BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Kebijakan
Otonomi Daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah merupakan kebijakan yang lahir dalam rangka menjawab dan
memenuhi tuntutan reformasi akan demokratisasi hubungan pusat dan daerah serta
upaya pemberdayaan daerah. Otonomi Daerah menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun
1999 dipahami sebagai kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi
masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu, dapat
disimpulkan di sini bahwa inti dari Otonomi Daerah adalah demokratisasi dan
pemberdayaan. Demokratisasi yang ingin dimunculkan adalah dalam upaya
mewujudkan good governance. Dengan otonomi daerah dapat mengubah
perilaku sebagian masyarakat Indonesia yang sebelumnya hanya terfokus pada
pemerintah pusat.
Upaya
perwujudan good governance, sebagaimana diketahui bahwa dalam rangka
demokratisasi dan pembatasan kekuasaan, dikenal adanya prinsip pemisahan
kekuasaan, baik secara horizontal maupun vertical. Di dalam hal kaitannya dengan otonomi daerah yaitu dengan adanya
kesetaraan hubungan pusat dan daerah. Walaupun pemerintah pusat memiliki
kewenangan lebih dari berbagai urusan, tetapi pemerintah daerah juga mempunyai
hak untuk mengurus dan mengatur kepentingan daerahnya sendiri. Sebab,
pemerintah daerah lebih paham dan mengerti apa yang menjadi kebutuhan dari
daerah tersebut. Terhadap hak yang dimiliki daerah itu, maka aspirasi dan
kepentingan daerah akan mendapat perhatian dalam setiap pengambilan kebijakan
oleh pemerintah pusat. Pengambilan kebijakan tersebut menjadikan pemerintah
daerah merepresentasikan bentuk desentralisasi dari pemerintah pusat dan
sekaligus menjadi landasan demokrasi daerah.
Secara
teoritis maupun praktek, penyelenggaraan fungsi pemerintahan tidak dilaksanakan
secara desentralisasi semata, tetapi tetap mengkombinasikan antara asas
desentralisasi, dekonsentrasi maupun tugas pembantuan.
Asas-asas
tersebut guna mewujudkan pemerintahan yang bersih dan bebas dari KKN. Good
governance diharapkan tampil dengan susunan organisasi pemerintahan yang
sederhana, agenda kebijakan yang tepat, pembagian tugas kelembagaan yang jelas,
kewenangan yang seimbang, personel yang profesional, prosedur pelayanan publik
yang efisien, kelembagaan pengawasan yang mantap dan sistem pertanggungjawaban
yang tegas. Terhadap reformasi birokrasi yang terjadi di Indonesia, menyebabkan
kewenangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah menjadi semakin jelas. Dari
penjelasan ini bukan berarti Indonesia menjadi negara liberal dimana swasta
memiliki kebebasan yang luar biasa dalam negara. Namun negara menjadi pengayom
rakyat, dimana negara mempunyai tujuan yaitu untuk mensejahterakan rakyat. Era
otonomi daerah bukan merupakan ancaman bagi upaya pengembangan industri dan
perdagangan, namun sebaliknya justru memberikan kesempatan dan dukungan bagi
pengembangan perindustrian dan perdagangan. Dengan kewenangan yang dimiliki
daerah untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakatnya terbuka kesempatan
untuk mengembangkan perindustrian dan perdagangan secara optimal di daerah.
Di era
otonomi daerah sejalan dengan kewenangan yang dimiliki Daerah pengembangan
industri dan perdagangan akan lebih efektif jika diarahkan kepada kelompok
usaha kecil, menengah dan koperasi, karena pada umumnya setiap daerah memiliki
kelompok usaha jenis tersebut. Dengan kewenangan yang dimiliki Daerah tersebut
setiap daerah akan berupaya melakukan pembinaan terhadap kelompok usaha kecil,
menengah dan koperasi untuk mendukung pengembangan industri dan perdagangan
sesuai dengan kondisi potensi dan kemampuan masing-masing daerah.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Good Governance dan
Otonomi Daerah
1. Good Governance
Good governance sering diterjemahkan
sebagai tata pemerintahan yang baik atau disebut juga dengan istilah civil
society. Good governance bisa juga didefinisikan sebagai suatu
penyelenggaraan manajemen pembangunan, pemberdayaan, dan pelayanan yang sejalan
dengan demokrasi (pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat).
Tuntutan untuk mewujudkan good governance sudah
menjadi salah satu isu penting di Indonesia sejak terjadinya krisis finansial
yang terjadi pada tahun 1997 s.d. 1998. Krisis tersebut kemudian meluas menjadi
krisis multidimensi dan telah mendorong arus balik yang menuntut reformasi
dalam penyelenggaraan negara termasuk pemerintahannya. Salah satu penyebab
terjadinya krisis multidimensi tersebut adalah karena buruknya/salahnya
manajemen dalam penyelenggaraan tata pemerintahan (poor governance) yang
diindikasikan oleh beberapa masalah, diantaranya adalah sebagai berikut :
a)
Dimensi
kekuasaan oleh satu pihak terhadap pihak lainnya, sehingga pengawasan menjadi
sulit dilakukan.
b)
Terjadinya tindakan KKN; dan
c)
Rendahnya
kinerja aparatur termasuk dalam pelayanan kepada publik atau masyarakat di
berbagai bidang.
2. Otonomi Daerah
Otonomi daerah adalah kewenangan daerah
otonom untuk mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi
masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pengertian "otonom"
secara bahasa adalah "berdiri sendiri" atau "dengan pemerintahan
sendiri". Sedangkan "daerah" adalah suatu
"wilayah" atau "lingkungan pemerintah". Dengan demikian pengertian secara istilah "otonomi
daerah" adalah "wewenang/kekuasaan pada suatu wilayah/daerah yang
mengatur dan mengelola untuk kepentingan wilayah/daerah masyarakat itu
sendiri." Pengertian yang lebih luas lagi adalah
wewenang/kekuasaan pada suatu wilayah/daerah yang mengatur dan mengelola untuk
kepentingan wilayah/daerah masyarakat itu sendiri mulai dari ekonomi, politik, dan
pengaturan perimbangan keuangan termasuk pengaturan sosial, budaya, dan
ideologi yang sesuai dengan tradisi adat istiadat daerah lingkungannya.
Pelaksanaan otonomi daerah
dipengaruhi oleh faktor-faktor yang meliputi kemampuan si pelaksana, kemampuan
dalam keuangan, ketersediaan alat dan bahan, dan kemampuan dalam berorganisasi.
