan kembali ke tanah.
Tradisi potong jari
pada saat ini belom ada sumber yang mengatakan bahwa masih berlangsung tradisi
potong jari, namun belum ada sumber juga yang menyebutkan tradisi ini telah
punah dan tidak dilaksanakan lagi. Bisa dikatakan ada namun jarang ditemui atau
dilakukan dikarenakan mungkin karena pengaruh agama yang mulai berkembang di
sekitar daerah pegunungan tengah Papua.
C.
Tradisi
tari-tarian
Masyarakat pantai
memilki berbagai macam tradisi tari-tarian yang biasa mereka sebut dengan
istilah Yosim Pancar (YOSPAN), yang di dalamnya terdapat berbagai macam bentuk
gerak seperti ; (tari gale-gale, tari balada cendrawasih, tari pacul tiga, tari
seka) dan tarian sajojo dan masih banyak lagi. Lain halnya dengan tarian yang
biasa dibawakan oleh masyarakat pegunungan yaitu tarian panah dan tarian
perang.
Tarian yang dibawakan
oleh masyarakat pantai maupun masyarakat pegunungan pada intinya dimainkan atau
diperankan dalam berbagai kesempatan yang sama seperti; dalam penyambutan tamu
terhormat, dalam penyambutan para turis asing dan yang paling sering dimainkan
adalah dalam upacara adat. Khususnya tarian panah biasanya dimainkan atau
dibawakan oleh masyarakat pegunungan dalam acara pesta bakar batu atau yang
biasa disebut dengan barapen oleh masyarakat pantai. Tarian ini dibawakan oleh
para pemuda yang gagah perkasa dan berani.
Dengan tarian Yospan
maupun tarian panah yang unik, kaya dan indah tersebut para orang tua sejak
dahulu berharap budaya yang telah mereka wariskan kepada generasi berikut tidak
luntur, tidak tenggelam dan tidak terkubur oleh berbagai perkembangan zaman
yang kian hari kian bertambah maju. Para pendahulu yaitu para orang tua
berharap juga budaya tari-tarian yang telah mereka ciptakan dengan berbagai
gelombang kesulitan, kesusahan dan keresahan tidak secepat dilupakan oleh
generasi berikutnya. Mereka juga berharap dengan tidak adanya mereka tradisi
Papua yang kaya tersebut semakin maju, semakin dikenal baik oleh orang di
kalangan dalam negeri sendiri maupun dikenal di kalangan luar negeri dan juga
semakin berkembang kearah yang lebih baik yang intinya dapat tetap mengakat
derajat, martabat dan harkat orang Papua.
Namun semua harapan
tinggallah harapan karena sebagaimana tradisi tarian yang dulunya para orang
tua agungkan, sanjung dan hormati telah dilupakan secepatnya oleh para generasi
berikutnya. Masuknya berbagai tradisi tarian baru dari dunia Barat membuat para
putra-putri Papua lupa dengan budaya tari-tarian sesungguhnya yang telah cukup
lama mendarah daging dalam kehidupan mereka. Berbagai tarian yang masuk dan
berkembang dari dunia Barat di antaranya adalah tarian dancer, tarian too phat,
tarian pantomin, tarian paranawe dan tarian lainnya yang intinya tarian ini
mengarah kepada perkembangan dunia. Dengan memerankan tarian dari dunia Barat
membuat para pemuda-pemudi Papua yang dulunya mengagungkan dan memuja tarian
daerah mereka lupa diri dan besar kepala. Dengan kesombongan mereka membuat
nama mereka termasyur dan terkenal padahal dibalik semua ketenaran mereka
dengan nyata-nyata telah melanggar berbagai norma adat yang telah cukup lama
diatur dan ditetapkan.
D.
Tradisi
Perkawinan
Perkawinan merupakan
kebutuhan yang paling mendesak bagi semua orang. Dengan demikian masyarakat
Papua baik yang di daerah pantai maupun di daerah pegunggungan menetapkan
peraturan itu dalam peraturan adat yang intinya agar masyarakat tidak melanggar
dan tidak terjadi berbagai keributan yang tidak diinginkan. Dalam pertukaran
perkawinan yang ditetapkan orang tua dari pihak laki-laki berhak membayar mas
kawin sebagai tanda pembelian terhadap perempuan atau wanita terebut.
