Kata pengantar
Puji
syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselesainya makalah
ini, walaupun masih jauh dari kesempurnaan. Makalah yang kami buat berisi
materi Pajak Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan
Dalam
penyusunan makalah ini, penulis banyak mendapat tantangan dan hambatan akan
tetapi dengan bantuan dari berbagai pihak tantangan itu bisa teratasi. Olehnya
itu, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak
yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini, semoga bantuannya mendapat
balasan yang setimpal dari Tuhan Yang Maha Esa.
Akhir
kata, tiada gading yang tak retak, kami juga sangat berterima kasih kepada
semua pihak yang telah membantu untuk kelancaran pembuatan makalah ini.
Demikian pula dengan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu,
saran dan kritik yang membangun tetap kami nantikan demi kesempurnaan makalah
ini.
Daftar isi
KATA PENGANTAR ………………………………………………..1
DAFTAR ISI ………………………………………………..2
1.
BAB I
a.
Pendahuluan ………………………………………………..3
b.
Latar
Belakang ………………………………………………..3
2.
BAB II
a.
Pembahasan ………………………………………………..4
b.
Pengertian ………………………………………………..4
c.
Subjek ………………………………………………..4
3.
BAB III
a.
Penutup ………………………………………………..15
b.
Kesimpulan ………………………………………………..15
c.
Daftar
Pustaka ………………………………………………..16
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Negara
Republik Indonesia merupakan negara hukum berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menjunjung tinggi
hak dan kewajiban setiap orang, oleh karena itu menempatkan perpajakan sebagai
salah satu sumber penerimaan negara merupakan perwujudan kewajiban kenegaraan
dalam kegotongroyongan nasional sebagai peran serta masyarakat dalam membiayai
pembangunan.
Pajak
telah memberikan kontribusi yang sangat besar dalam penerimaan negara. Hal ini
terlihat dalam Anggaran Perbelanjaan dan Belanja Negara tahun 2005 dimana
penerimaan pajak mencapai 70 persen (70%) baik pajak dalam negeri maupun pajak
perdagangan internasional (lihat lampiran 1). Peningkatan penerimaan dari
sektor pajak ini tidak dapat dilepaskan dari upaya tax reform tahun 1984 yang
kemudian dilanjutkan dengan tax reform di tahun 1994. Tax reform pertama telah
meletakkan landasan bagi terbentuknya sistem perpajakan yang lebih menjamin
pemerataan dalam pengenaan dan pembebanan pajak, kepastian hukum, kesederhaan,
penutupan peluang penggelapan pajak dan penyalahgunaan wewenang serta
memberikan pengaruh positif di bidang ekonomi.
Tax
reform yang kedua dilakukan untuk memberikan landasan hukum di bidang
perpajakan yang disempurnakan agar mampu meningkatkan penerimaan negara dari
sektor pajak dengan tetap memperhatikan asas keadilan, kesederhanaan serta
kepastian hukum, dan menyesuaikan dengan kondisi perekonomian yang dihadapi.
Undang-undang pajak dibuat untuk menggali potensi pajak secara optimal. Salah
satu pos penerimaan pajak yang baru dikeluarkan pada tahun 1997 adalah
dikeluarkannya Undang-undang (UU) Pajak Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan
Bangunan (selanjutnya disingkat BPHTB) yang tertuang dalam UU No. 21 tahun 1997
sebagaimana telah diubah terakhir dalam UU No. 20 tahun 2000.
Sejalan
dengan tujuan dilakukannya reformasi perpajakan tahun 2000, prinsip kepastian
hukum, keadilan dan netralitas mutlak diperhatikan dalam pengenaan Bea
Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dalam rangka penerimaan negara,
mendorong, kegiatan ekonomi, dan pemerataan dalam pembebanan pajak.
Dasar
hukum utama yang melandasi BPHTB adalah pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar
1945 :
“
Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.”