Otonomi daerah tidak mencakup
bidang-bidang tertentu, seperti politik luar negeri, pertahanan keamanan,
peradilan, moneter, fiskal, dan agama. bidang-bidang tersebut tetap menjadi
urusan pemerintah pusat. Pelaksanaan otonomi daerah berdasar pada prinsip
demokrasi, keadilan, pemerataan, dan keanekaragaman.
Apa hubungan antara otonomi daerah
dan kesejahteraan? mengapa dalam era otonomi daerah sekarang justru kemiskinan
sangat merajalela? sebagaimana dinyatakan bank dunia, angka kemiskinan di
indonesia mencakup lebih dari 70 juta jiwa. Lantas apakah berarti otonomi
daerah justru berkorelasi negatif terhadap kesejahteraan?
Sebelum kita meneliti semua itu,
setidaknya bisa kita temukan fakta bahwa lahirnya otonomi daerah di indonesia
lebih karena perubahan kondisi politik daripada alasan paradikmatik-empirik.
tahun 1998, masyarakat indonesia merasakan kemuakan atas pemerintahan yang
sangat sentralistis dan ingin menuju pola masyarakat yang lebih menjanjikan
kebebasan. realitasnya, setelah masyarakat indonesia berada dalam era otonomi
daerah, berbagai problem bermunculan dan implemenasi atas konsep otonomi itu
memunculkan banyak konflik baik vertikal maupun horizontal.
Dalam paparan singkat ini, penulis
ingin memberikan catatan bahwa pelaksanaan otonomi daerah pada faktanya telah
menimbulkan empat problem.
A.
Dasar Hukum
Otonomi daerah berpijak pada dasar perundang-undangan
yang kuat, yakni :
- Undang-Undang Dasar
sebagaimana telah disebut di atas
undang-undang dasar 1945 merupakan landasan yang kuat untuk menyelenggarakan
otonomi daerah. pasal 18 uud menyebutkan adanya pembagian pengelolaan
pemerintahan pusat dan daerah.
- Ketetapan MPR-RI
Tap MPR-RI No. xv/MPR/1998 tentang penyelenggaraan
otonomi daerah : pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional
yang berkeadilan, serta perimbangan kekuangan pusat dan daerah dalam rangka
negara kesatuan republik indonesia.
3. Undang-Undang
undang-undang No.22/1999 tentang pemerintahan daerah pada prinsipnya
mengatur penyelenggaraan pemerintahan daerah yang lebih mengutamakan
pelaksanaan asas desentralisasi. hal-hal yang mendasar dalam UU no.22/1999 adalah mendorong untuk pemberdayaan
masyarakat, menumbuhkan prakarsa dan kreativitas, meningkatkan peran
masyarakat, mengembangkan peran dan fungsi DPRD.
Dari ketiga dasar perundang-undangan tersebut di atas
tidak diragukan lagi bahwa pelaksanaan otonomi daerah memiliki dasar hukum yang
kuat. tinggal permasalahannya adalah bagaimana dengan dasar hukum yang kuat
tersebut pelaksanaan otonomi daerah bisa dijalankan secara optimal.
B. Pokok-Pokok Pikiran Otonomi Daerah
Isi dan jiwa yang terkandung dalam pasal 18 uud
1945 beserta penjelasannya menjadi pedoman dalam penyusunan uu no. 22/1999
dengan pokok-pokok pikiran sebagai berikut :
1)
sistim
ketatanegaraan indonesia wajib menjalankan prinsip-prinsip pembagian kewenangan
berdasarkan asas konsentrasi dan desentralisasi dalam kerangka negara kesatuan
republik indonesia.
2)
Daerah yang dibentuk berdasarkan asas
desentralisasi dan dekonsentrasi adalah daerah propinsi, sedangkan daerah yang
dibentuk berdasarkan asas desentralisasi adalah daerah kabupaten dan daerah
kota. daerah yang dibentuk dengan asas desentralisasi berwenang untuk
menentukan dan melaksanakan kebijakan atas prakarsa sendiri berdasarkan
aspirasi masyarakat.
3)
Pembagian daerah diluar propinsi dibagi habis ke
dalam daerah otonom. dengan demikian, wilayah administrasi yang berada dalam
daerah kabupaten dan daerah kota dapat dijadikan daerah otonom atau dihapus.
4)
Kecamatan yang menurut Undang-Undang Nomor 5 th
1974 sebagai wilayah administrasi dalam rangka dekonsentrasi, menurut UU No 22/99 kedudukanya diubah menjadi perangkat daerah
kabupaten atau daerah kota.
C. Prinsip-Prinsip Pelaksanaan Otonomi Daerah
Berdasar pada uu no.22/1999 prinsip-prinsip
pelaksanaan otonomi daerah adalah sebagai berikut :
1)
Penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan dengan
memperhatikan aspek-aspek demokrasi, keadilan, pemerataan, serta potensi dan
keanekaragaman daerah.
2)
Pelaksanaan otonomi daerah didasarkan pada otonomi
luas, nyata dan bertanggung jawab
3)
Pelaksanaan otonomi daerah yang luas dan utuh
diletakkan pada daerah kabupaten dan daerah kota, sedang otonomi daerah
propinsi merupakan otonomi terbatas.
4)
Pelaksanaan otonomi daerah harus sesuai dengan
konstitusi negara sehingga tetap terjamin hubungan yang serasi antara pusat dan
daerah serta antar daerah.
5)
Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih
meningkatkan kemandirian daerah otonom, dan karenanya dalam daerah kabupaten
dan daerah kota tidak ada lagi wilayah administrasi.
6)
Kawasan khusus yang dibina oleh pemerintah atau
pihak lain seperti badan otorita, kawasan pelabuhan, kawasan pertambangan,
kawasan kehutanan, kawasan perkotaan baru, kawasan wisata dan semacamnya
berlaku ketentuan peraturan daerah otonom.
7)
Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih
meningkatkan peranan dan fungsi badan legislatif daerah, baik sebagai fungsi
legislasi, fungsi pengawas maupun fungsi anggaran atas penyelenggaraan
pemerintahan daerah.
8)
Pelaksanaan asas dekonsentrasi diletakkan pada
daerah propinsi dalam kedudukannya sebagai wilayah administrasi untuk
memelaksanakan kewenangan pemerintahan tertentu yang dilimpahkan kepada
gubernur sebagai wakil pemerintah.
9)
Pelaksanaan asas tugas pembantuan dimungkinkan,
tidak hanya dari pemerintah daerah kepada desa yang disertai dengan pembiayaan,
sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia dengan kewajiban melaporkan
pelaksanaan dan mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskan.
D. Empat Problem Otonomi Daerah
1.
pertama, pudarnya negara kesatuan.