Adapun untuk masyarakat
pantai berbagai macam mas kawin yang harus dibayar seperti; membayar piring
gantung atau piring belah, gelang, kain timur (khusus untuk orang di daerah
selatan Papua) dan masih banyak lagi. Berbeda dengan permintaan yang diminta
oleh masyarakat pegunungan di antaranya seperti; kulit bia (sejenis uang yang
telah beredar dimasyarakat pegunungan sejak beberapa abad lalu), babi
peliharaan, dan lain sebagainya. Dalam pembayaran mas kawin akan terjadi kata
sepakat apabila orang tua dari pihak laki-laki memenuhi seluruh permintaan yang
diminta oleh orang tua daripada pihak perempuan.
Kebiasaan yang sekarang
ini masih terpelihara pada suku Dani yang berkaitan dengan pernikahan.
Biasanya, seorang pria yang ingin berkenalan dengan wanita harus membangun
komunikasi dengan keluarga dekat wanita tersebut. Jika tawaran itu diterima,
perempuan bersangkutan melakukan apa yang disebut warga Dani bingga lakue atau
bingga lakarak. Pada tahap ini, perempuan datang ke rumah laki-laki untuk
memasak, lalu pergi. Tugas itu berlangsung lebih dari satu bulan. Apabila pihak
perempuan merasa sudah waktunya mengetahui sikap orang tua pria, dilakukan
upacara koeame wagarak atau perempuan datang untuk mendengar jawaban dari orang
tua pria. Jika perempuan tersebut rajin dan cocok untuk jadi istri anak
laki-lakinya, selanjutnya pihak orang tua menyampaikan persetujuan.
Tahap ketiga jalinan
itu adalah koejiqui atau koejikopopiwogi. Pada tahap ini, orang tua perempuan
mengantar anaknya kepada orang tua laki-laki. Biasanya, dilakukan acara potong
babi dan diselenggarakan pesta adat. Sebelum diantar, orang tua perempuan
merias sendiri anaknya, seperti mengenakan noken, kulit bia, dan berbagai
perlengkapan adat lain.
Setelah mengantar
anaknya, orang tua perempuan pulang. Selanjutnya, orang tua laki-laki
mendatangi orang tua perempuan untuk mendata semua jenis pengeluaran berkaitan
dengan acara koejikopopiwogi, terutama biaya untuk periasan anak menantunya.
Acara ini dalam bahasa setempat disebut koewupugi. Setelah semua pengeluaran
direkap, baru dilakukan pembayaran oleh pihak keluarga pria kepada keluarga
perempuan.
Sama dengan Tradisi
tarian, Tradisi perkawinan juga diharapkan dapat berkembang dan bertumbuh di
masyarakat umum dengan baik dan benar agar tidak terjadi kepunahan tradisi.
Namun apa yang terjadi pada zaman yang serba modern dan serba teknologi ini
masyarakat Papua terlebih khusus para pemuda-pemudi tidak peduli lagi dengan
tradisi yang telah ditetapkan sejak lama.
Tradisi perkawinan yang
dipopulerkan sampai saat ini adalah tradisi kawin lari. Tradisi kawin lari
adalah salah satu cara yang dilakukan agar pihak dari pada orang tua laki-laki
terhindar dari pembayaran mas kawin. Tradisi kawin lari adalah tradisi kotor
yang berasal dari luar Papua. Tradisi kawin lari dulunya bukanlah tradisi
Papua, namun pengaruh era globalsasi yang kian maju dan modern membuat orang
Papua melupakan tradisi mereka yang sesunguhnya.
Dengan berkembangnya
tradisi kawin lari di kalangan masyarakat terutama orang Papua sendiri membuat
nilai keaslian tradisi Papua yang dulunya sangat dihargai dan dihormati telah
luntur begitu saja.
E.
Tradisi
Mengkonsumsi Minuman Keras
Sangat baik kalau kita
mengkonsumsi minum-minuman yang dapat memberikan kesehatan dalam kehidupan kita
tetapi apa jadinya kalau kita mengkonsumsi berbagai minum-minuman yang
mengandung alkohol. Kasus inilah yang telah menjadi tradisi di masyarakt Papua.
Dulunya minuman yang dianggap minuman keras dan dikonsumsi oleh orang Papua
adalah minuman sejenis saguer atau yang biasa mereka sebut dengan minuman bobo.