Tanah
sebagai bagian dari bumi yang merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa serta
memiliki fungsi sosial diantaranya memenuhi kebutuhan dasar sebagai tempat
tinggal, lahan usaha, juga merupakan alat investasi yang sangat menguntungkan
bagi pemiliknya. Disamping itu, dari segi fungsi ekonomi, bangunan dapat
memberi manfaat ekonomi karena dianggap memberikan tambahan kemampuan ekonomis
bagi pemiliknya. Dengan demikian, wajar bagi mereka yang memperoleh hak atas
tanah dan bangunan menyerahkan sebagian nilai ekonomi yang diperolehnya kepada
negara melalui pembayaran pajak, yang dalam hal ini Bea Perolehan Hak Atas
Tanah dan Bangunan (BPHTB).
Pada
masa lalu ada pungutan pajak dengan nama Bea Balik Nama yang diatur dalam
Ordonansi Bea Balik Nama Staatsblad 1924 Nomor 291. Bea Balik Nama ini dipungut
atas setiap perjanjian pemindahan hak atas harta tetap yang ada di wilayah
Indonesia, termasuk peralihan harta karena hibah wasiat yang ditinggalkan oleh
orang-orang yang bertempat tinggal terakhir di Indonesia. Harta tetap dalam
ordonansi tersebut adalah barang-barang tetap dan hak-hak kebendaan atas tanah,
yang pemindahan haknya dilakukan dengan pembuatan akta menurut cara yang diatur
dalam undang-undang, yaitu Ordonansi Balik Nama Staatsblad 1834 No. 27.
Dengan
diberlakukannya Undang-undang nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria atau sekarang biasa disebut Undang-undang Pokok Agraria,
hak-hak kebendaan yang dimaksud diatas tidak berlaku lagi, karena semua sudah
diganti dengan hak-hak baru yang diatur dalam Undang-undang tentang Peraturan
Dasar Pokok-Pokok Agraria. Dengan demikian, sejak diundangkannya Undang-undang
tentang Undang-undang tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, Bea Balik
Nama atas hak harta tetap berupa hak atas tanah tidak dipungut lagi, sedangkan
ketentuan mengenai pengenaan pajak atas tanah pendaftaran dan pemindahan kapal
yang didasarkan pada Ordonansi Bea Balik Nama Staatsblad 1924 Nomor 291 masih
tetap berlaku.
Berdasarkan
pertimbangan hal tersebut diatas dan sebagai pengganti Bea Balik Nama atas hak
harta tetap berupa hak atas tanah yang tidak dipungut lagi sejak
diberlakukannya Undang-undang tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria,
perlu diadakan pungutan pajak atas perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan
dengan nama Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB).
BAB II
PEMBAHASAN
I. Pengertian
Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah pajak yang dikenakan atas
perolehan hak atas tanah dan atau bangunan, yang selanjutnya disebut pajak.
Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan adalah perbuatan atau peristiwa
hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas dan atau bangunan oleh orang
pribadi atau badan. Hak atas tanah adalah hak atas tanah termasuk hak
pengelolaan beserta bangunan di atasnya sebagaimana dalam UU No. 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, UU No.16 Tahun 1985 tentang Rumah
Susun, dan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya. Dasar hukum Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah UU No.20/2000 (UU No.21/1997 rev.)
II. Subjek Pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah
dan Bangunan
Subjek
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah orang pribadi atau badan yang
memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan. Subjek BPHTB yang dikenakan
kewajiban membayar BPHTB menurut perundang-undangan perpajakan yang menjadi
Wajib Pajak.
Pengertian
Subjek Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan menurut Pasal 4 ayat (1) UU
SPHTS adalah orang pribadi atau badan yang memperoleh hak atas tanah dan
bangunan.