Dalam negara kesatuan, pemimpin negara adalah
atasan para pemimpin di bawahnya. namun di indonesia, apakah faktanya memang
demikian? kenyataannya sangat jauh dari itu. bagaimanapun para gubernur,
bupati, dan walikota untuk terpilih butuh dukungan partai-partai. realitas ini
membuat mereka lebih taat pada pimpinan partai yang mendukung mereka. undangan pertemuan
pemerintah di atasnya sering diabaikan, sementara undangan pimpinan partai
ditanggapi segera, bahkan cepat-cepat berangkat dengan memakai uang negara. ini
membuat indonesia seperti mempunyai banyak presiden. walaupun para pimpinan
partai tidak memerintah, tapi mereka mengendalikan para gubernur dan kepala
daerah yang didukung partai mereka.
2.
kedua, lemahnya jalur komando.
Dalam konsep otonomi daerah, para gubernur bukan
atasan bupati/walikota. sementara pemerintah pusat membawahi daerah yang
jumlahnya lebih dari empat ratus buah. di sisi lain, gubernur juga merupakan
jabatan politis yang untuk meraihnya membutuhkan dukungan politik partai.
seringkali yang terjadi presiden, gubernur, dan bupati/walikota berasal dari
partai yang berbeda. kiranya, adalah wajar kalau dengan semua itu jalur komando
dari pusat ke daerah menjadi terputus. kemampuan pusat hanyalah
mengkoordinasikan seluruh pemerintahan di bawahnya, itupun dalam tingkat
koordinasi yang sangat lemah.
Ini mengakibatkan program-program pemerintah pusat
tidak berjalan, padahal banyak program yang sangat penting demi keselamatan
rakyat. alasan menkes siti fadilah supari terkait kegagalam penanganan flu
burung, dimana instruksi dan dana dari departemen kesehatan tidak mengalir ke
sasaran karena para kepala daerah tidak mempedulikan (sehingga banyak korban
berjatuhan), kiranya cukup relevan sebagai contoh. realitasnya nkri sekarang
telah tiada. yang ada hanyalah persekutuan ratusan kabupaten dan kota di
indonesia.
3.
ketiga, semakin kuatnya konglomeratokrasi.
Putusnya jalur komando dalam pemerintahan di indonesia
terasa sangat ironis jika melihat kekuatan komando di partai dan perusahaan.
partai dan perusahaan umumnya bersifat sentralistis. pimpinan pusat
bagaimanapun juga adalah atasan pimpinan di tingkat provinsi. dan pimpinan
tingkat provinsi adalah atasan pimpinan tingkat daerah. ini membuat partai dan
perusahaan di indonesia jauh lebih solid daripada pemerintah. partai dan
perusahaan lebih terasa sebagai suatu “pihak”. ini lain dengan pemerintah yang lebih
terasa sebagai “kumpulan” atau bahkan sekedar “tempat persaingan”. dengan
melihat bahwa pemerintahan di indonesia terpecah-pecah, pemimpin pemerintahan
butuh dukungan partai, dan partai butuh dana yang umumnya mengandalkan dukungan
para konglomerat, maka bisa disimpulkan bahwa konglomerat merupakan subjek atas
partai dan partai merupakan subjek atas pemerintah. ini berarti yang berkuasa
di indonesia adalah para konglomerat.
Realitas ini
semakin terasa parahnya jika mengingat bahwa indonesia sangat tergantung modal
asing dan bahwa kekuatan korporasi di dunia saat ini di atas negara
(sebagaimana dinyatakan prof. hertz, dari 100 pemegang kekayaan terbesar di
dunia sekarang 49-nya adalah negara, sementara 51-nya perusahaan; kekayaan
warren buffet, orang terkaya di dunia, di atas apbn indonesia). bisa
dibayangkan jika di jaman dulu puluhan kerajaan dengan kondisi politiknya yang
“mungkin terpecah” bisa dikuasai oleh voc (sebuah perusahaan dunia), bagaimana
sekarang ratusan daerah yang umumnya secara politis “sudah terpecah” menghadapi
puluhan voc baru yang kekuatannya di atas negara? dari fakta ini saja sangat
bisa dipahami mengapa indonesia berada dalam cengkeraman
korporatokrasi/konglomeratokrasi.
4.
keempat, terabaikannya urusan rakyat.
Asumsi yang diberlakukan dalam konsep otonomi
daerah adalah rakyat bisa mengurus dirinya sendiri. pelaksanaan asumsi ini
adalah bahwa para gubernur, bupati, dan walikota, walaupun tidak dalam komando
pemerintah pusat, tetapi dalam kontrol dprd setempat. Sayangnya, bagaimanapun juga dprd mempunyai realitas
yang sama dengan para pimpinan pemerintahan dalam hubungannya dengan partai dan
korporasi/konglomerat. ini berarti kekuasaan korporasi justru semakin mengakar.
Realitas ini bisa dilihat dari fakta bahwa
berbagai parameter keberhasilan adalah ukuran korporasi, bukan ukuran
kesejahteraan rakyat. padahal, seringkali hitungan korporasi tidak sesuai
dengan hitungan kesejahteraan. dengan ukuran pendapatan per kapita (angka yang
dibutuhkan korporasi), banyak kabupaten di indonesia mempunyai pendapatan per
kapita di atas rp.18 juta per tahun (rp. 1,5 juta/bulan atau rp. 6 juta /
keluarga). itu berarti banyak keluarga di indonesia yang mempunyai penghasilan
di atas keluarga doktor. kenyataannya, lebih 70 juta lebih rakyat miskin (angka
kemiskinan merupakan hitungan kesejahteraan). indonesia memang negeri yang
sangat aneh. berbagai bentuk iklan semakin megah dan meriah. tapi jalan-jalan
semakin berlubang.
Kiranya, empat problem di atas sudah bisa
menggambarkan bagaimana hubungan antara otonomi daerah dengan munculnya
berbagai problem di indonesia. dengan otonomi, harapannya adalah suasana yang
lebih bebas dan desentrlistis. kenyataannya, sentralisasi lama dipreteli
kekuasaannya untuk masuk sentralisasi baru, yaitu kekuasaan korporasi/konglomerasi
internasional.