Minuman ini kalau dikonsumsi dapat menggaggu kesehatan namun tidak terlalu
berdampak terhadap kesehatan kita.
Tetapi berbeda dengan
berbagai minuman keras yang masuk dari luar Papua seperti Mansion House, Bir
Bintang, Kawat Duri dan minuman lainnya yang tergolong dalam minuman keras yang
dapat mengganggu kesehatan bahkan sampai dapat membuat nyawa seseorang lenyap
apabila dikonsumsi terlalu berlebihan. Minuman-minuman keras seperti ini
awalnya tidak pernah diketahui oleh orang Papua, namun perkembangan zaman yang
kian modern membuat tradisi minum khususnya untuk minuman keras telah
berkembang luas dikalangan seluruh masyarakat. Bahkan menurut beberapa orang
tradisi minuman telah dimasukan kedalam layaknya budaya makan-minum di
kehidupan sehari-hari.
Bukti kalau tradisi
minuman keras telah membabi buta di Papua dengan berbagai pengamatan yang betul
secara fakta. Seperti kalau diamati khususnya pada malam hari di terminal Taman
Gizi terdapat banyak orang berkeliaran sambil mengahabiskan puluhan bahkan
ratusan botol minuman, yang mengkonsumsi minuman tersebut bukan saja kaum pria
namun ada juga kaum wanita. Selain di Taman Gizi di berbagi tempat-tempat
hiburan seperti di perempatan Nabarua, di daerah Sanoba, di daerah Kalibobo dan masih banyak lagi
tempat-tempat hiburan yang tersembunyi.
F.
Tradisi
Pemakaman di Papua
Pada suku Asmat, setiap
kematian leluhur atau ‘sesepuh’ setempat akan dibuatkan satu patung terbuat
dari kayu. Jika ada keturunannya yang meninggal yang dianggap leluhur juga oleh
penduduk setempat, maka akan dibuatkan juga sebuah patung dari kayu dan akan
diletakkan atau ‘dipasangkan’ tepat di atas leluhur sebelumnya. Hal ini
dilakukan agar keturunannya kelak mengetahui sosok dari leluhurnya.
Namun hal yang
dilakukan suku Asmat tersebut tidak ‘se-kstrim’ yang dilakukan oleh suku Dani
dan suku Kamoro. Keduanya melakukan hal yang mungkin kurang wajar bagi kita
semua untuk menghormati leluhurnya.
Suku Dani menjadikan
mayat kepala suku atau sesepuh dan leluhurnya menjadi ‘mummie’. Mummie ini
semacam ‘mumi’ atau mayat yang diawetkan. Cara pengawetannya sedikit unik,
karena caranya adalah dengan melakukan ‘pengasapan’. Caranya adalah dengan
membuat tiang-tiang dan dibawahnya
adalah perapian. Perapian tersebut telah dicampur dengan sebuah ramuan yang
konon bisa membuat mayat menjadi awet atau tidak menjadi busuk dan terurai.
Yang anehnya lagi setiap keturunannya yang masih hidup diharuskan tidur di
seiktar mayat leluhurnya yang diawetkan.
Suku-suku di Papua
masih menggunakan cara mistis yang mungkin di luar logika manusia. Contohnya
ada beberapa suku yang memberi sejenis ‘jimat’ kepada anak laki-laki yang sudah
berusia 3 bulan, ketika anak tersebut sudah dianggap bisa menyentuh bumi.
Setelah umur 13 tahun atau masa dewasa, anak laki-laki tersbeut diberikan jimat
kembali, namun jimat kali ini disematkan di dalam daging di daerah punggung.
Jadi, punggung sang anak dibedah dan dimasukkan jimat tersebut. Konon, saat
beranjak dewasa setiap anak laki-laki dikarantina dan dididik agar menjadi
pemberani serta tangguh. Hal inilah yang membuat laki-laki Papua bisa bertahan
hidup di tengah kerasnya kehidupan alam.
G.
Tradisi
Perang Suku di Pedalaman Mimika Papua
Perang antarsuku seakan
masih menjadi tradisi di beberapa daerah pedalaman Papua. Termasuk perang di
Kelurahan Kwamki Lama, Distrik Mimika Baru, Kabupaten Mimika, antara suku Dani
dan suku Damal.