III. Objek Pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan
1. Objek BPHTB adalah perolehan hak atas tanah
dan atau bangunan, bukan tanah atau bangunannya sendiri. Objek perolehan hak
atas dan atau bangunan meliputi:
A. Pemindahan Hak karena:
• Jual beli;
• Tukar-menukar;
• Hibah;
• Hibah wasiat, yaitu suatu penetapan
wasiat yang khusus mengenai pemberian hak atas tanah dan atau bangunan kepada
orang pribadi atau badan hukum tertentu, yang berlaku setelah pemberi hibah
wasiat meninggal dunia;
• Waris;
• Pemasukan dalam perseroan atau badan
hukum lainnya, yaitu pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan dari orang
pribadi atau badan kepada perseroan Terbatas atau badan hukum lainnya sebagai
penyertaan modal pada Perseroan Terbatas atau badan hukum lainnya tersebut;
• Pemisahan hak yang mengakibatkan
peralihan, yaitu pemindahan sebagian hak bersama atas tanah dan atau bangunan
oleh orang pribadi atau badan kepada sesama pemegang hak bersama;
• Penunjukan pembeli dalam lelang, yaitu
penetapan pemenang lelang oleh pejabat lelang sebagaimana yang tercantum dalam
risalah lelang;
• Pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai
kekuatan hukum tetap, yaitu adanya peralihan hak dari orang pribadi atau badan
hukum sebagai salah satu pihak kepada pihak yang ditentukan dalam putusan hakim
tersebut;
• Penggabungan usaha, yaitu penggabungan
dari dua badan usaha atau lebih dengan cara tetap mempertahankan berdirinya
salah satu badan usaha dan melikuidasi badan usaha lainnya yang menggabung;
• Peleburan usaha, yaitu penggabungan dari
dua atau lebih badan usaha dengan cara mendirikan badan usaha baru dan
melikuidasi badan-badan usaha yang bergabung tersebut;
• Pemekaran usaha, yaitu pemisahan suatu
badan usaha menjadi dua badan usaha atau lebih dengan cara mendirikan badan
usaha baru dan mengalihkan sebagian aktiva dan pasiva kepada badan usaha baru
tersebut yang dilakukan tanpa melikuidasi badan usaha yang lama;
• Hadiah, yaitu suatu perbuatan hukum
berupa penyerahan hak atas tanah dan atau bangunan yang dilakukan oleh orang
pribadi atau badan hukum kepada penerima hadiah.
B. Pemberian hak baru karena:
• Kelanjutan pelepasan hak, yaitu pemberian
hak baru kepada orang pribadi atau badan hukum dari Negara atas tanah yang
berasal dari pelepasan hak;
• Di luar pelepasan hak, yaitu pemberian
hak baru atas tanah kepada orang pribadi atau badan hukum dari Negara atau dari
pemegang hak milik menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
• Perolehan hak atas tanah dan atau
bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya
hak atas tanah dan atau bangunan oleh orang pribadi atau badan.
• Objek pajak yang diperoleh karena waris
dan hibah wasiat pengenaan BPHTB-nya diatur lebih lanjut dalam PP Nomor 111
Tahun 2000;
• Objek pajak yang diperoleh karena
pemberian hak pengelolaan pengenaan BPHTB-nya diatur lebih lanjut dengan PP
Nomor 112 Tahun 2000.
2. Yang meliputi Hak atas tanah yaitu:
a. Hak milik, yaitu hak turun-temurun,
terkuat, dan terpenuh yang dapat dipunyai orang pribadi atau badan-badan hukum
tertentu yang ditetapkan oleh Pemerintah;
b. Hak guna usaha (HGU), yaitu hak untuk
mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara dalam jangka waktu
sebagaimana yang ditentukan oleh perundang-undangan yang berlaku;
c. Hak guna bangunan (HGB), yaitu hak untuk
mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya
sendiri dengan jangka waktu yang ditetapkan dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun
1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria.