E. Perkembangan Otonomi Daerah Di Indonesia
Meskipun uud 1945 yang menjadi acuan konstitusi
telah menetapkan konsep dasar tentang kebijakan otonomi kepada daerah-daerah,
tetapi dalam perkembangan sejarahnya ide otonomi daerah itu mengalami berbagai
perubahan bentuk kebijakan yang disebabkan oleh kuatnya tarik-menarik kalangan
elit politik pada masanya. apabila perkembangan otonomi daerah dianalisis sejak
tahun 1945, akan terlihat bahwa perubahan-perubahan konsepsi otonomi banyak
ditentukan oleh para elit politik yang berkuasa pada saat it. hal itu terlihat
jelas dalam aturan-aturan mengenai pemerintahan daerah sebagaimana yang
terdapat dalam UU berikut ini :
- UU No. 1 Tahun 1945
Kebijakan otonomi daerah pada masa ini lebih
menitikberatkan pada dekonsentrasi. kepala daerah hanyalah kepanjangan tangan
pemerintahan pusat.
- UU No. 22 Tahun 1948
Mulai tahun ini kebijakan otonomi daerah lebih
menitikberatkan pada desentralisasi. tetapi masih ada dualisme peran di kepala
daerah, di satu sisi ia punya peran besar untuk daerah, tapi juga masih menjadi
alat pemerintah pusat.
- UU No. 1 Tahun 1957
Kebijakan otonomi daerah pada masa ini masih bersifat
dualisme, di mana kepala daerah bertanggung jawab penuh pada dprd, tetapi juga
masih alat pemerintah pusat.
- Penetapan Presiden No.6 Tahun
1959
Pada masa ini kebijakan otonomi daerah lebih menekankan
dekonsentrasi. melalui penpres ini kepala daerah diangkat oleh pemerintah pusat
terutama dari kalangan pamong praja.
- UU No. 18 Tahun 1965
Pada masa ini kebijakan otonomi daerah menitikberatkan
pada desentralisasi dengan memberikan otonomi yang seluas-luasnya bagi daerah,
sedangkan dekonsentrasi diterapkan hanya sebagai pelengkap saja
- UU No. 5 Tahun 1974
Setelah terjadinya G.30.S PKI pada dasarnya telah
terjadi kevakuman dalam pengaturan penyelenggaraan pemerintahan di daerah
sampai dengan dikeluarkanya uu no. 5 tahun 1974 yaitu desentralisasi,
dekonsentrasi dan tugas perbantuan. sejalan dengan kebijakan ekonomi pada awal
ode baru, maka pada masa berlakunya uu no. 5 tahun 1974 pembangunan menjadi isu
sentral dibanding dengan politik. pada penerapanya, terasa seolah-olah telah
terjadi proses depolitisasi peran pemerintah daerah dan menggantikannya dengan
peran pembangunan yang menjadi isu nasional.
7. UU No. 22 Tahun 1999
Pada masa ini terjadi lagi perubahan yang
menjadikan pemerintah daerah sebagai titik sentral dalam penyelenggaraan
pemerintahan dan pembangunan dengan mengedapankan otonomi luas, nyata dan
bertanggung jawab.
F. Pembagian Kewenangan Pusat Dan Daerah
1.
kewenangan
daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan kecuali kewenangan
dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan
fiskal, agama, serta kewenangan bidang lain.
2.
kewenangan
bidang lain tersebut meliputi kebijakan tentang perencanaan nasional dan
pengendalian pembangunan nasional secara makro, dana perimbangan keuangan,
sistem administrasi negara dan lembaga perekonomian negara, pembinaan dan
pemberdayaan sumber daya manusia, pendayagunaan sumber daya alam serta
teknologi tinggi yang strategis, konservasi, dan standardisasi nasional.
3.
kewenangan
pemerintahan yang diserahkan kepada daerah dalam rangka desentralisasi harus
disertai dengan penyerahan dan pengalihan pembiayaan, sarana dan prasarana,
serta sumber daya manusia sesuai dengan kewenangan yang diserahkan tersebut.
4.
kewenangan
pemerintahan yang dilimpahkan kepada gubernur dalam rangka dekonsentrasi harus
disertai dengan pembiayaan sesuai dengan kewenangan yang dilimpahkan tersebut.
5.
kewenangan
propinsi sebagai daerah otonom mencakup kewenangan dalam bidang pemerintahan
yang bersifat lintas kabupaten dan kota, serta kewenangan dalam bidang
pemerintahan tertentu lainnya.
6.
kewenangan
propinsi sebagai daerah otonom termasuk juga kewenangan yang tidak atau belum
dapat dilaksanakan daerah kabupaten dan daerah kota.
7.
kewenangan
propinsi sebagai wilayah administrasi mencakup kewenangan dalam bidang
pemerintahan yang dilimpahkan kepada gubernur selaku wakil pemerintah.
8.
daerah berwenang
mengelola sumber daya nasional yang tersedia di wilayahnya dan bertanggung
jawab memelihara kelestarian lingkungan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan. kewenangan daerah di wilayah laut meliputi:
·
esplorasi,
eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut sebatas wilayah laut
tersebut;
·
pengaturan
kepentingan administratif;
·
pengaturan tata
ruang;
·
penegakan hukum
terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh daerah atau yang dilimpahkan
kewenangannya oleh pemerintah; dan
·
bantuan penegakan
keamanan dan kedaulatan negara.
9.
kewenangan
daerah kabupaten dan daerah kota di wilayah laut adalah sejauh sepertiga dari
batas laut daerah propinsi. pengaturan lebih lanjut mengenai batas laut diatur
dengan peraturan pemerintah.
10.
kewenangan daerah
kabupaten dan daerah kota mencakup semua kewenangan pemerintahan selain
kewenangan yang dikecualikan seperti kewenangan dalam bidang politik luar
negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta
kewenangan bidang lain yang mencakup kebijakan tentang perencanaan nasional dan
pengendalian pembangunan nasional secara makro, dana perimbangan keuangan,
sistem administrasi negara dan lembaga perekonomian negara, pembinaan dan
pemberdayaan sumber daya manusia, pendayagunaan sumber daya alam serta
teknologi tinggi yang strategis, konservasi, dan standarisasi nasional.
11.
kewenangan
daerah kabupaten dan daerah kota tidak mencakup kewenangan pemerintahan yang
menjadi kewenangan daerah propinsi. bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan
oleh daerah kabupaten dan daerah kota meliputi pekerjaan umum, kesehatan,
pendidikan dan kebudayaan, pertanian, perhubungan, industri dan perdagangan,
penanaman modal, lingkungan hidup, pertanahan, koperasi, dan tenaga kerja.
12.
pemerintah dapat
menugaskan kepada daerah tugas-tugas tertentu dalam rangka tugas pembantuan
disertai pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia dengan
kewajiban melaporkan pelaksanaannya dan mempertanggungjawabkannya kepada
pemerintah. setiap penugasan ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan.
G. Sumber-Sumber Penerimaan Daerah Dalam Pelaksanaan
Desentralisasi Meliputi:
1)
Pendapatan Asli
Daerah (PAD)
Ø hasil pajak daerah
Ø hasil restribusi daerah
Ø hasil perusahaan milik daerah, dan hasil
pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan.