DI wilayah Kabupaten
Mimika ada tujuh suku. Mereka adalah Amungme, Kamoro, Dani, Damal, Nduga, Mee,
dan Moni. Biasanya, kelompok-kelompok ini dipisahkan oleh letak geografis.
Namun, bisa jadi, sebuah desa atau distrik ditinggali lebih dari satu suku.
Suku Kamoro, misalnya,
tinggal di dataran rendah hingga bagian pantai Mimika. Suku Amungme banyak
mendiami daerah pegunungan. Kedua suku tersebut banyak disebut orang sebagai
suku asli Mimika. Lima suku lain datang dari wilayah kabupaten sekitar
Mimika.Suku Dani berasal dari bagian barat Kabupaten Jayawijaya (Wamena). Suku
Damal berasal dari Mulia, pertengahan antara Kabupaten Jayawijaya dengan
Kabupaten Paniai. Kepala Suku Dani, sekaligus anggota DPRD Mimika, Philipus
Wakerwa kepada JPNN mengungkapkan, pribadi keras dan tegas yang menjadi ciri
khas warga pribumi tidak terlepas dari pengaruh topografi alam dan pola hidup
di daerah pedalaman.
Akibatnya, saat
berhadapan dengan perkembangan daerah yang cukup signifikan, mereka mengalami
keterkejutan budaya (cultural shock). Karena itu, kuat kesan bahwa warga
pedalaman Papua resistan dengan perubahan. Bahkan, sering mereka menyikapinya
dengan emosional.Ada dua persoalan yang bisa memicu warga angkat panah. Balas
dendam karena anggota keluarganya disakiti atau kasus perselingkuhan. Biasanya,
perselingkuhan bisa di dalam kerabat atau dengan suku lain.
Sebagian besar warga
pedalaman belum melek hukum. Hampir semua warga Dani di sini (Mimika, red)
berasal dari daerah pedalaman, khususnya lembah Baliem (Kabupaten Jayawijaya).
Jadi, ketika berhadapan dengan keharusan mengikuti hukum positif, sangat sulit.
Mereka lebih taat
kepada hukum adat daripada hukum nasional. Yang lebih mendominasi pikiran
mereka adalah aturan adat. Ini juga terbentuk karena hidup di pedalaman penuh
tantangan. Bukan hanya alam yang keras, tuntutan mencari nafkah mengharuskan
mereka berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun naik turun gunung dan lembah.
Jangan heran apabila watak masyarakat pribumi keras dan tegas.
Juga dijelaskan,
seorang suku Dani -juga lima suku lain: Amungme, Moni, Damal, Nudga, Mee- yang
meninggal dalam perang harus dibakar. Pembakaran mayat tersebut merupakan
persembahan kepada arwah nenek moyang.
Sebab, sebelum perang
adat, kepala suku dan kepala perang harus melakukan upacara memanggil arwah.
Menurut kepercayaan warga Dani, sudah ditentukan arwah nenek moyang yang
menjaga mereka selama perang. Setelah membakar, kubu bersangkutan harus
menyampaikan pada kubu lawan tentang nama dan identitas mayat yang dibakar. Ini
bertujuan
agar kubu lawan senang
dan kubu yang menderita tidak mendapat gangguan dari arwah.
Menurut data yang
dihimpun Radar Timika dari sejumlah sumber, baik suku Dani maupun suku Damal
memiliki sejumlah marga. Pada suku Dani, terdapat marga Wakerwa, Waker, Kogoya,
Tabuni, Wenda, dan Magai. Pada suku Damal, marganya adalah Mom, Murib, Waker,
Kum, Kiwak, Kibak, Jolemol, dan Magai.
Secara umum kehidupan
suku Dani dan Damal termasuk yang terbelakang di Papua. Lambatnya kedua suku itu
menerima kemajuan bisa dilihat dari sector pendidikan dan sektor kehidupan
sosial. Namun, yang paling utama penerimaan Injil (sebagai kabar baik) yang
belum merata diterima masyarakat kedua suku.
Suku Dani dan Damal
memang sering berperang. Menurut dia, bentrokan itu merupakan akibat iman
kepercayaan secara umum masyarakat kedua suku belum kuat (teguh). ''Kabar dari
Injil belum seluruhnya diterima masyarakat. Meski ada yang menerima, tapi hanya
seberapa? Alasan itu menjadi dasar kuat sering terjadi perang walaupun masalah
awalnya kecil."