d. Hak pakai, yaitu hak untuk menggunakan dan
atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atau tanah
milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan
pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian
dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian
pengolahan tanah, segala sesuatu sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa dan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
e. Hak milik atas satuan rumah susun, yaitu
hak milik atas satuan yang bersifat perseorangan dan terpisah. Hak milik atas
satuan rumah susun meliputi juga hak atas bagian bersama, benda bersama, dan
tanah bersama yang semuanya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan
dengan satuan yang bersangkutan.
f. Hak pengelolaan, yaitu hak menguasai dari
Negara yang kewenangan pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada pemegang
haknya, antara lain, berupa perencanaan peruntukan dan penggunaan tanah,
penggunaan tanah untuk keperluan pelaksanaan tugasnya, penyerahan bagian-bagian
dari tanah tersebut kepada pihak ketiga dan atau bekerja sama dengan pihak
ketiga.
3. Objek pajak yang tidak dikenakan BPHTB,
yaitu:
a. Objek pajak yang diperoleh Perwakilan
diplomatik, konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik.
b. Objek pajak yang diperoleh Negara untuk
penyelenggaraan pemerintahan dan atau untuk pelaksanaan pembangunan guna
kepentingan umum. Yang dimaksud dengan tanah dan atau bangunan yang digunakan
untuk penyelenggaraan pemerintahan dan atau untuk pelaksanaan pembangunan guna
kepentingan umum adalah tanah dan atau bangunan yang digunakan untuk
penyelenggaraan pemerintahan baik Pemerintah Pusat maupun oleh Pemerintah Daerah
dan kegiatan yang semata-mata tidak ditujukan untuk mencari keuntungan,
misalnya, tanah dan atau bangunan yang digunakan untuk instansi pemerintah,
rumah sakit pemerintah, jalan umum.
c. Objek pajak yang diperoleh badan atau
perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri
dengan syarat tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan lain di luar
fungsi dan tugas badan atau perwakilan organisasi tersebut;
d. Objek pajak yang diperoleh orang pribadi
atau badan karena konversi hak atau karena perbuatan hukum lain dengan tidak
adanya perubahan nama. Yang dimaksud dengan konversi hak adalah perubahan hak
dari hak lama menjadi hak baru menurut Undang-undang Pokok Agraria, termasuk
pengakuan hak oleh Pemerintah.
e. Objek pajak yang diperoleh orang pribadi
atau badan karena wakaf. Yang dimaksud wakaf adalah perbuatan hukum orang
pribadi atau badan yang memisahkan sebagian dari harta kekayaannya yang berupa
hak milik tanah dan atau bangunan dan melembagakannya untuk selama-lamanya
untuk kepentingan peribadatan atau kepentingan umum lainnya tanpa imbalan
apapun.
f. Objek pajak yang diperoleh orang pribadi
atau badan yang digunakan untuk kepentingan ibadah.
IV. Tarif Pajak Bea Perolehan Hak
atas Tanah dan Bangunan
Tarif
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah 5% (lima persen).
V. Dasar Pengenaan Dan Cara Penghitungan Pajak
1. Dasar Pengenaan BPHTB
Dasar
pengenaan BPHTB adalah Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP), yaitu
a. Jual beli adalah harga transaksi;
b.
Tukar-menukar adalah nilai pasar;
c. Hibah adalah nilai pasar;
d. Hibah wasiat adalah nilai pasar;
e. Waris adalah nilai pasar;
f. Pemasukan dalam perseroan atau badan
hukum lainnya adalah nilai pasar;
g. Pemisahan hak yang mengakibatkan
peralihan adalah nilai pasar;
h. Peralihan hak karena pelaksanaan putusan
hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap adalah nilai pasar;
i. Pemberian hak baru atas tanah sebagai
kelanjutan dari pelepasan hak adalah nilai pasar;
j. Pemberian hak baru atas tanah di luar
pelepasan hak adalah nilai pasar;
k. Penggabungan usaha adalah nilai pasar;
l. Peleburan usaha adalah nilai pasar;
m. Pemekaran usaha adalah nilai pasar;
n. Hadiah adalah nilai pasar;
o. Penunjukan pembeli dalam lelang adalah harga
transaksi yang tercantum dalam risalah lelang.