Ø lain-lain pendapatan asli daerah yang sah,antara
lain hasil penjualan asset daerah dan jasa giro
2)
dana perimbangan
Ø dana bagi hasil
Ø Dana Alokasi Umum (DAU)
Ø Dana Alokasi Khusus
3)
Pinjaman Daerah
Ø Pinjaman Dalam Negeri
4)
Pemerintah Pusat
5)
Lembaga Keuangan
Bank
6)
Lembaga Keuangan
Bukan Bank
7)
Masyarakat
(Penerbitan Obligasi Daerah)
Ø Pinjaman Luar Negeri
8)
Pinjaman
Bilateral
9)
Pinjaman
Multilateral
10)
Lain-Lain
Pendapatan Daerah Yang Sah;
Ø Hibah Atau Penerimaan Dari Daerah Propinsi Atau
Daerah Kabupaten/Kota Lainnya,
Ø penerimaan lain sesuai dengan peraturan
perundang-undangan
H. Proses Otonomi Daerah Di Indonesia
Utonomi daerah di indonesia dimulai dengan bergulirnya Undang-Undang
(UU) Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 25 tahun 2005 Tentang Perimbangan Keuangan Antara
Pemerintah Pusat Dan Daerah yang secara praktis efektif dilaksanakan sejak 1
januari 2001. Otonomi daerah menurut uu ini adalah kewenangan
daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat
menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan
peraturan perundangundangan.
Tahap ini merupakan fase pertama dari pelaksanaan
otonomi daerah di indonesia. fase kedua otonomi daerah ditandai dengan adanya
reformasi dalam kebijakan keuangan negara melalui penetapan tiga peraturan di
bidang keuangan negara. ketiga peraturan tersebut adalah UU Nomor 17 tahun 2003 tentang keuangan negara, uu nomor 1
tahun 2004 tentang perbendaharaan negara, dan uu nomor 15 tahun 2004 tentang
pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara.
Telah lebih dari lima tahun reformasi sistem
pemerintahan tersebut berjalan dengan berbagai kendala yang mengiringinya serta
pro dan kontra. berbagai usaha pun dilakukan untuk memperbaiki dan
menyempurnakan sistem tersebut. salah satu upaya tersebut adalah dengan
melakukan amandemen UU Otonomi Daerah.
Proses ini merupakan awal dari fase ketiga dalam proses
otonomi daerah di indonesia. UU Nomor 22 tahun 1999 dan UU Nomor 25 tahun 1999 masing-masing digantikan oleh UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara
Pemerintah Pusat Dan Pemerintahan Daerah. Otonomi daerah menurut uu ini
adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus
sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
Filosofi Otonomi
Daerah Dijabarkan Sebagai Berikut (Suwandi, 2005):
1.
eksistensi
pemerintah daerah adalah untuk menciptakan kesejahteraan secara demokratis
2.
setiap
kewenangan yang diserahkan ke daerah harus mampu menciptakan kesejahteraan dan
demokrasi
3.
kesejahteraan
dicapai melalui pelayanan public
4.
pelayanan publik
ada yang bersifat pelayanan dasar (basic services) dan ada yang bersifat
pengembangan sektor unggulan (core competence)
5.
core competence merupakan sintesis dari Produk Domestik Regional
Bruto (PDRB), tenaga kerja dan pemanfaatan lahan.
2.2. Kaitan Otonomi Daerah dengan Good
Governance
Dalam pelaksanaan “otonomi daerah”, salah satu
kelemahan yang dihadapi adalah standar penilaian kinerja pemerintahan,
orientasi teoretis paradigmatis mengarah pada birokrasi klasik yang
mengutamakan cara (means) daripada tujuan (ends). Seharusnya di era otonomi
daerah ini orientasi kinerja pemerintahan mengikuti paradigma reinventing
government atau post bureaucratic yang mengutamakan kinerja pada hasil akhir
atau tujuan atau visi organisasi dan bukan pada mendanai input dan menjalankan
proses (lihat gaebler dan osborne 1992). Pada saat ini tuntutan akan
terselenggaranya good governance semakin mendesak untuk diakomodasikan dalam
standar penilaian kinerja pemerintahan. Dalam rangka otonomi daerah nilai good
governance dapat diketahui sebagai kunci utama karena nilai-nilai terkandung dalam menekankan.
Untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui
peningkatan kuantitas dan kualitas pelayanan, pemberdayaan dan partisipasi
masyarakat dalam meningkatkan daya saing daerah. Proses ini membutuhkan
penerapan prinsip-prinsip good governance yang menyeluruh dan terpadu.
Adapun prinsipprinsip good governance adalah:
1.
Partisipasi;
mendorong setiap warga untuk mempergunakan hak dalam menyampaikan pendapat
dalam proses pengambilan keputusan, yang menyangkut kepentingan masyarakat,
baik secara langsung maupun tidak langsung. Partisipasi bermaksud untuk
menjamin agar setiap kebijakan yang diambil mencerminkan aspirasi masyarakat.
Dalam rangka mengantisipasi berbagai isu yang ada, pemerintah daerah
menyediakan saluran komunikasi agar masyarakat dapat mengutarakan pendapatnya.
Jalur komunikasi ini meliputi pertemuan umum, temu wicara, konsultasi dan
penyampaian pendapat secara tertulis. Bentuk lain untuk merangsang keterlibatan
masyarakat adalah melalui perencanaan partisipatif untuk menyiapkan agenda
pembangunan, pemantauan, evaluasi dan pengawasan secara partisipatif dan
mekanisme konsultasi untuk menyelesaikan isu sektoral.
2.
Penegakan hukum;
mewujudkan adanya penegakan hukum yang adil bagi semua pihak tanpa
pengecualian, menjunjung tinggi ham dan memperhatikan nilai-nilai yang hidup
dalam masyarakat. Berdasarkan kewenangannya, pemerintah daerah harus mendukung
tegaknya supremasi hukum dengan melakukan berbagai penyuluhan peraturan
perundangundangan dan menghidupkan kembali nilai-nilai dan norma-norma yang
berlaku di masyarakat. Di samping itu pemerintah daerah perlu mengupayakan
adanya peraturan daerah yang bijaksana dan efektif, serta didukung penegakan
hukum yang adil dan tepat. Pemerintah daerah, dewan perwakilan rakyat daerah
(dprd) maupun masyarakat perlu menghilangkan kebiasaan yang dapat menimbulkan
korupsi, kolusi dan nepotisme (kkn).
3.