Penyebab perang dan
akibat yang biasanya ditanggung. Pertama, bila anak gadis orang lain diambil
tanpa sepengetahuan orang tua atau keluarga dekat anak gadis itu. Pada era
1990-an, soal seperti itu diselesaikan dengan membayar lima ekor babi. Tapi,
kemudian, denda bisa dibayar dengan uang.
Kedua, bila istri
berselingkuh dengan pria lain (meksipun si lelaki bagian keluarga).
Penyelesaiannya didenda lima ekor babi. ''Setelah itu bisa akur kembali. Tapi,
bila pihak laki-laki bersikeras, maka setelah dibuat denda adat, sang istri
dicerai."
Ketiga, pencurian
terhadap barang berharga seperti kulit kerang yang sering dipakai sebagai
maskawin pihak laki-laki kepada pihak perempuan. Penyelesaiannya dibuat acara
potong dua ekor babi, lalu barang berharga yang dicuri itu dikembalikan.
Keempat, pencurian
terhadap hewan piaraan, seperti babi, burung, atau tanaman di kebun (ladang).
Penyelesaiannya, diselenggarakan rapat, lalu dilakukan pembayaran denda tiga
ekor babi sebagai ganti rugi.
Kelima, bila ada dua
orang berbeda marga makan bersama, setelah saling berpisah kemudian salah
satunya sakit. Ini bisa menimbulkan rasa curiga kepada orang yang sebelumnya
makan bersama si sakit.
Keenam, bila ada
sepuluh orang bekerja di ladang, kemudian salah satu di antaranya terluka.
Kecurigaan korban dilukai oleh sembilan orang lain bisa muncul bila tidak ada
penjelasan kepada keluarganya.
Ketujuh, misalnya ada
tiga anak kecil bermain bersama, kemudian salah satunya tiba-tiba sakit. Dua
anak lainnya akan dimintai penjelasan. Bila tidak ada penjelasan yang baik dari
kedua anak tersebut, orang tua akan menyelesaikannya.
Dalam kehidupan
sehari-hari suku Dani, rasa curiga masih tinggi. Seorang laki-laki yang
kedapatan berjalan dengan seorang gadis tanpa ikatan resmi, misalnya, bisa
menyulut perang.
2.2. KEARIFAN LOKAL PAPUA
A.
Kerajinan
Papua
Papua memiliki
keragaman keunikan khas daerah, seperti noken, saly, honay, koteka, ukiran, dan
sebagainya. Meski kemajuan pembangunan dan informasi telah menempatkan keunikan-keunikan
itu sebagai sesuatu ketertinggalan, tetapi memberi makna sebagai kearifan
budaya dan tradisi lokal. Runyamnya, keunikan tersebut tidak mendapat perhatian
dari pemerintah daerah setempat.
Wakil Ketua DPR Papua
Paskalis Kosay di Jayapura mengemukakan, ada beberapa peralatan tradisional
yang ditinggalkan nenek moyang dan masih bertahan sampai hari ini. Misalnya,
noken (bahasa daerah Biak, artinya tas), keranjang yang digunakan kaum pria dan
wanita di Papua. Noken merupakan salah satu bentuk aksesori yang paling
diminati masyarakat.
Noken terbuat dari tali
hutan (kayu) khusus yang tidak mudah putus, seperti rotan atau pohon lainnya.
Noken mengalami perkembangan cukup bagus dibandingkan dengan fasilitas
tradisional lainnya. Setelah noken dianyam, diberi warna-warni sehingga
berpenampilan lebih memikat pemilik. Noken dihargai antara Rp 15.000 - 100.000
per buah.
Saat ini noken lebih
banyak ditemukan di Paniai. Daerah ini dikenal sebagai gudang noken. Namun,
penduduk setempat menyebutnya agiya. Di Paniai dikenal enam jenis agiya, yakni
goyake agiya, tikene agiya, hakpen agiya, toya agiya, kagamapa agiya, dan pugi
agiya.
Kepala Bagian Tata
Usaha Dinas Pariwisata Kabupaten Paniai Thomas Adi menyebutkan, jenis-jenis
agiya ini dibedakan sesuai bahan, bentuk, warna, dan pemakaian dalam suku.