Dalam
hal NPOP tidak diketahui atau lebih rendah daripada Nilai Jual Objek Pajak
(NJOP) PBB pada tahun terjadinya perolehan, dasar pengenaan BPHTB yang dipakai
adalah NJOP PBB.
Yang
dimaksud dengan harga transaksi adalah harga yang terjadi dan telah disepakati
oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Dalam hal NJOP PBB pada tahun terjadinya
perolehan belum ditetapkan, besarnya NJOP PBB ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
2. Apa yang boleh dikurangkan dalam
penghitungan BPHTB ?
Yang
boleh dikurangkan dalan perhitungan BPHTB adalah Nilai Perolehan Objek Pajak
Tidak Kena Pajak (NPOPTKP). NPOPTKP diberikan untuk setiap perolehan hak
sebagai pengurang penghitungan BPHTB terutang. NPOPTKP ditetapkan secara
regional (setiap kabupaten/kota) paling banyak Rp60.000.000,00 (enam puluh juta
rupiah), kecuali dalam hal perolehan hak karena waris, atau hibah wasiat yang
diterima oleh orang pribadi dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis
keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi
hibah wasiat, termasuk suami/istri, NPOPTKP regional paling banyak
Rp300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah). Besarnya NPOPTKP ditetapkan oleh
Kepala Kanwil DJP atas nama Menteri Keuangan untuk setiap kabupaten/kota dengan
mempertimbangkan pendapat Pemda setempat. Ketentuan besarnya NPOPTKP diatur
lebih lanjut dalam PP Nomor 113 Tahun 2000.
3. Cara Perhitungan pajak BPHTB
1. BPHTB terutang = 5 % x NPOP Kena Pajak;
2. NPOP Kena Pajak = NPOP – NPOPTKP.
VI. Saat Dan Tempat Pajak Terutang
i. Saat terutang dan pelunasan BPHTB untuk:
a) Jual beli adalah sejak tanggal dibuat dan
ditandatanganinya akta, yaitu tanggal dibuat dan ditandatanginya akta pemindahan
hak di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris;
b) Tukar-menukar adalah sejak tanggal dibuat
dan ditandatanganinya akta;
c) Hibah adalah sejak tanggal dibuat dan
ditandatanganinya akta;
d) Waris adalah sejak tanggal yang bersangkutan
mendaftarkan peralihan haknya ke Kantor Pertanahan;
e) Pemasukan dalam perseroan atau badan hukum
lainnya adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
f) Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan
adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
g) Lelang adalah sejak tanggal penunjukan
pemenang lelang, yaitu tanggal ditandatanganinya Risalah Lelang oleh Kepala
Kantor Lelang Negara atau kantor lelang lainnya sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku yang memuat antara lain nama pemenang lelang.
h) Putusan hakim adalah sejak tanggal putusan
pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap;
i) Hibah wasiat adalah sejak tanggal yang
bersangkutan mendaftarkan peralihan haknya ke Kantor Pertanahan;
j) Pemberian hak baru atas tanah sebagai
kelanjutan dari pelepasan hak adalah sejak tanggal ditandatangani dan
diterbitkannya surat keputusan pemberian hak;
k) Pemberian hak baru di luar pelepasan hak
adalah sejak tanggal ditandatangani dan diterbitkannya surat keputusan pemberian
hak;
l) Penggabungan usaha adalah sejak tanggal
dibuat dan ditanda-tanganinya akta;
m)
Peleburan usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditanda-tanganinya akta;
n) Pemekaran usaha adalah sejak tanggal dibuat
dan ditanda-tanganinya akta;
o) Hadiah adalah sejak tanggal dibuat dan
ditandatanganinya akta.
ii. Tempat pajak BPHTB terutang
Tempat
BPHTB terutang adalah wilayah Kabupaten Daerah Tingkat II atau Kotamadya Daerah
Tingkat II, atau Propinsi Daerah Tingkat I
untuk Kotamadya Administratif yang meliputi letak tanah dan atau
bangunan.