Transparansi;
menciptakan kepercayaan timbal-balik antara pemerintah dan masyarakat melalui
penyediaan informasi dan menjamin kemudahan dalam memperoleh informasi yang
akurat dan memadai. Informasi adalah suatu kebutuhan penting masyarakat untuk
berpartisipasi dalam pengelolaan daerah. Berkaitan dengan hal tersebut,
pemerintah daerah perlu proaktif memberikan informasi lengkap tentang kebijakan
dan layanan yang disediakannya kepada masyarakat. Pemerintah daerah perlu
mendayagunakan berbagai jalur komunikasi seperti melalui brosur, leaflet,
pengumuman melalui koran, radio serta televisi lokal. Pemerintah daerah perlu
menyiapkan kebijakan yang jelas tentang cara mendapatkan informasi. Kebijakan
ini akan memperjelas bentuk informasi yang dapat diakses masyarakat ataupun
bentuk informasi yang bersifat rahasia, bagaimana cara mendapatkan informasi,
lama waktu mendapatkan informasi serta prosedur pengaduan apabila informasi
tidak sampai kepada masyarakat.
4.
Kesetaraan;
memberi peluang yang sama bagi setiap anggota masyarakat untuk meningkatkan
kesejahteraannya. Tujuan dari prinsip ini adalah untuk menjamin agar
kepentingan pihak-pihak yang kurang beruntung, seperti mereka yang miskin dan
lemah, tetap terakomodasi dalam proses pengambilan keputusan. Perhatian khusus
perlu diberikan kepada kaum minoritas agar mereka tidak tersingkir. Selanjutnya
kebijakan khusus akan disusun untuk menjamin adanya kesetaraan terhadap wanita
dan kaum minoritas baik dalam lembaga eksekutif dan legislatif.
5.
Daya tanggap;
meningkatkan kepekaan para penyelenggara pemerintahan terhadap aspirasi
masyarakat, tanpa kecuali. Pemerintah daerah perlu membangun jalur komunikasi
untuk menampung aspirasi masyarakat dalam hal penyusunan kebijakan. Ini dapat
berupa forum masyarakat, talk show, layanan hotline,
prosedur komplain. Sebagai fungsi pelayan masyarakat, pemerintah daerah akan
mengoptimalkan pendekatan kemasyarakatan dan secara periodik mengumpulkan
pendapat masyarakat.
6.
Wawasan ke
depan; membangun daerah berdasarkan visi dan strategi yang jelas dan
mengikutsertakan warga dalam seluruh proses pembangunan, sehingga warga merasa
memiliki dan ikut bertanggungjawab terhadap kemajuan daerahnya. Tujuan
penyusunan visi dan strategi adalah untuk memberikan arah pembangunan secara
umun sehingga dapat membantu dalam penggunaan sumberdaya secara lebih efektif.
Untuk menjadi visi yang dapat diterima secara luas, visi tersebut perlu disusun
secara terbuka dan transparan, dengan didukung dengan partisipasi masyarakat,
kelompok-kelompok masyarakat yang peduli, serta kalangan dunia usaha.
Pemerintah daerah perlu proaktif mempromosikan pembentukan forum konsultasi
masyarakat, serta membuat berbagai produk yang dapat digunakan oleh masyarakat.
7.
Akuntabilitas;
meningkatkan akuntabilitas para pengambil keputusan dalam segala bidang yang
menyangkut kepentingan masyarakat luas. Seluruh pembuat kebijakan pada semua
tingkatan harus memahami bahwa mereka harus mempertanggungjawabkan hasil kerja
kepada masyarakat. Untuk mengukur kinerja mereka secara obyektif perlu adanya
indikator yang jelas. Sistem pengawasan perlu diperkuat dan hasil audit harus
dipublikasikan, dan apabila terdapat kesalahan harus diberi sanksi.
8.
Pengawasan;
meningkatkan upaya pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan dan
pembangunan dengan mengusahakan keterlibatan swasta dan masyarakat luas.
Pengawasan yang dilakukan oleh lembaga berwenang perlu memberi peluang bagi
masyarakat dan organisasi masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam
pemantauan, evaluasi, dan pengawasan kerja, sesuai bidangnya. Walaupun demikian
tetap diperlukan adanya auditor independen dari luar dan hasil audit perlu
dipublikasikan kepada masyarakat.
9.
Efisiensi dan
efektifitas; menjamin terselenggaranya pelayanan kepada masyarakat dengan
mengunakan sumber daya yang tersedia secara optimal dan bertanggungjawab.
Pelayanan masyarakat harus mengutamakan kepuasan masyarakat, dan didukung
mekanisme penganggaran serta pengawasan yang rasional dan transparan.
Lembagalembaga yang bergerak di bidang jasa pelayanan umum harus
menginformasikan tentang biaya dan jenis pelayananya. Untuk menciptakan
efisiensi harus digunakanteknik manajemen modern untuk administrasi kecamatan
dan perlu ada desentralisasi kewenangan layanan masyarakat sampai tingkat
keluruhan/desa.
10.
Profesionalisme;
meningkatkan kemampuan dan moral penyelenggara pemerintahan agar mampu memberi
pelayanan yang mudah, cepat, tepat dengan biaya yang terjangkau. Tujuannya
adalah menciptakan birokrasi profesional yang dapat efektif memenuhi kebutuhan
masyarakat. Ini perlu didukung dengan mekanisme penerimaan staf yang efektif,
sistem pengembangan karir dan pengembangan staf yang efektif, penilaian,
promosi, dan penggajian staf yang wajar. Penerapan otonomi daerah dengan
mengacu pada prinsip-prinsip good governance tersebut difasilitasi oleh
pemerintah pusat dengan meningkatkan alokasi anggaran penerimaan dan belanja
negara (apbn) yang disalurkan ke daerah. Secara umum, sumber pendapatan daerah
terutama berasal dari:
1)
Dana perimbangan
yang terdiri dari dana alokasi umum, dana alokasi khusus (dak) dan Dana Bagi
Hasil (DBH) pajak dan sumber daya alam
2)
Pendapatan Asli
Daerah (PAD), terutama yang berasal dari pajak dan retribusi
daerah.
Dari kedua sumber pendapatan
daerah tersebut masih didominasi oleh dana perimbangan. Dana perimbangan
tersebut jumlahnya cenderung selalu meningkat sejak digulirkan pada tahun 2001
baik dilihat dari nilai nominal maupun dari persentasenya terhadap Pendapatan
Domestik Bruto (PDB) dan Pendapatan Domestik Neto (PDN). menunjukkan pekembangan dana perimbangan tahun
2003-2006. Dau adalah komponen dana perimbangan yang paling besar. Dau
merupakan transfer dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah yang
berbentuk block grant. Dau dihitung berdasarkan formula kesenjangan
fiskal (selisih antara kebutuhan fiskal dan kapasitas fiskal daerah). Sejak
tahun 2001, formula dau telah mengalami beberapa kali perubahan. Formula dau
untuk tahun 2006 disusun berdasarkan uu no. 33/2004 ditunjukkan oleh gambar 1.