Di Paniai dikenal ada
lima suku, yakni Mee menguasai goyage agiya, suku Dani menguasai tikene agiya
dan hakpen agiya, suku Ekari menguasai jenis toya agiya, suku Nduga memiliki
kagmapa agiya, dan suku Moni menguasai pugi agiya. Tetapi, belakangan ini
hampir semua jenis agiya menyebar tanpa batas suku, agama, dan warna kulit.
Bahkan menyebar sampai ke seluruh Papua.
Noken atau agiya ini
bagi perempuan di pedalaman biasa digunakan menyimpan anak bayi, babi,
umbi-umbian, sayur, dan pakaian. Sering terlihat di dalam sebuah noken dengan
tali digantung di bagian kepala mengarah ke bagian punggung dan belakang
perempuan. Di dalam noken/agiya ini kadang-kadang disimpan bayi dan di
sampingnya diletakkan umbi-umbian dan sayur-sayur.
Bahan dasar agiya,
yakni kulit kayu dan anggrek. Daerah Pegunungan Tengah terkenal dengan berbagai
jenis anggrek hutan. Namun, anggrek-anggrek ini belum dikenal dan
diidentifikasi secara teratur. Tanaman anggrek sendiri belum dibudidayakan oleh
masyarakat Papua. Padahal, anggrek dapat meningkatkan kesejahteraan. Beberapa
warga pendatang mencoba mengumpulkan jenis-jenis anggrek Papua dan mengikuti
sejumlah pameran di luar Papua, sehingga menjadikan anggrek sebagai sumber
hidup utama.
Di Sentani, Kabupaten
Jayapura, noken disebut holoboi, sedangkan noken besar untuk kaum bangsawan
disebut wesanggen. Saly, pakaian bawahan perempuan suku Dani, di Pegunungan
Tengah Papua, terbuat dari serat kayu atau serat pelepah pisang. Batang serat
(pelepah) pisang dihaluskan kemudian diiris dalam bentuk tali-tali panjang,
dikeringkan, kemudian dirajut menyerupai pakaian bawahan perempuan. Belakangan
bahan dasar saly dari benang dan kulit kayu berkualitas.
Seorang perempuan suku
Dani mengenakan saly pada usia lima tahun. Bagian atas tidak ada pakaian
khusus. Bagi anak-anak gadis saly yang sama juga sering digunakan untuk menutup
bagian dada. Tetapi, bagi kebanyakan kaum ibu, bagian atas (dada) sengaja tidak
tertutup dengan maksud dengan mudah menyusui sang bayi.
Selain itu, Papua juga
memiliki rumah tradisional yang disebut honay. Rumah tradisional suku-suku di
Pegunungan Tengah ini berbentuk lingkaran dengan diameter 3-5 meter, dengan
bagian atap berbentuk kerucut. Ada honay khusus untuk ternak babi, ada honay
khusus untuk kaum pria, dan honay khusus untuk kaum wanita.
Ruangan dalam honay
yang sengaja dibangun sempit serta tidak memiliki ventilasi (jendela) ini
bertujuan untuk menahan hawa dingin. Daerah Pegunungan Tengah, seperti Puncak
Jaya (5.030 m) dan Paniai memiliki suhu sampai 5 derajat Celsius. Guna
mengatasi udara dingin itu, orang-orang pedalaman terpaksa membuat honay
setinggi sekitar 2,5 meter, dan di dalam honay itu dipasang api unggun untuk
menghangatkan badan.
Tetapi, dalam
perkembangan terakhir seiring kemajuan pembangunan di daerah itu, sejumlah
alat-alat tradisional Papua di atas mulai dipadukan dengan beberapa pakaian
hasil produksi pabrik. Misalnya, saly dipadukan dengan celana pendek, bra, dan
pakaian perempuan jenis lainnya.
Di kalangan perempuan
terpelajar di Pegunungan Tengah, pakaian perempuan tradisional ini tidak lagi
digunakan. Bahkan, perempuan suku Dani pun sudah sangat jarang terlihat
mengenakan saly kecuali pada upacara adat tertentu.
Pemerintah daerah
setempat menganggap, noken, saly, koteka, busur panah, umbi-umbian, dan
sejumlah keunikan lain di Pegunungan Tengah adalah suatu simbol
"keterbelakangan". Karena itu, tidak ada perhatian serius dari pemda
setempat untuk melestarikan keunikan-keunikan tersebut. Bahkan, ada upaya pemda
menghapus keunikan itu karena dinilai sebagai bagian dari ketertinggalan
pembangunan.