VII. Pembayaran, Penetapan, Dan Penagihan
Sistem
self assessment digunakan sebagai dasar pemungutan BPHTB, dimana Wajib Pajak
membayar BPHTB yang terutang dengan tidak mendasarkan pada adanya surat
ketetapan pajak.
1. Cara Pembayaran pajak BPHTB
BPHTB
yang terutang dibayar ke kas negara melalui Bank/Kantor Pos Persepsi BPHTB,
yaitu Kantor Pos dan atau Bank Badan Usaha Milik Negara atau Bank Badan Usaha
Milik Daerah atau tempat pembayaran lain yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan
menggunakan Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (SSB).
2. Waktu SKBKB dapat Diterbitkan
Dalam
jangka waktu 5 (lima) tahun sesudah saat terutangnya BPHTB, Direktur Jenderal
Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan Kurang Bayar (SKBKB) apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau
keterangan lain ternyata jumlah BPHTB yang terutang kurang dibayar.
3. Besarnya BPHTB Terutang Dalam SKBKB
BPHTB
terutang dalam SKBKB adalah BPHTB terutang yang belum atau kurang dibayar
ditambah dengan sanksi administrasi berupa bunga 2% (dua persen) sebulan dari
jumlah kekurangan BPHTB tersebut untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh
empat) bulan, dihitung mulai saat terutangnya BPHTB sampai dengan
diterbitkannya SKBKB dimaksud.
4. Waktu SKBKBT Dapat Diterbitkan
Dalam
jangka waktu 5 (lima) tahun sesudah saat terutangnya BPHTB, Direktur Jenderal
Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan Kurang Bayar Tambahan (SKBKBT) apabila ditemukan data baru dan atau
data yang semula belum terungkap yang menyebabkan penambahan jumlah BPHTB yang
terutang setelah diterbitkannya SKBKB.
5. Besarnya BPHTB Terutang Dalam SKBKBT
BPHTB
terutang dalam SKBKBT adalah BPHTB terutang yang belum atau kurang dibayar
ditambah dengan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100% (seratus
persen) dari jumlah kekurangan BPHTB tersebut, kecuali Wajib Pajak melaporkan
sendiri sebelum dilakukan tindakan pemeriksaan.
6. Dalam keadaan Bagaimana STB diterbitkan
Surat
Tagihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (STB) diterbitkan apabila :
a. BPHTB Yang Terutang Tidak Atau Kurang
Dibayar;
b. Dari Hasil Pemeriksaan SSB Terdapat
Kekurangan Pembayaran BPHTB Sebagai Akibat Salah Tulis Dan Atau Salah Hitung;
c. Wajib Pajak Dikenakan Sanksi
Administrasi Berupa Denda Dan Atau Bunga.
7. Besarnya BPHTB Terutang Dalam STB
BPHTB
terutang dalam STB akibat tidak atau kurang dibayar dan akibat salah tulis dan
atau hitung adalah BPHTB terutang yang belum atau kurang dibayar ditambah
sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan dari jumlah
kekurangan BPHTB tersebut untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat)
bulan sejak saat terutangnya BPHTB.
8. Bagaimana kedudukan STB dalam proses
penagihan BPHTB ?
STB
mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan surat ketetapan pajak sehingga
penagihannya dapat dilanjutkan dengan penerbitan Surat Paksa.
9. Dasar penagihan BPHTB ?
Dasar
penagihan BPHTB adalah SKBKB, SKBKBT, STB dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat
Keputusan Keberatan, maupun Putusan Banding yang menyebabkan jumlah BPHTB yang
harus dibayar bertambah. Tata cara penagihan BPHTB diatur lebih lanjut dengan
Keputusan Menteri Keuangan.