Dau masih menjadi sumber utama pembiayaan belanja daerah. Secara rata-rata,
persentase dau terhadap apbd berkisar antara 70-80 persen.
Dana perimbangan lainnya adalah Dana
Alokasi Khusus (DAK). Dak merupakan dana yang bersumber dari apbn yang
dialokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan untuk Membantu daerah
dalam membiayai:
- Kebutuhan khusus (UU No. 25 tahun 2000 dan pp no. 104 tahun 2000)
- Kegiatan khusus (UU No. 33 tahun 2004, pp no. 55 tahun 2005, dan nota
keuangan dan rapbn 2006)
DAK berbentuk specific grant.
Kebutuhan dan kegiatan khusus yang dapat dibiayai dari dana tersebut adalah
segala urusan daerah yang sesuai dengan prioritas nasional. Hal-hal yang
termasuk kebutuhan khusus yaitu:
- Kebutuhan yang tidak dapat diperkirakan
menggunakan formula alokasi umum dan/atau kebutuhan yang merupakan
komitmen atau prioritas nasional
- Kebutuhan untuk membiayai kegiatan reboisasi
dan penghijauan oleh daerah penghasil.
2.3. Hubungan antara
good governance dengan otonomi daerah
Upaya
pelaksanaan tata pemerintahan yang baik, UU No 32 tahun 2004 Tentang
Pemerintahan Daerah merupakan salah salu instrumen yang merefleksikan keinginan
pemerintah untuk melaksanakan tata pemerintahan yang baik dalam penyelenggaraan
pemerintahan daerah. Hal ini dapat dilihat dari indikator upaya penegakan
hukum, transparansi dan penciptaan partisipasi. Dalam hal penegakan hukum, UU No. 32 tahun 2004 telah mengatur secara tegas upaya
hukum bagi para penyelenggara pemerintahan daerah yang diindikasikan melakukan
penyimpangan.
Dari sistem
penyelenggaraan pemerintahan sekurang-kurangnya terdapat 7 elemen
penyelenggaraan pemerintahan yang saling mendukung tergantung dari bersinergi
satu sama lainnya, yaitu :
1.
Urusan
pemerintahan
2.
Kelembagaan
3.
Personil
4.
Keuangan
5.
Perwakilan
6.
Pelayanan public
7.
Pengawasan.
Ketujuh elemen
di atas merupakan elemen dasar yang akan ditata dan dikembangkan serta
direvitalisasi dalam koridor UU No. 32 tahun 2004. Namun disamping penataan
terhadap tujuan elemen dasar diatas, terdapat juga hal-hal yang bersifat
kondisional yang akan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari grand strategi
yang merupakan kebutuhan nyata dalam rangka penataan otonomi daerah di
indonesia secara keseluruhan yaitu penataan otonomi khusus nad, dari papua
penataan daerah dari wilayah perbatasan, serta pemberdayaan masyarakat.setiap
elemen tersebut disusun penataannya dengan langkah-langkah menyusun target
ideal yang harus dicapai, memotret kondisi senyatanya dari mengidentifikasi gap
yang ada antara target yang ingin dicapai dibandingkan kondisi rill yang ada
saat ini.
Meskipun dalam
pencapaian good governance rakyat sangat berperan, dalam pembentukan peraturan
rakyat mempunyai hak untuk menyampaikan aspirasi, namun peran negara sebagai
organisasi yang bertujuan mensejahterakan rakyat tetap menjadi prioritas. Untuk
menghindari kesenjangan didalam masyarakat pemerinah mempunyai peran yang
sangat penting. Kebijakan publik banyak dibuat dengan menafikan faktor rakyat
yang menjadi dasar absahnya sebuahnegara. UU No. 32 tahun 2004 yang memberikan hak
otonami kepada daerah juga menjadi salah satu bentuk bahwa rakyat diberi
kewenangan untuk mengatur dan menentukan arah perkembangan daerahnya sendiri.
Dari pemilihan kepala daerah, perimbangan keuangan pusat dan daerah (UU No. 25 tahun 1999). Peraturan daerah pun telah masuk
dalam tata urutan peraturan perundang - undangan nasional (uu no 10 tahun
2004), pengawasan oleh masyarakat.
Sementara itu
dalam upaya mewujudkan transparansi dalam penyelenggaran pemerintahan diatur
dalam pasa127 ayat (2), yang menegaskan bahwa sistem akuntabilitas dilaksanakan
dengan kewajiban kepala daerah untuk memberikan laporan penyelenggaraan
pemerintahan daerah kepada pemerintahan, dan memberikan laporan keterangan
pertanggungjawaban kepada dprd, serta menginformasikan laporan penyelenggaraan
pemerintahan daerah kepada masyarakat.
Sistem
akuntabilitas semacam ini maka terdapat keuntungan yang dapat diperoleh yakni,
akuntabilitas lebih dapat terukur tidak hanya dilihat dari sudut pandang
politis semata. Hal ini merupakan antitesis sistem akuntabilitas dalam UU No. 22 tahun 1999 dimana penilaian terhadap laporan
pertanggungjawaban kepala daerah oleh dprd seringkali tidak berdasarkan pada
indikator-indikator yang tidak jelas. Karena akuntabilitas didasarkan pada
indikator kinerja yang terukur,maka laporan keterangan penyelenggaraan pemerintahan
daerah tidak mempunyaidampak politis ditolak atau diterima. Dengan demikian
maka stabilitas penyelenggaraanpemerintahan daerah dapat lebih terjaga.
Masyarakat
memiliki hak untuk melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan
daerah. Pelaksanaan pengawasan oleh masyarakat dapat dilakukan oleh masyarakat
sebagai perorangan, kelompok maupun organisasi dengan cara: pemberian informasi
adanya indikasi terjadinya korupsi, kolusi atau nepotisme di lingkungan
pemerintah daerah maupun DPRD. Penyampaian pendapat dan saran mengenai
perbaikan, penyempurnaan baik preventif maupun represif atas masalah.