Belum ada satu konsep
terpadu bagaimana mempertahankan sejumlah keunikan ini sambil terus
meningkatkan pembangunan, kemajuan dan kesejahteraan di kalangan masyarakat
pedalaman. Seharusnya, keunikan–keunikan Papua tidak harus dikorbankan demi
pembangunan atau sebaliknya.
Pengalaman menunjukkan,
ketika pemerintah menganggap bahwa makanan sagu di kalangan orang Papua tidak
sesuai dengan perkembangan zaman dan harus dimusnahkan, ternyata pandangan itu
terbukti tidak membawa kemajuan berarti bagi orang Papua. Sejumlah lahan sagu
telanjur dibasmi, tetapi pertanian modern seperti padi sawah tidak pernah
dikembangkan di kalangan orang Papua sejak 40 tahun terakhir ini.
B.
Ukiran
Kayu Suku Asmat
Karya ukir kayu khas
Suku Asmat adalah salah satu kekayaan budaya nasional yang sudah memiliki nama
bagi para turis asing. Karakteristik ukiran Suku Asmat mempunyai pola yang unik
dan bersifat naturalis. Dari pola-pola itu terlihat kerumitan cara membuatnya
sehingga membuat karya ukir mereka bernilai tinggi dan cukup banyak diminati
para turis asing.
Dari segi model, ukiran
Suku Asmat sangat beragam, mulai dari patung manusia, perahu, panel, perisai,
tifa, telur kaswari, sampai ukiran tiang. Suku Asmat biasanya mengadopsi
pengalaman dan lingkungan hidup sehari-hari sebagai pola ukiran mereka, seperti
pohon, perahu, binatang, orang berperahu, dan lain-lain.
Masyarakat Asmat
terdiri dari 12 sub etnis, dan masing-masing memiliki ciri khas pada karya
seninya. Begitu juga dengan kayu yang digunakan, ada juga perbedaannya. Ada sub
etnis yang menonjol ukiran patungnya, ada yang menonjol ukiran salawaku atau
perisai, ada pula yang memiliki ukiran untuk hiasan dinding dan peralatan
perang.
Yang paling istimewa
dan unik adalah bahwa setiap karya ukir tidak memiliki kesamaan atau
duplikatnya karena mereka tidak memproduksi ukiran berpola sama dalam skala
besar. Jadi, kalau kita memiliki satu ukiran dari Asmat dengan pola tertentu,
itu adalah satu-satunya yang ada karena orang Asmat tidak membuat pola sama
dalam ukirannya. Bentuk boleh sama, misalnya perisai atau panel, tetapi soal
pola pasti akan berbeda. Itulah keunikan ukiran Suku Asmat.
C.
Warna
Alami Untuk Merias Di Suku Asmat
Suku Asmat memiliki
cara yang sangat sederhana untuk merias diri mereka. Mereka hanya membutuhkan
tanah merah untuk menghasilkan warna merah, untuk menghasilkan warna putih
mereka membuatnya dari kulit kerang yang sudah dihaluskan, sedangkan warna
hitam mereka hasilkan dari arang kayu yang dihaluskan. Cara menggunakan pun
cukup simpel, hanya dengan mencampur bahan tersebut dengan sedikit air, pewarna
itu sudah bisa digunakan untuk mewarnai tubuh.
BAB III
PENUTUP
3.1.
KESIMPULAN
kearifan
lokal masyarakat papua masih sangat kental dengan kebudayaan yang dibawa oleh
leluhurnya, sehingga masih banyak mitos dan fiksi yang sampai saat ini
dipercayai untuk kelangsungan hidup. Dari perkawinan sampai pemotongan jari
hingga sekarang sebagian masyarakatnya melakukan tradisi tersebut serta alam
yang masih terjaga dari jamahan orang – orang, daerah Papua masih sangat
terjaga dari semenanjung pantai sampai pegunungan kekayaan alamnya.
3.2.
SARAN
Tetap
pertahankan tradisi dan kearifan lokal papua agar generasi mendatang tidak lupa
akan budaya dan nilai norma yang ada didaerah kelahirannya.
0 komentar:
Posting Komentar