10. Berapa lama jangka waktu pelunasan SKBKB, SKBKBT, STB dan Surat Keputusan
Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, maupun Putusan Banding yang menyebabkan
jumlah BPHTB yang harus dibayar bertambah?
BPHTB
terutang dalam SKBKB, SKBKBT, STB dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat
Keputusan Keberatan, maupun Putusan Banding yang menyebabkan jumlah BPHTB yang
harus dibayar bertambah harus dilunasi dalam jangka waktu paling lama 1 (satu)
bulan sejak diterima oleh Wajib Pajak.
Apabila
sampai dengan jangka waktu 1 (satu) bulan sebagaimana dimaksud tidak atau
kurang dibayar, dapat ditagih dengan Surat Paksa, yaitu surat perintah membayar
pajak dan tagihan yang berkaitan dengan pajak sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku yang mempunyai kekuatan sama dengan putusan
pengadilan (parate executie).
VIII. Keberatan, Banding, Dan Pengurangan
1. Apa saja yang dapat diajukan permohonan
keberatan BPHTB ?
Yang
dapat diajukan keberatan kepada Direktur Jenderal Pajak adalah :
a. SKBKB, yaitu surat ketetapan yang
menentukan besarnya jumlah BPHTB terutang, jumlah kekurangan pembayaran pokok
pajak, besarnya sanksi administrasi, dan jumlah yang masih harus dibayar;
b. SKBKBT, yaitu surat ketetapan yang
menentukan tambahan atas jumlah BPHTB yang telah ditetapkan;
c. SKBLB, yaitu surat ketetapan yang
menentukan jumlah kelebihan pembayaran BPHTB karena jumlah BPHTB yang telah
dibayar lebih besar daripada BPHTB yang seharusnya terutang;
d. SKBN, yaitu surat ketetapan yang
menentukan jumlah BPHTB yang terutang sama besarnya dengan jumlah BPHTB yang
dibayar.
2. Bagaimana tata cara permohonan keberatan
BPHTB ?
• Membuat permohonan secara tertulis dalam
bahasa Indonesia kepada Kepala KPPBB dengan mengemukakan jumlah BPHTB yang
terutang menurut penghitungan Wajib Pajak disertai dengan alasan yang jelas,
yaitu didukung dengan data atau bukti bahwa jumlah BPHTB yang terutang atau
lebih bayar yang ditetapkan oleh fiskus tidak benar;
• Menyampaikan permohonan secara lengkap
sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam batas waktu 3 (tiga) bulan sejak
diterimanya SKBKB, SKBKBT, SKBLB, atau SKBN; kecuali Wajib Pajak dapat
menunjukkan bahwa jangka waktu itu tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar
kekuasaannya.
• Melampirkan foto kopi sebagai berikut :
• Fotocopy SSB
• Asli SKBKB/SKBKBT/SKBLB/SKBN
• Fotocopy Akta/Risalah Lelang/Surat Keputusan
Pemberian Hak Baru/Putusan Hakim
• Fotocopy KTP/ Paspor / KK /identitas lain
• Permohonan keberatan yang tidak memenuhi
persyaratan tidak dianggap sebagai Surat Keberatan sehingga tidak
dipertimbangkan;
• Tanda penerimaan Surat Keberatan yang
diberikan oleh pejabat Direktorat Jenderal Pajak yang ditunjuk untuk itu atau
tanda pengiriman Surat Keberatan melalui pos tercatat menjadi tanda bukti
penerimaan Surat Keberatan tersebut bagi kepentingan Wajib Pajak.
3. Berapa lama jangka waktu penyelesaian
permohonan keberatan BPHTB ?