Informasi dan
pendapat tersebut disampaikan kepada pejabat yang berwenang dan atau instansi
yang terkait. Menurut Pasal 16 Keppres No. 74 Tahun 2001, masyarakat berhak
memperoleh informasi perkembangan penyelesaian masalah yang diadukan kepada
pejabat yang berwenang. Pasal tersebut berusaha untuk memberikan kekuatan
kepada masyarakat dalam menjalankan pengawasan. Dengan demikian, jelas bahwa
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dipersiapkan untuk menjadi instrumen yang
diharapkan dapat menjadi ujung tombak pelaksanaan konsep good governance dalam
penyelenggaraan pemerintahan di indonesia.
2.4. Optimalisasi
pelaksanaan otonomi daerah melalui good governance
Good Governance dapat ditinjau sebagai bentuk
pergeseran paradigma konsep goverment (pemerintah) menjadi governance
(kepemerintahan). Secara epistemologis, perubahan paradigma goverment
berwujud pada pergeseran Mindset dan orientasi birokrasi sebagai unit
pelaksana dan penyedia layanan bagi masyarakat, yang semula birokrat melayani
kepentingan kekuasaan menjadi birokrat yang berorientasi pada pelayanan publik.
Salah satu bentuk layanan tersebut adalah penertiban
regulasi yang dapat menciptakan suasana yang kondusif bagi masyarakat. Akan
tetapi, sebelum lebih jauh kita menelaah kiat-kiat dalam menciptakan
regulasi yang kondusif, tidak ada salahnya apabila kita memulainya dengan
memahami terlebih dahulu beberapa konsep dasar dalam kebijakan publik.
Dalam kacamata awam, pemerintahan yang baik identik
dengan pemerintahan yang mampu memberikan pendidikan gratis, membuka banyak
lapangan kerja, mengayomi fakir miskin, menyediakan sembako murah, memberikan
iklik investasi yang kondusif dan bermacam kebaikan lainnya. Dengan kata lain,
pemerintah dianggap baik apabila ia mampu melindungi dan melayani
masyarakatnya. Jadi dapat disimpulkan bahwa pelayanan umum yang berkualitas
merupakan ukuran untuk menilai sebuah pemerintahan yang baik, sedangkan
pelayanan umum yang buruk lebih mencerminkan pemerintahan yang
miskin inovasi dan tidak memiliki keinginan untuk menyejahterakan masyarakatnya
(Bad Governance).
Berbicara tentang good governance biasanya lebih dekat
dengan masalah pengelolaan manajemen pemerintahan dalam membangun kemitraan
dengan Stake Holder (pemangku kepentingan). Oleh karena itu, good
governance menjadi sebuah kerangka konseptual tentang cara memperkuat hubungan
antara pemerintah, sektor swasta dan masyarakat dalam nuansa kesetaraan.
Hubungan yang harmonis dalam nuansa kesetaraan merupakan prasyarat yang harus
ada. Sebab, hubungan yang tidak harmonis antara ketiga pilar tersebut dapat
menghambat kelancaran proses pembangunan.
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Gagasan
otonomi daerah memiliki kaitan sangat erat dengan demokratisasi kehidupan
politik dan pemerintahan di daerah. Agar otonomi daerah dapat berjalan seperti
apa yang dicita-citakan, maka daerah harus memiliki kewenangan untuk mengatur dan
mengurus rumah tangganya sendiri sebagai suatu sistem negara kesatuan. Dalam
hal ini demokrasi yang berlaku di Indonesia adalah demokrasi Pancasila. Bukan
seperti di negara lain yang secara jelas mengedapkan demokrasi liberal. Dimana
pasar lebih banyak berperan dalam negara dibanding pemerintah. Meskipun dalam
praktiknya negara juga menggunakan kekuasaanya dalam mengatur pasar. Dengan
diberlakukannya otonomi daerah yang menggunakan asas desentralisasi, bukan
berarti daerah bisa secara bebas menentukan apa yang menjadi keinginan daerah.
Keinginan daerah itu bisa terwujud dengan adanya kebijakan dari pemerintah
pusat. Kebijakan yang dibuat terdapat dalam peraturan perundang-undangan.
Meskipun tidak dapat dipungkiri bahwa kebijakan yang dibuat adalah kebijakan
yang ramah terhadap pasar. Demokrasi di Indonesi bukan demokrasi yang bebas
namun menjunjung tinggi keadilan masyarakat dan kesejahteraan rakyat.
1.
Good governance menjadi tolak ukur dalam
penyelenggaraan pemerintahan. Terselenggaranya good governance menjadi syarat
mutlak dalam mewujudkan aspirasi masyarakat untuk mencapai tujuan dan cita-cita
bangsa. Tujuan dan cita-cita tersebut setidaknya tidak bertentangan dengan
prinsip-prinsip dari good governance sebagai implementasi dari kebijakan
pemerintah. Prinsip-prinsip tersebut adalah:
a)
Partisipasi
b)
Penegakan Hukum
c)
Transparansi
d)
Kesetaraan
e)
Daya tanggap
f)
Wawasan kedepan
g)
Akuntabilitas
h)
Pengawasan
i)
Efisiensi dan efektifitas Profesionalisme
2.
Good Governance dala Otonomi Daerah
Pemberlakuan
sistem penyelenggaraan pemerintahan daerah dalam otonomi sudah sangat lama,
yaitu sejak tahun 2001 (menggunakan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintah Daerah) dan pada tahun 2004 (menggunakan Undang-Undang No. 32 Tahun
2004 sebagai revisi Undang-undang sebelumnya) sampai sekarang. Dalam dua
Undang-undang tentang Pemerintah Daerah tersebut telah diberlakukan sistem
desentralisasi sebagai konsekuensi terhadap sistem penyelenggaraan pemerintahan
daerah yang lalu yaitu sistem kebijakan sentralistik. Dengan adanya perubahan
sistem kebijakan ini, pemerintah daerah mempunyai kewenangan besar untuk
merencanakan, merumuskan, dan melaksanakan kebijakan dan program pembangunan
yang sesuai dengan aspirasi masyarakat. Dalam perwujudan otonomi darah tersebut
harus dibarenagi dengan sistem pemerintahan yang baik dan bersih dari KKN. Maka
terhadap pergeseran kekuasaan tersebut aspirasi rakyat dan kebutuhan rakyat di
daerah dapat terealisasikan sesuai dengan amant Undang-Undang.
Daftar Pustaka
2 komentar:
Thanks for taking the time to discuss that, I really feel strongly about it and love learning more on that topic. If achievable, as you gain scr888 login competence, would you mind updating your blog with more information It is highly helpful for me.
Thank you for the SCR888 Online Games Download helpful post. I found SCR888 Online Games Download your blog with 918kiss Free Credit Google and I will Free Credit 918Kiss Telegram start following. Hope Free Credit 918Kiss Telegram to see new blogs soon.
Posting Komentar