Direktur
Jenderal Pajak dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sejak
tanggal Surat Permohonan Keberatan diterima, harus memberi keputusan atas
keberatan yang diajukan. Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud telah lewat
dan Direktur Jenderal Pajak tidak memberikan suatu keputusan, maka keberatan
yang diajukan tersebut dianggap diterima.
4. Apa yang dapat disampaikan oleh Wajib Pajak
sebelum keputusan keberatan BPHTB diterbitkan?
Sebelum
surat keputusan keberatan diterbitkan, Wajib Pajak dapat menyampaikan alasan
tambahan atau penjelasan tertulis.
5. Apa bentuk keputusan keberatan?
Keputusan
Keberatan dapat berupa :
• Menerima seluruhnya, apabila
data/bukti-bukti yang dilampirkan dalam pengajuan keberatan dan/atau diperoleh
dalam pemeriksaan terbukti kebenarannya.
• Menerima sebagian, apabila
data/bukti-bukti yang dilampirkan dalam pengajuan keberatan dan/atau diperoleh
dalam pemeriksaan sebagian terbukti kebenarannya.
• Menolak, apabila data/bukti-bukti yang
dilampirkan dalam pengajuan keberatan dan/atau diperoleh dalam pemeriksaan
tidak terbukti kebenarannya.
• Menambah jumlah pajaknya, apabila
data/bukti-bukti yang dilampirkan dalam pengajuan keberatan dan/atau diperoleh
dalam pemeriksaan, mengakibatkan peningkatan jumlah BPHTB-nya.
6. Apa yang dapat dilakukan Wajib Pajak jika
permohonan keberatannya ditolak ?
• Wajib Pajak yang keberatannya ditolak
dapat mengajukan banding ke Badan Pengadilan Pajak (BPP).
• Permohonan dimaksud diatur lebih
lanjut dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak.
7. Apa bentuk putusan Banding ?
Putusan
Banding dapat berupa :
- Menolak;
- Mengabulkan sebagian atau seluruhnya;
- Menambah pajak yang harus dibayar;
- Tidak dapat diterima;
8. Bagaimana sifat Putusan Banding ?
Putusan
Banding oleh BPP bukan merupakan putusan final dan dapat diajukan Peninjauan
Kembali (PK) ke Mahkamah Agung.
9. Bagaimana jika Putusan Banding menerima
sebagian atau seluruhnya ?
Apabila
putusan banding menerima sebagian atau seluruhnya, maka kelebihan pembayaran
dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2% untuk jangka waktu paling
lama 24 (dua puluh empat) bulan dihitung sejak tanggal pembayaran yang
menyebabkan kelebihan pembayaran BPHTB sampai dengan diterbitkannya Putusan
Banding.
10. Kepada siapa pengurangan BPHTB
dapat diberikan ?
Pengurangan
BPHTB dapat diberikan Wajib Pajak melalui permohonan karena:
a. Kondisi tertentu Wajib Pajak yang ada
hubungannya dengan Objek BPHTB, atau
b. Kondisi Wajib Pajak yang ada hubungannya
dengan sebab-sebab tertentu, atau
c. Tanah dan atau bangunan digunakan
untuk kepentingan sosial atau pendidikan yang semata-mata tidak untuk mencari
keuntungan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Tanah
sebagai bagian dari bumi yang merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa serta
memiliki fungsi sosial diantaranya memenuhi kebutuhan dasar sebagai tempat
tinggal, lahan usaha, juga merupakan alat investasi yang sangat menguntungkan
bagi pemiliknya. Disamping itu, dari segi fungsi ekonomi, bangunan dapat memberi
manfaat ekonomi karena dianggap memberikan tambahan kemampuan ekonomis bagi
pemiliknya. Dengan demikian, wajar bagi mereka yang memperoleh hak atas tanah
dan bangunan menyerahkan sebagian nilai ekonomi yang diperolehnya kepada negara
melalui pembayaran pajak, yang dalam hal ini Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan
Bangunan (BPHTB)
0 komentar:
Posting Komentar